SHIRA “IBU MASA LALU”
Karya: Aziz Thaba
Senyum,
mendekapku dalam-dalam dengan rintihan yang sesekali terdengar ditelingaku.
Badannya dingin gemetar dengan wajah senduh memudarkan cahaya kemerahan
matahari senja. Semakin dalam, semakin erat pula dekapan itu hingga terasa
sesak. Tubuhnya serupa merontah mengeja sisa-sisa nafas diujung tenggorakan
yang jauh dari kebahagian. Kata-kata terdengar sayup, sebuah pesan. Pekikan-pekikan
tidak terbalaskan, semuanya hanya bertebaran tanpa pandang sapa dan
kepeduliaan. Lepas, hilang, sirna. Seketika tubuh itu tak bertuan, tidak
adalagi dekapan. Tangannya jatuh pada lantai kardus usang diiringi tubuh yang
kurus kerempeng. Rintihan telah hilang, sunyi menyesakkan. Dinginnya menggila,
putihnya semakin memutih. Ibuku terkasih telah mati, karena dikhianati. Sebuah memoar
penuh derita yang masih menggelayut sangat riang dalam hatiku. Sesekali
menyesakkan dengan penuh rasa sakit namun redah karena sabda diujung nafas dari
gubuk reyot bertahtakan kardus.
Badai
pun belum berlalu, buritan kapal hampir saja berhamburan karena kisah masa
lalu. Kini aku hanya seorang diri, perempuan tanpa nama tanpa ibu. Jiwa dan
amarahku telah tergadai. Demi ibu yang mati karena derita. Inilah diriku, ibu
muda dari masa sekarang. Namun luka itu tetap abadi. Hadir menata dan menghiasi
perahu tua serta belabuh menghancurkan samudera manusia berkulit kenistaan.
Pagi
buta, mengingatkan akan luka. Mempersiapkan diri mengayuh perahu tua. Ibuku
memang cantik, wajahnya tirus, hidungnnya mancung, rambut ikal melambai, tinggi
semampai, mata penuh pesona bagai lingkaran bulan purnama di malam satu suroh.
Satu lagi, ini adalah ibu yang abadi dalam diriku, kulitnya kuning langsat.
Usiaku seperdua dari usia ibu di ujung nafasnya, 16 tahun. Merajut usia itu
kini aku 26 tahun. Seorang gadis mapan dengan uang berlimpah. Hasil dari
menjajah kantong-kantong manusia berdasi yang mengatas namakan aspirasi rakyat.
Tahukah dia...? Bahwa aku adalah korban kemunafikannya.
“Tidak
ada luka yang meninggalkan bekas” adalah slogan yang selalu kujunjung tinggi
sampai saat ini, bukan Pancasila yang berBhineka Tunggal Ika. Semboyan itu
ibarat pukat harimau yang mematikan ibu dengan derahan derita yang tajam. Aku,
awak kapal tanpa nama, lelaki hidung belang mengenalku dengan nama Shira,
perempuan cantik dan teman tidur yang baik. tapi ada harga selangit yang harus
tersita dari itu. Aku ibu, perempuan penuh luka tempo lalu.
“Ibu
Neni....apa kabar?” sapaku pada perempuan setengan baya, istri dari seorang
anggota DPR Provinsi Sulawesi Selatan asal Kota Palopo. “Eh....Ibu, baik”
jawabnya dengan penuh hangat. Segera ia merajut keakraban diantara kami. Aku
rindu pada suaminya, tubuhnya masih terasa hangat, sapaan manjanya masih
menderu derah di hati dan berniang ditelingaku. “Bapak apa kabar? Tanyaku lagi.
Kali ini mungkin Ibu Neni tidak terlalu paham dengan tanyaku. “Maksud Ibu?”
dengan nada mengharapkan penjelasan. “E...maksud saya suami Ibu, apa kabar?”
kali ini pertanyaannya sangat jelas. Ibu Neni gelagapan karena nafsu akan
kebanggan terhadap suaminya segera terkisah pada orang lain, padaku. Kasihan,
padahal suaminya lebih dulu berkisah tentang dirinya yang sudah reyot dan tidak
menggairahkan. Tapi, wajah simpatik ini masih terobral dengan meriah seperti
bagi istri-istri hidung belang lainnya. Sesekali senyum pahit juga muncul
diwajahku buah dari reinkarnasi kesedihan akibat kebanggan orang-orang yang
telah terbohongi. Seperti Ibu yang ditinggal pergi oleh lelaki yang darahnya
ada dalam diriku. Berjuang mati-matian melawan hidup yang kejam dan kebal
terhadap ocehan dan hinaan.
Kini,
aku si perempaun cantik ibu muda. Berbaring di atas ranjang empuk dengan baju
tipis setengah tubuh. Menunggu dengan segala siap memuntahkan kenikmatan dengan
rupiah yang menjuta. Kini lelaki tak terbalut oleh kain sedikit pun siap
menghujam di atasku. Tapi hujamannya ku awali dengan hujaman sebilah pisau
diperutnya, darah bertebaran mengingatkanku pada pantai berpasir hitam dalam
mimpiku. Dia ayahku, sebab kelahiranku,
ibu yang terhina. Kini dia tergeletak tanpa daya seperti ibu kala itu di
gubuk reyot. Mungkin ini adalah maksud pesan terakhir ibu “cari ayahmu, Drs.
Gunawan, M.Hum”