Tuesday, October 14, 2014

SHIRA “IBU MASA LALU”



SHIRA “IBU MASA LALU”
Karya: Aziz Thaba

Senyum, mendekapku dalam-dalam dengan rintihan yang sesekali terdengar ditelingaku. Badannya dingin gemetar dengan wajah senduh memudarkan cahaya kemerahan matahari senja. Semakin dalam, semakin erat pula dekapan itu hingga terasa sesak. Tubuhnya serupa merontah mengeja sisa-sisa nafas diujung tenggorakan yang jauh dari kebahagian. Kata-kata terdengar sayup, sebuah pesan. Pekikan-pekikan tidak terbalaskan, semuanya hanya bertebaran tanpa pandang sapa dan kepeduliaan. Lepas, hilang, sirna. Seketika tubuh itu tak bertuan, tidak adalagi dekapan. Tangannya jatuh pada lantai kardus usang diiringi tubuh yang kurus kerempeng. Rintihan telah hilang, sunyi menyesakkan. Dinginnya menggila, putihnya semakin memutih. Ibuku terkasih telah mati, karena dikhianati. Sebuah memoar penuh derita yang masih menggelayut sangat riang dalam hatiku. Sesekali menyesakkan dengan penuh rasa sakit namun redah karena sabda diujung nafas dari gubuk reyot bertahtakan kardus.
Badai pun belum berlalu, buritan kapal hampir saja berhamburan karena kisah masa lalu. Kini aku hanya seorang diri, perempuan tanpa nama tanpa ibu. Jiwa dan amarahku telah tergadai. Demi ibu yang mati karena derita. Inilah diriku, ibu muda dari masa sekarang. Namun luka itu tetap abadi. Hadir menata dan menghiasi perahu tua serta belabuh menghancurkan samudera manusia berkulit kenistaan.
Pagi buta, mengingatkan akan luka. Mempersiapkan diri mengayuh perahu tua. Ibuku memang cantik, wajahnya tirus, hidungnnya mancung, rambut ikal melambai, tinggi semampai, mata penuh pesona bagai lingkaran bulan purnama di malam satu suroh. Satu lagi, ini adalah ibu yang abadi dalam diriku, kulitnya kuning langsat. Usiaku seperdua dari usia ibu di ujung nafasnya, 16 tahun. Merajut usia itu kini aku 26 tahun. Seorang gadis mapan dengan uang berlimpah. Hasil dari menjajah kantong-kantong manusia berdasi yang mengatas namakan aspirasi rakyat. Tahukah dia...? Bahwa aku adalah korban kemunafikannya.
“Tidak ada luka yang meninggalkan bekas” adalah slogan yang selalu kujunjung tinggi sampai saat ini, bukan Pancasila yang berBhineka Tunggal Ika. Semboyan itu ibarat pukat harimau yang mematikan ibu dengan derahan derita yang tajam. Aku, awak kapal tanpa nama, lelaki hidung belang mengenalku dengan nama Shira, perempuan cantik dan teman tidur yang baik. tapi ada harga selangit yang harus tersita dari itu. Aku ibu, perempuan penuh luka tempo lalu.
“Ibu Neni....apa kabar?” sapaku pada perempuan setengan baya, istri dari seorang anggota DPR Provinsi Sulawesi Selatan asal Kota Palopo. “Eh....Ibu, baik” jawabnya dengan penuh hangat. Segera ia merajut keakraban diantara kami. Aku rindu pada suaminya, tubuhnya masih terasa hangat, sapaan manjanya masih menderu derah di hati dan berniang ditelingaku. “Bapak apa kabar? Tanyaku lagi. Kali ini mungkin Ibu Neni tidak terlalu paham dengan tanyaku. “Maksud Ibu?” dengan nada mengharapkan penjelasan. “E...maksud saya suami Ibu, apa kabar?” kali ini pertanyaannya sangat jelas. Ibu Neni gelagapan karena nafsu akan kebanggan terhadap suaminya segera terkisah pada orang lain, padaku. Kasihan, padahal suaminya lebih dulu berkisah tentang dirinya yang sudah reyot dan tidak menggairahkan. Tapi, wajah simpatik ini masih terobral dengan meriah seperti bagi istri-istri hidung belang lainnya. Sesekali senyum pahit juga muncul diwajahku buah dari reinkarnasi kesedihan akibat kebanggan orang-orang yang telah terbohongi. Seperti Ibu yang ditinggal pergi oleh lelaki yang darahnya ada dalam diriku. Berjuang mati-matian melawan hidup yang kejam dan kebal terhadap ocehan dan hinaan.
Kini, aku si perempaun cantik ibu muda. Berbaring di atas ranjang empuk dengan baju tipis setengah tubuh. Menunggu dengan segala siap memuntahkan kenikmatan dengan rupiah yang menjuta. Kini lelaki tak terbalut oleh kain sedikit pun siap menghujam di atasku. Tapi hujamannya ku awali dengan hujaman sebilah pisau diperutnya, darah bertebaran mengingatkanku pada pantai berpasir hitam dalam mimpiku. Dia ayahku, sebab kelahiranku,  ibu yang terhina. Kini dia tergeletak tanpa daya seperti ibu kala itu di gubuk reyot. Mungkin ini adalah maksud pesan terakhir ibu “cari ayahmu, Drs. Gunawan, M.Hum”

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...