HAMSAD
RANGKUTI
Sebuah Biografi
Hamsad Rangkuti, lelaki berpenampilan sangat sederhana ini
lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 7 Mei 1943 adalah
seorang sastrawan Indonesia. Ia sangat dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek
(cerpen). Bersaudara enam orang
saudaranya, masa kecil ia lewatkan di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Ia suka
menemani bapaknya, yang bekerja sebagai penjaga malam yang merangkap sebagai
guru mengaji di pasar kota perkebunan itu.
Kehidupan yang kurang beruntung, mengharuskan Hamsad membantu ibunya ikut
mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar. Selain, bekerja sebagai
buruh lepas di perkebunan tembakau. “Dulu belum ada semprotan hama, jadi
dikerahkan orang untuk merawatnya. Tiap hari saya ikut ibu membalik-balik daun
tembakau, bila ada ulatnya kita ambil,” paparnya.
Setelah terkumpul, ulat-ulat itu mereka masukkan ke dalam
tabung, yang kemudian dihitung jumlahnya oleh mandor perkebunan,” katanya. Menghadapi
kepedihan karena belitan kesulitan hidup, Hamsad pun sering menghabiskan
hari-harinya dengan melamun dan berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi
sesuatu. Berkembanglah berbagai pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam
cerita pendek. Kebetulan juga ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat
mendongeng itu saya peroleh dari ayah saya. Cuma dia secara lisan, saya dengan
tulisan,” katanya.
Sebagai seorang pengarang, pendidikan bukan menjadi acuan
dasar. Hamsad Rangkuti hanya menempuh pendidikan SMU kelas 2 saja. Sebab, kala
itu, keluarganya tidak dapat membiayai sekolahnya. Hamsad lalu bekerja sebagai
pegawai sipil Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di
Medan. Tapi hasrat menjadi pengarang lebih besar daripada bertahan sebagai
pegawai. Saat itu kebetulan akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang
seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang
Sumatera Utara di tahun 1964. “Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan
tinggal di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini. Ia tinggal di
Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. “Saya tidur di ubin
beralaskan koran. Karena ubinnya lebih rendah dari jalan, lantainya sering
kebanjiran kalau hujan,” kata Hamsad mengungkapkan tahun-tahun awal
penderitaannya di Jakarta. Namun di sini ia bisa menguping obrolan para seniman
senior, yang sedang mengadakan acara kesenian atau sekadar berkumpul-kumpul di
sana. Kariernya sebagai penulis cerita pendek sejak 1962, dan Pemimpin Redaksi
Majalah Horison.
Tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad
terpaksa membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Di sanalah ia
berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal seperti Anton Chekov,
Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer. Dari sini pula
kepengarangannya tumbuh dan berkembang. Masih di SMP di Tanjungbalai, Asahan,
ditahun 1959, ia menghasilkan cerpennya yang pertama, Sebuah Nyanyian di
Rambung Tua, yang dimuat di sebuah koran di Medan.
Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis
cerpen yang berhasil. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, seperti:
a. Sampah
Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan
b. Sukri
Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.
Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai
Pustaka tahun 2001 ini, antara lain:
a. Umur
Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo, dan
b. Senyum
Seorang Jenderal pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories
from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.
Tiga kumpulan cerpennya, antara lain:
a. Lukisan
Perkawinan, dan
b. Cemara
di tahun 1982, serta
c. Sampah
Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar
Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas.
Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan
sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981.
Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. Sehingga
ia pernah bilang pada suatu seminar di Ujung Pandang bahwa para seniman
rata-rata pembohong. Tapi bagaimana ia sendiri terilhami ? Hamsad lalu menunjuk
proses penciptaaan cerpennya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku
dengan Bibirmu.
Penghargaan-penghargaan yang pernah diraih oleh Hamsad
Rangkuti pun tidak sedikit seperti.
a. Penghargaan
Insan Seni Indonesia 1999 Mal Taman Anggrek & Musicafe,
b. Penghargaan
Sastra Pemerintah DKI (2000)
c. Penghargaan
Khusus Kompas 2001 atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,
d. Penghargaan
Sastra Pusat Bahasa (2001),
e. Pemenang
Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001)
Karya Tulis :
1. Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
2. Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
3. Lukisan Perkawinan (1982),
4. Cemara (1982),
5. Sampah Bulan Desember,
6. Sukri Membawa Pisau Belati,
7. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
8. Senyum Seorang Jenderal (2001),
9. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
10. Bibir dalam Pispot (2003).
1. Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
2. Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
3. Lukisan Perkawinan (1982),
4. Cemara (1982),
5. Sampah Bulan Desember,
6. Sukri Membawa Pisau Belati,
7. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
8. Senyum Seorang Jenderal (2001),
9. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
10. Bibir dalam Pispot (2003).