Tuesday, January 23, 2018

MATERI SIMULASI KREATIF


SIMULASI KREATIF
A. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN DALAM KEGIATAN SIMULASI KREATIF (PERMAINAN)
Perilaku anak akan berubah seiring dengan perkembangan anak itu sendiri, termasuk perilaku bermainnya. Pada dasarnya anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi, dan menari. Semua kegiatan tersebut dilakukan anak seiring pertumbuhannya yang mengubah posisi tubuh seiring ruang dan waktu yang dilewatinya. Bermain meningkatkan kemampuan gerak anak sehingga pertumbuhan dan perkembangan tubuh, alat artikulasi, ekspresi, perasaan dan pikiran, penampilan kehidupan sehari-hari, dan sebagainya akan lebih berkembang. Melalui bermain anak akan dapat mengenal lingkungannya, berinteraksi, dan mengembangkan daya fantasinya. Parten (1932) mengidentifikasikan rangkaian tingkatan dalam permainan sosial anak. Pada usia tiga tahuan anak cenderung melakukan kegiatan soliter atau sebagai pemerhati. Menjelang usia empat tahun anak melakukan kegiatan permainan paralel dan menjelang usia lima tahun mereka melakukan kegiatan permainan kelompok (kooperatif). Parten menyimpulkan permainan soliter dan parallel menandakan ketidakmatangan anak, lain halnya dengan yang kooperatif (dalam Spodek, 1994).
Piaget (1962) mengidentifikasi tiga tingkat permainan anak, yaitu (1) permainan praktis meliputi permainan manipulatif, (2) permainan simbolik melalui permainan dramatic, dan (3) permainan dengan aturan-aturan yang berkaitan secara paralel dengan tingkat kecenderungan yang diamati.
Smilansky (1968) menguraikan tingkat permainan Piaget menjadi tiga tingkat, yaitu (1) permainan dramatik, (2) konstruktif, dan (3) permainan fungsional. Sementara itu, Rubin, Maioni, dan Hornung (1976) meneliti intervensi pada perilaku bermain anak untuk mempelajari aspek sosial dan aspek intelektual anak. Dalam hal ini, guru dapat melakukan intervensi dengan memodifikasi seting, mengubah materi, memberi pertanyaan kepada anak yang sedang bermain, atau mendorong berlangsungnya permainan. Dengan mengamati kegiatan bermain anak, guru dapat menentukan pengaruh yang akan diterapkan pada permainan anak tersebut. Intervensi ini harus dilakukan dengan hati-hati (secara sensitive) misalnya dengan mengijinkan anak untuk mengontrol permainannya sehingga dapat berlangsung secara wajar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa intervensi merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk mempengaruhi situasi permainan sesuai dengan kebituhan anak serta keterlibatan anak dalam permainan tersebut. Intervensi yang dimaksud di sini dirangkai dalam suatu kesatuan kegiatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Horn (1991) mengemukakan strategi intervensi yang dapat dilakukan guru antara lain sebagai berikut.
1. Melatih bermain;
2. Membentuk pengalaman umum;
3. Menetapkan objek dan alat (bahan) dalam permainan yang direncanakan;
4. Mengatur waktu; dan
5. Menetapkan tempat khusus yang dirancang untuk bermain.
B.     JENIS PERMAINAN
Permainan beragam jenisnya bergantung pada jenis kegiatan yang bermain yang dilakukan serta bentk instruksi yang diberikan pada saat permainan berlangsung. Berdasarkan kegiatannya, peramainan dibagi menjadi dua, yaitu permainan aktif dan permainan pasif. Sedangkan berdasarkan ada tidaknya instruksi yang diberikan guru, permainan dibagi menjadi permainan bebas, permainan terikat, dan permainan terarah. Berkaitan dengan jenis permainan ini dikenal bentuk permainan eksploratori, permainan energetik, permainan konstruktif, permainan sosial, permainan kreatif-imajinatif, dan permainan puzzle. Setiap jenis permainan memanfaatkan alat atau bahan permainan. Ada bentuk permainan memanfaatkan alat yang diambil dari lingkungan sekitar anak, dari alam, dan permainan edukatif.
Sebagai contoh, untuk dapat mengajarkan kemampuan menyimak dan berbicara, guru dapat memanfaatkan kaleng bekas susu cair untuk membuat telepon mainan setelah sebelumnya dilengkapi benang kasur dengan ukurang panjang tertentu. Guru juga dapat menggunakan arena panggung boneka di dalam kelas untuk meningkatkan kemampuan menyimak dan berbicara serta aresiasi sastra. Permainan melalui simulasi gambar, storytelling, dan pantomim juga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan kemampuanberbahasa anak. Penyiapan puisi dan prosa fiksi berikut kreasi pembacaannya serta permainan drama teater sebagai bentuk simulasi kreatif dapat dilakukan guru dan siswa di dalam kelas sebagai sarana permainan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, kemampuan sosialisasi, dan kemampuan berpikir imajinatif siswa.

C.     SIMULASI KREATIF (PERMAINAN) SEBAGAI WAHANA PEMBELAJARAN
Simulasi kreatif (permainan) sebagai wahana pembelajaran terutama pada anak-anak kelas awal perlu mendapat perhatian para guru. Hal ini sejalan dengan aktivitas yang dilakukan anak-anak pada setiap harinya yang banyak menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Di sekolah, pada jam-jam sekolah anak-anak sering melakukan aktivitas bermain, misalnya pada waktu jam istirahat atau ketika guru belum memasuki kelas.
Dengan latar belakang anak senang melakukan kegiatan bermain, permainan fisik maupun nonfisik, kegiatan simulasi kreatif berupa permainan yang bersifat mendidik dengan arahan guru dapat dengan mudah dilaksanakan. Arahan guru ini dimaksudkan agar permainan dalam konteks pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Beragam bentuk permainan ini dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah dasar secara terpadu. Dalam hal ini, satu bentuk permainan mungkin saja dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan kompetensi yang ada dalam beberapa mata pelajaran secara sekaligus.
Dalam kegiatan belajar 2 ini akan dipaparkan tentang permainan sebagai wahana pembelajaran terutama sebagai wahana dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Permainan yang dipilih dan dilakukan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa; mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis serta pengalaman bersastra. Secara lebih luas, permainan ini juga dapat mengembangkan kognisi (daya berpikir), emosi, sosial, fisikal, dan kepribadian anak. Juga akan dibahas cara-cara atau upaya guru melalui permainan untuk menumbuhkan kemampuan bertanya siswa melalui kegiatan menanggapi cerita atau puisi yang disimak atau diceritakan, kemampuan mendeskripsikan secara lisan dan melalui gerak (pantomime), dan bermain boneka, dan bermain peran.

1.      Simulasi Kreatif Sebagai Wahana Pembelajaran Bahasa

Dalam konteks pembelajaran bahasa, simulasi kreatif dapat digunakan sebagai wahana atau media pembelaharan untuk membentuk pemahaman dan penghayatan konsep serta nilai maupun perkembangan keterampilan. Play ini dapat dilakukan melalui kegiatan permainan boneka, simulasi gambar atau media lainnya, atau melalui kegiatan bermain peran. Melalui play guru dapat mengamati berbagai macam bentuk pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Simulasi kreatif khususnya dalam pembelajaran bahasa sangat bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, membaca, maupun menulis yang dihubungkan dengan pengembangan emosi, hubungan sosial, daya imajinasi dan kognisi, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan daya fisikal siswa.
Simulasi kreatif memiliki banyak media yang dapatn digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Misalnya, dramatic play dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, keterampilan emotif dan kognitif, dan keterampilan sosial siswa. Pengalaman siswa pergi ke dokter, supermarket atau pusat perbelajaran dapat digunakan sebagai situasi sosial yang bisa dimainkan siswa secara dramatic melalui permainan dokter-dokteran atau penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi jual beli di supermarket. Kreativitas siswa juga dapat dikembangkan melalui pemberian masalah sehingga mereka dapat memecahkannya melalui kegiatan bermain peran. Selain itu, agar daya fisikal, kognitif, dan kreativitas imajinatif siswa terkembangkan, guru bisa membawa bermacam alat atau benda yang bias digunakan siswa.
Hal yang perlu diperhatikan guru dalam perancangan simulasi dan penyediaan media adalah hindari mengajari siswa yang didasarkan pada stereotif jenis kelamin. Pada umumnya guru memisahkan atau membedakan jenis permainan dan alat bermain yang diberikan kepada siswa laki-laki dan perempuan. Mereka menyimpulkan bahwa anak laki-laki selalu bermain yang kasar-kasar dan lebih aktif, sebaliknya siswa perempuan cenderung melakukan permainan konstruktif dan melakukan permainan di atas meja. Anak perempuan cenderung memiliki teman emajiner yang lebih banyak. Dengan demikian, guru tidak perlu memberikan bet dan bola pada anak laki-laki sementara anak perempuan diberi boneka. Biarkan mereka memilih sendiri alat bermainnya dan biarkan mereka menunjukkan permainan sesuai dengan minatnya.
Intervensi guru sebaiknya dilakukan khususnya dalam menciptakan permainan yang memungkinkan terciptanya alternative permainan yang khas dan bias membatasi atau memperkecil pemisahan permainan jenis kelamin. Dengan demikian, guru dapat menghindari mengajari anak untuk memiliki perilaku berdasarkan stereotif jenis kelamin dalam konteks sekolah.
Permainan dalam konteks sekolah atau pembelajaran dapat ditentukan berdasarkan tujuan. Tujuan ditetapkan oleh pihak yang bertanggung jawab atas permainan anak tersebut. Permainan pendidikan memiliki tujuan utama, yaitu pembelajaran anak-anak. Permainan harus menyenangkan anak sehingga walaupun permainan ini memiliki tujuan pendidikan, tetapi tetap bisa dinikmati anak dan mereka tetap bisa mengembangkan keterampilan sosialnya serta mampu memilih dan menggunakan alat permainan yang disukainya secara inovatif.
2.      Simulasi Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Permainan yang ditujukan untuk anak usia sekolah sadar dipilih dalam bentuk permainan yang benar-benar diperlukan terutama dalam pembelajaran bahasa. Permainan harus dapat dipahami dan harus sesuai dengan tujuan kompetensi yang tercantum dalam kurikulum. Permainan harus dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kemampuan bermain anak-anak sebelum sekolah dengan kemampuan membaca. Misalnya bermain drama merupakan aktivitas atau kegiatan simbolis dari membaca dan menulis. Anak menggunakan objek-objek atau orang untuk menampilkan sesuatu yang lain dan mereka menggunakan bunyi-bunuyi dan simbol-simbol tulisan untuk menampilkan kata-kata yang mewakili ide atau gagasan dalam drama yang diperankannya. Anak-anak juga lancar bercerita sebagaimana mereka lancer bermain dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, guru dapat meningkatkan pembelajaran bahasa melalui aktivitas bermain drama. Menggunakan telepon dalam seting bermain drama akan mendorong anak untuk menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. Untuk pelaksanaan kegiatan ini guru harus mengatur aktivitas permainan dalam konteks pembelajaran.

3.      Permainan untuk Mengembangkan Kemampuan Berbahasa

a. Kemampuan Mendeskripsikan
Bermacam aktivitas permainan dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak. Guru dapat mendorong anak untuk berlatih menjelaskan secara rinci baik tertulis maupun lisan terhadap sesuatu; objek, orang, gambar, suara, lingkungan, dan sebagainya yang dijadikan sebagai stimulus.

Mendeskripsikan Objek Benda atau Orang
Siswa diminta berlatih mendeskripsikan suatu objek benda yang ada di sekitar atau objek orang (siswa lain di kelasnya) dan siswa lain diminta menebaknya. Untuk memudahkan temannya menebak objek benda atau orang yang dimaksudkan, siswa diminta memberikan deskripsi berkaitan engan objek benda atau orang tersebut. Misalnya, mendeskripsikan sepatu, warna kulit, jenis rambut, pakaian khas yang dikenakan, topi khas yang digunakan, atau tempat bekerja yang berkaitan dengan yang dideskripsikan.
Mendeskripsikan dan Mendiskusikan Gambar
Guru dapat menggunakan gambar atau rangkaian gambar berseri untuk bahan diskusi dan permainan. Ada tiga tahap untuk kegiatan permainan mendeskripsikan gambar. Pertama, mendeskripsikan gambar secara sederhana; kedua, membandingkan dua buag gambar (ilustrasi); dan ketiga memberikan penilaian terhadap dua gembar atau lebih.

Gambar di atas merupakan gambar dua dimensi hasil karya mahasiswa program D-2 PGSD BS yang dimanfaatkan dalam simulasi kreatif berjudul alam bahasa.
Dalam setiap objek bisa dibuka dan di beliknya terdapat pertanyaan yang harus dijawab siswa yang mengikuti permainan. Jika peserta lainnya tidak bis menjawab, maka ia harus memperagakan dan menirukan suara binatang yang terdapat dalam gambar. Tujuan permainan ini ialah mengajak siswa untuk mengenal alam dan makhluk hidup yang ada di sekitar dan mengetahui bagaimana mereka hidup.
Dengan demikian, gambar di atas juga dapat digunakan sebagai media dalam diskusi yang bertujuan untuk mengarahkan anak agar (1) berpartisipasi dalam diskusi, (2) mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, dan (3) mengembangkan keterampilan deskripsi secara lisan. Gambar-gambar yang digunakan sebagai media hendaknya dipilih yang sarat dengan makna dan jelas sehingga memungkinkan timbul berbagai topic cerita atau pembicaraan yang disampaikan anak. Gambar dapat merangsamg anak untuk melakukan diskusi kelompok besar, kelompk kecil, kegiatan individual, atau untuk cerita-cerita lisan. Sebagai contoh, diberikan gambar seekor induk beruang bersama dua anaknya di pinggir hutan. Gambar tersebut dapat merangsang cerita lisan berikut.
“Ayah dan aku berada di hutan sepanjang hari untuk berburu. Ayah ingin karpet beruang untuk karpet kamarnya. Ketika kami tiba di lapangan rumput, kami melihat beruang besar sekali di tengah lapangan. Ketika ayah mulai mengangkat senapannya, kulihat sesuatu bergerak. Aku berteriak, “ Jangan tembak…!”.
Kegiatan berikutnya minta siswa memperhatikan kembali gambar beruang tadi dan tanyakan mengapa anak kecil itu berteriak demikian? Suruh siswa mengakhiri cerita tadi sesuai dengan imajinasinya secara lisan.
Kegiatan lain guru dapat meminta siswa berbagai kelompok dan tugaskan kelompok satu memilih gambar-gambar sport dan kelompok lainnya menjadi reporter TV yang mewawancara pemain sport tersebut. Dari gambar sport guru dapat beralih ke gambar-gambar jenis alat-alat musik. Tugaskan satu kelompok memilih satu gambar alat musik tersebut dan berperan sebagai sales yang bertugas meyakinkan kelas bahwa alat musik tersebut adalah instrument musik terbaik dan bernilai untuk dibeli.
Dengan demikian, gambar dapat digunakan sebagai media simulasi kreatif (permainan) dan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak.
Namun, dalam hal ini yang dipentingkan bukan kebenaran menceritakan gambar melainkan kemampuan bercerita dengan daya imajinasi/persepsi tentang gambar.

Mendeskripsikan Suara
Permainan yang diarahkan untuk mengembangkan kemampuan mendeskripsikan suara dapat dilakukan dengan media suara binatang, suara manusia, suara letusan gunung, petir, ombak, suara dari benturan benda, dan lain-lain. Siswa dapat diminta untuk mendeskripsikan salah satu suara dan siswa lainnya diminta menebaknya.

Mendeskripsikan Lingkungan
Dalam suatu pembelajaran guru dapat meminta siswa untuk mendeskripsikan salah satu bagian dari lingkungannya. Misalnya, keadaan lingkungan saat musim kemarau atau musim hujan, sawah, kebun bunga, sungai, lingkungan rumah atau sekolah, dan lingkungan lainnya yang dekat dengan dunia anak. Guru dapat meminta siswa untuk menceritakan lingkungan tersebut dan meminta siswa lain mengungkapkan respons terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang dideskripsikan temannya. 

Kunjungan Lapangan
Kunjungan lapangan dalam rangka pembelajaran bahasa masih perlu sering dilakukan agar suasana belajar semakin menyenangkan. Sebelum guru mengajak siswa melakukan kunjungan, siswa dilatih menyusun pertanyaan untuk kegiatan wawancara di lapangan. Dari jawaban yang diperoleh, siswa dapat membuat deskripsi tentang lingkungan/lokasi yang dikunjungi. Siswa akan mendeskripsikan apa yang mereka lihat, rasakan, senangi, dan yang mereka dengar atau sentuh. Untuk siswa kelas rendah dapat dilakukan pendeskripsian secara lisan sedangkan untuk kelas tinggi dapat dilakukan secara tertulis. Sebagai kegiatan awal dari kegiatan kunjungan yang sebenarnya, guru dapat melakukan simulasi kreatif menggunakan maket lingkungan yang akan dikunjungi. Menggunakan maket tersebut siswadiajak untuk berjalan mengikuti arah jalan, berhenti di setiap tempat, sampai pada akhirnya tiba di lokasi tujuan.  

b. Pengembangan Kreasi Anak dengan Keindahan Suaranya
Seiring maraknya film kartun atau animasi, anak-anak sekarang banyak menghabiskan waktunya secara pasif dengan menonton televisi atau mendengarkan musik di radio. Guru disarankan untuk membantu snak beraktivitas yang menyenangkan dan dapat mengungkapkan ekspresi suaranya sehingga tidak hanya diam. Ross dan Roe (1984) mengemukakan bahwa kadang-kadang siswa dapat menyajikan pertunjukkan untuk teman sekelas, guru, orang tua. Dan anggota masyarakat di sekitar sekolah. Mereka boleh memilih menyajikan sandiwara boneka, bercerita, membaca puisi secara rampak, atau berpartisipasi dalam pementasan drama (Zuhdi, 1997).
Penggunaan Boneka sebagai media Simulasi Kreatif
Bagi anak-siswa, dapat bercerita di depan kelas adalah hal yang menyenangkan. Mungkin anak akan bercerita tentang pengalaman berkaitan dengan dunia kecilnya, binatang yang ada di lingkungan sekitarnya atau menceritakan kembali dongeng yang sudah dikenalnya. Mungkin juga anak akan bercerita dalam beberapa kalimat saja, tetapi berperan sebagai pencerita adalah pengalaman yang diinginkannya. Guru harus memberikan kesempatan ini kepada mereka. Salah satu bentuk simulasi kreatif yang dapat dilakukan siswa adalah permainan boneka. Pertunjukan sandiwara boneka memberikan kesempatan kepada anak untuk berbagai gagasan dan cerita lewat percakapan yang disertai dengan gerak boneka. Mereka dapat menggunakan boneka-boneka yang sudah tersedia baik berupa boneka tangan, boneka jari, ataupun boneka tiruan binatang/orang dan mencari cerita yang sesuai dengan boneka-boneka tersebut. Selain itu, dapat juga menyusun cerita sendiri dan membuat boneka-boneka yang sesuai dengan isi cerita yang telah dibuatnya

Puisi dan Prosa Fiksi sebagai Wahana Pembelajaran Membaca Estetis 
Membaca bersama-sama dalam kelompok dapat dilakukan dalam pembacaan puisi. Cara ini sangat menyenangkan dalam mengembangkan daya tarik pembelajaran puisi. Pembacaan puisi lebih efektif bila dilakukan secara nyaring dan secara bersama-sama. Guru dan siswa bersama-sama memutuskan kapan dan bagian mana larik dari puisi tersebut yang harus dibaca keras atau lembut. Guru dan siswa menandai bagian-bagian tertentu yang perlu dibaca keras atau lembut tersebut. Selain itu, guru dapat juga merekam pembacaanpuisi tersebut sehingga dapat diputar kembali di dalam kelas.
Zuhdi (1999) mengemukakan bahwa melalui kegiatan membaca puisi secara kor, anak –anak dapat mengekspresikan karya sastra berupa puisi. Mereka dapat merasakan keindahan puisi lewat ritme, rima, aliterasi, dan suasana batin yang diungkapkan. Puisi atau cerita yang dipilih haruslah yang menarik untuk anak dan yang mudah dipahami secara lisan dan serta mudah dihafalkan. Mereka perlu mendengarkan dan menghafalkan puisi yang akan dibacakan secara kor tersebut atau cerita yang akan dibacakannya ekmbali tersebut secara berulang-ulang sehingga dapat menafsirkan isinya. Mereka harus dapat menangkap isi perasaan batin yang diungkap dalam puisi atau cerita tersebut. Tujuan utama dari kegiatan membaca puisi dan cerita ini adalah untuk tujuan estetis sehingga kegiatan membaca yang dilakukan adalah membaca estetis. Oleh karena itu, guru harus membantu siswa untuk belajar menafsirkan karya sastra tersebut secara lisan untuk memperoleh kesenangan.
Untuk kegiatan di atas, Norton (1994) mengemukakan bentuk-bentuk pembacaan puisi secara lisan. Pertama bentuk refren, yaitu guru atau murid yang mampu melakukan pembacaan dengan baik akan menyajikan bagian utama dari puisi atau cerita tersebut. Selanjutnya, anak-anak lain mengikuti. Pembacaan didasarkan pada baris puisi, misalnya baris pertama oleh satu orang anak dan baris berikutnya oleh anak yang lain. Demikian seterusnya sampai puisi atau cerita tersebut terbaca seluruhnya. Bentuk lainnya , yaitu antifonal atau dialog. Pembacan setiap bagian puisi atau cerita dilakukan oleh orang atau kelompok yang berbeda sesuai yang telah ditetapkan guru. Untuk bentuk selanjutnya, yaitu kumulatif, guru dapat membagi kelompok 1 untuk membacakan bait pertama atau bagian awal cerita dan kelompok 2 bergabung pada bait kedua atau bagian tengah cerita tersebut. Hal ini dilakukan terus menerus sampai seluruh bait dan isi cerita terbaca. Pembacaan bentuk lainnya dapat dilakukan secara serentak bersama-sama oleh seluruh siswa satu kelas.
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa lisan, anak kelas awal dapat dirangsang untuk menceritakan kembali isi cerita yang disenangi. Sementara untuk kelas tinggi, dapat dilakukan melalui pengembangan cerita. Dalam hal ini, anak dituntut untuk mengemukakan pendapat mengenai kelanjutan cerita yang telah dibacanya. Untuk itu, guru perlu mengajukan pertanyaan kepadasiswa, misalnya “Apa yang dikerjakan tokoh A setelah bertemu tokoh B?” atau “Apa yang dilakukan tokoh A saat tokoh B datang?”. Cara lain untuk mendapatkan cerita dari anak adalah dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan kejadian atau kelanjutan cerita. Pertanyaanberikut “Bagaimana jika….?” dapat diberikan guru kepada siswa dan jawaban dari anak berkaitan dengan pertanyaan tersebut akan berupa penjelasaan atau pendapat. Jawaban dari anak akan dimasukkan sebagai cerita tambahan sebagai hasil dari olahan pemikiran dan imajinasi anak.

Membacakan Cerita
Guru diharapkan selalu mendorong anak untuk rajin membaca. Untuk itu, guru harus menyediakan bahan bacaan yang bervariasi. Untuk memotivasi anak dalam membaca cerita, guru terlebih dulu harus memberikan contoh pembacaan cerita secara baik. Dalam hal ini ada beberapa petunjuk yang bisa dipakai guru, yaitu pilihlah sebuah cerita yang menarik untuk diceritakan dan tetapkan gaya bercerita. Sutherland (1984) menyarankan tiga hal dalam menyiapkan cerita.

1. Kesatuan gerak
Mempersiapkan sebuah cerita agar mudah diingat adalah dengan memperhatikan kesatuan gerak tokoh dalam seri atau episode cerita tersebut.
2. Pemilihan kata-kata
Catatlah beberapa kata kunci yang penting dalam setiap episode cerita. Ingatlah bagaimana penggambaran diceritakan dengan kata-kata yang tepat sehingga dapat diceritakan kembali secara tepat.
 3. Mendengarkan penceritaan
Setelah memperhatikan kesatuan gerak dan kata-kata kunci, tuliskan secara singkat hasil mendengarkan sebuah penceritaan. Ringkasan ini dapat dibaca berulang-ulang di waktu senggang sebagai bentuk latihan.

Beberapa petunjuk lain bagi seorang pencerita sebelum bercerita adalah sebagai berikut.
1. Menjaga kontak mata dengan pendengar.
2. Mengatakan sesuatu yang menarik berkaitan dengan cerita yang dipilih untuk diceritakan.
3. Bahan bacaan cukup praktis sehingga cerita pilihan dapat dibaca dengan lancar.
4. Gunakan suara secara efektif dan menarik.
Untuk memotivasi dan menarik minat pendengar terhadap cerita yang dibacakan, guru dapat menambahkan gerakan tubuh yang meyakinkan sesuai dengan penceritaan. Sbagai tambahan, untuk meningkatkan daya penceritaan sebaiknya gunakan musik sehingga suasana menjadi lebih hidup.

Permainan Drama dan Teater sebagai Bentuk Simulasi
Setelah anak lancar membaca puisi dan cerita, mereka diharapkan lancar membaca naskah drama dan memainkan atau mementaskan drama di kelas. Latihan membaca naskah drama perlu dilakukan secara berulang-ulang sehingga anak dapat menghayati isi drama secara baik. Zuhdi (1999) mengemukakan bahwa dalam memilih naskah drama, guru harus memilih naskah drama yang memiliki perwatakan yang kuat dan menggunakan gaya penyajian yang lembut. Anak-anak harus dapat memahami karakter pelaku yang akan diperankannya sehingga dapat memerankannya secara baik. Dalam memerankan sebuah drama, setiap anak harus dapat membayangkan latar dan tindakan pelaku serta dapat menggunakan suara sesuai dengan pemahamannya terhadap perasaan dan pikiran pelaku tersebut. Melalui kegiatan ini, para siswa dapat menunjukkan kemampuannya menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa lisan secara ekspresif sebagai ungkapan perasaan dan pikiran.
Bermain drama atau bermain peran pada dasarnya mengajak anak-anak untuk memerankan orang lain dalam kehidupan. Melalui kegiatan bermain drama, anak akan dapat meningkatkan kemampuan bahasa verbalnya. Seltzer dalam Stewig (1989) memberi saran untuk berhati-hati dalam mengobservasi anak-anak yang sedang bermain drama. Sebaiknya yang dilihat dari tingkah laku anak adalah sebagai berikut.

No
Perilaku
Catatan
1
Perilaku anak ketika ada orang lain datang

2
Pendapat anak tentang orang lain

3
Cara menempatkan diri pada saat bermain

4
Gerakan dan suara saat bermain

5
Bagaimana ketika mementingkan suatu pembicaraan


c. Pantomim
Pantomim sebagai suatu bentuk permainan berpotensi untuk mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berpikir imajinatif-kreatif anak. (Norton, 1994). Dengan kemampuan bersosialisasi, siswa dapat bekerja sama, bertenggang rasa, dan berempati terhadap orang lain. Sedangkan dengan imajinasi-kreatif, para siswa dapat merefleksikan fenomena yang dihadapkan kepadanya secara khas, baru, terbedakan dengan yang lain, dan tak terduga (Suwignyo, 1996).

Tujuan Berpantomim
Pantomim dikategorikan sebagai salah satu jenis drama yang termasuk permainan (play) dengan cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud adalah (1) mengandalkan tingkah laku nonverbal untuk mengungkapkan makna atau maksud tertentu, (2) mendayagunakan secara optimal seluruh anggota tubuh; gesture, gerakan badan, mimic, tangan, kaki, dan sebagainya (3) dengan bahasa tubuh, gerakan tangan, dan ekspresi wajah, dan sebagainya dapat diungkapkan berbagai gejolak emosi, pikiran, dan kehendak, (4) berbagai pikiran dan gejolak emosi tersebut dinyatakan dalam gerakan-gerakan yang sangat detil (Farris,1993).
Norton (1994) secara khusus merinci tujuan berpantomim sebagai berikut.
1. Mengembangkan kerja sama dan interaksi kelompok.
2. mengembangkan imajinasi-kreatif dan rasa empati.
3. Mengembangkan kesesuaian gerakan dengan presentasi musical.
4. Menginterpretasikan berbagai tingkah laku dan emosi yang menyertainya.

Bahan-Bahan
Bahan-bahan yang dimaksud di sini adalah sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan berpantomim. Bahan-bahan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Aktivitas sehari-hari yang melibatkan banyak lakuan, misalnya permainan olah raga, kegiatan makan, belajar, dan sebagainya.
2. Peristiwa kesenian, misalnya pergelaran musik (orkestra), menyanyi.
3. Kegiatan kerja bakti bersama keluarga di rumah atau lingkungan sekitar.
4. Deskripsi yang diperdengarkan kepada siswa.
5. Rekaman bunyi alat musik tertentu yang mensugestikan gerakan tertentu, misalnya piano, gitar, terompet, dan lain-lain.
6. Bacaan cerita rakyat yang kayaakan lakuan imajinatif, misalnya cerita deamatik.
7. Benda-benda mati yang ada di lingkunga sekitar.

Prosedur Pelaksanan
Norton (1994) mengemukakan empat prosedur pelaksanaan kegiatan pantomime, yaitu pertama, melalui pengamatan langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekitar kita; kegiatan olah raga, pergelaran musik atau menghadirkan sekelompok pemusik ke dalam kelas, mengamati aktivitas sebuah keluarga, atau mengamati benda-benda mati dan mendiskusikan ciri-cirinya dan setelah pengamatan siswa mempantomimkannya.
Kedua, yaitu melalui kegiatan interpretative lewat kegiatan membacakan dongeng, cerita rakyat yang sifatnya dramatic, mendiskusikannya dari segi identifikasi pelaku, cirri perwatakan, konflik batin, dan kemungkinan-kemungkinan peragaannya. Selanjutnya dibagi kelompok dan menampilkan interpretasi isi cerita tersebut dalam bentuk pantomime.
Ketiga, menggunakan kartu-kartu permainan.Kegiatan berpantomim dapat dibangkitkan melalui penggunaan kartu-kartu yang berisi informasi. Bernuansa kesedihan, kebahagiaan, kengerian, dan sebagainya untuk kemudian dipilih siswa dan dipantomimkan. Sebagai contoh, sebuah kartu berisi ketakutan (kartu takut) dengan paparan sebagai berikut. Kamu sedang mengendarai sepeda barumu di jalan komplek rumahmu. Tiba-tiba dari arah depan melintas dengan cepat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Kamu gugup dan takut sekali. Ungkapkan perasaanmu melalui gerak-gerik (pantomime) yang didukung ekspresi wajah yang tepat!
Keempat, melalui penyediaan musik. Siswa dibawa ke sebuah ruangan musik atau di ruang kelas kepada mereka diperdengarkan suara berbagai alat musik sambil mata mereka ditutup. Dengan memfokuskan pada alat musik tertentu, siswa membayangkan irama dan gerakan-gerakan yang menyertainya. Misalnya lengkingan terompet akan mensugestikan irama dan gerakan yang berbeda dengan piano. Setelah siswa mendiskusikan berbagai bunyi alat musik tersebut, secara berkelompok mereka menyiapkan kegiatan pantomime yang didasarkan pada salah satu alat musik tadi.
2. Simulasi Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa secara Terpadu
Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan secara terpadu, baik terpadu intrabidang studi maupun antarbidang studi. Pembelajaran di sekolah dasar terutama di kelas awal atau kelas rendah yang dilaksanakan secara terpadu ini menuntut guru untuk kreatif dan inovatif. Dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, guru dapat memanfaatkan simulasi kreatif sebagaimana telah dicontohkan pada bahasanpembelajaran bahasa. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, pembelajaran bahasa dapat dilaksanakan secara terpadu lintas bidang studi. Pembelajaran dengan scenario seperti ini dapat juga memanfaatkan simulasi kreatif (permainan). Melalui pemanfaatan semulasi kreatif ini guru dapat mengembangkan beragam kompetensi yang sudah ditetapkan dalam beberapa mata pelajaran.
Sebagai contoh berikut terdapat sebuah hasil simulasi kreatif karya mahasiswa dengan judu Dunia Bahasa. Dengan menggunakan permainan ini, guru dapat mengemangkan kompetensi yang ditetapkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial. Pembelajaran diawali dengan pembagian kelompok. Setiap kelompok akan memutar bola dunia sambil
memperhatikan tanda panah pada bola dunia menunjuk pada nama dan nomor pulau. Setelah pulau yang dipilih diketahui, selanjutnya kelompok beralih ke papan peta kepulauan Indonesia untuk mengambil dan menjawab daftar pertanyaan pada pulau dan bagian yang 7
ditunjuk oleh tanda panah dalam bola dunia tadi. Selanjutnya, kelompok menyusun jawaban-jawaban tersebut pada papan kalimat sesuai dengan urutan pertanyaannya. Dengan demikian, terlihat bentuk keterpaduan yang digambarkan dari bahan simulasi kreatif permainan Dunia Bahasa tersebut.
Bentuk keterpaduan lainnnya dapat dilihat dari hasil simulasi kreatif Kelereng Kalimat dan Ular Tangga Bahasa berikut. Berdasarkan prosedur permainan yang harus dilakukan siswa, tampak bahwa kedua bentuk simulasi kreatif ini mengintegrasikan dua mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia dan Matematika. 
 Demikian juga dengan simulasi kreatif Rahasia di Balik Kayu dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan Matematika. Prosedur permainannya, yaitu pertama seorang anggota kelompok memutar rumah balok angka dan anggota lainnya mencari kertas kalimat yang sesuai dengan angka dan warna yang diperoleh dari rumah balok angka. Selanjutnya, kelompok mencari suku kata-suku kata di kotak suku kata. Warna suku kata tersebut juga harus sama dengan warna angka yang diperoleh dari rumah balok angka tadi Terakhir, kelompok menyusun suku kata tersebut menjadi kalimat seperti yang tercantum dalam kertas kalimat yang sudah diperoleh kelompok di awal permainan tadi.
Demikian, bentuk simulasi kreatif dalam pembelajaran bahasa secara terpadu berikut gambaran singkat posedur pelaksanaan permainan tersebut. Seluruh bentuk simulasi yang sudah Anda lihat tidak dibuat tanpa tujuan, melainkan untuk membantu perkembangan anai baik perkembangan kognisi, emosi, sosial, dan fisik anak sesuai dengan jenis permainannya. Selanjutnya, sudahkah Anda mendapat ide untuk membuat bentuk simulasi kreatif ini? Berdiskusilah dengan teman untuk memperoleh gambaran ide tersebut. Selamat mencoba!

Berikut akan diberikan satu contoh hasil simulasi kreatif dilengkapi dengan tujuan, sasaran, dan prosedur penggunaan hasil simulasi kreatif tersebut dalam pembelajaran.
ATURAN PERMAINAN
1. Tentukan siapa yang akan berperan menjadi eksekutor (yang menggantuctg) dan yang akan di eksekusi (yang digantung)
2. Eksekutor mengocok terlebih dahulu kartu kosakata
3. Yang akan dieksekusi mengambil 1 (satu) kartu kosakata yang harus ditebak olehnya. Kartu itu diberikan kepada eksekutor.
4. Eksekutor menyebutkan jumlah huruf dan ciri dari kata yang harus ditebak. 5. Huruf yang sesuai dengan kata yang dimaksud ditempatkan pada papan eksekusi oleh eksekusor.
6. Huruf yang tidak sesuai dengan kata yang dimaksud, membuat eksekusor memasang perlengkapan pengeksekusian.

Catatan:
- Huruf yang sesuai dengan kata yang ditebak akan memperlambat pengeksekusian, sedangkan huruf yang tidak sesuai dengan kata yang ditebak akan mempercepat pengeksekusian.
- Peserta yang akan dieksekusi diberi kesempatan 10 kali menebak sebelum perlengkapan pengeksekusian terpasang.
- Pemain dapat bertukar peran setelah 1 (satu) putaran eksekusi selesai.

PENILAIAN PERMAINAN
- Peserta yang dapat menebak huruf da kata yang dimaksud sebelum perlengkapan pengeksekusian terpasang, mendapat nilai 10 (sepuluh)
- Peserta yang tidak dapat menebak huruf dari kata yang dimaksud karena perlengkapan pengeksekusian sudah terpasang, mendapat nilai 0 (noI)
- Peserta dengan jumlah nilai terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.

 
DAFTAR PUSTAKA

Ellis, M.J. (1973). Why People Play. Engglewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Farris, Pamela J. (1993). Language Art a Process Approach. WBC.Brown and Benchmark Publisher.
Fein, G.G. (1979). Play and The Acquisition of Symbols. Norwood, NJ:Ablex.
Gilmore, J.B. (1971). Play: A Special Behaviour. New York: Wiley.
Mason, Bernard S., Elmer Micchel. (1948). The Theory of Play. Cranburry, NJ: A.S. Barnes.
Murphy, L. (1962). The Widening World of Chilehood. New York: Basic Book.
Neuwmann, E.A. (1971). The Elements of Play. New York: MSS Modular Publications.
Norton, Donna E., Norton S. (1994). Language Arts Activities for Children. New York: MacMillan College Publishing Companny.
Resmini, Novi. (1996). Simulasi Kreatif: Hakikat, Konsep, dan Teori. IKIP Malang: makalah.
Roe, B.D., Ross,E.P., and Burns, P.C. (1984). Student Teaching and Field Experience. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.
Smilansky, S. (1968). The Effects of Sociodramatic Play on Disadvantaged Proschool Children. New York: Wiley.
Spodek, B.dan Olivia N.Saracho.(1994). Right from The Start: Teaching Children Ages Three to Eight. Toronto: Allyn and Bacon.
Stewig, John W., (1980). Children and Literature. Chicago: Rand Mcnally College Publishing Company.
Suwignyo, H. (1996). Pentomim sebagai Medium Sosialisasi dan Pengembangan Imajinasi Kreatif Anak. IKIP Malang, makalah.
Sutherland, Z. dan May Hill Artbuyhnot. (1991). Children and Books. Harper Collins Publisher, Inc.
Zuhdi, D. dan Ahmad Rofi’uddin. (1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta:Depdikbud.


MATERI SIMULASI KREATIF



SIMULASI KREATIF
A. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN DALAM KEGIATAN SIMULASI KREATIF (PERMAINAN)
Perilaku anak akan berubah seiring dengan perkembangan anak itu sendiri, termasuk perilaku bermainnya. Pada dasarnya anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi, dan menari. Semua kegiatan tersebut dilakukan anak seiring pertumbuhannya yang mengubah posisi tubuh seiring ruang dan waktu yang dilewatinya. Bermain meningkatkan kemampuan gerak anak sehingga pertumbuhan dan perkembangan tubuh, alat artikulasi, ekspresi, perasaan dan pikiran, penampilan kehidupan sehari-hari, dan sebagainya akan lebih berkembang. Melalui bermain anak akan dapat mengenal lingkungannya, berinteraksi, dan mengembangkan daya fantasinya. Parten (1932) mengidentifikasikan rangkaian tingkatan dalam permainan sosial anak. Pada usia tiga tahuan anak cenderung melakukan kegiatan soliter atau sebagai pemerhati. Menjelang usia empat tahun anak melakukan kegiatan permainan paralel dan menjelang usia lima tahun mereka melakukan kegiatan permainan kelompok (kooperatif). Parten menyimpulkan permainan soliter dan parallel menandakan ketidakmatangan anak, lain halnya dengan yang kooperatif (dalam Spodek, 1994).
Piaget (1962) mengidentifikasi tiga tingkat permainan anak, yaitu (1) permainan praktis meliputi permainan manipulatif, (2) permainan simbolik melalui permainan dramatic, dan (3) permainan dengan aturan-aturan yang berkaitan secara paralel dengan tingkat kecenderungan yang diamati.
Smilansky (1968) menguraikan tingkat permainan Piaget menjadi tiga tingkat, yaitu (1) permainan dramatik, (2) konstruktif, dan (3) permainan fungsional. Sementara itu, Rubin, Maioni, dan Hornung (1976) meneliti intervensi pada perilaku bermain anak untuk mempelajari aspek sosial dan aspek intelektual anak. Dalam hal ini, guru dapat melakukan intervensi dengan memodifikasi seting, mengubah materi, memberi pertanyaan kepada anak yang sedang bermain, atau mendorong berlangsungnya permainan. Dengan mengamati kegiatan bermain anak, guru dapat menentukan pengaruh yang akan diterapkan pada permainan anak tersebut. Intervensi ini harus dilakukan dengan hati-hati (secara sensitive) misalnya dengan mengijinkan anak untuk mengontrol permainannya sehingga dapat berlangsung secara wajar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa intervensi merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk mempengaruhi situasi permainan sesuai dengan kebituhan anak serta keterlibatan anak dalam permainan tersebut. Intervensi yang dimaksud di sini dirangkai dalam suatu kesatuan kegiatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Horn (1991) mengemukakan strategi intervensi yang dapat dilakukan guru antara lain sebagai berikut.
1. Melatih bermain;
2. Membentuk pengalaman umum;
3. Menetapkan objek dan alat (bahan) dalam permainan yang direncanakan;
4. Mengatur waktu; dan
5. Menetapkan tempat khusus yang dirancang untuk bermain.
B.     JENIS PERMAINAN
Permainan beragam jenisnya bergantung pada jenis kegiatan yang bermain yang dilakukan serta bentk instruksi yang diberikan pada saat permainan berlangsung. Berdasarkan kegiatannya, peramainan dibagi menjadi dua, yaitu permainan aktif dan permainan pasif. Sedangkan berdasarkan ada tidaknya instruksi yang diberikan guru, permainan dibagi menjadi permainan bebas, permainan terikat, dan permainan terarah. Berkaitan dengan jenis permainan ini dikenal bentuk permainan eksploratori, permainan energetik, permainan konstruktif, permainan sosial, permainan kreatif-imajinatif, dan permainan puzzle. Setiap jenis permainan memanfaatkan alat atau bahan permainan. Ada bentuk permainan memanfaatkan alat yang diambil dari lingkungan sekitar anak, dari alam, dan permainan edukatif.
Sebagai contoh, untuk dapat mengajarkan kemampuan menyimak dan berbicara, guru dapat memanfaatkan kaleng bekas susu cair untuk membuat telepon mainan setelah sebelumnya dilengkapi benang kasur dengan ukurang panjang tertentu. Guru juga dapat menggunakan arena panggung boneka di dalam kelas untuk meningkatkan kemampuan menyimak dan berbicara serta aresiasi sastra. Permainan melalui simulasi gambar, storytelling, dan pantomim juga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan kemampuanberbahasa anak. Penyiapan puisi dan prosa fiksi berikut kreasi pembacaannya serta permainan drama teater sebagai bentuk simulasi kreatif dapat dilakukan guru dan siswa di dalam kelas sebagai sarana permainan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, kemampuan sosialisasi, dan kemampuan berpikir imajinatif siswa.

C.     SIMULASI KREATIF (PERMAINAN) SEBAGAI WAHANA PEMBELAJARAN
Simulasi kreatif (permainan) sebagai wahana pembelajaran terutama pada anak-anak kelas awal perlu mendapat perhatian para guru. Hal ini sejalan dengan aktivitas yang dilakukan anak-anak pada setiap harinya yang banyak menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Di sekolah, pada jam-jam sekolah anak-anak sering melakukan aktivitas bermain, misalnya pada waktu jam istirahat atau ketika guru belum memasuki kelas.
Dengan latar belakang anak senang melakukan kegiatan bermain, permainan fisik maupun nonfisik, kegiatan simulasi kreatif berupa permainan yang bersifat mendidik dengan arahan guru dapat dengan mudah dilaksanakan. Arahan guru ini dimaksudkan agar permainan dalam konteks pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Beragam bentuk permainan ini dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah dasar secara terpadu. Dalam hal ini, satu bentuk permainan mungkin saja dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan kompetensi yang ada dalam beberapa mata pelajaran secara sekaligus.
Dalam kegiatan belajar 2 ini akan dipaparkan tentang permainan sebagai wahana pembelajaran terutama sebagai wahana dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Permainan yang dipilih dan dilakukan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa; mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis serta pengalaman bersastra. Secara lebih luas, permainan ini juga dapat mengembangkan kognisi (daya berpikir), emosi, sosial, fisikal, dan kepribadian anak. Juga akan dibahas cara-cara atau upaya guru melalui permainan untuk menumbuhkan kemampuan bertanya siswa melalui kegiatan menanggapi cerita atau puisi yang disimak atau diceritakan, kemampuan mendeskripsikan secara lisan dan melalui gerak (pantomime), dan bermain boneka, dan bermain peran.

1.      Simulasi Kreatif Sebagai Wahana Pembelajaran Bahasa

Dalam konteks pembelajaran bahasa, simulasi kreatif dapat digunakan sebagai wahana atau media pembelaharan untuk membentuk pemahaman dan penghayatan konsep serta nilai maupun perkembangan keterampilan. Play ini dapat dilakukan melalui kegiatan permainan boneka, simulasi gambar atau media lainnya, atau melalui kegiatan bermain peran. Melalui play guru dapat mengamati berbagai macam bentuk pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Simulasi kreatif khususnya dalam pembelajaran bahasa sangat bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, membaca, maupun menulis yang dihubungkan dengan pengembangan emosi, hubungan sosial, daya imajinasi dan kognisi, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan daya fisikal siswa.
Simulasi kreatif memiliki banyak media yang dapatn digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Misalnya, dramatic play dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, keterampilan emotif dan kognitif, dan keterampilan sosial siswa. Pengalaman siswa pergi ke dokter, supermarket atau pusat perbelajaran dapat digunakan sebagai situasi sosial yang bisa dimainkan siswa secara dramatic melalui permainan dokter-dokteran atau penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi jual beli di supermarket. Kreativitas siswa juga dapat dikembangkan melalui pemberian masalah sehingga mereka dapat memecahkannya melalui kegiatan bermain peran. Selain itu, agar daya fisikal, kognitif, dan kreativitas imajinatif siswa terkembangkan, guru bisa membawa bermacam alat atau benda yang bias digunakan siswa.
Hal yang perlu diperhatikan guru dalam perancangan simulasi dan penyediaan media adalah hindari mengajari siswa yang didasarkan pada stereotif jenis kelamin. Pada umumnya guru memisahkan atau membedakan jenis permainan dan alat bermain yang diberikan kepada siswa laki-laki dan perempuan. Mereka menyimpulkan bahwa anak laki-laki selalu bermain yang kasar-kasar dan lebih aktif, sebaliknya siswa perempuan cenderung melakukan permainan konstruktif dan melakukan permainan di atas meja. Anak perempuan cenderung memiliki teman emajiner yang lebih banyak. Dengan demikian, guru tidak perlu memberikan bet dan bola pada anak laki-laki sementara anak perempuan diberi boneka. Biarkan mereka memilih sendiri alat bermainnya dan biarkan mereka menunjukkan permainan sesuai dengan minatnya.
Intervensi guru sebaiknya dilakukan khususnya dalam menciptakan permainan yang memungkinkan terciptanya alternative permainan yang khas dan bias membatasi atau memperkecil pemisahan permainan jenis kelamin. Dengan demikian, guru dapat menghindari mengajari anak untuk memiliki perilaku berdasarkan stereotif jenis kelamin dalam konteks sekolah.
Permainan dalam konteks sekolah atau pembelajaran dapat ditentukan berdasarkan tujuan. Tujuan ditetapkan oleh pihak yang bertanggung jawab atas permainan anak tersebut. Permainan pendidikan memiliki tujuan utama, yaitu pembelajaran anak-anak. Permainan harus menyenangkan anak sehingga walaupun permainan ini memiliki tujuan pendidikan, tetapi tetap bisa dinikmati anak dan mereka tetap bisa mengembangkan keterampilan sosialnya serta mampu memilih dan menggunakan alat permainan yang disukainya secara inovatif.
2.      Simulasi Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Permainan yang ditujukan untuk anak usia sekolah sadar dipilih dalam bentuk permainan yang benar-benar diperlukan terutama dalam pembelajaran bahasa. Permainan harus dapat dipahami dan harus sesuai dengan tujuan kompetensi yang tercantum dalam kurikulum. Permainan harus dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kemampuan bermain anak-anak sebelum sekolah dengan kemampuan membaca. Misalnya bermain drama merupakan aktivitas atau kegiatan simbolis dari membaca dan menulis. Anak menggunakan objek-objek atau orang untuk menampilkan sesuatu yang lain dan mereka menggunakan bunyi-bunuyi dan simbol-simbol tulisan untuk menampilkan kata-kata yang mewakili ide atau gagasan dalam drama yang diperankannya. Anak-anak juga lancar bercerita sebagaimana mereka lancer bermain dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, guru dapat meningkatkan pembelajaran bahasa melalui aktivitas bermain drama. Menggunakan telepon dalam seting bermain drama akan mendorong anak untuk menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. Untuk pelaksanaan kegiatan ini guru harus mengatur aktivitas permainan dalam konteks pembelajaran.

3.      Permainan untuk Mengembangkan Kemampuan Berbahasa

a. Kemampuan Mendeskripsikan
Bermacam aktivitas permainan dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak. Guru dapat mendorong anak untuk berlatih menjelaskan secara rinci baik tertulis maupun lisan terhadap sesuatu; objek, orang, gambar, suara, lingkungan, dan sebagainya yang dijadikan sebagai stimulus.

Mendeskripsikan Objek Benda atau Orang
Siswa diminta berlatih mendeskripsikan suatu objek benda yang ada di sekitar atau objek orang (siswa lain di kelasnya) dan siswa lain diminta menebaknya. Untuk memudahkan temannya menebak objek benda atau orang yang dimaksudkan, siswa diminta memberikan deskripsi berkaitan engan objek benda atau orang tersebut. Misalnya, mendeskripsikan sepatu, warna kulit, jenis rambut, pakaian khas yang dikenakan, topi khas yang digunakan, atau tempat bekerja yang berkaitan dengan yang dideskripsikan.
Mendeskripsikan dan Mendiskusikan Gambar
Guru dapat menggunakan gambar atau rangkaian gambar berseri untuk bahan diskusi dan permainan. Ada tiga tahap untuk kegiatan permainan mendeskripsikan gambar. Pertama, mendeskripsikan gambar secara sederhana; kedua, membandingkan dua buag gambar (ilustrasi); dan ketiga memberikan penilaian terhadap dua gembar atau lebih.

Gambar di atas merupakan gambar dua dimensi hasil karya mahasiswa program D-2 PGSD BS yang dimanfaatkan dalam simulasi kreatif berjudul alam bahasa.
Dalam setiap objek bisa dibuka dan di beliknya terdapat pertanyaan yang harus dijawab siswa yang mengikuti permainan. Jika peserta lainnya tidak bis menjawab, maka ia harus memperagakan dan menirukan suara binatang yang terdapat dalam gambar. Tujuan permainan ini ialah mengajak siswa untuk mengenal alam dan makhluk hidup yang ada di sekitar dan mengetahui bagaimana mereka hidup.
Dengan demikian, gambar di atas juga dapat digunakan sebagai media dalam diskusi yang bertujuan untuk mengarahkan anak agar (1) berpartisipasi dalam diskusi, (2) mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, dan (3) mengembangkan keterampilan deskripsi secara lisan. Gambar-gambar yang digunakan sebagai media hendaknya dipilih yang sarat dengan makna dan jelas sehingga memungkinkan timbul berbagai topic cerita atau pembicaraan yang disampaikan anak. Gambar dapat merangsamg anak untuk melakukan diskusi kelompok besar, kelompk kecil, kegiatan individual, atau untuk cerita-cerita lisan. Sebagai contoh, diberikan gambar seekor induk beruang bersama dua anaknya di pinggir hutan. Gambar tersebut dapat merangsang cerita lisan berikut.
“Ayah dan aku berada di hutan sepanjang hari untuk berburu. Ayah ingin karpet beruang untuk karpet kamarnya. Ketika kami tiba di lapangan rumput, kami melihat beruang besar sekali di tengah lapangan. Ketika ayah mulai mengangkat senapannya, kulihat sesuatu bergerak. Aku berteriak, “ Jangan tembak…!”.
Kegiatan berikutnya minta siswa memperhatikan kembali gambar beruang tadi dan tanyakan mengapa anak kecil itu berteriak demikian? Suruh siswa mengakhiri cerita tadi sesuai dengan imajinasinya secara lisan.
Kegiatan lain guru dapat meminta siswa berbagai kelompok dan tugaskan kelompok satu memilih gambar-gambar sport dan kelompok lainnya menjadi reporter TV yang mewawancara pemain sport tersebut. Dari gambar sport guru dapat beralih ke gambar-gambar jenis alat-alat musik. Tugaskan satu kelompok memilih satu gambar alat musik tersebut dan berperan sebagai sales yang bertugas meyakinkan kelas bahwa alat musik tersebut adalah instrument musik terbaik dan bernilai untuk dibeli.
Dengan demikian, gambar dapat digunakan sebagai media simulasi kreatif (permainan) dan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak.
Namun, dalam hal ini yang dipentingkan bukan kebenaran menceritakan gambar melainkan kemampuan bercerita dengan daya imajinasi/persepsi tentang gambar.

Mendeskripsikan Suara
Permainan yang diarahkan untuk mengembangkan kemampuan mendeskripsikan suara dapat dilakukan dengan media suara binatang, suara manusia, suara letusan gunung, petir, ombak, suara dari benturan benda, dan lain-lain. Siswa dapat diminta untuk mendeskripsikan salah satu suara dan siswa lainnya diminta menebaknya.

Mendeskripsikan Lingkungan
Dalam suatu pembelajaran guru dapat meminta siswa untuk mendeskripsikan salah satu bagian dari lingkungannya. Misalnya, keadaan lingkungan saat musim kemarau atau musim hujan, sawah, kebun bunga, sungai, lingkungan rumah atau sekolah, dan lingkungan lainnya yang dekat dengan dunia anak. Guru dapat meminta siswa untuk menceritakan lingkungan tersebut dan meminta siswa lain mengungkapkan respons terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang dideskripsikan temannya. 

Kunjungan Lapangan
Kunjungan lapangan dalam rangka pembelajaran bahasa masih perlu sering dilakukan agar suasana belajar semakin menyenangkan. Sebelum guru mengajak siswa melakukan kunjungan, siswa dilatih menyusun pertanyaan untuk kegiatan wawancara di lapangan. Dari jawaban yang diperoleh, siswa dapat membuat deskripsi tentang lingkungan/lokasi yang dikunjungi. Siswa akan mendeskripsikan apa yang mereka lihat, rasakan, senangi, dan yang mereka dengar atau sentuh. Untuk siswa kelas rendah dapat dilakukan pendeskripsian secara lisan sedangkan untuk kelas tinggi dapat dilakukan secara tertulis. Sebagai kegiatan awal dari kegiatan kunjungan yang sebenarnya, guru dapat melakukan simulasi kreatif menggunakan maket lingkungan yang akan dikunjungi. Menggunakan maket tersebut siswadiajak untuk berjalan mengikuti arah jalan, berhenti di setiap tempat, sampai pada akhirnya tiba di lokasi tujuan.  

b. Pengembangan Kreasi Anak dengan Keindahan Suaranya
Seiring maraknya film kartun atau animasi, anak-anak sekarang banyak menghabiskan waktunya secara pasif dengan menonton televisi atau mendengarkan musik di radio. Guru disarankan untuk membantu snak beraktivitas yang menyenangkan dan dapat mengungkapkan ekspresi suaranya sehingga tidak hanya diam. Ross dan Roe (1984) mengemukakan bahwa kadang-kadang siswa dapat menyajikan pertunjukkan untuk teman sekelas, guru, orang tua. Dan anggota masyarakat di sekitar sekolah. Mereka boleh memilih menyajikan sandiwara boneka, bercerita, membaca puisi secara rampak, atau berpartisipasi dalam pementasan drama (Zuhdi, 1997).
Penggunaan Boneka sebagai media Simulasi Kreatif
Bagi anak-siswa, dapat bercerita di depan kelas adalah hal yang menyenangkan. Mungkin anak akan bercerita tentang pengalaman berkaitan dengan dunia kecilnya, binatang yang ada di lingkungan sekitarnya atau menceritakan kembali dongeng yang sudah dikenalnya. Mungkin juga anak akan bercerita dalam beberapa kalimat saja, tetapi berperan sebagai pencerita adalah pengalaman yang diinginkannya. Guru harus memberikan kesempatan ini kepada mereka. Salah satu bentuk simulasi kreatif yang dapat dilakukan siswa adalah permainan boneka. Pertunjukan sandiwara boneka memberikan kesempatan kepada anak untuk berbagai gagasan dan cerita lewat percakapan yang disertai dengan gerak boneka. Mereka dapat menggunakan boneka-boneka yang sudah tersedia baik berupa boneka tangan, boneka jari, ataupun boneka tiruan binatang/orang dan mencari cerita yang sesuai dengan boneka-boneka tersebut. Selain itu, dapat juga menyusun cerita sendiri dan membuat boneka-boneka yang sesuai dengan isi cerita yang telah dibuatnya

Puisi dan Prosa Fiksi sebagai Wahana Pembelajaran Membaca Estetis 
Membaca bersama-sama dalam kelompok dapat dilakukan dalam pembacaan puisi. Cara ini sangat menyenangkan dalam mengembangkan daya tarik pembelajaran puisi. Pembacaan puisi lebih efektif bila dilakukan secara nyaring dan secara bersama-sama. Guru dan siswa bersama-sama memutuskan kapan dan bagian mana larik dari puisi tersebut yang harus dibaca keras atau lembut. Guru dan siswa menandai bagian-bagian tertentu yang perlu dibaca keras atau lembut tersebut. Selain itu, guru dapat juga merekam pembacaanpuisi tersebut sehingga dapat diputar kembali di dalam kelas.
Zuhdi (1999) mengemukakan bahwa melalui kegiatan membaca puisi secara kor, anak –anak dapat mengekspresikan karya sastra berupa puisi. Mereka dapat merasakan keindahan puisi lewat ritme, rima, aliterasi, dan suasana batin yang diungkapkan. Puisi atau cerita yang dipilih haruslah yang menarik untuk anak dan yang mudah dipahami secara lisan dan serta mudah dihafalkan. Mereka perlu mendengarkan dan menghafalkan puisi yang akan dibacakan secara kor tersebut atau cerita yang akan dibacakannya ekmbali tersebut secara berulang-ulang sehingga dapat menafsirkan isinya. Mereka harus dapat menangkap isi perasaan batin yang diungkap dalam puisi atau cerita tersebut. Tujuan utama dari kegiatan membaca puisi dan cerita ini adalah untuk tujuan estetis sehingga kegiatan membaca yang dilakukan adalah membaca estetis. Oleh karena itu, guru harus membantu siswa untuk belajar menafsirkan karya sastra tersebut secara lisan untuk memperoleh kesenangan.
Untuk kegiatan di atas, Norton (1994) mengemukakan bentuk-bentuk pembacaan puisi secara lisan. Pertama bentuk refren, yaitu guru atau murid yang mampu melakukan pembacaan dengan baik akan menyajikan bagian utama dari puisi atau cerita tersebut. Selanjutnya, anak-anak lain mengikuti. Pembacaan didasarkan pada baris puisi, misalnya baris pertama oleh satu orang anak dan baris berikutnya oleh anak yang lain. Demikian seterusnya sampai puisi atau cerita tersebut terbaca seluruhnya. Bentuk lainnya , yaitu antifonal atau dialog. Pembacan setiap bagian puisi atau cerita dilakukan oleh orang atau kelompok yang berbeda sesuai yang telah ditetapkan guru. Untuk bentuk selanjutnya, yaitu kumulatif, guru dapat membagi kelompok 1 untuk membacakan bait pertama atau bagian awal cerita dan kelompok 2 bergabung pada bait kedua atau bagian tengah cerita tersebut. Hal ini dilakukan terus menerus sampai seluruh bait dan isi cerita terbaca. Pembacaan bentuk lainnya dapat dilakukan secara serentak bersama-sama oleh seluruh siswa satu kelas.
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa lisan, anak kelas awal dapat dirangsang untuk menceritakan kembali isi cerita yang disenangi. Sementara untuk kelas tinggi, dapat dilakukan melalui pengembangan cerita. Dalam hal ini, anak dituntut untuk mengemukakan pendapat mengenai kelanjutan cerita yang telah dibacanya. Untuk itu, guru perlu mengajukan pertanyaan kepadasiswa, misalnya “Apa yang dikerjakan tokoh A setelah bertemu tokoh B?” atau “Apa yang dilakukan tokoh A saat tokoh B datang?”. Cara lain untuk mendapatkan cerita dari anak adalah dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan kejadian atau kelanjutan cerita. Pertanyaanberikut “Bagaimana jika….?” dapat diberikan guru kepada siswa dan jawaban dari anak berkaitan dengan pertanyaan tersebut akan berupa penjelasaan atau pendapat. Jawaban dari anak akan dimasukkan sebagai cerita tambahan sebagai hasil dari olahan pemikiran dan imajinasi anak.

Membacakan Cerita
Guru diharapkan selalu mendorong anak untuk rajin membaca. Untuk itu, guru harus menyediakan bahan bacaan yang bervariasi. Untuk memotivasi anak dalam membaca cerita, guru terlebih dulu harus memberikan contoh pembacaan cerita secara baik. Dalam hal ini ada beberapa petunjuk yang bisa dipakai guru, yaitu pilihlah sebuah cerita yang menarik untuk diceritakan dan tetapkan gaya bercerita. Sutherland (1984) menyarankan tiga hal dalam menyiapkan cerita.

1. Kesatuan gerak
Mempersiapkan sebuah cerita agar mudah diingat adalah dengan memperhatikan kesatuan gerak tokoh dalam seri atau episode cerita tersebut.
2. Pemilihan kata-kata
Catatlah beberapa kata kunci yang penting dalam setiap episode cerita. Ingatlah bagaimana penggambaran diceritakan dengan kata-kata yang tepat sehingga dapat diceritakan kembali secara tepat.
 3. Mendengarkan penceritaan
Setelah memperhatikan kesatuan gerak dan kata-kata kunci, tuliskan secara singkat hasil mendengarkan sebuah penceritaan. Ringkasan ini dapat dibaca berulang-ulang di waktu senggang sebagai bentuk latihan.

Beberapa petunjuk lain bagi seorang pencerita sebelum bercerita adalah sebagai berikut.
1. Menjaga kontak mata dengan pendengar.
2. Mengatakan sesuatu yang menarik berkaitan dengan cerita yang dipilih untuk diceritakan.
3. Bahan bacaan cukup praktis sehingga cerita pilihan dapat dibaca dengan lancar.
4. Gunakan suara secara efektif dan menarik.
Untuk memotivasi dan menarik minat pendengar terhadap cerita yang dibacakan, guru dapat menambahkan gerakan tubuh yang meyakinkan sesuai dengan penceritaan. Sbagai tambahan, untuk meningkatkan daya penceritaan sebaiknya gunakan musik sehingga suasana menjadi lebih hidup.

Permainan Drama dan Teater sebagai Bentuk Simulasi
Setelah anak lancar membaca puisi dan cerita, mereka diharapkan lancar membaca naskah drama dan memainkan atau mementaskan drama di kelas. Latihan membaca naskah drama perlu dilakukan secara berulang-ulang sehingga anak dapat menghayati isi drama secara baik. Zuhdi (1999) mengemukakan bahwa dalam memilih naskah drama, guru harus memilih naskah drama yang memiliki perwatakan yang kuat dan menggunakan gaya penyajian yang lembut. Anak-anak harus dapat memahami karakter pelaku yang akan diperankannya sehingga dapat memerankannya secara baik. Dalam memerankan sebuah drama, setiap anak harus dapat membayangkan latar dan tindakan pelaku serta dapat menggunakan suara sesuai dengan pemahamannya terhadap perasaan dan pikiran pelaku tersebut. Melalui kegiatan ini, para siswa dapat menunjukkan kemampuannya menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa lisan secara ekspresif sebagai ungkapan perasaan dan pikiran.
Bermain drama atau bermain peran pada dasarnya mengajak anak-anak untuk memerankan orang lain dalam kehidupan. Melalui kegiatan bermain drama, anak akan dapat meningkatkan kemampuan bahasa verbalnya. Seltzer dalam Stewig (1989) memberi saran untuk berhati-hati dalam mengobservasi anak-anak yang sedang bermain drama. Sebaiknya yang dilihat dari tingkah laku anak adalah sebagai berikut.

No
Perilaku
Catatan
1
Perilaku anak ketika ada orang lain datang

2
Pendapat anak tentang orang lain

3
Cara menempatkan diri pada saat bermain

4
Gerakan dan suara saat bermain

5
Bagaimana ketika mementingkan suatu pembicaraan


c. Pantomim
Pantomim sebagai suatu bentuk permainan berpotensi untuk mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berpikir imajinatif-kreatif anak. (Norton, 1994). Dengan kemampuan bersosialisasi, siswa dapat bekerja sama, bertenggang rasa, dan berempati terhadap orang lain. Sedangkan dengan imajinasi-kreatif, para siswa dapat merefleksikan fenomena yang dihadapkan kepadanya secara khas, baru, terbedakan dengan yang lain, dan tak terduga (Suwignyo, 1996).

Tujuan Berpantomim
Pantomim dikategorikan sebagai salah satu jenis drama yang termasuk permainan (play) dengan cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud adalah (1) mengandalkan tingkah laku nonverbal untuk mengungkapkan makna atau maksud tertentu, (2) mendayagunakan secara optimal seluruh anggota tubuh; gesture, gerakan badan, mimic, tangan, kaki, dan sebagainya (3) dengan bahasa tubuh, gerakan tangan, dan ekspresi wajah, dan sebagainya dapat diungkapkan berbagai gejolak emosi, pikiran, dan kehendak, (4) berbagai pikiran dan gejolak emosi tersebut dinyatakan dalam gerakan-gerakan yang sangat detil (Farris,1993).
Norton (1994) secara khusus merinci tujuan berpantomim sebagai berikut.
1. Mengembangkan kerja sama dan interaksi kelompok.
2. mengembangkan imajinasi-kreatif dan rasa empati.
3. Mengembangkan kesesuaian gerakan dengan presentasi musical.
4. Menginterpretasikan berbagai tingkah laku dan emosi yang menyertainya.

Bahan-Bahan
Bahan-bahan yang dimaksud di sini adalah sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan berpantomim. Bahan-bahan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Aktivitas sehari-hari yang melibatkan banyak lakuan, misalnya permainan olah raga, kegiatan makan, belajar, dan sebagainya.
2. Peristiwa kesenian, misalnya pergelaran musik (orkestra), menyanyi.
3. Kegiatan kerja bakti bersama keluarga di rumah atau lingkungan sekitar.
4. Deskripsi yang diperdengarkan kepada siswa.
5. Rekaman bunyi alat musik tertentu yang mensugestikan gerakan tertentu, misalnya piano, gitar, terompet, dan lain-lain.
6. Bacaan cerita rakyat yang kayaakan lakuan imajinatif, misalnya cerita deamatik.
7. Benda-benda mati yang ada di lingkunga sekitar.

Prosedur Pelaksanan
Norton (1994) mengemukakan empat prosedur pelaksanaan kegiatan pantomime, yaitu pertama, melalui pengamatan langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekitar kita; kegiatan olah raga, pergelaran musik atau menghadirkan sekelompok pemusik ke dalam kelas, mengamati aktivitas sebuah keluarga, atau mengamati benda-benda mati dan mendiskusikan ciri-cirinya dan setelah pengamatan siswa mempantomimkannya.
Kedua, yaitu melalui kegiatan interpretative lewat kegiatan membacakan dongeng, cerita rakyat yang sifatnya dramatic, mendiskusikannya dari segi identifikasi pelaku, cirri perwatakan, konflik batin, dan kemungkinan-kemungkinan peragaannya. Selanjutnya dibagi kelompok dan menampilkan interpretasi isi cerita tersebut dalam bentuk pantomime.
Ketiga, menggunakan kartu-kartu permainan.Kegiatan berpantomim dapat dibangkitkan melalui penggunaan kartu-kartu yang berisi informasi. Bernuansa kesedihan, kebahagiaan, kengerian, dan sebagainya untuk kemudian dipilih siswa dan dipantomimkan. Sebagai contoh, sebuah kartu berisi ketakutan (kartu takut) dengan paparan sebagai berikut. Kamu sedang mengendarai sepeda barumu di jalan komplek rumahmu. Tiba-tiba dari arah depan melintas dengan cepat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Kamu gugup dan takut sekali. Ungkapkan perasaanmu melalui gerak-gerik (pantomime) yang didukung ekspresi wajah yang tepat!
Keempat, melalui penyediaan musik. Siswa dibawa ke sebuah ruangan musik atau di ruang kelas kepada mereka diperdengarkan suara berbagai alat musik sambil mata mereka ditutup. Dengan memfokuskan pada alat musik tertentu, siswa membayangkan irama dan gerakan-gerakan yang menyertainya. Misalnya lengkingan terompet akan mensugestikan irama dan gerakan yang berbeda dengan piano. Setelah siswa mendiskusikan berbagai bunyi alat musik tersebut, secara berkelompok mereka menyiapkan kegiatan pantomime yang didasarkan pada salah satu alat musik tadi.
2. Simulasi Kreatif dalam Pembelajaran Bahasa secara Terpadu
Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan secara terpadu, baik terpadu intrabidang studi maupun antarbidang studi. Pembelajaran di sekolah dasar terutama di kelas awal atau kelas rendah yang dilaksanakan secara terpadu ini menuntut guru untuk kreatif dan inovatif. Dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, guru dapat memanfaatkan simulasi kreatif sebagaimana telah dicontohkan pada bahasanpembelajaran bahasa. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, pembelajaran bahasa dapat dilaksanakan secara terpadu lintas bidang studi. Pembelajaran dengan scenario seperti ini dapat juga memanfaatkan simulasi kreatif (permainan). Melalui pemanfaatan semulasi kreatif ini guru dapat mengembangkan beragam kompetensi yang sudah ditetapkan dalam beberapa mata pelajaran.
Sebagai contoh berikut terdapat sebuah hasil simulasi kreatif karya mahasiswa dengan judu Dunia Bahasa. Dengan menggunakan permainan ini, guru dapat mengemangkan kompetensi yang ditetapkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial. Pembelajaran diawali dengan pembagian kelompok. Setiap kelompok akan memutar bola dunia sambil
memperhatikan tanda panah pada bola dunia menunjuk pada nama dan nomor pulau. Setelah pulau yang dipilih diketahui, selanjutnya kelompok beralih ke papan peta kepulauan Indonesia untuk mengambil dan menjawab daftar pertanyaan pada pulau dan bagian yang 7
ditunjuk oleh tanda panah dalam bola dunia tadi. Selanjutnya, kelompok menyusun jawaban-jawaban tersebut pada papan kalimat sesuai dengan urutan pertanyaannya. Dengan demikian, terlihat bentuk keterpaduan yang digambarkan dari bahan simulasi kreatif permainan Dunia Bahasa tersebut.
Bentuk keterpaduan lainnnya dapat dilihat dari hasil simulasi kreatif Kelereng Kalimat dan Ular Tangga Bahasa berikut. Berdasarkan prosedur permainan yang harus dilakukan siswa, tampak bahwa kedua bentuk simulasi kreatif ini mengintegrasikan dua mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia dan Matematika. 
 Demikian juga dengan simulasi kreatif Rahasia di Balik Kayu dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan Matematika. Prosedur permainannya, yaitu pertama seorang anggota kelompok memutar rumah balok angka dan anggota lainnya mencari kertas kalimat yang sesuai dengan angka dan warna yang diperoleh dari rumah balok angka. Selanjutnya, kelompok mencari suku kata-suku kata di kotak suku kata. Warna suku kata tersebut juga harus sama dengan warna angka yang diperoleh dari rumah balok angka tadi Terakhir, kelompok menyusun suku kata tersebut menjadi kalimat seperti yang tercantum dalam kertas kalimat yang sudah diperoleh kelompok di awal permainan tadi.
Demikian, bentuk simulasi kreatif dalam pembelajaran bahasa secara terpadu berikut gambaran singkat posedur pelaksanaan permainan tersebut. Seluruh bentuk simulasi yang sudah Anda lihat tidak dibuat tanpa tujuan, melainkan untuk membantu perkembangan anai baik perkembangan kognisi, emosi, sosial, dan fisik anak sesuai dengan jenis permainannya. Selanjutnya, sudahkah Anda mendapat ide untuk membuat bentuk simulasi kreatif ini? Berdiskusilah dengan teman untuk memperoleh gambaran ide tersebut. Selamat mencoba!

Berikut akan diberikan satu contoh hasil simulasi kreatif dilengkapi dengan tujuan, sasaran, dan prosedur penggunaan hasil simulasi kreatif tersebut dalam pembelajaran.
ATURAN PERMAINAN
1. Tentukan siapa yang akan berperan menjadi eksekutor (yang menggantuctg) dan yang akan di eksekusi (yang digantung)
2. Eksekutor mengocok terlebih dahulu kartu kosakata
3. Yang akan dieksekusi mengambil 1 (satu) kartu kosakata yang harus ditebak olehnya. Kartu itu diberikan kepada eksekutor.
4. Eksekutor menyebutkan jumlah huruf dan ciri dari kata yang harus ditebak. 5. Huruf yang sesuai dengan kata yang dimaksud ditempatkan pada papan eksekusi oleh eksekusor.
6. Huruf yang tidak sesuai dengan kata yang dimaksud, membuat eksekusor memasang perlengkapan pengeksekusian.

Catatan:
- Huruf yang sesuai dengan kata yang ditebak akan memperlambat pengeksekusian, sedangkan huruf yang tidak sesuai dengan kata yang ditebak akan mempercepat pengeksekusian.
- Peserta yang akan dieksekusi diberi kesempatan 10 kali menebak sebelum perlengkapan pengeksekusian terpasang.
- Pemain dapat bertukar peran setelah 1 (satu) putaran eksekusi selesai.

PENILAIAN PERMAINAN
- Peserta yang dapat menebak huruf da kata yang dimaksud sebelum perlengkapan pengeksekusian terpasang, mendapat nilai 10 (sepuluh)
- Peserta yang tidak dapat menebak huruf dari kata yang dimaksud karena perlengkapan pengeksekusian sudah terpasang, mendapat nilai 0 (noI)
- Peserta dengan jumlah nilai terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.

 
DAFTAR PUSTAKA

Ellis, M.J. (1973). Why People Play. Engglewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Farris, Pamela J. (1993). Language Art a Process Approach. WBC.Brown and Benchmark Publisher.
Fein, G.G. (1979). Play and The Acquisition of Symbols. Norwood, NJ:Ablex.
Gilmore, J.B. (1971). Play: A Special Behaviour. New York: Wiley.
Mason, Bernard S., Elmer Micchel. (1948). The Theory of Play. Cranburry, NJ: A.S. Barnes.
Murphy, L. (1962). The Widening World of Chilehood. New York: Basic Book.
Neuwmann, E.A. (1971). The Elements of Play. New York: MSS Modular Publications.
Norton, Donna E., Norton S. (1994). Language Arts Activities for Children. New York: MacMillan College Publishing Companny.
Resmini, Novi. (1996). Simulasi Kreatif: Hakikat, Konsep, dan Teori. IKIP Malang: makalah.
Roe, B.D., Ross,E.P., and Burns, P.C. (1984). Student Teaching and Field Experience. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Co.
Smilansky, S. (1968). The Effects of Sociodramatic Play on Disadvantaged Proschool Children. New York: Wiley.
Spodek, B.dan Olivia N.Saracho.(1994). Right from The Start: Teaching Children Ages Three to Eight. Toronto: Allyn and Bacon.
Stewig, John W., (1980). Children and Literature. Chicago: Rand Mcnally College Publishing Company.
Suwignyo, H. (1996). Pentomim sebagai Medium Sosialisasi dan Pengembangan Imajinasi Kreatif Anak. IKIP Malang, makalah.
Sutherland, Z. dan May Hill Artbuyhnot. (1991). Children and Books. Harper Collins Publisher, Inc.
Zuhdi, D. dan Ahmad Rofi’uddin. (1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta:Depdikbud.


SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...