Tuesday, October 17, 2023

PEREKAMAN DAN PENCIPTAAN DUNIA DIGITAL SASTRA DEARAH INDONESIA SEBAGAI UPAYA PEMODERNAN DAN PEMERTAHANAN

Cole (2003) dalam bukunya menjelaskan bahwa hakikat dasar manusia adalah tidak mengenal kepuasan dan selalu mencari sesuatu yang baru atau terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Dalam kondisi ini, hal-hal yang dianggap tidak bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman lambat laun akan ditinggalkan, lalu kemudian hilang atau punah. Demikian itu terjadi pada unsur kebudayaan sebagai produk manusia. Lalu, berdasarkan keadaan tersebut, Distin (2011) menjelaskan bahwa yang dapat membuat suatu kebudayaan bertahan atau sekadar memperlambat kepunahannya adalah indeks fungsional dan kemampuannya untuk bermanufer (beradaftasi dan memperbaiki mutu sesuai tuntutan zamannya). Konsep tabiat manusia terhadap kebudayaan di atas sejatinya benar-benar nyata sebagaimana tergambar dari fenomena eksistensi sastra daerah di Indonesia. Banyak karya sastra daerah yang tidak lagi dapat dijumpai keberadaannya, khususnya karya sastra lisan. Sebab, pewarisannya terjadi begitu saja, dituturkan dari masa ke masa, dan yang paling fatal generasi pewaris sastra daerah dari dari masa ke masa pun semakin terhipnotis dengan laju perkembangan zaman sehingga bersikap acuh atau bahkan lupa akan keberadaan produk budayanya sendiri seperti sastra daerah. Padahal ditangan generasi mudalah penentu kejayaan budaya suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa (Milner & Jeff, 2002). Dari realitas tersebut, jelas bahwa generasi pewaris budaya (sastra) daerah, khususnya di masa sekarang ini menganggap atau menilai sastra daerah sebagai produk budaya yang tidak bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman sehingga menjadi sangat memilukan ketika satu persatu sastra daerah punah karena tidak ada lagi generasi yang mau melestarikannya. Selanjutnya, sastra daerah ragam tulis pun dari masa ke masa semakin terdesak keberadaannya dengan kondisi perkembangan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern. Yang lebih fatal lagi, ditengah kondisi sastra daerah yang semakin terdesak dengan situasi dan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern, sastra daerah baik ragam lisan maupun tertulis masih saja berkutat pada bentuk aslinya. Jika hal ini terus berlangsung maka tidak membutuhkan waktu yang cukup lama sastra daerah di Indonesia akan sampai pada masa kepunahannya. Sehingga generasi bangsa ini ke depannya tidak akan pernah lagi mengenal atau bahkan mengetahui tentang keberadaan karya sastra daerah yang merupakan pengetahuan dan nilai lokal, serta bukti kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas seni berbahasa manusia terdahulu.

Mengacu pada pandangan Distin (2011) di atas, maka upaya untuk mempertahankan eksistensi sastra daerah dapat dilakukan dengan cara mengembalikan aspek fungsi atau kebermanfaatan sastra daerah itu sendiri di kehidupan masayarakat masa kini dan masa yang akan datang, serta berupaya untuk bermanufer atas situasi dan kondisi sekarang ini. Manufer yang dimaksud adalah eksistensi sastra daerah senantiasa diupayakan untuk beradaptasi, meng-upgrade diri, atau berusaha menjadi setara dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern sekarang ini. Mengembalikan aspek fungsi sastra daera di kehidupan masyarakat serta melakukan manufer tentu harus dilakukan oleh manusia pemiliki budaya itu sendiri, pihak yang memiliki perhatian terhadap sastra, atau lembaga tertentu yang memiliki wewenang untuk melestarikan budaya. Mengembalikan aspek fungsional sastra yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat pewaris budaya berusaha menggunakan kembali karya sastra daerah sebagai basis pemahaman nilai-nilai kehidupan sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pencipta sastra daerah terdahulu seperti sarana untuk pendidikan moral, etika, karakter, pengetahuan budaya, bahasa, seni untuk menghibur, dan lain-lain. Sedangkan bentuk manufer yang dapat dilakukan untuk mempertahankan eksistensi sastra daerah adalah berusaha untuk memodernkan sastra daerah itu sendiri. Cara untuk memodernkan sastra daerah itu sendiri dilakukan dengan perekaman dan digitalisasi. Perekaman sastra daerah dimaksudkan sebagai upaya pengumpulan semua data sastra daerah baik lisan maupun tulisan. Sedangkan digitalisasi sastra daerah merupakan upaya penciptaan dunia digital sastra daerah dengan cara mengubah bentuk atau wujud sastra daerah yang awalnya dalam bentuk lisan dan tulisan yang mudah rusak atau bahkan hilang menjadi bentuk digital yang abadi dan tidak gampang rusak ataupun hilang. Kemudian memantapkan kedudukannya sebagai karya sastra daerah digital melalui jaringan internet, seperti pembuatan portal atau website khusus, atau cara lainnya. Dengan kedua upaya tersebut, pemodernan dan pemertahanan sastra daerah dapat terwujud.

Upaya pemodernan dan pemertahanan sastra daerah di Indonesia memang menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan mengingat kondisi sastra daerah sekarang ini yang semakin terdesak oleh perkembangan peradaban manusia. Sebab kita tidak menghendaki sastra daerah yang merupakan kebudayaan monumental dan adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi sekarang ini punah. Langkah strategis yang harus segera dijalankan adalah melakukan dokumentasi atau perekaman seluruh karya sastra daerah baik ragam lisan maupun tulisan, kemudian mengubah wujud karya sastra daerah tersebut dalam bentuk digital dan memantapkan kedudukannya secara online. Poin terpenting yang harus dipahami dari upaya ini adalah kesuksesannya hanya dapat terwujud jika setiap pribadi memahami arti penting dari keberadaan sastra daerah sebagai produk budaya adiluhung masyarakat daerah itu sendiri maupun bangsa Indonesia, serta terjadi kerjasama dan keseriusan kerja yang bersinergi antarpihak.

 

Daftar Rujukan

Cole, R. J. (2003). Buildings , Culture and Environment Informing local and global practices. United State of America: Blackwell Publishing.

Distin, K. (2011). Cultural Evolution. United States of America: Cambridge University Press.

Milner, A., & Jeff, B. (2002). Contemporary Cultural Theory (Third Edit). Australia: Allen & Unwin.

MENGEMBALIKAN EKSISTENSI SASTRA ANAK INDONESIA SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI RUMAH DAN DI SEKOLAH

Dahulu (pada masa penulis masih anak-anak), sastra anak berupa puisi atau cerita rakyat menjadi suguhan yang menarik bagi anak-anak ketika sedang berkumpul keluarga atau menjelang tidur. Orang tua mengambil peran penting membacakan atau berkisah mengenai isi karya sastra kepada anak-anaknya. Anak pun merasa senang dengan isi cerita yang didengarkan hingga membawa mereka pada dunia mimpi yang indah. Selanjutnya, lingkungan kedua anak yaitu sekolah juga menyajikan konten materi sastra yang mudah dibaca, dipahami, dan tentunya sangat menarik alur ceritanya karena sangat relevan dengan kehidupan anak-anak sehingga anak menjadi berminat untuk belajar. Suguhan menarik yang popular ada di dalam karya sastra anak masa lalu adalah kepahlawanan, perjuangan, keharmoniasan keluarga, keindahan alam, dan berbagai tema baik dan sesuai perkembangan anak lainnya.

Beberapa hal penting yang diperoleh dari budaya ini adalah mendidik anak agar budi dan pekertinya menjadi baik dengan mengambil nilai atau amanat dalam cerita yang dibaca atau didengarkan yang secara tidak langsung membentuk akhlak atau karakter mulia pada diri anak. Sungguh sebuah realitas masa lalu yang sekarang ini sulit ditemukan. Sastra anak tidak lagi menjadi bacaan anak atau bahkan dibacakan oleh orang tua. Sehingga di perpustakaan atau di rumah bacaan sastra anak hanya tinggal bertumpuk dan berdebu tanpa perhatian dari anak maupun orang tua. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sangat sulit menjumpai pemandangan ketika orang tua duduk bersama anak-anaknya sambil menceritakan cerita rakyat atau orang tua yang duduk di samping anaknya ketika hendak tidur malam dan membacakan dongeng atau cerita rakyat lainnya. Yang paling banyak dijumpai adalah anak-anak asyik menonton televisi, bermain game, dan bermain media sosial. Mereka tidak lagi mendapatkan asupan nilai-nilai budi pekerti yang luhur secara langsung dari lingkungan keluarganya, khususnya ibu dan ayah. Mereka hanya asik pada suguhan konten digital. Di lingkungan sekolah pun, anak-anak lebih dominan mendapatkan suguhan konsep umum, sastra anak hanya disuguhkan sebagai materi pelengkap yang sangat minim jumlahnya. Dari kedua realitas ini, dapat dibandingkan bagaimana perbedaan karakter anak-anak yang mendapatkan asupan sastra yang memadai dengan karakter anak masa kini yang sudah tak lagi mendapatkan sentuhan sastra dan nilai-nilai positif di dalamnya. Beberapa ahli psikologi mengungkapkan bahwa karakter anak masa kini cenderung antipati, kepekaan sosialnya menjadi sangat rendah, dan yang paling parah adalah lemahnya kesadaran untuk menghayati, menilai, dan memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik. Hal ini terjadi akibat lemahnya fungsi-fungsi sosial dari berbagai hal yang senantiasa intim dengan kehidupan anak seperti game online, menonton TV dengan konten yang tidak mendidik, lingkungan media sosial yang buruk. Apalagi peran orang tua pada aktivitas anak di situasi tersebut juga tidak ada, sehingga dampaknya sangat cepat dan semakin parah.

Menyikapi permasalahn tersebut, sangat penting untuk mengembaliklan eksistensi sastra anak Indonesia untuk dijadikan sebagai basis pendidikan karakter baik di rumah maupun di sekolah. Urgensi untuk mengembalikan eksistensi sastra anak dalam rangka menanggulangi krisis karakter ini sebagaimana dikemukakan oleh Whitehead (2002) dalam bukunya “Developing Language and Literacy with Young Children” bahwa kondisi karakter anak masa kini (masa modern) menjadi cukup memprihatinkan. Bahan bacaan yang diperolehnya terkadang menyajikan konten yang tidak patut untuk dibaca anak-anak. Hal tersebut yang menjadi faktor pemicu karakter anaknya menjadi tidak terkontrol. Menurutnya sastra anak adalah satu-satunya bacaan yang paling tepat untuk disajikan kepada anak-anak. Untuk itu, Withead mengembangkan materi pembelajaran sastra dan literasi yang menjadikan sastra sebagai salah satu basisnya. Selanjutnya Wolf (2004) dalam bukunya “Interpreting Literature with Children” mengemukakan bahwa lembaga pendidikan atau sekolah sepatutnya menyajikan konten bacaan anak yang sesuai atau relevan dengan masa tumbuh kembang anak. Sebab, dalam hal pembentukan karakter anak, sekolah adalah lembaga kedua yang bertanggung jawab menyajikan materi pendidikan yang mampu mengembangkan anak dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Blocksidge, 2000). Salah satu komponen materi pendidikan karakter yang tepat dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan untuk membina karakter anak adalah sastra. Namun, semua harus berpulang pada kesadaran dan peran penting masing-masing pihak yaitu orang tua dan guru untuk menyukseskan usaha ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Wringe (2006) bahwa pendidikan dalam rangka membentuk karakter atau moral pada anak harus melibatkan peran serta orang tua dan guru yang saling bersinergi dan berusaha secara optimal.

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan dari tulisan ini adalah kondisi moral atau karakter anak generasi saat ini menjadi sangat memprihatinkan dan tidak dapat dianggap biasa saja. Untuk itu, menjadi sangat penting untuk segera dilakukan pengembalian eksistensi sastra anak Indonesia sebagaimana eksistensi sastra anak di masa lalu untuk dijadikan basis dalam pendidikan karakter atau moral anak. Pendidikan karakter dengan memanfaatkan sastra anak ini tentunya harus melibatkan fungsi dan peran orang tua dan guru yang saling bersinergi. Untuk itu, penulis menyarankan agar orang tua dan guru dapat memahami pentingnya kedudukan mereka dalam membentuk karakter anak yang lebih baik.

Daftar Rujukan

Wolf, Selbhy A. 2004. Interpreting Literature with Children. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Withead, Marian R. 2002. Developing Language and Literacy with Young Children. London: Paul Chapman Publishing.

Blocksidge, Martin. 2000. Teaching Literatur 11-18. London & New York: Continuum Publisher.

Wringe, Colin. 2006. Moral Education: Beyond the Teaching of Right and Wrong. Netheland: Springer.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...