Saturday, November 11, 2017

HAKIKAT SASTRA (THE LITERATURE)



A.  Pengertian Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta sastra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar sas yang berarti instruksi atau ajaran, sedangkan tra berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadi susastra bermakna tulisan yang indah (Winarni, 2013: 1). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra adalah seni bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedangkan yang dimaksud pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan dan semua kegiatan mental manusia.
Beberapa pengertian sastra menurut para ahli berikut ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami arti sastra yaitu: Esten (1978: 9) mengemukakan bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
Semi (1988 : 8 ) mengemukakan bahwa sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.  Sudjiman (1986 : 68) mengemukakan bahwa sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya. Badrun (1983 : 16) mengemukakan bahwa kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat, dan bersifat imajinatif. Eagleton (1988 : 4) mengemukakan bahwa sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil. Scholes (1992: 1) mengemukana bahwa tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Sapardi (1979: 1) memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Teeuw (1997: 13) mengemukakan bahwa sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain”
Bagi pembaca sastra, bahasa mampu melahirkan keindahan. Perpaduan diksi yang tidak biasa dan memberikan penafsiran yang dalam adalah wujud dari keindahan dan kebermaknaan sastra yang luhur untuk terus dikaji. Bukan hanya persoalan bahasa, kemampuan pengarang memainkan jiwa pembacanya memalui peristiwa dan pesan-pesan moral yang ada di dalam sebuah cerita juga merupakan unsur keindahan sebuah karya sastra.
Sastra adalah karya manusia yang sifatnya rekaan dengan menggunakan medium bahasa yang baik secara implisit maupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetis atau keindahan. Sastra termasuk lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya (Wellek dan Warren, 1993: 15). Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Suatu bentuk sastra dikatakan estetis atau indah jika organisasi unsur-unsur yang terkandung di dalamnya memenuhi syarat-syarat keindahan.

Adapun syarat-syarat keindahan tersebut adalah keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan fokus (focus). Suatu karya sastra harus utuh artinya setiap bagian atau unsur yang ada menunjang usaha pengungkapan isi hati pengarang. Hal ini berarti setiap unsur atau bagian karya sastra benar-benar diperlukan dan disengaja adanya dalam karya sastra. Unsur-unsur karya sastra, baik dalam ukurannya maupun bobotnya harus sesuai atau seimbang dengan fungsinya. Keselarasan berkaitan dengan hubungan antar unsur. Artinya, unsur atau bagian ini harus menunjang daya ungkap unsur atau bagian lain, dan bukan mengganggu atau mengaburkannya. Bagian yang penting harus mendapat penekanan yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang penting. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambar konkret dengan alat bahasa. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia sejak dahulu, baik dari aspek manusia sebagai penciptanya maupun aspek manusia sebagai penikmatnya. Karya sastra merupakan curahan pengalaman batin pengarang tentang fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Sastra termasuk ungkapan peristiwa, ide, gagasan serta nilai-nilai kehidupan yang diamanatkan didalamnya. Sastra mempersoalkan manusia dalam segala aspek kehidupannya sehingga karya itu berguna untuk mengenal manusia dan kebudayaan.
Karya sastra adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk benda konkret (Sangidu, 2004: 38). Karya sastra tidak hanya berbentuk benda konkret seperti tulisan, tetapi dapat juga berwujud tuturan (speech) yang telah tersusun dengan rapi dan sistematis yang dituturkan (diceritakan) oleh tukang cerita atau yang terkenal dengan sebutan sastra lisan. Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realitas sosial) yang dihadapinya. Di dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual) dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial).
Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya (Wiyatmi, 2009: 18).
Membaca sebuah karya sastra berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin, dan sekaligus memperoleh pengalaman kehidupan. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan dalam sebuah karya sastra harus tetap merupakan cerita yang menarik, membangun struktur yang koheren dan mempunyai tujuan estetik.
Sebagai sebuah karya imajinatif, karya sastra menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana karya sastra sesuai dengan pandanganya. Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Meskipun karya sastra berupa hasil kerja imajinasi, khayalan, tidak benar jika karya sastra dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Imajinatif sebenarnya menunjuk pada pengertian , berpikir kreatif, berpikir untuk menciptakan sesuatu. Dengan berimajinasi, seseorang aktif berpikir memahami, mengkritisi, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi untuk menghasilkan pemikiran karya baru. Karya sastra tidak mungkin tercapai jika para penulis tidak mempunyai kekuatan intelektual yang baik karena karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai karya kreatif sastra mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, serta menjadi wadah penyampaian ide-ide
 Teeuw (1984) dan Luxemburg (1986) mengemukakan bahwa belum ada seorang pun yang memberikan jawaban yang ketat untuk pertanyaan tentang definisi sastra. Hal senada diungkapkan pula oleh B. Rahmanto (2000), Suminto A. Sayuti (2002), dan seorang sastrawan Malaysia, Ali Ahmad, dalam sebuah tulisan berjudul “Mencari Definisi Kesusastraan” (dalam Hamzah Hamdani 1988:19-26).
Luxemburg (1986:11-12) lebih jauh menilai sastra sebagai berikut: (1) karena sifat rekaannya, sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah kita untuk langsung bertindak. Justru oleh karena itu sastra memberikan kemungkinan dan keleluasaan untuk memperhatikan dunia-dunia lain, kenyataan-kenyataan yang hanya hidup dalam angan-angan, sistem-sistem nilai yang tidak dikenal atau yang bahkan tidak dihargai; (2) sambil membaca sebuah karya sastra kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh, dengan orang lain; (3) bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru atau mengajak kita untuk mengatur pengalaman tersebut dengan suatu cara baru; (4) selain itu, bahasa sastra dan sarana-sarana sastra masih mempunyai nilai tersendiri; (5) dalam lingkungan kebudayaan sastra merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat..
Menurut Sumardjo dan Saini KM (1994:16-17) terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan bukan karya sastra. Ketiga hal itu adalah: (1) sifat khayali sastra; (2) adanya nilai-nilai seni; dan (3) adanya cara penggunaan bahasa yang khas. Karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah. Karya sastra juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Berdasarkan semua itu, penilaian terhadap suatu karya sastra sebagai bermutu (atau tidak bermutu) harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan bahasanya. Sebenarnya unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Hanya demi kepentingan analisislah bentuk karya sastra yang bermutu tadi perlu dibeda-bedakan.
Sumardjo dan Saini KM (1994:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra dapat disebut sebagai karya sastra bermutu, yaitu sebagai berikut: (1) karya sastra adalah suatu usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa; (2) sastra adalah komunikasi; (3) sastra adalah sebuah keteraturan. Karya sastra memiliki peraturan sendiri dalam dirinya; (4) sastra adalah penghiburan; (5) sastra adalah sebuah integrasi; (6) karya sastra yang bermutu merupakan suatu penemuan; (7) karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya; (8) karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat; (9) karya sastra yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan; dan (10) karya sastra yang bermutu adalah sebuah pembaruan.
B.  Fungsi Sastra
Pada periode Renaisans di Amerika, penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis. Poe:sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Tesis dan kontratesisnya adalah konsep Horace dulce dan utile : puisi itu indah dan berguna. Pandangan bahwa puisi menghibur, bertentangan dengan pandangan bahwa puisi mengajarkan sesuatu. Pandangam bahwa puisi adalah propaganda, bertentangan dengan pandangan bahwa puisi semata-matapermainan bunyi dan citra, tanpa acuan ke dunia nyata. Formula Horace ini akan banyak membantu kalau cakupannya kita perluas sehingga meliputi berbagai gaya dan kecenderungan dalan sastra, misalnya dalam sastra Romawi dan Renaisans. Masalah lainnya dalah : apakah sastra memiliki satu fungsi atau beberapa fungsi? Dalam bukunya Primer  for Critics, George Boas menguraikan bermacam-macam tujuan sastra dan tipe kritik sastra. Jika kita ingin memperlakukan sastra atau puisi secara serius seharusnya ada fungsi atau manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra sendiri. Pengalaman bahwa sastra memiliki nilai yang unik nempaknya memang sangat mendasar pada setiap teori yang membahas nilai sastra. Bermacam-macm teori muncul dan semuanya berusaha menggarisbawahi pengalaman ini secara lebih secara lebih sempurna.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membuktikan bahwa manfaat dan keseriusan sastra terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Jadi, sastra dianggap sejenis pengetahuan. Maka yang hendak dibuktikan sekarang adalah bahwa sastra memberikan pengetahuan dan filsafat. Pada zaman Neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap bahwa puisi menyampaikan hal-hal umum. Teori sastra dan apologetics menekankan sifat tipikal sastra atau kekhususannya. Tingkat keumuman atau kekhususan berbeda-beda kadarnya pada setiap karya sastra dan setiap periode.
Apakah sastra mewujudkan apa yang sudah ada atau memberikan pengertian artistik baru bagi pembacanya? Secara umum kita bisa mengerti mengapa ahli-ahli estetika ragu-ragu untuk menyangkal bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas seni. Pertama, kebenaran adalah istilah kehormatan, dan dengan memakainya orang memberi penghargaan pada seni. Kedua, orang takut bahwa kalau seni tidak “benar”, berarti seni itu “bohong”, seperti tuduhan Plato. Kontroversi ini bersifat semantik. Apa yang kita maksudkan dengan “pengetahuan”, “kebenaran”, “kognisi”, dan “kebijaksanaan”? kalau semua kebenaran merupakan konsep dan proposisi, maka seni termasuk seni sastra bukan bentuk kebenaran.
Alternatif lain adalah memakai kebenaran ganda atau jamak. Jadi tersedia berbagai cara untuk memperoleh pengetahuan. Atau kita membedakan dua tipe dasar pengetahuan yang masing-masing menggunakan sistem bahasa yang terdiri dari tanda-tanda. Misalnya, ilmu pengetahuan memakai cara diskursif, yakni membuat uraian panjang lebar dan seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberikan wujud atau contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos keagamaan dan puisi. Sistem yang kedua bisa disebut “benar” dan “kebenaran”.
Pandangan bahwa seni menemukan kebenaran atau memberi pengertian baru tentang kebenaran, berbeda dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda.dalam kata propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula. Sedangkan seni yang baik, seni yang hebat, atau Seni dengan huruf besar, bukanlah propaganda. Seni yang serius menyiratkan pandangan hidup yang bisa dinyatakan dalam istilah-istilah filosofis atau dalam sebuah sistem. Pandangan hidup yang diartikulasikan seniman bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer.
Pendek kata, pertanyaan mengenai fungsi sastra sudah muncul sejak dahulu di dunia Barat, sejak Plato hingga sekarang. Karena ditantang, penyair dan pembaca terpaksa secara moral dan intelektual memberi jawaban. Menghadapi tantangan dan tuntutan untuk membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan menekankan segi manfaat, bukan kenikmatan, dan dengan demikian menyangkut fungsi yang dikaitkan dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal yang di luar sastra. Dengan demikian istilah “fungsi” lebih cocok dikaitkan dengan tulisan-tulisan yang bernada apologetiks (membela, mencari alasan).
Sastra sebagai sebuah entitas penuh makna dalam dunia bahasa, tentu memiliki fungsi akan kehadirannya. Tidak mungkin, sebuah karya sastra disenandungkan tanpa adanya tujuan-tujuan tertentu dari si penulis. Dalam menyusun sebuah karya sastra, penulis pasti memiliki maksud dan tujuan yang kadang-kadang tidak dapat diartikan secara jelas. Itulah keindahan sastra. Setiap karya sastra pasti memiliki tujuannya masing-masing, dan tak jarang, tujuan itu berbeda. Ada satu karya sastra yang bertujuan A, sedang karya sastra lainnya bertujuan B. Hal itu wajar, mengingat khazanah bahasa dan ide manusia memang tak terbatas. Pertanyaannya adalah, mampukah kita merumuskannya secara sederhana?
Pertanyaan di atas akan disambung dengan satu pertanyaan lagi, mengapa kita harus merumuskannya secara sederhana? Jawabannya adalah, dengan membuat rumusan tujuan atau fungsi karya sastra secara sederhana, para penulis pemula akan memiliki dasar yang kuat, untuk apa mereka menulis karya sastra. Dengan rumusan sederhana ini pula, kita berharap penulis akan mampu membuat karya sastra yang tujuannya jelas, bukan sekedar deretan kata indah tapi tak bermakna. Untungnya rumusan tentang fungsi sastra ini memang sudah diuraikan secara sederhana. Kurang lebih inilah 5 fungsi dasar dalam sastra:
a.    Fungsi Rekreatif
Sastra adalah hiburan. Bagi beberapa orang, membaca sastra merupakan hiburan tersendiri. Dengan membaca kisah sastra, barangkali pembaca akan fokus pada konflik yang terjadi di dalamnya, dan untuk sesaat melupakan konflik yang terjadi di dunia nyata. Dengan membaca kisah sastra, barangkali pembaca akan tersenyum sendiri menikmati keindahan kisah cinta yang tersaji, atau justru menangis kecil ketika merasakan kesedihan dalam karya sastra, atau tertawa, jika memang penulis memberikan lelucon yang menarik di dalam karyanya. Yang jelas, karya sastra adalah hiburan bagi pembacanya.
b.    Fungsi Didaktif
Sastra adalah pendidikan. Dengan membaca karya sastra, pembaca mungkin akan mendapatkan ilmu-ilmu baru di dalam karyanya. Karena sejatinya, karya sastra adalah membahas tentang berbagai aspek kehidupan, yang bisa membuat pembacanya merasakan hal-hal yang sulit dirasakannya secara nyata. Misalnya, kita menjadi tahu sejarah Indonesia, berkat membaca karya-karya sastra. .
c.    Fungsi Estetis
Sastra adalah keindahan. Jangan lupakan gemulai tarian kata yang berjejer indah di dalam karya sastra. Sastra harus memiliki keindahannya sendiri. Tidak harus rumit dan sulit dimengerti, tapi keindahan harus tetap ada. Setiap calon penulis karya sastra, harus mampu mengartikan keindahan apa yang dimaksud itu.
d.   Fungsi Moralitas
Sastra yang baik, selalu mengandung moral yang tinggi. Semua karya sastra besar di Indonesia memiliki nilai moralnya sendiri. Kisah Singgasana Tak Bertuah karya …… misalnya, memberikan moral tentang cinta dan budaya (salah satunya).
Nilai malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan Makassar yang terdapat dalam novel Harim di Tanah Haram  karya Abu Hamzah. Menurut Rahim (2011: 139), Siri dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki. Siri disejajarkan kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri’) ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.
e.    Fungsi Religius
Sebagai bangsa yang dibuat berdasarkan kepercayaan atas Tuhan Yang Maha Esa, tentu aspek agama sebaiknya tidak hilang dari karya sastra. Ingat, sastra adalah hasil dari budaya masyarakat. Artinya, masyarakat yang beragama, sudah seharusnya menyusun karya sastra yang memberikan perspektifnya tentang agama.
Sebagai contoh, Islam mengajarkan tentang kesabaran, nilai kesabaran inilah yang banyak diangkat di dalam karya sastra seperti Novel Karya Khrisna Pabichara dengan judul “Natisha” seperti kutipan berikut:
“Ada satu hal yang dapat membawa kita pada kebaikan, Nak: selalu berhati-hati menghadapi perbuatan buruk. Begitu Pappasang yang tertera dalam lontarak. Sebaliknya, ada hal lain yang dapat membawa kita pada keburukan. Bertindak kasar ketika marah. Jadi tenangkan hatimu”
(Dikutp dalam Novel “Natisha” halaman 23)
Menurut Emzir dan Rohman (2015: 8) fungsi dapat didefinisikan sebagai kedudukan yang memiliki unsur-unsur di dalam sebuah struktur. Jadi, fungsi itu melekat pada unsur-unsur yang berbeda dalam sebuah kelompok yang dinamakan dengan struktur. Wellek dan Warren (2014: 22–33) menjelaskan bahwa fungsi sastra adalah sebagai berikut: (1) Sebagai hiburan. Karya sastra adalah “pemanis” dalam kehidupan masyarakat sebab memberikan fantasi-fantasi yang menyenagkan bagi pembaca. Karena sebagai hiburan, dampak yang diperoleh adalah rasa senang. (2) Sebagai renungan. Karya sastra difungsikan sebagai media untuk merenungkan nilai-nilai terdalam dari pembaca. Karena karya sastra berisi pengalaman-pengalaman manusia, maka pengalaman itu diungkapkan sedemikian rupa untuk memperoleh sari pati yang diinginkan. (3) Sebagai bahasan pelajaran. Karya sastra difungskan di tengah-tengah masyarakat sebagai media pembelajaran bagi masyarakat. Karya sastra menuntun individu untuk menemukan nilai yang diungkapkan sebagai benar dan salah. Karya sastra dikatakan sebagai “indah dan berguna” atau dulce et utile. (4) Sebagai media komunikasi simbolik.
Luxemburg (dalam Emzir dan Rohman, 2015: 8), menyatakan bahwa karya seni adalah sebuah media yang digunakan manusia untuk menjalin hubungan dengan dunia sekitarnya. Karena ini komuniksi simbolik, maka para penerima tidak bias langsung menerjemahkan kata-kata sebagaimana arti denotatif, tetapi harus menggunakan instrumen konotatif. (5) Sebagai pembuka paradigma berfikir. Sastra menurut Bronowski (dalam Emzir dan Rohman, 2015: 8), dijadikan sebagai media untuk membuka cakrawala masyarakat yang terkungkung oleh semagat zaman yang tidak disadarinya. Sastra menyadarkan masyarakat yang selama ini merasa berada dalam kenyataan yang sesungguhnya padaha sebetulnya hanya berada pada entitas yang mirip dengan kenyataan (kuasi-kenyataan).
Fungsi karya sastra menurut Mihardja (2012: 2–3) meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Fungsi rekreatif. Sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya. (2) Fungsi didaktif. Sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya. (3) Fungsi estetis. Sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau pembacanya karena sifat keindahannya. (4) Fungsi moralitas. Sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca atau penikmatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi. (5) Fungsi religius. Sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/ pembaca sastra.
Menurut Endraswara (2011: 23) fungsi sastra berdasarkan pandangan para kaum romantik mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) sastra sama derajatnya dengan karya nabi, misalnya sastra keagamaan, mahabarata, sastra suluk, dan sejenisnya yang bernilai profetik, (2) sastra bertugas menghibur belaka (karya populer), untuk memberikan entertainment, mengajak gelak tawa, dan menyodorkan selingan lidah, (3) sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Selain itu, Sastra memberikan sebuah fatwa bagi masyarakat agar lebih bersikap manusiawi.
Penjabaran tentang fungsi sastra juga disampaikan oleh Semi (1993: 20– 21) bahwa tugas sastra adalah sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa dalam arti yang positif. Tradisi itu memerlukan alat untuk meneruskan pada masyarakat sezaman dan masyarakat yang akan datang antara lain cara berfikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman sejarahnya, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaannya. Selain itu, tugas atau misi lain dari sastra adalah menjadikan dirinya sebagai suatu tempat agar nilai kemanusiaan mendapat tempat yang sewajarnya, dipertahankan, dan disebarluaskan, terutama di tengah-tengah kehidupan moderen yang ditandai dengan mengebu-gebunya kemajuan sain dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa fungsi karya sastra meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) sebagai hiburan atau kreasi yang bersifat estetis, (2) sebagai renungan moralitas, (3) sebagai pembelajaran sesuatu dengan cara menghibur, (4) sebagai media komunikasi simbolik, (5) pembuka paradigm berfikir, (6) dapat bersifat religius dan sama derajatnya dengan karya nabi, (7) alat untuk meneruskan tradisi, (8) menjadi tempat bagi nilai dapat tumbuh sewajarnya, dipertahankan, dan disebarluaskan.
C.  Manfaat Sastra
Hampir pada umumnya sesuatu ada bersama dengan fungsinya; disiplin ilmu lain ada bersama fungsinya, sastra pun demikian. Yang jadi persoalan, apakah pengertian fungsi sastra dapat berubah sepanjang sejarah. Pertanyaan ini setidaknya menurut Wellek dan Warren (1990:24) agak sulit dijawab. Apalagi jika fungsi yang dibicarakan menyangkut fungsi sastra dalam ruang lingkup yang luas. Akan tetapi secara umum mereka beranggapan bahwa sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Pertanyaan mereka ini dinyatakan dalam ungkapan bahwa sebuah karya seni (sastra) dikatakan berfungsi jika dikaitkan dengan fungsi dulce dan utile. Kata dulce artinya manis, menghibur, memberikan kesenangan; sedangkan utile berarti memberikan sesuatu (manfaat). Dengan menunjuk drama antigone yang Wellek dan Waren nilai memberikan manfaat dalam arti luas tidak membuang-buang waktu bukan sekadar kegiatan iseng, sesuatu yang perlu mendapat perhatia serius. Sedangkan arti kata menghibur adalah tidak membosankan, bukan kewajiban, dan memberika kesenangan. 
Antara kedua sifat sastra (menghibur dan bermanfaat) pada karya sastra harus saling mengisi. Kesenangan yang dimaksudkan di sini bukan kesenanga lain dari kesenangan yang diperoleh dari karya non-sastra, (berupa kesenangan fisik); kesenangan ini lebih tinggi, yakni kontemplasi yang tidak mencari keutungan. Sedangkan manfaatnya berupa keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetik, dan keseriusan persepsi. Dengan pemahaman ini dapat diungkapkan bahwa fungsi sastra sebagai pemekat (intesifkator). Di dalam pengalaman hidup disaring, dijernihkan, dan dikristalkan sehingga pembaca dapat mengambil hikmah dari kekayaan pengalaman tersebut dengan mudah dalam waktu singkat. Penghayatan yang mendalam dan jernih terhadap kehidupan niscaya membantu kita dalam mengendalikan kehidupan itu sendiri.
Sastra dapat digunakan oleh sejarawan sebagai dokumentasi sosial. Namun, apakah sastra memiliki manfaat yang tidak dimiliki bidang lain? Pernyataan ini dapat saja dijawab, ya! Sebab di samping penelitian yang bersifat ilmiah untuk memahami dan menolong manusia serta masyarakat, dunia sastra masih tetap memegang peran penting dalam bidang yang sama. Khususnya mengungkap misteri yang begitu dalam seperti religiusitas manusia, yang menentukan sikap-sikap kita terhadap dri sendiri; karya-karya sastra mengisi hal-hal yang tidak mungkin diisi oleh ilmu pengetahuan dan ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan lain. Khususnya dalam pengolahan religius manusia yang lazimnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan persentuhan citra rasa, sarana sastra sangat bermanfaat.
Seperti halnya filsafat dan ilmu pengetahuan lain, sastra pun mengungkap kebenaran. Minimal kebenaran yang diyakini oleh sastrawan yang bersangkutan. Pendapat umum ini ditandai oleh Max Easman, teoritikus yang juga penyair, bahwa pikiran sastra adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu dan warisan pra-ilmu pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan kebenaran. Penekanan Easman bahwa kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni pengetahuan yang sitematis dan adapt dibuktikan. Hal-hal yang ditimbulkannya akan dipertentangkan dengan kebenaran di bidang ilmu-ilmu sosial.
Melalui pandangan hidup yang muncul dari setiap karya sastra terkesan bahwa sastra memiliki kebenaran. Mengenai hal ini Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran sastra tampaknya merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam wujud konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud sastra. T.S. Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya, kebenaran merupakan wilayah para pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan pemikir, meskipun pada dasarnya dapat menjadi pemikir.
Pembenaran pernyataan Wellek dan Warren dalam hal kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang pengetahuan, kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali lagi, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif. Sastra pada dasarnya indah dan bersifat benar. dalam pengertian tidak bertentangan dengan prisip-prinsip kebenaran. Berkaitan dengan ini Archibald Maclesh menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat; puisi sama serius dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan kebenaran. Sastra juga dapat berfungsi membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Hal ini diistilahkan oleh Aristoteles dengan kata katarsis (catharsis); pelepasan jiwa dari tekanan-tekanan emosi yang ada ialah kenikmati sebuah karya seni (sastra).
Menurut Lazar (2002: 15-19), beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pembelajaran sastra, antara lain yaitu:
a.    Memberikan motivasi kepada;
Pertama, sastra dapat memberikan motivasi kepada siswa. Apabila materi pembelajaran sastra dipilih secara cermat dan hati-hati, siswa akan merasakan bahwa apa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang relevan dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam konteks ini, sastra mampu menunjukkan kepada siswa tema-tema yang kompleks tetapi segar dan menggambarkan penggunaan bahasa yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
b.    Memberi akses pada latar belakang budaya;
Kedua, sastra merupakan akses latar belakang budaya. Sastra dapat membantu siswa memahami budaya masyarakat yang menjadi latar dalam teks sastra yang sedang dipelajari. Namun hal ini cukup rumit, mengingat dalam memahami hubungan antarbudaya, sastra tidak menyampaikannya dengan sederhana, karena beberapa karya sastra seperti novel, cerpen, atau puisi dapat diklaim sebagai dokumentasi yang murni dari budaya masyarakat. Sementara, kebenaran dalam sastra itu sesungguhnya tidaklah mutlaks.
c.    Memberi akses pada pemerolehan bahasa;
Ketiga, sastra merupakan akses pemeroleham bahasa. Sastra menyediakan sebuah cara yang tepat untuk pemerolehan bahasa, seperti menyediakan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam proses penginterpretasian bahasa baru. Melalui sastra, siswa dapat meningkatkan pemerolehan bahasanya, dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya, melakukan proses pembelajaran bahasa yang menyenangkan. Dalam hal ini berarti ada integrasi antara pembelajaran sastra dan bahasa, sehingga keduanya dapat saling memberikan manfaat.
d.   Memperluas perhatian siswa/mahasiswa terhadap bahasa;
Keempat, sastra memperluas perhatian siswa terhadap variasi bahasa. Dalam konteks ini sebuah novel atau cerpen dapat membantu siswa dalam memahami dan menginterpretasikan berbagai tema dengan lebih mudah. Melalui kegitannya dalam memahami makna sebuah teks sastra, siswa dapat melatih kepekaanya dalam menggunakan bahasa.
e.    Mengembangkan kemampuan interpretatif; dan
Kelima, sastra mengembangkan kemampuan interpretatif siswa. Sastra adalah sumber yang bagus untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami makna dan membuat interpretasi. Sastra, dapat membuat pembacanya hanyut dalam asumsi teks ketika berusaha untuk memahami maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baikkepada siswa untuk mendiskusikan, dan menginterpretasikan pendapat mereka sendiri berdasarkan fakta yang terdapat dalam teks. Bila siswa berinteraksi dengan berbagai macam ambiguitas dalam teks sastra, guru dapat membantu siswa mengembangkan keseluruhan kapasitasnya dalam memahami makna. Kemampuan tersebut sangat bermanfaat bagi siswa ketika siswa harus membuat interpretasi berdasarkan fakta-fakta yang dinyatakan secara tidak langsung dalam kehidupan nyata.
f.     Mendidik siswa secara keseluruhan.
Keenam, sastra mendidik siswa secara keseluruhan. Sastra memiliki berbagai macam fungsi edukasi. Pembelajaran sastra di dalam kelas, dapat membantu siswa menstimulasikan imajinasi atau khayalan, mengembangkan kemampuan kritis dan meningkatkan perhatian emosionalnya. Apabila siswa diminta untuk memberikan respon secara personal terhadap teks sastra yang dibaca, siswa akan menjadi lebih percaya diri dalam mengekspresikan ide mereka, dan mengekspresikan emosinya. Selain itu, siswa termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam menguasai teks sastra dan memahami bahasa, serta dalam menghubungkan teks sastra yang dibaca tersebut dengan nilai-nilai dan tradisi dari masyarakatnya.
D.  Sifat-sifat Sastra
Wellek (1995)  membagi sifat-sifat sastra dalam beberapa katagori yang diuraikan sebagai berikut:
1.    Sastra bersifat dunia dalam kata. Mengapa? Karena dunia yang diciptakan dibangun, diabstraksikan dan sekaligus ditafsirkan melalui kata-kata, melalui bahasa pasti ada referensinya dalam dunia nyata, minimal apa yang digambarkan dalam suatu karya sastra ada persamaannya dengan yang terdapat di dunia nyata. Misalnya dalam hal karakter tokoh Datuk Maringgih dalam roman “Sitti Nurbaya” adalah seorang lintah darat yang selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Karakter semacam ini merupakan cerminan dari fakta yang ada dalam masyarakat, tidak terbatas pada daerah, tempat, maupun waktu.
2.  Sastra bersifat otonom. Maksudnya suatu karya sastra memiliki hak untuk tidak dikait-kaitkan dengan dunia lain di luar karya sastra itu sendiri. Misalnya dalam cerita anak-anak, Pinokio dikisahkan tentang seorang pembuat boneka kayu yang bernama Gapetto yang tinggal di Italia, tidak usalah kita beranggapan bahwa jika, ada kenalan kita di Itali bernama Gapetto dan kebetulan berprofesi sebagai pembuat boneka kayu adalah Gapetto itulah yang diperankan dalam cerita, kecuali jika penulis cerita sendiri yang mencantumkan bahwa cerita ini diilhami oleh seseorang atau sesuatu kejadian.
3.  Sastra adalah suatu tanda bahasa yang terus menerus disemantikkan. Dengan kata lain, bahasa sastra memiliki makna yang berlapis-lapis.
4.  Sastra adalah suatu keseluruhan yang padu. Maksudnya suatu karya sastra lengkap di dalam dirinya sendiri. Sependek apa pun karya sastra yang dihasilkan penulis,  seperti puisi, itu merupakan satu kesatuan yang lengkap. 
5. Sastra adalah multiinterpretasi. Maksudnya sastra berhak mendapat bermacam-macam penafsiran, karena memang bahasanya cenderung membuka peluang untuk hal tersebut. Hal ini tentunya tidak lepas dari ciri bahasa sastra yang bersifat konotatif. Dalam hal pemaknaan karya sastra tidak terbatas. Timbulnya sifat multiinterpretasi itu dipengaruhi oleh kemajemukan pengalaman, daya tanggap, serta kematangan intelektual masyarakat penikmat sastra itu sendiri. Semakin tinggi tingakat kematangan intelektual  pembaca diharapkan akan semakin bijak pula bentuk penafsiran yang diberikan terhadap suatu karya sastra.

No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...