A.
Pengertian
Sastra
Sastra
merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta sastra, yang berarti teks
yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar sas yang berarti
instruksi atau ajaran, sedangkan tra berarti alat atau sarana (Teeuw,
1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak
diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini ditambah dengan kata su yang
berarti indah atau baik. Jadi susastra bermakna tulisan yang indah
(Winarni, 2013: 1). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu. Sastra adalah seni bahasa. Sastra adalah ungkapan
spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam
bahasa, sedangkan yang dimaksud pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan dan
semua kegiatan mental manusia.
Beberapa pengertian sastra menurut para ahli berikut ini dapat dijadikan
sebagai acuan dalam memahami arti sastra yaitu: Esten (1978: 9)
mengemukakan bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat)
melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan).
Semi (1988 : 8 ) mengemukakan bahwa
sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sudjiman (1986 : 68)
mengemukakan bahwa sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam
isi, dan ungkapanya. Badrun (1983 : 16) mengemukakan bahwa kesusastraan
adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain
sebagai alat, dan bersifat imajinatif. Eagleton (1988 : 4) mengemukakan
bahwa sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian
dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan,
dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil. Scholes (1992: 1)
mengemukana bahwa tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Sapardi (1979: 1) memaparkan
bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium.
Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Teeuw (1997: 13)
mengemukakan bahwa sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat
imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang
menandakan hal-hal lain”
Bagi
pembaca sastra, bahasa mampu melahirkan keindahan. Perpaduan diksi yang tidak
biasa dan memberikan penafsiran yang dalam adalah wujud dari keindahan dan
kebermaknaan sastra yang luhur untuk
terus dikaji. Bukan hanya persoalan bahasa, kemampuan pengarang memainkan jiwa
pembacanya memalui peristiwa dan pesan-pesan moral yang ada di dalam sebuah
cerita juga merupakan unsur keindahan sebuah karya sastra.
Sastra
adalah karya manusia yang sifatnya rekaan dengan menggunakan medium bahasa yang
baik secara implisit maupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetis atau
keindahan. Sastra termasuk lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Bahasa sastra mempunyai fungsi
ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya (Wellek
dan Warren, 1993: 15). Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada
akhirnya mengubah sikap pembaca. Suatu bentuk sastra dikatakan estetis atau
indah jika organisasi unsur-unsur yang terkandung di dalamnya memenuhi
syarat-syarat keindahan.
Adapun
syarat-syarat keindahan tersebut adalah keutuhan (unity), keselarasan (harmony),
keseimbangan (balance), dan fokus (focus). Suatu karya sastra
harus utuh artinya setiap bagian atau unsur yang ada menunjang usaha
pengungkapan isi hati pengarang. Hal ini berarti setiap unsur atau bagian karya
sastra benar-benar diperlukan dan disengaja adanya dalam karya sastra.
Unsur-unsur karya sastra, baik dalam ukurannya maupun bobotnya harus sesuai
atau seimbang dengan fungsinya. Keselarasan berkaitan dengan hubungan antar
unsur. Artinya, unsur atau bagian ini harus menunjang daya ungkap unsur atau
bagian lain, dan bukan mengganggu atau mengaburkannya. Bagian yang penting
harus mendapat penekanan yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang
penting. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambar konkret dengan alat bahasa.
Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia sejak dahulu, baik
dari aspek manusia sebagai penciptanya maupun aspek manusia sebagai
penikmatnya. Karya sastra merupakan curahan pengalaman batin pengarang tentang
fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Sastra termasuk
ungkapan peristiwa, ide, gagasan serta nilai-nilai kehidupan yang diamanatkan
didalamnya. Sastra mempersoalkan manusia dalam segala aspek kehidupannya
sehingga karya itu berguna untuk mengenal manusia dan kebudayaan.
Karya
sastra adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan
manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk benda konkret
(Sangidu, 2004: 38). Karya sastra tidak hanya berbentuk benda konkret seperti
tulisan, tetapi dapat juga berwujud tuturan (speech) yang telah tersusun dengan
rapi dan sistematis yang dituturkan (diceritakan) oleh tukang cerita atau yang
terkenal dengan sebutan sastra lisan. Karya sastra merupakan tanggapan
penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realitas sosial) yang dihadapinya. Di
dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman
subjektif seseorang (fakta individual) dan pengalaman sekelompok masyarakat
(fakta sosial).
Berdasarkan
teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan sebagai
curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan atau sebagai produk
imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan
perasaan-perasaannya (Wiyatmi, 2009: 18).
Membaca
sebuah karya sastra berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh
kepuasan batin, dan sekaligus memperoleh pengalaman kehidupan. Pengalaman dan
permasalahan kehidupan yang ditawarkan dalam sebuah karya sastra harus tetap
merupakan cerita yang menarik, membangun struktur yang koheren dan mempunyai
tujuan estetik.
Sebagai
sebuah karya imajinatif, karya sastra menawarkan berbagai permasalahan manusia
dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali
melalui sarana karya sastra sesuai dengan pandanganya. Karya sastra
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Meskipun
karya sastra berupa hasil kerja imajinasi, khayalan, tidak benar jika karya
sastra dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan,
perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Karya
sastra merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab
dari segi kreativitas sebagai karya seni. Imajinatif sebenarnya menunjuk pada
pengertian , berpikir kreatif, berpikir untuk menciptakan sesuatu. Dengan
berimajinasi, seseorang aktif berpikir memahami, mengkritisi, menganalisis,
menyintesis, dan mengevaluasi untuk menghasilkan pemikiran karya baru. Karya
sastra tidak mungkin tercapai jika para penulis tidak mempunyai kekuatan
intelektual yang baik karena karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Jadi
dapat disimpulkan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak.
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai
karya kreatif sastra mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha
menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, serta menjadi wadah penyampaian
ide-ide
Teeuw (1984) dan Luxemburg (1986) mengemukakan
bahwa belum ada seorang pun yang memberikan jawaban yang ketat untuk pertanyaan
tentang definisi sastra. Hal senada diungkapkan pula oleh B. Rahmanto (2000),
Suminto A. Sayuti (2002), dan seorang sastrawan Malaysia, Ali Ahmad, dalam
sebuah tulisan berjudul “Mencari Definisi Kesusastraan” (dalam Hamzah Hamdani
1988:19-26).
Luxemburg (1986:11-12)
lebih jauh menilai sastra sebagai berikut: (1) karena sifat rekaannya, sastra
secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak
menggugah kita untuk langsung bertindak. Justru oleh karena itu sastra
memberikan kemungkinan dan keleluasaan untuk memperhatikan dunia-dunia lain,
kenyataan-kenyataan yang hanya hidup dalam angan-angan, sistem-sistem nilai
yang tidak dikenal atau yang bahkan tidak dihargai; (2) sambil membaca sebuah
karya sastra kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh, dengan
orang lain; (3) bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka
batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru atau mengajak kita untuk mengatur
pengalaman tersebut dengan suatu cara baru; (4) selain itu, bahasa sastra dan
sarana-sarana sastra masih mempunyai nilai tersendiri; (5) dalam lingkungan
kebudayaan sastra merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk
mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat..
Menurut Sumardjo dan
Saini KM (1994:16-17) terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan
bukan karya sastra. Ketiga hal itu adalah: (1) sifat khayali sastra; (2) adanya
nilai-nilai seni; dan (3) adanya cara penggunaan bahasa yang khas. Karya sastra
bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah. Karya sastra juga menyangkut
masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Berdasarkan
semua itu, penilaian terhadap suatu karya sastra sebagai bermutu (atau tidak
bermutu) harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan bahasanya.
Sebenarnya unsur-unsur tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Semuanya
merupakan suatu kesatuan yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Hanya demi
kepentingan analisislah bentuk karya sastra yang bermutu tadi perlu
dibeda-bedakan.
Sumardjo dan Saini KM
(1994:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra dapat disebut sebagai karya
sastra bermutu, yaitu sebagai berikut: (1) karya sastra adalah suatu usaha
merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa; (2) sastra
adalah komunikasi; (3) sastra adalah sebuah keteraturan. Karya sastra memiliki
peraturan sendiri dalam dirinya; (4) sastra adalah penghiburan; (5) sastra
adalah sebuah integrasi; (6) karya sastra yang bermutu merupakan suatu
penemuan; (7) karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya; (8)
karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat; (9) karya sastra
yang bermutu merupakan penafsiran kehidupan; dan (10) karya sastra yang bermutu
adalah sebuah pembaruan.
B. Fungsi Sastra
Pada periode Renaisans di Amerika,
penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat
didaktis. Poe:sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Tesis dan kontratesisnya adalah konsep Horace dulce dan utile : puisi
itu indah dan berguna. Pandangan bahwa puisi menghibur, bertentangan dengan
pandangan bahwa puisi mengajarkan sesuatu. Pandangam bahwa puisi adalah
propaganda, bertentangan dengan pandangan bahwa puisi semata-matapermainan
bunyi dan citra, tanpa acuan ke dunia nyata. Formula Horace ini akan banyak
membantu kalau cakupannya kita perluas sehingga meliputi berbagai gaya dan
kecenderungan dalan sastra, misalnya dalam sastra Romawi dan Renaisans. Masalah
lainnya dalah : apakah sastra memiliki satu fungsi atau beberapa fungsi? Dalam
bukunya Primer for Critics, George Boas menguraikan
bermacam-macam tujuan sastra dan tipe kritik sastra. Jika kita ingin
memperlakukan sastra atau puisi secara serius seharusnya ada fungsi atau
manfaat sastra yang hanya cocok untuk sastra sendiri. Pengalaman bahwa sastra
memiliki nilai yang unik nempaknya memang sangat mendasar pada setiap teori
yang membahas nilai sastra. Bermacam-macm teori muncul dan semuanya berusaha
menggarisbawahi pengalaman ini secara lebih secara lebih sempurna.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan
untuk membuktikan bahwa manfaat dan keseriusan sastra terletak pada segi
pengetahuan yang disampaikannya. Jadi, sastra dianggap sejenis pengetahuan.
Maka yang hendak dibuktikan sekarang adalah bahwa sastra memberikan pengetahuan
dan filsafat. Pada zaman Neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap bahwa puisi
menyampaikan hal-hal umum. Teori sastra dan apologetics
menekankan sifat tipikal sastra atau kekhususannya. Tingkat keumuman atau
kekhususan berbeda-beda kadarnya pada setiap karya sastra dan setiap periode.
Apakah sastra mewujudkan apa yang
sudah ada atau memberikan pengertian artistik baru bagi pembacanya? Secara umum
kita bisa mengerti mengapa ahli-ahli estetika ragu-ragu untuk menyangkal bahwa
“kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas seni. Pertama, kebenaran adalah
istilah kehormatan, dan dengan memakainya orang memberi penghargaan pada seni.
Kedua, orang takut bahwa kalau seni tidak “benar”, berarti seni itu “bohong”,
seperti tuduhan Plato. Kontroversi ini bersifat semantik. Apa yang kita
maksudkan dengan “pengetahuan”, “kebenaran”, “kognisi”, dan “kebijaksanaan”?
kalau semua kebenaran merupakan konsep dan proposisi, maka seni termasuk seni
sastra bukan bentuk kebenaran.
Alternatif lain adalah memakai kebenaran
ganda atau jamak. Jadi tersedia berbagai cara untuk memperoleh pengetahuan.
Atau kita membedakan dua tipe dasar pengetahuan yang masing-masing menggunakan
sistem bahasa yang terdiri dari tanda-tanda. Misalnya, ilmu pengetahuan memakai
cara diskursif, yakni membuat uraian panjang lebar dan seni yang memakai cara
presentasional, yakni langsung memberikan wujud atau contoh. Sistem pertama
dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos keagamaan dan
puisi. Sistem yang kedua bisa disebut “benar” dan “kebenaran”.
Pandangan bahwa seni menemukan
kebenaran atau memberi pengertian baru tentang kebenaran, berbeda dengan
pandangan bahwa seni adalah propaganda.dalam kata propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan
biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula. Sedangkan seni
yang baik, seni yang hebat, atau Seni dengan huruf besar, bukanlah propaganda.
Seni yang serius menyiratkan pandangan hidup yang bisa dinyatakan dalam
istilah-istilah filosofis atau dalam sebuah sistem. Pandangan hidup yang
diartikulasikan seniman bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda
populer.
Pendek kata, pertanyaan mengenai
fungsi sastra sudah muncul sejak dahulu di dunia Barat, sejak Plato hingga
sekarang. Karena ditantang, penyair dan pembaca terpaksa secara moral dan
intelektual memberi jawaban. Menghadapi tantangan dan tuntutan untuk
membuktikan fungsi, dengan sendirinya tulisan-tulisan pembelaan menekankan segi
manfaat, bukan kenikmatan, dan dengan demikian menyangkut fungsi yang dikaitkan
dengan hubungan ekstrinsik atau hubungan dengan hal-hal yang di luar sastra.
Dengan demikian istilah “fungsi” lebih cocok dikaitkan dengan tulisan-tulisan
yang bernada apologetiks (membela, mencari alasan).
Sastra sebagai sebuah entitas penuh makna
dalam dunia bahasa, tentu memiliki fungsi akan kehadirannya. Tidak mungkin,
sebuah karya sastra disenandungkan tanpa adanya tujuan-tujuan tertentu dari si
penulis. Dalam menyusun sebuah karya sastra, penulis pasti memiliki maksud dan
tujuan yang kadang-kadang tidak dapat diartikan secara jelas. Itulah keindahan
sastra. Setiap karya sastra pasti memiliki tujuannya masing-masing, dan tak
jarang, tujuan itu berbeda. Ada satu karya sastra yang bertujuan A, sedang
karya sastra lainnya bertujuan B. Hal itu wajar, mengingat khazanah bahasa dan
ide manusia memang tak terbatas. Pertanyaannya adalah, mampukah kita
merumuskannya secara sederhana?
Pertanyaan di atas akan disambung
dengan satu pertanyaan lagi, mengapa kita harus merumuskannya secara sederhana?
Jawabannya adalah, dengan membuat rumusan tujuan atau fungsi karya sastra
secara sederhana, para penulis pemula akan memiliki dasar yang kuat, untuk apa
mereka menulis karya sastra. Dengan rumusan sederhana ini pula, kita berharap
penulis akan mampu membuat karya sastra yang tujuannya jelas, bukan sekedar
deretan kata indah tapi tak bermakna. Untungnya rumusan tentang fungsi sastra
ini memang sudah diuraikan secara sederhana. Kurang lebih inilah 5 fungsi dasar dalam sastra:
a. Fungsi Rekreatif
Sastra adalah hiburan. Bagi beberapa
orang, membaca sastra merupakan hiburan tersendiri. Dengan membaca kisah
sastra, barangkali pembaca akan fokus pada konflik yang terjadi di dalamnya,
dan untuk sesaat melupakan konflik yang terjadi di dunia nyata. Dengan membaca
kisah sastra, barangkali pembaca akan tersenyum sendiri menikmati keindahan
kisah cinta yang tersaji, atau justru menangis kecil ketika merasakan kesedihan
dalam karya sastra, atau tertawa, jika memang penulis memberikan lelucon yang
menarik di dalam karyanya. Yang jelas, karya sastra adalah hiburan bagi
pembacanya.
b. Fungsi Didaktif
Sastra adalah pendidikan. Dengan
membaca karya sastra, pembaca mungkin akan mendapatkan ilmu-ilmu baru di dalam
karyanya. Karena sejatinya, karya sastra adalah membahas tentang berbagai aspek
kehidupan, yang bisa membuat pembacanya merasakan hal-hal yang sulit
dirasakannya secara nyata. Misalnya, kita menjadi tahu sejarah Indonesia,
berkat membaca karya-karya sastra. .
c. Fungsi Estetis
Sastra adalah keindahan. Jangan
lupakan gemulai tarian kata yang berjejer indah di dalam karya sastra. Sastra
harus memiliki keindahannya sendiri. Tidak harus rumit dan sulit dimengerti,
tapi keindahan harus tetap ada. Setiap calon penulis karya sastra, harus mampu
mengartikan keindahan apa yang dimaksud itu.
d. Fungsi Moralitas
Sastra yang baik, selalu mengandung
moral yang tinggi. Semua karya sastra besar di Indonesia memiliki nilai
moralnya sendiri. Kisah Singgasana Tak Bertuah
karya …… misalnya,
memberikan moral tentang cinta dan budaya (salah satunya).
Nilai
malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan
Makassar yang terdapat dalam novel Harim di Tanah Haram karya Abu Hamzah. Menurut Rahim (2011:
139), Siri dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau keadaan,
perasaan malu menyesali diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki.
Siri disejajarkan kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan
timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan
dengan sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan
sesama manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri’)
ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.
e. Fungsi Religius
Sebagai bangsa yang dibuat
berdasarkan kepercayaan atas Tuhan Yang Maha Esa, tentu aspek agama sebaiknya
tidak hilang dari karya sastra. Ingat, sastra adalah hasil dari budaya
masyarakat. Artinya, masyarakat yang beragama, sudah seharusnya menyusun karya
sastra yang memberikan perspektifnya tentang agama.
Sebagai contoh, Islam mengajarkan
tentang kesabaran, nilai kesabaran inilah yang banyak diangkat di dalam karya
sastra seperti Novel Karya Khrisna Pabichara dengan judul “Natisha” seperti
kutipan berikut:
“Ada satu hal yang dapat membawa kita pada kebaikan, Nak:
selalu berhati-hati menghadapi perbuatan buruk. Begitu Pappasang yang tertera
dalam lontarak. Sebaliknya, ada hal lain yang dapat membawa kita pada
keburukan. Bertindak kasar ketika marah. Jadi tenangkan hatimu”
(Dikutp
dalam Novel “Natisha” halaman 23)
Menurut Emzir dan Rohman (2015: 8)
fungsi dapat didefinisikan sebagai kedudukan yang memiliki unsur-unsur di dalam
sebuah struktur. Jadi, fungsi itu melekat pada unsur-unsur yang berbeda dalam
sebuah kelompok yang dinamakan dengan struktur. Wellek dan Warren (2014: 22–33)
menjelaskan bahwa fungsi sastra adalah sebagai berikut: (1) Sebagai hiburan.
Karya sastra adalah “pemanis” dalam kehidupan masyarakat sebab memberikan
fantasi-fantasi yang menyenagkan bagi pembaca. Karena sebagai hiburan, dampak
yang diperoleh adalah rasa senang. (2) Sebagai renungan. Karya sastra
difungsikan sebagai media untuk merenungkan nilai-nilai terdalam dari pembaca.
Karena karya sastra berisi pengalaman-pengalaman manusia, maka pengalaman itu
diungkapkan sedemikian rupa untuk memperoleh sari pati yang diinginkan. (3)
Sebagai bahasan pelajaran. Karya sastra difungskan di tengah-tengah masyarakat
sebagai media pembelajaran bagi masyarakat. Karya sastra menuntun individu
untuk menemukan nilai yang diungkapkan sebagai benar dan salah. Karya sastra
dikatakan sebagai “indah dan berguna” atau dulce et utile. (4) Sebagai
media komunikasi simbolik.
Luxemburg (dalam Emzir dan Rohman,
2015: 8), menyatakan bahwa karya seni adalah sebuah media yang digunakan
manusia untuk menjalin hubungan dengan dunia sekitarnya. Karena ini komuniksi
simbolik, maka para penerima tidak bias langsung menerjemahkan kata-kata
sebagaimana arti denotatif, tetapi harus menggunakan instrumen konotatif. (5)
Sebagai pembuka paradigma berfikir. Sastra menurut Bronowski (dalam Emzir dan
Rohman, 2015: 8), dijadikan sebagai media untuk membuka cakrawala masyarakat
yang terkungkung oleh semagat zaman yang tidak disadarinya. Sastra menyadarkan
masyarakat yang selama ini merasa berada dalam kenyataan yang sesungguhnya
padaha sebetulnya hanya berada pada entitas yang mirip dengan kenyataan
(kuasi-kenyataan).
Fungsi karya sastra menurut
Mihardja (2012: 2–3) meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Fungsi rekreatif.
Sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau
pembacanya. (2) Fungsi didaktif. Sastra mampu mengarahkan atau mendidik
pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di
dalamnya. (3) Fungsi estetis. Sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat
atau pembacanya karena sifat keindahannya. (4) Fungsi moralitas. Sastra mampu
memberikan pengetahuan kepada pembaca atau penikmatnya sehingga tahu moral yang
baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
(5) Fungsi religius. Sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran
agama yang dapat diteladani para penikmat/ pembaca sastra.
Menurut Endraswara (2011: 23)
fungsi sastra berdasarkan pandangan para kaum romantik mencakup hal-hal sebagai
berikut: (1) sastra sama derajatnya dengan karya nabi, misalnya sastra
keagamaan, mahabarata, sastra suluk, dan sejenisnya yang bernilai
profetik, (2) sastra bertugas menghibur belaka (karya populer), untuk
memberikan entertainment, mengajak gelak tawa, dan menyodorkan selingan
lidah, (3) sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Selain itu, Sastra
memberikan sebuah fatwa bagi masyarakat agar lebih bersikap manusiawi.
Penjabaran tentang fungsi sastra
juga disampaikan oleh Semi (1993: 20– 21) bahwa tugas sastra adalah sebagai
alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa dalam arti yang positif. Tradisi itu
memerlukan alat untuk meneruskan pada masyarakat sezaman dan masyarakat yang
akan datang antara lain cara berfikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman
sejarahnya, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaannya. Selain
itu, tugas atau misi lain dari sastra adalah menjadikan dirinya sebagai suatu
tempat agar nilai kemanusiaan mendapat tempat yang sewajarnya, dipertahankan,
dan disebarluaskan, terutama di tengah-tengah kehidupan moderen yang ditandai
dengan mengebu-gebunya kemajuan sain dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disintesiskan bahwa fungsi karya sastra meliputi hal-hal sebagai berikut: (1)
sebagai hiburan atau kreasi yang bersifat estetis, (2) sebagai renungan
moralitas, (3) sebagai pembelajaran sesuatu dengan cara menghibur, (4) sebagai
media komunikasi simbolik, (5) pembuka paradigm berfikir, (6) dapat bersifat
religius dan sama derajatnya dengan karya nabi, (7) alat untuk meneruskan
tradisi, (8) menjadi tempat bagi nilai dapat tumbuh sewajarnya, dipertahankan,
dan disebarluaskan.
C.
Manfaat
Sastra
Hampir pada umumnya sesuatu ada
bersama dengan fungsinya; disiplin ilmu lain ada bersama fungsinya, sastra pun
demikian. Yang jadi persoalan, apakah pengertian fungsi sastra dapat berubah
sepanjang sejarah. Pertanyaan ini setidaknya menurut Wellek dan Warren
(1990:24) agak sulit dijawab. Apalagi jika fungsi yang dibicarakan menyangkut
fungsi sastra dalam ruang lingkup yang luas. Akan tetapi secara umum mereka
beranggapan bahwa sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Pertanyaan mereka ini dinyatakan dalam ungkapan bahwa sebuah karya seni
(sastra) dikatakan berfungsi jika dikaitkan dengan fungsi dulce dan utile. Kata
dulce artinya manis, menghibur, memberikan kesenangan; sedangkan utile berarti
memberikan sesuatu (manfaat). Dengan menunjuk drama antigone yang Wellek dan
Waren nilai memberikan manfaat dalam arti luas tidak membuang-buang waktu bukan
sekadar kegiatan iseng, sesuatu yang perlu mendapat perhatia serius. Sedangkan
arti kata menghibur adalah tidak membosankan, bukan kewajiban, dan memberika
kesenangan.
Antara kedua sifat sastra (menghibur
dan bermanfaat) pada karya sastra harus saling mengisi. Kesenangan yang
dimaksudkan di sini bukan kesenanga lain dari kesenangan yang diperoleh dari
karya non-sastra, (berupa kesenangan fisik); kesenangan ini lebih tinggi, yakni
kontemplasi yang tidak mencari keutungan. Sedangkan manfaatnya berupa
keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetik, dan keseriusan persepsi.
Dengan pemahaman ini dapat diungkapkan bahwa fungsi sastra sebagai pemekat
(intesifkator). Di dalam pengalaman hidup disaring, dijernihkan, dan
dikristalkan sehingga pembaca dapat mengambil hikmah dari kekayaan pengalaman
tersebut dengan mudah dalam waktu singkat. Penghayatan yang mendalam dan jernih
terhadap kehidupan niscaya membantu kita dalam mengendalikan kehidupan itu
sendiri.
Sastra dapat digunakan oleh
sejarawan sebagai dokumentasi sosial. Namun, apakah sastra memiliki manfaat
yang tidak dimiliki bidang lain? Pernyataan ini dapat saja dijawab, ya! Sebab
di samping penelitian yang bersifat ilmiah untuk memahami dan menolong manusia
serta masyarakat, dunia sastra masih tetap memegang peran penting dalam bidang
yang sama. Khususnya mengungkap misteri yang begitu dalam seperti religiusitas
manusia, yang menentukan sikap-sikap kita terhadap dri sendiri; karya-karya
sastra mengisi hal-hal yang tidak mungkin diisi oleh ilmu pengetahuan dan
ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan lain. Khususnya dalam pengolahan religius manusia
yang lazimnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan
persentuhan citra rasa, sarana sastra sangat bermanfaat.
Seperti halnya filsafat dan ilmu
pengetahuan lain, sastra pun mengungkap kebenaran. Minimal kebenaran yang
diyakini oleh sastrawan yang bersangkutan. Pendapat umum ini ditandai oleh Max
Easman, teoritikus yang juga penyair, bahwa pikiran sastra adalah pikiran
amatir tanpa keahlian tertentu dan warisan pra-ilmu pengetahuan yang
memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan kebenaran. Penekanan Easman bahwa
kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni
pengetahuan yang sitematis dan adapt dibuktikan. Hal-hal yang ditimbulkannya
akan dipertentangkan dengan kebenaran di bidang ilmu-ilmu sosial.
Melalui pandangan hidup yang muncul
dari setiap karya sastra terkesan bahwa sastra memiliki kebenaran. Mengenai hal
ini Wellek dan Warren (1990:32) menyatakan bahwa kebenaran sastra tampaknya
merupakan kebenaran dalam sastra yang menurut filsafat dalam wujud konseptual
sistematis dari luar bidang sastra yang dituangkan dalam wujud sastra. T.S.
Eliot agak ragu mengenai hal ini, menurutnya, kebenaran merupakan wilayah para
pemikir sistematis, sedangkan sastrawan bukan pemikir, meskipun pada dasarnya
dapat menjadi pemikir.
Pembenaran pernyataan Wellek dan
Warren dalam hal kebenaran ditegaskan melalui pernyataan selanjutnya tentang
pengetahuan, kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Perlu ditekankan sekali
lagi, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran yang dibatasi pada hal-hal
yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa pun secara deduktif. Sastra
pada dasarnya indah dan bersifat benar. dalam pengertian tidak bertentangan
dengan prisip-prinsip kebenaran. Berkaitan dengan ini Archibald Maclesh
menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat; puisi sama serius dan sama
pentingnya dengan filsafat (ilmu kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan
kebenaran. Sastra juga dapat berfungsi membebaskan pembaca dan penulisnya dari
tekanan emosi. Hal ini diistilahkan oleh Aristoteles dengan kata katarsis
(catharsis); pelepasan jiwa dari tekanan-tekanan emosi yang ada ialah kenikmati
sebuah karya seni (sastra).
Menurut Lazar (2002: 15-19),
beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pembelajaran sastra, antara lain
yaitu:
a. Memberikan motivasi kepada;
Pertama, sastra dapat memberikan
motivasi kepada siswa. Apabila materi pembelajaran sastra dipilih secara cermat
dan hati-hati, siswa akan merasakan bahwa apa yang mereka pelajari adalah
sesuatu yang relevan dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam konteks ini,
sastra mampu menunjukkan kepada siswa tema-tema yang kompleks tetapi segar dan
menggambarkan penggunaan bahasa yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
b. Memberi akses pada latar belakang
budaya;
Kedua, sastra merupakan akses latar
belakang budaya. Sastra dapat membantu siswa memahami budaya masyarakat yang
menjadi latar dalam teks sastra yang sedang dipelajari. Namun hal ini cukup
rumit, mengingat dalam memahami hubungan antarbudaya, sastra tidak
menyampaikannya dengan sederhana, karena beberapa karya sastra seperti novel,
cerpen, atau puisi dapat diklaim sebagai dokumentasi yang murni dari budaya
masyarakat. Sementara, kebenaran dalam sastra itu sesungguhnya tidaklah
mutlaks.
c. Memberi akses pada pemerolehan
bahasa;
Ketiga, sastra merupakan akses
pemeroleham bahasa. Sastra menyediakan sebuah cara yang tepat untuk pemerolehan
bahasa, seperti menyediakan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam
proses penginterpretasian bahasa baru. Melalui sastra, siswa dapat meningkatkan
pemerolehan bahasanya, dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya, melakukan
proses pembelajaran bahasa yang menyenangkan. Dalam hal ini berarti ada
integrasi antara pembelajaran sastra dan bahasa, sehingga keduanya dapat saling
memberikan manfaat.
d. Memperluas perhatian siswa/mahasiswa
terhadap bahasa;
Keempat, sastra memperluas perhatian
siswa terhadap variasi bahasa. Dalam konteks ini sebuah novel atau cerpen dapat
membantu siswa dalam memahami dan menginterpretasikan berbagai tema dengan
lebih mudah. Melalui kegitannya dalam memahami makna sebuah teks sastra, siswa
dapat melatih kepekaanya dalam menggunakan bahasa.
e. Mengembangkan kemampuan
interpretatif; dan
Kelima, sastra mengembangkan
kemampuan interpretatif siswa. Sastra adalah sumber yang bagus untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami makna dan membuat interpretasi.
Sastra, dapat membuat pembacanya hanyut dalam asumsi teks ketika berusaha untuk
memahami maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baikkepada siswa untuk
mendiskusikan, dan menginterpretasikan pendapat mereka sendiri berdasarkan
fakta yang terdapat dalam teks. Bila siswa berinteraksi dengan berbagai macam
ambiguitas dalam teks sastra, guru dapat membantu siswa mengembangkan
keseluruhan kapasitasnya dalam memahami makna. Kemampuan tersebut sangat
bermanfaat bagi siswa ketika siswa harus membuat interpretasi berdasarkan
fakta-fakta yang dinyatakan secara tidak langsung dalam kehidupan nyata.
f. Mendidik siswa secara keseluruhan.
Keenam, sastra mendidik siswa secara
keseluruhan. Sastra memiliki berbagai macam fungsi edukasi. Pembelajaran sastra
di dalam kelas, dapat membantu siswa menstimulasikan imajinasi atau khayalan,
mengembangkan kemampuan kritis dan meningkatkan perhatian emosionalnya. Apabila
siswa diminta untuk memberikan respon secara personal terhadap teks sastra yang
dibaca, siswa akan menjadi lebih percaya diri dalam mengekspresikan ide mereka,
dan mengekspresikan emosinya. Selain itu, siswa termotivasi untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menguasai teks sastra dan memahami bahasa, serta dalam
menghubungkan teks sastra yang dibaca tersebut dengan nilai-nilai dan tradisi
dari masyarakatnya.
D.
Sifat-sifat Sastra
Wellek
(1995) membagi sifat-sifat sastra dalam
beberapa katagori yang diuraikan sebagai berikut:
1. Sastra
bersifat dunia dalam kata. Mengapa? Karena dunia yang diciptakan dibangun,
diabstraksikan dan sekaligus ditafsirkan melalui kata-kata, melalui bahasa
pasti ada referensinya dalam dunia nyata, minimal apa yang digambarkan dalam
suatu karya sastra ada persamaannya dengan yang terdapat di dunia nyata.
Misalnya dalam hal karakter tokoh Datuk Maringgih dalam roman “Sitti Nurbaya”
adalah seorang lintah darat yang selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai
apa yang diinginkan. Karakter semacam ini merupakan cerminan dari fakta yang
ada dalam masyarakat, tidak terbatas pada daerah, tempat, maupun waktu.
2. Sastra
bersifat otonom. Maksudnya suatu karya sastra memiliki hak untuk tidak
dikait-kaitkan dengan dunia lain di luar karya sastra itu sendiri. Misalnya
dalam cerita anak-anak, Pinokio dikisahkan tentang seorang pembuat boneka kayu
yang bernama Gapetto yang tinggal di Italia, tidak usalah kita beranggapan
bahwa jika, ada kenalan kita di Itali bernama Gapetto dan kebetulan berprofesi
sebagai pembuat boneka kayu adalah Gapetto itulah yang diperankan dalam cerita,
kecuali jika penulis cerita sendiri yang mencantumkan bahwa cerita ini diilhami
oleh seseorang atau sesuatu kejadian.
3. Sastra
adalah suatu tanda bahasa yang terus menerus disemantikkan. Dengan kata lain,
bahasa sastra memiliki makna yang berlapis-lapis.
4. Sastra
adalah suatu keseluruhan yang padu. Maksudnya suatu karya sastra lengkap di
dalam dirinya sendiri. Sependek apa pun karya sastra yang dihasilkan
penulis, seperti puisi, itu merupakan
satu kesatuan yang lengkap.
5. Sastra adalah multiinterpretasi. Maksudnya sastra berhak mendapat
bermacam-macam penafsiran, karena memang bahasanya cenderung membuka peluang
untuk hal tersebut. Hal ini tentunya tidak lepas dari ciri bahasa sastra yang
bersifat konotatif. Dalam hal pemaknaan karya sastra tidak terbatas. Timbulnya
sifat multiinterpretasi itu dipengaruhi oleh kemajemukan pengalaman, daya
tanggap, serta kematangan intelektual masyarakat penikmat sastra itu sendiri. Semakin
tinggi tingakat kematangan intelektual
pembaca diharapkan akan semakin bijak pula bentuk penafsiran yang
diberikan terhadap suatu karya sastra.
No comments:
Post a Comment