Seluruh aktivitas pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan oleh guru bermuara pada terjadinya proses belajar
siswa. Dalam hal ini model – model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan
guru hendaknya dapat mendorong siswa untuk belajar dengan mendayagunakan
potensi yang mereka miliki secara optimal. Model – model pembelajaran
dikembangkan utamanya beranjak dari adanya perbedaan berkaitan dengan berbagai
karakteristik siswa. Karena siswa memiliki berbagai karakteristik kepribadian,
kebiasaan – kebiasaan, modalitas belajar yang bervariasi antara individu satu
dengan yang lain, maka model pembelajaran guru juga harus selayaknya tidak
terpaku hanya pada model tertentu, akan tetapi harus bervariasi. Penggunaan
model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa
terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan
tugas, memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga
memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik.
Berbagai
definisi istilah model pembelajaran banyak dikemukakan para ahli berdasarkan
sudut pandang masing-masing. Di antaranya Gagne dan Briggs (Mulyana, 2000: 29)
menyebut model pembelajaran sebagai “Instruksional model”, dan mendefinisikannya
sebagai: An integrated set of strategy
components such as: the particular way the content ideas are sequenced, the use
of overview and summaries, the use of examples, the use of practice, and the
use of different strategies for motivating the students. Pendapat ini menekankan pada pengertian model sebagai sejumlah komponen
strategi yang disusun secara integratif, terdiri dari langkah-langkah
sistematis, aplikasi hasil pemikiran, contoh-contoh, latihan, serta
berbagai strategi untuk memotivasi para pembelajar.
Selanjutnya
Briggs (Mulyana, 2000: 29) pada buku yang berjudul Instructional Design,
Principles and Applications mengungkapkan bahwa model ialah a set of
coherent procedures for actually carrying out a process, such as need
assessment, media selection, or evaluation. Pengertian ini menitikberatkan
pada model desain instruksional.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008: 923) model adalah pola (contoh, acuan, ragam,
dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Begitu pun
dengan istilah model pembelajaran tidak akan terlepas dari pola, contoh, atau
acuan yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran.
Menurut
Dahlan (Dasripin, 2008: 17), suatu model pembelajaran dapat diartikan sebagai
suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur
materi pengajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting
pengajaran ataupun setting lainnya.
Adapun yang
dimaksud model pembelajaran dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Joyce
dan Weil (1980: 1) adalah: “A pattern or plan, which can be used to shaped a
curriculum or course to select instructional materials, and to guide a
teacher’s actions”.
Maksud
definisi di atas model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang
dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka
panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing tindakan/aksi
pengajar.
Rumusan di
atas diperjelas oleh karakteristik model yang harus ada sebagai unsur
pada setiap model pembelajaran, yaitu 1) orientation to the model
(orientasi model); 2) the model of teaching (model pembelajaran); 3) application
(penerapan); dan 4) instructionaland nurturant effect (dampak
instruksional dan penyerta).
Dalam the
model of teaching (model pembelajaran) terdiri dari syntax (sintaksis),
system social (sistem sosial), principal of reaction (prinsip
reaksi), dan support system (sistem penunjang). Pengertian syntax
(sintaksis) menunjukkan tahap-tahap kegiatan model. System social
(sistem sosial) menunjukkan hubungan interaksi antara pengajar dan peserta
didik serta norma yang harus dianut. Principal of reaction (prinsip
reaksi) menunjukkan sikap dan perilaku pengajar untuk merespons keaktifan
peserta didik dalam belajar. Adapun support system (sistem penunjang)
menunjukkan unsur-unsur yang terkondisi tepat dan sesuai untuk menunjang
pelaksanaan model pembelajaran.
Selanjutnya
Joyce dkk (2000: 13) mengungkapkan bahwa:
A model of
teaching is a description of a learning environment. The descriptions have many
uses, ranging from planning curriculums, courses, units and lessons to
designing instructional materials-books and workbooks, multimedia programs, and
computer-assisted learning programs. Because the models provide learning tools
to the students, they are uniquely suited to the development of programs for
students whose “learning histories” are cause for concern.
Joyce dkk
mengungkapkan bahwa model pembelajaran adalah deskripsi suatu lingkungan
pembelajaran yang disusun berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, pembelajaran
di kelas, kelompok belajar, dan latihan-latihan untuk mendisain instruksional
berbagai materi pelajaran, program multimedia, serta program-program
pembelajaran melalui komputer. Dengan dipersiapkannya berbagai
kebutuhan pembelajaran bagi pembelajar, memungkinkan terwujudnya
kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada
diri pembelajar.
Model pembelajaran menawarkan kegiatan
pembelajaran yang beraneka ragam, sehingga pembelajar tidak jenuh dalam
belajar. Keragaman model yang diterapkan diharapkan mampu menjangkau lebih
banyak sisi kebutuhan pembelajar di kelas. Model-model pembelajaran bukanlah
untuk mengubah apa yang sudah pengajar miliki dan bisa dilakukan, melainkan
untuk menambah, melengkapi, dan memperluas variasi gaya mengajar pengajar.
Menurut Sudrajat (2009), model pembelajaran pada
dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir
yang disajikan secara khas oleh pengajar. Dengan kata lain, model pembelajaran
merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, strategi,
metode, teknik, dan taktik/gaya pembelajaran. Pendekatan dalam pembelajaran
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan,
dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Strategi
pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan pengajar
dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan
efisien. Selanjutnya dengan mengutip pemikiran David dan Sejaya (Sudrajat,
2010) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna
perencanaan. Artinya bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat
konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu
pelaksanaan pembelajaran. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang
digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan
nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang
dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Taktik/gaya
pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik
pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.
Berdasarkan klubguru.com dan
images.youwshi.multiply. multiplycontent. com model pembelajaran adalah bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas
oleh pengajar di kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian
kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan
pengajar dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Kozma (klubguru.com dan images.youwshi. multiply
.multiplycontent.com) secara umum menjelaskan bahwa strategi pembelajaran dapat
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yang dapat memberikan fasilitas
atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran
tertentu. Metode pembelajaran adalah prosedur, urutan, langkah-langkah, dan
cara yang digunakan pengajar dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan kata
lain, metode pembelajaran dapat dikatakan sebagai penjabaran dari pendekatan.
Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode pembelajaran. Dapat
pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke
pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara
aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran berlangsung.
Adapun teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran
berlangsung. Pengajar dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode
yang sama. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik
pembelajaran.
Jadi, yang
dimaksud dengan model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang
dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran, merancang
bahan, dan membimbing tindakan/aksi pengajar dalam setting pembelajaran
di kelas atau setting lainnya. Model pembelajaran memiliki karakteristik
unsur yang harus ada pada setiap model pembelajaran, yaitu 1) orientation to
the model (orientasi model); 2) the model of teaching (model
pembelajaran); 3) application (penerapan); dan 4) instructionaland
nurturant effect (dampak instruksional dan penyerta). Dalam the model of
teaching (model pembelajaran) terdiri dari syntax (sintaksis), system
social (sistem sosial), principal of reaction (prinsip reaksi), dan support
system (sistem penunjang). Oleh karena model pembelajaran melibatkan banyak
unsur, maka model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
suatu pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik/gaya pembelajaran.
Endraswara (2005) membagi model pembelajaran sastra menjadi
lima yaitu: (1) model strata, (2) model Rodrigues-Badaczewski, (3) model
sinektik, (4) model Taba, dan (5) model Moody. Kelima model tersebut akan
diuraikan berikut ini:
1.
Model
Strata
Model
ini ditemukan dari ahli pendidikan bernama Leslie Strata. Model ini meliputi
tiga langkah pokok pengajaran:
a. Penjelajahan
yakni siswa diberi kesempatan memahami fiksi dengan cara membaca dan menghayati
langsung. Mereka memasuki karya sastra secara langsung dengan cara membaca,
bertanya, mengamati/menyaksikan pementasan dan kegiatan. Kegiatan kesastraan
lain. Penjelajahan dilakukan secara menyeluruh terhadap cipta sastra. Siswa
seperti halnya seorang “pejalan kaki”menyusuri desa-desa, tahu route desa, tahu
keindahan dan merasakan enak tidaknya.
b. Interpretasi,
yakni dengan bimbingan pengajar untuk mencoba menafsirkan unsur cerita setelah
menjelajahi unsur-unsur sastra, subjek didik mulai menafsirkan sejalan dengan
pengalamannya. Penafsiran dapat dilakukan dari lapis strata yang paling luar (dangkal)
sampai pada kedalaman makna.
c. Rekreasi,
pendalaman, yakni agar siswa
mengkreasikan dengan mengubah fiksi menjadi dialog (dramatisasi). Pengkreasian kembali apa saja
yang sudah dipahami, akan menjadi bekal pengayaan batin untuk memproduksi sastra. Rekreasi tak
berarti meniru, melainkan harus ada perbedaan dari yang sudah ada.
2.
Model Rodrigues- Badaczewski
Model ini dinamakan dari nama
pencetusnya bernama Rodrigues dan Badaczewski. Ada sembilan langkah yang
ditawarkan yaitu: (1) class discussion, (2) group discussion, (3) one-to-one discussion, (4) role
playing, (5) dramatization, (6) media presentations, (7) interest of value surveys, (8) creative
writing, (9) literary riviews.
Tawaran tersebut lebih banyak
diarahkan agar ada kreativitas guru, siswa dalam menikmati karya satra lebih
efektif. Karya sastra berupa puisi atau prosa setelah didiskusikan dalam kelas
dapat dimainkan (diperankan). Hal ini sekaligus mengajak mereka berlatih drama.
Pada akhir pembelajaran diharapkan siswa dapat mencipta dan mengkritik sastra.
Langkah ini juga menghendaki
pengajaran proses. Hal ini akan lebih cocok untuk membelajarkan prosa terlebih
dahulu baru ke genre puisi dan drama. Langkah terakhir akan sampai pada
timbangan atau kritik sastra. Tentu saja kritik yang dimaksud masih dalam
kerangka penikmatan sebuah karya sastra.
3.
Model
Sinektik
Model ini ditawarkan oleh
William J.J. Gordon karena itu disebut model Gordon sinektik berasal dari
bahasa Greek “synectikos”, synectis (Inggris) yang berarti menghubungkan atau menyambung.
Maksudnya model ini adalah upaya pemahaman karya puisi melalui proses metaforik
dengan analogi. Model ini menekankan pada keaktifan dan kreativitas siswa.
Dalam proses sinektik, diperlukan keterlibatan emosional siswa. Model gordon
mengenal tiga langkah yakni:
a. Analogi
personal, teknik ini mengajak siswa mengidentifikasi unsur-unsur masalah yang
ada dalam sastra. Siswa diminta merasakan bagaimana seandainya menjadi
sastrawan besar, seandainya dapat menulis seperti karya yang ditulis penulis terkenal,
andaikata mendapatkan hadiah karena tulisannya;
b. Analogi
langsung, dalam hal ini masalah sastra yang diperoleh disejajarkan dengan
kondisi lingkungan sosial budaya siswa. Misalnya siswa diminta menganalogikan
dirinya sebagai tokoh yang mengalami nasib
seperti Siti Nurbaya dengan Datuk
Maringgih.
c. Konflik
Kempaan, yaitu mempertajam pandangan dan pendapat pada posisi masing-masing
terutama dalam menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda, sehingga siswa
memahami objek dan penalaran dari dua atau tiga kerangka berpikir misalnya
ketika siswa berhadapan dengan “puisi gelap” tragedi Winka karya Sutarji Clzoum
Bachri, masing-masing harus teguh dengan pendiriannya, jangan tergoyahkan
pendapat lain, meskipun akhirnya juga harus mau memberi dan menerima pendapat
orang lain.
Prinsip yang perlu dipegang
dari model Gordon adalah: (1) jangan
membatasi pengalaman yang mungkin diperoleh siswa (2) hargai gagasan-gagasan
yang muncul, (3) jangan takuti siswa dengan soal ujian, (4) biarlah siswa
berproses secara liar, (5) berilah kesempatan untuk beradu pendapat, karena
perbedaan individu sangat mungkin terjadi, (6) galilah mereka sehingga timbul
ide-ide kreatif dan produktif.
Model ini harus mampu
menggiring siswa pada strategi pemecahan masalah secara kreatif karena itu
inisiatif dan keterlibatan siswa untuk mendalami masalah sastra harus diperkaya
secara rinci.
4.
Model
Taba
Pelaksanaan model Taba pada
prinsipnya diperlukan pengkajian unsur-unsur sastra baik instrinsik maupun
ekstrinsik. Oleh karena itu, siswa harus digiring ke arah generalisasi. Model
ini mengikuti pola pemikiran induktif.
Melalui model tersebut, siswa
akan bebas terlibat dalam suatu karya sastra. Mereka dapat membaca sendiri,
mendengarkan sebuah pembacaan sastra, menyaksikan pentas drama, selanjutnya
ditugasi untuk memberikan tanggapan. Pendapat-pendapat siswa tersebut lalu
dirangkum, dicari titik temunya, kemudian disimpulkan sementara.
Guru dalam hal ini
semata-mata hanya sebagai mediator dan
motivator. Guru juga harus terampil menciptakan kelas yang aktif. Jika ada
pendapat yang berbeda bisa menjadi perangsang apabila kelas tidak aktif.
Ada tujuh fase yang perlu
dilalui dalam proses pengajaran sastra ketika menerapkan model Taba. Fase-fase
itu terlihat dalam aktivitas sebagai berikut:
Tabel 2 Fase-fase pengajaran sastra
No
|
Tujuan
|
Kegiatan
|
1.
|
Menghimpun
|
Mendaftar permasalahan yang berhubungan dengan karya yang dibaca,
permasalahan apa saja yang menonjol, yang unik, dan paling banyak muncul.
|
2.
|
Menyepakati
masalah
|
Mengidentifikasi masalah yang sejenis misalnya tentang tema,
judul, nilai-nilai, pengarang dan lain-lain.
|
3.
|
Mengategorikan masalah
|
Menamai kategori masalah berhubungan dengan unsur ekstrinsik
(psikologi pengarang, sosiologi,
filsafat) intrinsik, kreativitas sastrawan, kebebasan mengarang dan
lain-lain.
|
4.
|
Menghayati masalah
|
Menganalisis permasalahan secara bersama-sama untuk mencari titik
temu. Bisa berlandaskan pengalaman emperik dan teoretik.
|
5.
|
Menemukan data umum dan masalah khusus
|
Menggeneralisasikan data
|
6.
|
Menghimpun penunjang
|
Membuat kesimpulan yang menjelaskan data. Kesimpulan harus
bersumber pada data.
|
7.
|
Menyusun generalisasi
|
Menerapkan generalisasi yang terbentuk sebelumnya.
|
5.
Model Moody
Model Moody membagi enam
tahap penyajian pengajaran sastra yang dapat diterapkan pada apresiasi puisi
yakni:
a. Preliminary asesment, tahap
pelacakan awal, ini menjadi tugas guru untuk memahami lebih dalam tentang
seluk-beluk sastra yang akan diajarkan. Melalui pemahaman, akan mudah
ditentukan strategi penyajian yang tepat. Di antara fenomena yanng patut
dicermati antara lain fenomena sosial apa saja yang terdapat dalam karya sastra
tersebut, jika karya berupa puisi, adakah fakta-fakta tertentu, bagaimana
penyair menampilkan tipografi, siapa sasaran puisi, penyair menyajikan puisi
secara dialogis, naratif, ada makna tersirat atau tidak, nilai pragmatik apa
saja yang ada di dalamnya;
b. Practical decission, tahap
penentuan hal-hal praktis untuk menentukan apakah karya sastra tergolong
sederhana atau panjang, bahasanya mudah dicerna atau tidak, gayanya ironis atau
yang lain, aspek-aspek apa saja yang bisa dipetik;
c. Introduction of the work, tahap
introduksi sudah mulai menyajikan karya sastra. Tahap ini merupakan langkah
siasat awal untuk menarik minat siswa. Dialog dan pancingan-pancingan awal
harus ditata yang strategis karena
justru akan menentukan keberhasilan penyajian berikutnya;
d. Presentation of the work, tahap
penyajian diawali denngan pembacaan puisi oleh guru (sebagai contoh) guru juga
dapat memberikan rekaman pembacaan puisi, rekaman pembacaan cerpen, sebaiknya
menggunakan CD atau video. Selanjutnya siswa dihapakan mencoba membaca menurut
daya eksperesi mereka;
e. Discussion, tahap
ini merupakan langkah penting dalam memahami suatu puisi. Guru hendaknya mampu
mendorong munculnya pertanyaan-pertanyan
dalam situasi yang hidup. Warna diskusi ke arah apresiasi dan bukan
debat kusir. Pemahaman benar salah dalam diskusi, harus dihilangkan karena
puisi menghendaki multi tafsir. Karena itu penghargaan terhadap pendapat siswa sangat diperlukan;
f. Reinforcement (testing), tahap pengukuhan yang dimaksud adalah sebagai langkah sajian penguatan. Subjek didik digiring untuk
memahami puisi tidak saja dalam tuturan luar melainkan sampai “mendarah
dagingkan” puisi itu terhadap mereka. Tahap ini juga boleh dikatakan untuk
menciptakan ketagihan siswa terhadap puisi.
No comments:
Post a Comment