Thursday, June 12, 2014

KAJIAN LINGUISTIK TENTANG PENGUASAAN LINGUISTIK


SINKRONISASI PENGETAHUAN LINGUSITIK DAN KETERAMPILAN BERBAHASA PESERTA DIDIK
Oleh : Aziz Thaba
PENDAHULUAN

Membicarakan kualitas pandidikan di Indonesia, tidak mungkin tidak menyinggung persoalan kurikulum. Karena, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas kurikulum, di samping kualitas aspek lain macam sarana prasarana, kualitas guru, kesiapan anak didik, peran orang tua, kualitas buku ajar dan lain sebagainya. Menurut Mansur Muslich kurikulum adalah seperangkat rencana peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah (1994: 2). Sedangkan menurut Taba (dalam Musilch, 1994: 1) kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak-anak untuk berpartisipasi sebagai anggota yang proaktif dalam masyarakat, yang mempunyai komponen: tujuan dan sasaran seleksi, dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan mengajar, dan evaluasi hasil belajar. Secara ringkas Wardiman Djojonegoro mengatakan bahwa kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan (1996: 119).
Berdasarkan konsep para ahli kurikulum di atas, kurikulum menjadi salah satu prioritas yang paling mendesak yang harus diperhatikan dan diperbaiki pemerintah agar pembangunan dunia pendidikan berjalan dengan baik. Menurut  John Dewey kurikulim sering manjadi jauh dan abstrak bagi dunia anak (Preire, 2003: 224). Bahan keilmuan tidak diterjemahakan ke dalam istilah-istilah kehidupan anak, melainkan secara langsung disodorkan sebagai pengganti kehidupan anak saat ini, atau sebgai suntikan pada kehidupan anak saat ini (Preire, 2003: 236). Sebagai sarana, kurikulum tidak mempunyai arti apa-apa apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai seperti sumber belajar dan mengajar, kamampuan tenaga pengajar, metodologi yang sesuai serta kejernihan arah dan tujuan yang akan dicapai (Tilaar, 1995: 251). Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam pembangunan pendidikan, dalam tulisan ini penting diketengahkan bagaimana perjalanan dan perkembangan kurikulum di Indonesia.
 
 PEMBAHASAN

A.   Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Kurikulum merupakan sarana yang mengatur berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam suatu Negara. Oleh karea itu, membicarakan kurikulum tidak dapat lepas dari persoalan yang melingkupinya. Persoalan pendidikan di Indonesia menjadi perhatian penting sejak lahirnya Negara Indonesia. Hal ini ditandai pada tahun 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan untuk menyusun persekolahan sesuai kurikulum yang diusulkan (253). Untuk itulah, kurikulum sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sejak tahun 50-an mengalami beberapa kali perubahan karena adanya tuntutan zaman. Namun demikian, realisasi kurikulum pertama kalinya secara eksplisit lahir dengan nama kurikulum 1968. Dalam kurikulum ini isi pendidikan adalah mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan membina/memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat. Pengorganisasian pada masing-masing kelompok (Djojonegoro, 1996: 415-16). Dan memang, dalam kurikulum 1968 ini proses pembelajaran berdasarkan materi.
Selang  kurang lebih 8 tahun, perjalanan kurikulum 1968 mengalami penyempurnaan menjadi kurikulum 75. Dalam kurikulum 75 ini arah perjalanan pembelajaran tidak lagi didasarkan pada materi, tetapi didasarkan pada tujuan pendidikan yang jelas. Tujuan tersebut dijabarkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Dengan lajunya pembangunan nasional turut juga mempengaruhi lajunya  pembangunan dunia pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum 75 yang berdasarkan pada tujuan itu disempurnakan menjadi kurikulum 84 atas usulan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional dan TAP MPR No IV/1983 (Tilaar, 1995: 260). Ciri yang menonjol pada kurikulum 84 adalah (1) apa yang akan diajarkan, (2) mengapa diajarkan, dan (3) bagaimana diajarkan. Percobaan-percobaan dalam kurikulum 84 ini akhirnya menghasilkan konsep pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada tingkat SMA, kurikulum ini secara garis besar dibagi menjadi program inti dan program pilihan.
Menginjak tahun 1994, lahirlah kurikulum 94 sebagai penyempurnaan kurikulum 84. Penyempurnaan ini karena adanya Undang-undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, tentang Sitem Pendidikan Nasioanl. Dalam kurikulum ini yang paling menonjol lahirnya istilah link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri khususnya pada sekolah kejuruan. Namun demikian, kurikulum ini masih tetap berorientasi pada tujuan.
Sejak tahun 2001 Departemen Pandidikan Nasioanal melakukan serangkaian kegiatan untuk menyempurnakan kurikulum 1994. Selama kurang lebih empat tahun (2004) lahirlah kurikulum dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hal ini karena, pendekatan yang digunakan adalah kompetensi dan kemampuan minimal yang harus dicapai oleh peserta didik pada setiap tingkatan kelas dan pada akhir satuan pendidikan dirumuskan secara eksplisit. Di samping rumusan kompetensi, sebagai tolok ukur ketercapaian hasil pembelajaran dirumuskan pula materi standar untuk mendukung pencapaian kompetensi dan indikatornya.
Kurikulum  yang berbasis kompetensi (KBK) dalam perjalanannya disempurnakan menjadi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8). Secara singkat dapat dikatakan KTSP adalah kurikulum yang pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada satuan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, para, “stake holder” pendidikan dalam sebuah lembaga tersebut harus memahami apa itu KTSP, utamanya adalah guru. Karena guru adalah sosok yang selalu bergelut dengan kurikulum sebagai arah sebuah pembelajaran di kelas.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah: (1) UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, (2) PP No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (3) Permendiknas No. 22 tahun 2006, tentang Standar isi, (4) Permendiknas No. 23 tahun 2006, tentang Standar Kompetensi Kelulusan, (5) Permendiknas No 24, tahun 2007, tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
B.   Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia
1.   Kebijakan Pemerintah
Sejak lahirnya kurikulum, pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari berbagai macam problema. Dalam kurikulum 1968 -kurikulum yang mengacu pada materi-pembelajaran berdasarkan materi sebagai bahan ajarnya. Sehingga, proses belajar mengajar tidak jelas arah dan tujuannya. Meski dalam kurikulum tersebut terdapat pernyataan bahwa “murid-murid harus dibiasakan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar”, pembelajaran bahas tetap menitikberatkan pada pengetahuan bahasa, karena yang menjadi dasar bukan tujuan tetapi materi. Pembelajaran berbasis materi pada umumnya guru selalu ketinggalan dengan materi yang relevan dan aktual bagi para siswa. Ia cenderung mengandalkan materi-materi yang terdapat dalam buku paket. Pada umumnyaa guru enggan berkreasi mencari materi pembelajaran di luar buku paket sebagai buku pegangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan kurikulum sehingga guru siap merealisasikan konsep-konsep yang terdapat dalam kurikulum majadi kreativitas konkret di depan kelas. Jika, hal ini dilakukan oleh pemerintah, tentunya para guru tidak mengandalkan sumber belajar yang monoton (terdapat dalam buku paket) tetapi mereka lebih kreatif untuk mencari dan memilih bahan pembelajaran.
Menyadari pentingnya tujuan pembelajaran dalam kurikulum, kurikulum 68 yang bertumpu pada meteri sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, kurikulum tersebut disempurnakan menjadi kurikulum 75 yang menitikberatkan pada tujuan pembelajaran. Dalam kurikulum 75 pun, pembelajaran bahasa juga tidak bebas dari permasalahan pembelajaran. Kurikulum yang menginstruksikan berbagai macam tujuan –mulai dari tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus- menimbulkan kebingungan guru dalam merumuskan tujuan khusus. Kenyataan itu, mengakibatkan perlunya menyiapkan guru sebagai pelaksana kurikulum di depan kelas. Untuk itu hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah setiap kebijakan selalu berkesinambungan dengan kebijakan yang lain. Kebijakan tidak boleh terpotong-potong pada satu kebijakan saja, tetapi membutuhkan pemikiran kebijakan selanjutnya sebagai dampak dari kebijakan yang telah diputuskan.
Permasalahan yang muncul dalam kurikulum 75 melahirkan kurikulum 1984. Kurikulum ini tetap bertumpu pada tujuan, akan tetapi ada perbedaan yang agak menonjol, di samping memfokuskan pada kemampuan berbahasa yang harus dimiliki peserta didik juga menitikberatkan pada fungsi bahasa. Dari sinilah, akhirnya tujuan kurikuler dalam kurikulum ini sudah semakin jelas dan baik. Sebagai misal, (1) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk membaca wacana bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pengalaman siswa, (2) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan 21. 000 kosa kata dalam ranah-ranah kebahasaan dalam pengalamannya, (3) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan menggunakan stuktur lanjutan bahasa Indonesia (4) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk menulis, (5) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa.
Pada kurikulum ini tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sudah terlihat dengan jelas. Tetapi, karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memandu perjalanan kurikulum sampai tingkat bawah, tujuan yang sudah dirumuskan dengan baik itu ternyata belum dapat diwujudkan sesuai dengan harapan. Belum dapat terwujud disebabkan guru sebagai sosok yang bersentuhan langsung dengan siswa tidak mengajak siswa untuk menggunakan bahasa dengan baik dan benar sesuai dengan rumusan yang terdapat pada kurikulum, tetapi masih berkutat pada pembelajaran tentang bahasa. Sehingga, out put yang dihasilkan tidak mempunyai keterampilan berbahasa melainkan mampu dalam ilmu tentang bahasa. Untuk inilah, sekali lagi kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan sosok guru sebagai pelaksana kurikulum di tingkat dasar.
Kurikulum 1994 merupakan peyempurnaan kurikulum 1984. Dalam kurikulum ini masih berorientasi pada tujuan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indosesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara, (2) siswa memahami  bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan sosial, (4) siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pada tujuan umum no 3, jelas sekali bahwa siswa diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Akan tetapi, kenyataannya pembelajaran bahasa berkutat pada pembelajaran tentang bahasa. Pembelajaran semacam itu, mengakibatkan hasil lulusan dapat ditebak mereka tidak terampil berbahasa tetapi mengetahui tentang bahasa. Ini disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang menyiapkan guru sebagai pelaksana kurikulum.
Dalam Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (2003: 3-4) standar kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencakup: (1) Kemampuan Berbahasa (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis), (2) kemampuan Bersastra (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis). Standar kompetensi tersebut dijabarkan menjadi berbagai macam kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Oleh karena itu peran guru dalam membantu penguasaan dan pencapaian kemampuan tersebut sangat penting. Untuk menguasai kompetensi, seorang guru harus mengetahui karakteristik mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang menitikberatkan pada kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, bukan kemampuan tentang bahasa dan kemampuan tentang sastra.
Dari sisni tampaklah bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mementingkan sebuah produk dari pembelajar. Dalam pembeljaran bahasa, baik guru maupun siswa tidak berpikir tentang sistem bahasa, melainkan berpikir bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan benar. Berkaitan dengan pembelajaran sastra, yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan sastra sebagai media yang harus diapresiasi. Karena, mengingat bahwa hakikat bahasa dan sastra adalah sebuah sarana komunikasi.
Pada kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih banyak persoalan berkaitan dengan pembelajaran bahasa. KTSP pada prinsipnya sangat terbuka adanya muatan lokal dalam pengembangannya.  Muatan lokal merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kurikulum muatan lokal ini merupakan upaya agar penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, sehingga pengembangan dan implementasi kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi KTSP. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan materi muatan lokal dapat berupa bahasa daerah atau bahasa asing. Materi pada muatan lokal ini hendaknya sesuatu yang ingin dikembangkan oleh daerah tersebut. Pengembangan kurikulum muatan lokal dapat terdiri atas tingkat provinsi, tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan, dan tingkat sekolah (Mulyasa, 2007: 278). Terkait dengan kurikulum muatan lokal ini, hal penting yang sering diabaikan adalah tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat setempat, tetapi berorientasi pada pengajar. Tidak berorientasi pada tujuan pendidikan secara nasional tapi hanya bersifat kedaerahan.
Materi muatan lokal sedapat mungkin mejadi sebuah andalan produk dari sekolah tersebut, untuk itu perlu tindak lanjut dari hasil yag diproduksi anak didik. Misalnya, jika anak didik membuat grup seni, bagaimana sekolah dapat menjual seni tersebut untuk kepentingan masyarakatnya. Jika, sekolah mempunyai kelompok pembuat bahan kerajinan, bagaimana upaya masyarakat dapat manikmati hasil kerajinan anak didik tersebut. Karena itu, muatan lokal tersebut hendaknya menopang eksistensi sebuah lembaga agar semakin kokoh di mata masyarakat.
Sampai saat ini pun malpraktik pendidikan masih melingkupi dunia pendidikan kita. KTSP yang mengisyaratkan pembelajaran sepenuhnya diserahkan kepada pihak satuan pendidikan, realisasinya pemerintah masih memberlakukan ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Malpraktik pendidikan juga akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Dalam KTSP memberikan keleluasaan kepada sekolah utamanya guru dalam membuat skenario pembelajaran mulai dari rencana pembelajaran sampai dengan evaluasi. Tetapi, realitas kelulusan diambil alih oleh pemerintah dengan mengharuskan sekolah melaksanakan ujian nasional. Kenyataan itu membuat ketidakberdayaan guru dalam mengkonsentrasikan kelas menjdai sebuah simponi indah dan menarik. Di samping itu, guru merasa didzalimi, yang akhirnya terpaksa berbuat curang demi kelulusan anak didiknya. Bukankah keberhasilan pendidik tidak hanya diukur dengan angka-angka dari beberapa mata pelajaran, melainkan dari proses pembelajaran panjang dan menyeluruh? Dan harapannya, dari proses panjang dan menyeluruh itu akan melahirkan manusia yang berkepribadian dan humanitet yang tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu, kata Manssur Fakih (dalam O’neil, 2001: x) para praktisi pendidikan seperti para guru di lembaga formal, pelatih pada tempat kursus di berbagai pendidikan non formal, ataupun pendidikan rakyat, di kalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam satu pergumulan politik dan ideologi malalui arena pendidikan. Dan memang, Tilaar menegaskan bahwa kalau kita berbicara mengenai kurikulum tidak lepas dari politik (1995: 253)
2.   Membangun Kultur
Kultur dalam sebuah kehidupan apa pun termasuk kehidupan pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Kultur seperti etos kerja yang rendah, sehingga mewujudkan malas belajar bagi para siswa maupun guru. Kultur senang ambil jalan pintas, suka menerabas dan suka budaya instan, menimbulkan kesantaian kerja, tetapi menginginkan penghasilan yang luar biasa. Suburlah kultur hipokrit menimbulkan sikap pengecut dan tidak bertanggung jawab. Segala sesuatu dilimpahkan pada orang lain sebagai wujud penghindaran dari tanggung jawab yang semestinya.
Sulitnya mengubah kultur di atas paling tidak menjadi penghambat majunya dunia pendidikan (termasuk dalam pembelajara bahasa). Padahal perubahan manjadi kunci penting yang harus dilakukan oleh guru, peserta didik, dan masyarakat di samping pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan. Untuk menyikapi realitas tersebut perlu menyimak ungkapan filosofis Rhenald Kasali dalam bukunya  Change! (2005), yakni, “tak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”. Dari sisnilah tampaknya penting melakukan sebuah perubahan jika menginginkan pembelajaran yang sesuai dengan minat  dan kebutuhan siswa.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, guru harus mampu menciptakan kultur yang baik. Untuk menunjang dan mewujudkan harapan tersebut penting memupuk dan mematrikan budaya yang sangat “urgen” dalam upaya pengembangan diri seorang guru. Budaya tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah budaya membaca, budaya menulis, dan budaya meneliti.
Pertama, budaya membaca. Membicarakan persoalan secara umumpenulis setuju jika  persoalan membaca bagi masyarakat kita sampai saat ini belum menjadi sebuah kultur apalagi sebuah budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tesis yang sering muncul di masyarakat adalah masih rendahnya minat baca masyarakat. Hal ini didukung oleh berbagai macam fakta. Sebagai misal, kemampuan membaca anak didik sekolah dasar kita berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang disurvei (laporan International Education Acheivement). Rasio perbadingan mambaca koran di Indonesia 1 koran dibaca oleh 42 orang, padahal sesuai dengan rasio ideal (menurut UNESCO) 1 koran dibaca oleh 10 orang. Pernyataan ini, tetntunya guru berada di dalamnya. Terkait dengan persoalan budaya membaca, penting merenungkan pertanyaan oratoris seperti: berapa jumlah guru yang setiap hari membaca? (bisa membaca koran, bisa membaca majalah, bisa membaca buku, bisa membaca jurnal, bukan membaca SMS). Berapa orang guru yang berlangganan koran, majalah, ataukah sumber bacaan lain? Berapa jumlah judul buku yang dibaca oleh seorang guru dalam setiap bulan atau tahunnya? Apakah ada seorag guru merasa pusing kepalanya karena seharian belum membaca koran, membaca majalah, membaca buku, membuka internet, atau sumber bacaan lain? Berapa orang guru yang menyisakan sebagian gajinya untuk membeli buku? Berapa persenkah guru di tanah air ini yang mempunyai perpustakaan pribadi?
Akan tetapi ada persoalan ironis yang sudah menjadi budaya dalam diri seorang guru. Kenapa banyak guru  pusing kepalanya, jika seharian tidak menghisap”si raja nikotin”?  Kenapa banyak guru cemas dengan HP-nya yang tergusur merk baru? Kenapa, juga tidak sedikit para guru yang dipusingkan merk sepeda motor baru tetangganya? Bahkan tidak sedikit guru yang memajang mobil di garasinya, meski tidak selalu dipakai kerja. Bukankah budaya, “pristese” yang menjadi “iman” mereka?

Kedua,  budaya menulis. Demikian juga dengan membaca, menulis masih jauh dari kegiatan yang membudaya. Terkait dengan budaya menulis ini, masih banyak guru yang merasakan bahwa kegiatan menulis itu merupakan kegiatan yang sulit. Hal itu karena tidak adanya kegiatan pendukung yakni membaca. Budaya menulis tidak dapat berdiri sendiri, artinya budaya menulis ini selalu dan otomatis didahului oleh budaya membaca. Orang yang suka menulis otomatis suka membaca. Akhirnya, budaya menulis menuntut seorang guru untuk mencari informasi dari sumber bacaan sebagai referensi dalam kepenulisannya. Disamping kita haus informasi, dengan menulis kita dapat menularkan dan berbagi (sharing) pengalaman, pemikiran, ide, gagasan kepada khalayak luas sebagai bahan diskusi. Dan memang, dunia tulis-menulis (baca: literasi) adalah dunia penyebarluasan informasi yang sangat efektif.
Ketiga, budaya meneliti. Budaya meneliti merupakan tindak lanjut dari budaya seorang kutu buku yang gandrung dengan bacaan dan seorang penulis yang terbius dengan pena untuk menulis. Seseorang yang suka melakukan penelitian secara otomatis ia adalah maniak bacaan dan tulisan. Karena itu, penggairahan budaya meneliti akan mengikis sekian banyak budaya kurang baik seperti rendahnya budaya baca-tulis, tidak terbiasanya berpikir analitis, lemahnya berpikir kritis, kurangnya berpikir sitematis, dan berpikir objektif.
Budaya meneliti sangat penting untuk guru, karena kebiasaan melakukan penelitian akan mempertajam wacana guru dalam penguasaan materi pembelajaran. Dalam menggeluti kegiatan penelitian di satu sisi sudah barang tentu guru terlibat dengan sekian banyak buku sebagai sumber teori untuk referensi penelitiannya. Dengan membaca tentu mereka bergulat dengan pemikiran orang lain sebagai wadah mendiskusikan tesis yang terdapat dalam buku yang dibacanya. Pada sisi lain, peneliti akan menghasilkan penemuan baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukankah seorang guru dituntut kreatif dan inovatif untuk menciptakan kualitas pembelajarannya?
Dalam rangka menciptakan guru professional, ketiga budaya di atas – budaya membaca, menulis, dan meneliti – merupakan budaya tree in one  yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, mungkinkah guru yang malas membaca, malas menulis, dan malas meneliti dapat menjadi guru professional? Jangan hanya direnungkan, tetapi penting dilakukan.
3.   Minusnya Kreativitas Guru
Di samping kebijakan pemerintah dan membangun kultur, salah stu komponen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah kehadiran sosok guru. Mengapa guru? Menurut Komisi Internasioanal tentang pendidikan di abad ke-21 UNESCO dikatakan bahwa aneka perubahan dasar dalam ilmu dan teknologi  dewasa ini berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Setiap usaha pembaharuan pendidikan yang tidak mengikutsertakan guru sejak awal atau tidak memberdayakan (empowerment) guru akan mengalami kegagalan (Tilaar, 1995: 259).
Dalam sebuah pembelajaran, guru adalah sosok yang mempunyai peran penting dalam mengorkestra ruang kelas. Oleh karena itu, guru dituntut aktif, kreatif, dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai macam buku yang terkait dengan pembelajaran seperti Course Design karya Fraida Dubbin and Elite Olshtain (1986), Task for Indefendent Language Learning  karya Colin Rose and Malkolm J. Nicholl (1997),  Metode Mengajar Writing Berbasis Genre Secara Efektif  karya Pardiyono (2007), Strategi Pembelajaran Aktif  karya Hisyam Zaini (2007). Menyimak beberapa buku di atas guru dituntut untuk menciptakan ruang pembelajaran yang kondusif untuk belajar. Dengan demikian penciptaan situasi dan kondisi seperti yang diisyaratkan oleh PAIKEM merupakan tanggung jawab guru sepenuhnya. Meski paradigm baru menganjurkan pembelajaran berpusat pada siswa, bukan berarti guru cukup mengawasi kegiatan siswa, tetapi juga harus aktif, kreatif, dan inovatif memandu jalannya proses pembelajaran. Untuk itulah, dalam menciptakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, berkesan, dan bermakna guru dapat memilih dan menciptakan sebuah pendekatan, metode, teknik, setrategi, dan atau media pembelajaran.
Dalam buku Kenapa Guru Harus Kreatif,  Andi Yudha Asfandiyar menyatakan bahwa kalau guru tidak kreatif akan ketinggalan zaman (2008: 31). Terkait dengan guru harus kreatif, ia mencirikan guru kreatif itu hendaknya fleksibel, optimis, cekatan, humoris, inspiratif, responsif, empatik, dan nge-frend (2008: 31-36). Sesuai dengan pendapat Asfandiyar, Mulyasa menyatakan bahwa peran guru dalam pembelajaran meliputi guru sebagai model, teladan, motivator, inovator, dan kreator (2005: 37-51).
Seorang guru yang benar-benar guru (professional) jika mereka memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi mencakup pengertian: (1) Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. (2) Menurut PP RI No. 19 tahun 2005 pasal 28, pendidik adalah agen pembelajar yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakini kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. (3) Kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
Terkait dengan komponen keprofesionalan guru, dapat ditunjukkan ciri-ciri guru profesional sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealime, (2) memilki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya, (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber: UU tentang Guru dan Dosen).
Dalam pembelajaran bahasa guru harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam menciptakan suasana pembelajaran. Menurut Mulyasa, guru yang menciptakan pembelajran dengan kemampuan kreatifnya dikatakan sebagai guru yang profesional (2005). Keprofesionalan guru ditandai dengan pemilihan metode yang tepat, artinya metode yang sesuai dengan karakteristik siswa ( Waradita, 2003:29).
Pada pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah sangat megandalkan penggunaan metode-metode yang aplikatif dan menarik. Pembelajaran yang menarik akan memikat anak-anak untuk terus dan betah mempelajari Bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 setelah bahasa ibu. Apabila siswa sudah tertarik dengan pembelajaran maka akan dengan mudah meningkatkan prestasi siswa dalam bidang bahasa. Di sebagian siswa, pembelajaran Bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa bisa dan penyampaian materi yang kurang menarik, sehingga secara tidak langsung siswa menjadi lemah dalam menangkap meteri tersebut. Penulis, sebagai guru Bahasa Indonesia, sangat merasakan problema pembelajaran yang terjadi selama ini. Untuk itu dituntut guru yang mampu mggiring siswa dalam suasana yang menyenangkan.
Hasil penelitian menyimpulkan perbedaan mendasar dari Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi terletak pada dominasi peran guru dan sekolah. Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 berorientasi pada materi, posisi sentral dipegang oleh birokrasi pendidikan yang menentukan hitam putihnya out put sekolah, sedangkan guru dan sekolah hanya melaksanakan saja, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi pihak sekolah dan guru memegang peranan yang dominan. Perbedaan lainnya bahwa Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 berorientasi pada parameter standar materi, sedangakan Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada parameter keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah terletak pada kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pada Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 silabus ditentukan oleh pihak Departemen Pendididkan Nasional, sedangkan Kurikulm Berbasis Kompetensi sialabus ditentukan sekolah sendiri dengan melihat potensi masing-masing anak. Kurikulum yang menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar berguna sebagai acuan dasar. Pada Kurikulum Pendiddikan Dasar 1994, guru merupakan fokus aktivitas belajar-mengajar, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi guru lebih berperan sebagai fasilitator. Peserta didik sebagai subyek dalam proses belajar-mengajar diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menetukan capaian kompetensi yang harus ia raih. Peserta didik harus lebih aktif menyampaikan ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai pembimbing, sekaligus pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.
Guru Bahasa Indonesia hendaknya mampu membelajarkan keterampilan berbahasa bukan membelajarkan pengetahuan tentang bahasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru Bahasa Indonesia harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengorkestrasikan ruang pembelajaran bahasa, agar menghasilkan anak didik terampil berbahasa.   



















KESIMPULAN

Perjalanan kurikulum di Indonesia sudah mengalami proses perubahan yang tidak sedikit. Akan tetapi, sampai saat ini realitasnya masih belum menggembirakan. Meski demikian, bukan berarti penyempurnaan kurikulum dari tahun ke tahun tidak berandil dalam dunia pembelajaran. Maka dari itu, revisi demi kebaikan dan kesempurnaan hendaknya selalu menjadi pemikiran penting baik pemerintah maupun praktisi pendidikan.
Problematika yang muncul dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terkait dengan adanya kurikulum di Indonesia juga semakin kompleks sesuai dengan tuntutan zaman. Paling tidak, dari perjalanan kurikulum yang berlaku mulai dari kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum tingkat satuan pendididkan (KTSP) muncul permasalahan yang terkait dengan (1) kebijakan pemerintah yang kurang konsisten dan berkesinambungan dengan kebijakan lain yang terkait (2) kultur  buruk yang mematri dalam kehidupan masyarakat sekolah, dan (3) minusnya kreativitas guru sebagai pelaksana kurikulum di tingkat sekolah.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mukhsini. 1990. Strategi Belajra Mengajar Ketrampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Asfandiyar, Andi Yuda. 2009. Kenapa Guru Harus Kratif?. Bandung: Penerbi Mizan Pustaka.
Depdibud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta: Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima Puluh Tahun Pengebangan  Pedidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endrswara, Suwardi. 2005. Metode dan  Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Friere, Paulo dkk. 2003. Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme Konsevatif Liberal Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kasali, Renald. 2005. Change!. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama.
Mulyasa. E. 2005. Menjadi Guru Prifesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Ramaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 1994. Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum 1994. Malang: IKIP Malang.
O’neil, Williem F. 2001. Ideologi Ideologi Pendidikan (diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 tahun Pembangunan pendidikan Nasional 1945-1995: Satuan Analisis Kebijakan. Jakarta: Grasindo.
Wardita, Ratu. 2003. “Pengajaran Apresiasi Puisi di SMU” Jurnal Forum pendidikan. Edisi September.
 

PERANAN LINGUISTIK (MAKALAH)



MAKALAH



PERSPEKTIF KAJIAN LINGUISTIK TERHADAP BAHASA MANUSIAWI, BAHASA HEWAN, 
DAN FIRMAN TUHAN DALAM KITAB SUCI




AZIZ THABA




PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 
2014


PENDAHULUAN


Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadi objek kajian sosiologi. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa; sedangkan ilmu lain tidak demikian.
Bahasa memainkan peranan penting dalam hidup kita. Mungkin karena lazimnya, sangat jarang kita memperhatikannya, dan lebih menganggapnya sebagai hal yang biasa seperti bernafas atau berjalan. Bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa, dan termasuk dari apa yang membedakan manusia dari binatang-binatang.
Kata “bahasa” memiliki paling kurang dua makna dasar, bahasa sebagai konsep umum, dan “sebuah bahasa” (sebuah sistem linguistik tertentu, contohnya “bahasa Prancis”). Ferdinand de Saussure yang pertama kali dengan jelas memformulasi perbedaannya, menggunakan kata Prancis langage untuk bahasa sebagai sebuah konsep dan langue sebagai instansi spesifik dari bahasa.
Bila berbicara mengenai bahasa sebagai konsep umum, beberapa definisi berbeda dapat digunakan untuk menekankan aspek yang berbeda dari fenomena. Definisi tersebut juga memerlukan pendekatan dan pemahaman berbeda, dan mereka memberikan kajian teori linguistik yang berbeda dan terkadang bertentangan.


PEMBAHASAN

A.   Bahasa Manusia
Salah satu definisi melihat bahasa pada pokoknya sebagai kemampuan mental yang membuat manusia dapat menggunakan perilaku linguistik: untuk belajar bahasa dan menghasilkan dan memahami penyebutan. Definisi ini menekankan keuniversalan bahasa untuk semua manusia dan dasar biologis dari kapasitas manusia terhadap bahasa sebagai perkembangan yang unik dari otak manusia. Pandangan ini memahami bahasa secara garis besar bawaan lahir, sebagai contoh dalam teori Chomsky mengenai Tata bahasa universal, dan teori ekstrim lahiriah dari Jerry Fodor. Definisi semacam ini sering diaplikasikan oleh orang yang mempelajari bahasa lewat kerangka ilmu kognitif dan dalam neurolinguistik.
Definisi lain melihat bahasa sebagai sebuah sistem formal dari isyarat-isyarat yang diatur oleh aturan-aturan kombinasi tata-bahasa untuk mengkomunikasikan suatu makna. Definisi ini menekankan fakta bahwa bahasa manusia dapat dijelaskan sebagai sistem terstruktur tertutup yang terdiri dari aturan-aturan yang menghubungkan isyarat tertentu terhadap makna tertentu. Pandangan strukturalis terhadap bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, dan strukturalisme-nya tetap menjadi fondasi terhadap hampir semua pendekatan terhadap bahasa pada masa sekarang. Beberapa pendukung pandangan bahasa ini telah menyarankan sebuah pendekatan formal untuk mempelajari struktur bahasa, khususnya formulasi dasar dari aturan-aturan abstrak yang dapat dipahami untuk menghasilkan struktur linguistik yang dapat diobservasi. Pendukung utama dari teori tersebut yaitu Noam Chomsky, yang mendefinisikan bahasa sebagai sebuah kumpulan kalimat yang dapat dihasilkan dari sekumpulan aturan tertentu. Sudut pandang strukturalis biasanya digunakan dalam logika formal, semiotik, dan dalam teori tata-bahasa formal dan struktural, kerangka teoritikal yang banyak digunakan dalam penjelasan linguistik. Dalam filsafat bahasa pandangan ini berhubungan dengan filsuf seperti Bertrand Russell, Wittgenstein muda, Alfred Tarski dan Gottlob Frege.
Definisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Definisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri dan untuk memanipulasi objek dalam lingkungannya. Teori fungsional dari tata bahasa menjelaskan struktur tata-bahasa lewat fungsi komunikatifnya, dan memahami struktur tata-bahasa dari bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana tata-bahasa telah “disesuaikan” untuk melayani kebutuhan komunikatif penggunanya. Pandangan bahasa ini berhubungan dengan kajian bahasa dalam kerangka pragmatis, kognitif, dan kerangka interaksional, serta dalam sosial-linguistik dan antropologi linguistik. Para teori fungsionalis condong mempelajari tata-bahasa sebagai sebuah fenomena dinamis, sebagai suatu struktur yang selalu dalam proses perubahan saat mereka digunakan oleh para pembicaranya. Pandangan ini menyebabkan kajian tipologi linguistik menjadi penting, karena ia dapat memperlihatkan bahwa proses-proses dari gramatikalisasi condong mengikuti lintasan yang secara terpisah bergantung pada tipologi. Dalam filsafat bahasa pandangan ini sering dikaitkan dengan karya terakhir Wittgenstein dan dengan filsuf bahasa umum seperti G. E. Moore, Paul Grice, John Searle dan J. L. Austin.
Bahasa manusia unik bila dibandingkan dengan bentuk lain komunikasi, seperti yang digunakan oleh hewan, karena ia membolehkan manusia untuk menghasilkan penyebutan yang tak terbatas dari sekumpulan elemen yang terbatas, dan karena simbol dan aturan tata-bahasa dari setiap bahasa secara kebanyakan sering berubah-ubah, sehingga sistem hanya dapat diperoleh melalui interaksi sosial. Sistem komunikasi yang digunakan hewan, di sisi lain, hanya dapat mengekspresikan sejumlah penyebutan terbatas yang umumnya ditransmisikan secara genetik.
Bahasa manusia juga berbeda dari sistem komunikasi hewan di mana mereka menggunakan kategori tata-bahasa dan semantik seperti kata benda dan kata kerja, atau saat sekarang atau masa lalu, untuk mengekspresikan arti yang sangat kompleks. Bahasa manusia juga unik karena kompleksitas strukturnya melayani seluas mungkin fungsi dibandingkan sistem komunikasi lainnya.
Bahasa juga unik karena ia memiliki properti penting yang mengatur elemen-elemen menjadi struktur-struktur rekursif; hal ini membolehkan, sebagai contohnya, frasa kata benda mengandung frasa kata benda lainnya (seperti pada “bibir simpanse”) atau suatu klausa mengandung klausa (seperti pada “Saya kira sekarang hujan”).
Bahasa manusia biasanya disebut dengan bahasa alami, dan ilmu yang mengkajinya jatuh pada bidang linguistik. Bahasa itu hidup, mati, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dan berubah seiring dengan waktu. Setiap bahasa yang berhenti berubah atau berkembang dikategorikan sebagai bahasa mati. Kebalikannya, setiap bahasa yang selalu dalam keadaan berubahan diketahui sebagai bahasa hidup atau bahasa modern.
Membuat sebuah perbedaan yang berprinsip antara satu bahasa dan lainnya terkadang hampir tidak mungkin. Misalnya, ada beberapa dialek bahasa Jerman yang mirip dengan dialek bahasa Belanda. Transisi antara bahasa dalam bahasa keluarga yang sama terkadang bertingkat-tingkat (lihat rangkaian dialek). Beberapa condong membuat persamaan dengan biologi, dimana tidak mungkin membuat perbedaan yang jelas antara satu spesies dengan spesies yang lain. Dalam setiap kasus, kesulitan tertinggi mungkin berada pada interaksi antara bahasa dan populasi.  Konsep dari Ausbausprache, Abstandsprache and Dachsprache digunakan untuk membuat pembedaan lebih halus tentang tingkat perbedaan antara bahasa atau dialek.
B.   Bahasa Binatang (Isyarat)
Istilah “bahasa binatang” sering digunakan untuk sistem komunikasi selain-manusia. Linguistik dan semiotisian tidak mempertimbangkan mereka sebagai “bahasa” sejati, tetapi menggambarkan mereka sebagai komunikasi binatang berdasarkan sistem isyarat tidak-simbolis, karena interaksi antara binatang dalam berkomunikasi secara fundamental berbeda secara mendasar dari bahasa manusia. Menurut pendekatan ini, sejak binatang tidak lahir dengan kemampuan memahami, istilah “kultur”, saat diaplikasikan ke komunitas binatang, dipahami mengacu pada sesuatu yang secara kualitas berbeda dengan yang ada di komunitas manusia. Bahasa, komunikasi dan kultur adalah hal-hal yang lebih kompleks di antara manusia. Anjing mungkin saja secara sukses mengkomunikasikan keadaan emosi agresifnya dengan menggeram, yang mungkin atau mungkin tidak menyebabkan anjing lainnya menjauh atau mundur. Hal yang sama, pada saat manusia berteriak dalam ketakutan, ia mungkin atau mungkin tidak memberitahu manusia lain akan adanya bahaya. Keduanya mencontohkan komunikasi, tapi keduanya bukan yang secara umum dikenal dengan bahasa.
Dalam beberapa contoh publikasi, binatang selain manusia telah diajarkan untuk memahami beberapa fitur dari bahasa manusia. Karl von Frisch menerima hadiah Nobel ditahun 1973 untuk pembuktian komunikasi isyarat dan variannya pada lebah. Simpanse, gorila, dan orangutan telah diajarkan isyarat tangan berbasis American Sign Language. Burung beo Abu-abu Afrika, Alex, yang memiliki kemampuan meniru perkataan manusia dengan tingkat akurasi yang tinggi, dianggap memiliki inteligensi yang cukup untuk memahami apa yang ia tiru. Walaupun binatang dapat diajarkan untuk memahami bagian dari bahasa manusia, mereka tidak dapat menghasilkan sebuah bahasa.
Bila pendukung dari sistem komunikasi binatang telah mendebatkan tingkat dari semantik, sistem ini belum ditemukan yang mendekati sintaks pada bahasa manusia.
Bahasa isyarat adalah sebuah bahasa yang, bukannya disampaikan menggunakan pola suara secara akustik, menggunakan pola isyarat yang dikirim secara visual (komunikasi manual, bahasa tubuh) untuk menyampaikan makna—secara simultan menggabungkan pola tangan, orientasi dan pergerakan tangan, lengan atau tubuh, dan ekpresi wajah untuk mengekspresikan pikiran pembicara secara lancar. Ratusan bahasa isyarat digunakan diseluruh dunia dan sebagai inti dari kultur Tuli lokal.
Sejauh ini, hal-hal yang membedakan komunikasi manusia dan binatang dapat disimpulkan sebagai berikut; pertama, bahasa manusia menggunakan suara sebagai sistem komunikasi. Kedua, bahasa manusia bersifat arbitrer atau sewenang-wenang. Ketiga, terdapat dualisme dalam bahasa manusia. Keempat, adanya penggantian atau pemindahan yang berkaitan dengan lapisan bahasa. Kelima, bahasa manusia sangat kreatif dan produktif yang artinya, bahasa manusia dapat dibentuk secara berbeda-beda dan bermacam-macam. Keenam, meniru, dan ketujuh adalah struktur ketergantungan yang juga merupakan kekhasan dari bahasa manusia.
Kesimpulannya bahwa bahasa adalah sistem sinyal suara yang yang arbitrer , dicirikan oleh ketergantungan struktur, kreativitas, perpindahan, dualisme, dan perpindahan (transmisi) budaya. Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa sebuah bahasa itu lebih primitif dariapda bahasa yang lain. Yang ada hanyalah istilah budaya. Budaya yang primitif dicerminkan dari bahasanya, yang mungkin kurang sama dengan bahasa masyarakat maju. Namun, meskipun suku yang sangat primitif punya bahasa, tentu strukturnya sama rumitnya dengan bahasa pada umumnya seperti bahasa Inggris, bahasa Rusia, bahasa Cina, atau bahasa Indonesia. Namun, bahasa manusia sedikit ada kemiripan dengan komunikasi hewan, yakni memang ditakdirkan untuk ada, dan digunakan untuk berkomunikasi.
Bahasa manunia adalah bawaan yangterstruktur. Bahwa seorang bayi yang baru lahir tidak bisa langsung berbicara, tetapi mereka diberitahu dan belajar bagaimana mendapatkan bahasa yang akan mereka hadapi untuk berkomunikasi. Bayi tertarik dengan suara-suara dari mulut orang dewasa dan mereka akan secara naluriah menganalisis suara-suara tersebut.
C.   Perspektif Linguistik terhadap Firman Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Quran)
Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain,agar komunikasi di antara mereka berjalan dengan baik dan lancar dibutuhkan sarana yangmampu menjembatani keinginan dan maksud yang akan disampaikan, dalam hal ini mediakomunikasi yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Beberapa pakar  berupaya memberikan definisi bahasa. Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan “bahasasebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan maksudnya”.
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam yang utama dan menjadituntunan hidup kita. Bahasa al-Qur’an telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah SWT agar  bisa diterima oleh akal manusia. Namun tetap perlu banyak dilakukan pengkajian agar tidak terjadi kesalahpahaman atas pemaknaannya, salah satu jalan yang digunakan adalah denganmenggunakan pendekatan linguistik.
a.   Pengertian dan Objek Linguistik 
Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan fokus utamanya adalah struktur  bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya adalah bagaimana orang menggunakan bahasauntuk berkomunikasi. Ahli linguistik yang disebut linguis menurut Verhaar tidak berurusandengan bahasa sebagai alat pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khasgolongan sosial atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasasebagai bahasa. Secara umum pembidangan linguistik dibagi atas:
a.    Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua bagian besar linguistik mikro dan makro.Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakupstruktur fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis,antropologi dan neurologi.
b.    Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkankajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
c.     Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengkaji perkembangan ilmulinguistik mengenai tokoh-tokohnya, aliran teorinya, ataupun hasil kerjanya.Verhaar merumuskan bidang-bidang dasar linguistik yang menyangkut struktur dasar tertentu dalam berbagai bagian: struktur bunyi dan bahasa (fonetik dan fonologi), struktur kata(morfologi), struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis), arti atau makna (semantik),menyangkut siasat komunikasi antar orang (parole), pemakaian bahasa dan hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan (pragmatik).Selain Ferdinan De Saussure yang sering disebut Bapak atau pelopor linguistik, ada beberapa tokoh yang fokus dalam kajian linguistik seperti Leonard Bloomfield, John RupertFirth, Noam Chomsky dan lain-lain. Dalam Islam ada beberapa nama seperti Abu Aswad ad-Duali, Imam Khalil, Sibaweih, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya (www.abusyakir80.blogspot.com).
b.    Linguistik dalam Al-Qur’an
Ketika kita berbicara bidang linguistik yang ada dalam al-Qur’an maka perhatian kita pasti tertuju pada “mekanisme pelahiran makna”, yaitu bagaimana aspek-aspek al-Qur’an yangmeliputi mikrostruktur, stilistika dan semantik dipahami serta dipakai untuk membedah maknayang dimiliki oleh teks.Pada bagian ini adalah bagaimana makna al-Qur’an melalui relasi-relasi struktural dalamkata maupun kalimat yang dipakai al-Qur’an bisa dijelaskan berdasarkan hukum-hukum serta batas-batas kebahasaan. Demikian pula elemen stilistika yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana keunikan gaya tutur yang dimiliki al-Qur’an bisa dipahami serta masuk dalamwilayah kebahasaan, akan tetapi tidak bermaksud untuk memperbincangkannya dalam teoristiliska secara mendetail. Sedangkan elemen semantik juga tidak dimaksudkan untuk memasukiwilayah madzhab semantik yang beraneka ragam, akan tetapi, bagaimana makna yang beradadalam teks bisa dilahirkan melalui alat bantu semantik (Setiawan, 2008).
a.    Makna dilihat dari Struktur Pembangunnya
Karya-karya kesarjanaan al-Qur’an berjudul Ma’ani al-Qur’an sangat penting dalam perkembangan teorisasi makna dari sudut pandang struktur pembangunnya, mengingat karya dengan titel seperti ini paling banyak mendiskusikan aspek kebahasaan al-Qur’an. Karya-karya kesarjanaan tersebut mengulas berbagai gaya dan seni bertutur al-Qur’an dari perspektif struktur kata dan kalimat serta kekhasan lainnya. Untuk itu, ulasannya tidak saja terfokus kepada struktur dalam kalimat, melainkan juga kemungkinan “peralihan” makna sebuah kosakata yang bisamemberikan pengaruh pada perubahan makna. Dalam pembahasan ini pula dimungkinkan ada peralihan makna sebuah kata kepada makna lain yang dipengaruhi oleh struktur kata dan kalimat.
Dengan demikian, argumen lain yang menunjukkan arti penting karya kesarjanaan bertitel ma’ani adalah fakta bahwa karya-karya tersebut tidak saja bergulat dengan mikrostruktur al-Qur’an, tetapi juga membahas kemungkinan perubahan makna yang diakibatkan oleh perubahanstruktur kalimat. Sedangkan elemen-elemen struktur makna al-Qur’an dalam pembicaraantulisan ini adalah terminology gramatik yang bias dipakai kalangan grammarian dan para pengkaji al-Qur’an.
Di antara termini tersebut adalah elliptical (al-hazf), susunan balik (taqdīmwa ta’khīr), negasi (al-nafi) dan lain sebagainya. Karya tentang Ma’ānī al-Qur’an dimulai sejak era al-Kisā’ī. Ia merupakan salahsatu sarjana besar yang menaruh perhatian serta mengkaji secara mendalam bahasa al-Qur’an dalam hubungannya dengan kritik sastra Arab. Peran yang dimainkan yang begitu besar tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa Sibawayh (w. 180/976), salah satu sarjana besar dalam kajian bahasa Arab yang tinggal di Basrah, begitu sering mengutipdan mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh al-Kisā’ī.
Analisis mikro-struktur yang dilakukan oleh al-Kisā’ī pada batas-batas tertentumemasukkan elemen kemanusiaan dalam ranah bahasa. Bahasa al-Qur’an dalam pandangansemisal al-Kisā’ī menjadi wilayah yang think able, sebuah pergeseran wilayah hermeneutis —meminjam istilah kontemporer—yang sejatinya telah banyak dilakukan para pemikir klasik.Jika kita mengikuti kategorisasi bahasa yang dilakukan oleh ahli semiotik Jurij Lotman (1997: 22) , yakni 1). bahasa natural, 2). bahasa seni, dan 3). bahasa sekunder, yakni struktur komunikasi, maka perlakukan para sarjana muslim klasik tentang al-Qur’an masuk dalam kategori di luar batas-batas bahasa natural tersebut unthink able (tak terpikirkan). Melalui pergumulan intelektual,dalam khazanah klasik wilayah  unthink able tersebut tergeser menjadi think able. Aspek lain dalam diskusi mikrostruktur dalam kalimat adalah tentang susunan balik, taqdīm wa ta’khīr. Salah satu contohnya adalah al-Anbiya (21:3), wa asarrū n-najwā al-lazīna zalamū (dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka). Baik al-Farra’maupun l-Kisā’ī memahami bahwa kalimat dalam ayat tersebut memilikisusun balik, karena asal dari susunan kalimatnya adalah wa al-lazīna zalamū merupakan subjek, sedangkan asarrū merupakan predikat dan an-najwā adalah objeknya. Dengan susunan yang ada dalam ayat memberikan implikasi penekanan makna terhadap frasa yang pertama yakni asarrū n-najwā sedangkan al-lazīna zalamū tidak mendapatkan prioritas atau penekanan makna. Susunan kalimat seperti dalam ayat membawa dalam arti perbuatan yang dilakukan (merahasiakan pembicaraan), lebih penting dalam konteks ayattersebut ketimbang perilaku perbuatan tersebut (Al Farra, 1988: 195).
Tema lain dari diskusi al-Farra’ yang masih berhubungan dengan kekhususanmikrostruktur al-Qur’an adalah tentang elliptical  (al-hazf ). Salah satu contohnya adalah dalamkalimat (2:60), idrib bi-asāka al-hajar fa-n-fajarat minhu snata asyrata aynā ,“pukullah batu itu dengan tongkatmu, lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air”.Kalimat asli dari struktur tersebut menurut al-Farra’ adalah “pukullah dengan tongkatmu,kemudian Musa memukulkan tongkatnya, maka kemudian keluarlah dua belas mata air dari batu tersebut, idrib bi-asāka al-hajara fa-daraba fa-n-fajarat. Sehingga yang dimaksudadalah keluarnya mata air tersebut setelah Musa memukulkan tongkatnya, bukan setelah perintahTuhan kepada Musa. Untuk itu elliptical  terletak pada dibuangnya frasa “Musa memukulkanketongkatnya”. Kasus yang senada terjadi dalam 26:63, an idrib bi-asāka al-bahra fa-nfalaqā, “pukullah lautan dengan tongkatmu, maka akan terbelah” (Setiawan, 2008: 95).
Stilistika yang dimaksud di sini bukanlah perbincangan mengenai pelbagai aspek dan perkembangan dalam dunia stilistika yang secara umum berkenaan dengan seni pengungkapan.Yang menjadi penting dalam stilistika al-Qur’an adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa para sarjana muslim klasik berusaha keras untuk menunjukkan elokuensi al-Qur’an, fasāha, melalui cara pandang stalistika. Di samping itu, diskursus tentang teori makna dalamkesarjanaan klasik menunjukkan relasi yang intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur’ansebagai teks. Wacana yang berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubunganantara kata dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Sementara itu, dalam kurun antara abad kedua sampai dengan kelima hijrah  ma’na  menjadi terminus technicus yang khas dalam teorisasi bahasa, baik berkenaan dengan fungsi leksikal bahasa, sintaktik maupunstilistika (Setiawan, 2008: 109).
Bahasa mengekspresikan kebermaknaan yang ada secara praktis di antara sesuatu.Manusia sebenarnya tidak menggunakan bahasa, tetapi bahasa itulah yang berbicara melaluimanusia. Alam terbuka bagi manusia melalui bahasa. Karena bahasa adalah bidang lahan pemahaman dan penafsiran, maka alam mengungkapkan dirinya kepada manusia melalui berbagai proses pemahaman dan penafsiran berkesinambungan. Bukan manusia memahami bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia memahami lewat bahasa. Bahasa bukan perantara antara alam dan manusia, tetapi ia merupakan penampakkan alam dan pengungkapannya setelah sebelumnya ia tersembunyi, karena bahasa adalah pengeja wantaheksistensial bagi alam.Teori klasik tentang bahasa ini bisa dilengkapi dengan pendapat a l-Jāhiz, dkk. (1985: 43-44) tentang filosofi bahasa sebagai perangkat komunikasi. Al-Jāhiz menyatakan bahwamakna, ma’āni adalah sesuatu yang berada dalam benak seseorang, terkonstruk sedemikianrupa, dan tersimpan di dalam wilayah jiwa manusia yang paling dalam, tersembunyi dan sangat jauh yang tidak bisa diketahui oleh orang lain dari si pemilik makna kecuali denganmenggunakan perantara atau wasilah.
Perantara ini bisa jadi berupa simbol bunyi bahasa yangtertulis dan disepakati dalam komunitas tertentu atau berupa perangkat lainnya. Dalam istilahlinguistik modern elemen-elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik yang tertulismaupun yang tidak merupakan kode. Dalam hal ini al-Jāhiz menyebut lima bentuk kodekomunikasi, yakni 1). Kata (lafazd) 2). Tanda atau isyarat (isyārah) 3). Konvensi (‘aqd ) 4). Kondisi tertentu (hāl) dan 5). Teologi (nushbah) (Al-Jahiz, dkk. 1985: 43-44).
Sinyalemen a l-Jāhiz bisa dipahami bahwa makna hanya bisadikomunikasikan dengan orang lain melaui sebuah medium, baik lisan maupun tertulis.Sebaliknya, tanpa perangkat tersebut makna yang dimiliki seseorang tidak akan pernah bisa dipahami. Ia kemudian memunculkan lima kode komunikasi yang bisa digunakan untuk bisa menjembatani dan menjadi wasilah transmisi informasi serta makna. Dalam kaitan dengan al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, al-Jāhiz berkeyakinan bahwaterdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Baginya, relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam dalālah yang dimiliki al-Qur’an, pilihan katayang dimiliki serta prinsip ekonomi kata.Arti penting pilihan kata yang dipakai al-Qur’an dalam mengkomunikasikan maknaditemukan al-Jāhiz ketika ia membandingkannya dengan syair-syair baik Arab jahiliyah maupunIslam. Baginya, hanya al-Qur’an yang memiliki karakter turtur yang tidak pernah ”muspro”.Salah satu contohnya adalah kosakata mathar  dan ghayts yang dua-duanya berdenotasi hujan.Kesalahan para sastrawan Arab adalah memperlakukan dua kosakata tersebut sebagai sinonim, padahal al-mathar  dalam pemakaian al-Qur’an senantiasa berhubungan dengan siksa, sepertiyang terdapat dalam 4:102 wa-lā junāha ‘alaykum in kāna bikum azan minmatharin aw kuntum.
Sementara penggunaan kata gaytsdalam al-Qur’an senantiasa dihubungkan dengan rahmat Tuhan.Sedangkan aspek lain yang masuk dalam diskusi stilistika Al-Jāhizadalah prinsip ekonomi ungkapan, ījāz . Prinsip ini dalam teori dalam teori bahasakontemporer termasuk salah satu indicator efektivitas bahasa dalam mengkomunikasikansesuatu. Salah satu contoh yang diberikan al-Jāhiz adalah penggunaan kata mar’dalam 79 (al-Nāzi’at) ayat 30-31: wa l-ardha ba’da zālika dahāhā akhrajaminhā mā’ahā wa-mar’āhā, “dan bumi sesudah itu dihamparkannya. Ia memancarkanmata air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya”. Kata mar’ mencakup semua jenis tumbuhankonsumsi seperti sayuran, rerumputan, umbi-umbian, serta sayur-mayur yang tanpa batang,seperti daun kol, melon, buncis dan sebagainya. Al-Qur’an tidak menyebutkan keseluruhantumbuhan sebagai bahan makanan bagi umat manusia serta binatang ternak seperti yangdisinggung dalam ayat selanjutnya, matā’an lakum wa-li-an’āmikum.
Senada dengan al- Jāhiz, teortitikus bahasa dan teolog Sunni, Ibnu Qutaiba (w. 276/898) memperlakukan ayat 30-31 surat an-Nazi’at di atas sebagai salah saturepresentasi prinsip ekonomi ujaran dan ungkapan dalam al-Qur’an. Baginyakata mar’  telah mencakup pelbagai jenis tumbuhan yang bisa dikonsumsi, baik oleh manusiamaupun binatang ternak (Al-Jahir, dkk. 1985: 33). Stilistika memegang peranan penting dalam mengalihkan makna sebuah kosakata. Dalamkerangka linguistik modern bisa disebut dengan model sintagmatik, yakni susunan kata dalamkalimat yang mempengaruhi peralihan makna dari kosakata. Dalam kasus al-Qur’an salah satucontohnya adalah kata kufr , “kufur”, “tidak bertuhan”. Kata ini menurut al-Jāhiz memilikiarti dasar “menutupi”, “melindungi”, atau “mengatapi”. Seseorang yangmenutupi sesuatu dalam bahasa Arab bisa disebut dengan kafarahu. Tukang batudalam bahasa Arab juga bisa disebut dengan kāfiru, karena ia mendirikan dan membuat bangunan di atas sebidang tanah. Dalam 57:20 bahkan al-kuffār berarti petani, yakni ka-matsali ghaitsin a’jaba al-kuffāra nabātuhu, seperti air hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani. Demikian pula, kata kufr  tersebut bisa bermakna“menutupi”. Ungkapan “saya menutupi sesuatu” dalam bahasa Arab juga bisa disebutkan dengan akfuruhu. al-Qur’an secara umum menggunakan kata ini untuk menyebut kelompok atau orang-orang yang sebenarnya mengetahui akan rahmat dan kasih sayang Tuhan, akan tetapi tidak mengikuti bahkan menentang ajaran ketuhanan yang dibawa para Nabi. Dengan demikian,kosakata kufr  beralih dari makna dasarnya, “menutupi”, melindungi” dan lain sebagainyamenjadi makna yang baru yakni “ingkar kepada Tuhan”. Peralihan makna ini tidak bisadilepaskan dari konteks pembicaraan al-Qur’an yang memang sering kali dihubungkan denganrahmat dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia.Aspek lain dari diskusi stilistika adalah kata tanya istifhām. Contohnya adalah kataTanya “mā” dalam 2:69 ud’u lanā rabbaka yubayyin lanā mā lawnuhā, “mohonlahkepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Kata Tanya“ mā” menurut al-Farra’ dalam konteks ayat ini memiliki setidaknya dua alternatif posisigramatik, yakni, sebagai kata hubung dan sebagai kata Tanya. Sedangkan frasa “warnanya”, lawnuhā , dalam struktur kalimat secara keseluruhan merupakan nominatif, karena ia beradadalam posisi setelah tersebut. Untuk susunan kalimat seperti ini. Kata Tanya menjadi pelengkap kalimat yang terjemahannya adalah “jelaskan kepada kami, warna apa yang dimilikisapi tersebut?”, bayyin lanā ayyu syai’in lawnuhā. Penjelasan al-Farra’ mengenai istifhām juga memuat kemungkinan bentuk juga posisi gramatik dari kata ayyun —secara letterlijk  bermakna “yang mana”—yang tergantung kepada struktur kata dan kalimat. Katatersebut menurut al-Farra’ memiliki peran penting dalam hal penentuan struktur, apakah kalimatmemiliki kata Tanya, dan memang menjadi kalimat yang isinya bertanya, ataukah hanyamerupakan kalimat biasa, bukan merupakan pertanyaan.
b.    Semantik Al-Qur’an
Terminus “semantik” sendiri secara semantis banyak memiliki arti. Ia bisa berarti aspek tertentu dalam objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang mengatakansemantik kosakata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang paling banyak dianutdalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian analitik terhadap istilah-istilah kuncisuatu bahasa dengan suatu pendangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual darimasyarakat pengguna bahasa tersebut. Pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.Babak awal dalam kesadaran semantik, dalam jagat penafsiran al-Qur’an adalah bersamadengan sarjana yang bernama Muqātil Ibn Sulaimān (w. 150/767). Meski karya tafsirMujāhid dalam poin tertentu melampaui apa yang telah dilakukan IbnSulaiman, namun, dalam hal kesadaran semantik, yang menjadi perhatianutama tulisan ini, Mujahid menjadi fokus ulasan sebagai babak awal dari kesadaran semantis tersebut adalah al-Asybāh wa l-Nazā’ir fi l-Qur’ān al-Karīm danTafsīr Muqātil Ibn Sulaimān. Muqātil Ibn Sulaimān mene gaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur’an di sampingmemiliki arti yang definite ,nggenah, juga memiliki beberapa alternatif makna lainnya. Salahsatu contohnya adalah katamawt, yang memiliki arti dasar “mati”. Menurut Muqātil dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki empat artialternatif, yaitu 1). tetes yang belum dihidupkan; 2). manusia yang salah beriman; 3). tanah yang gersang dan tandus; 4). roh yang hilang. Dalam konteks ayat 39 (az- Zumar ): 30 sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga”, katatersebut berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. Berkenaan dengan kemungkinanmakna yang dimiliki oleh kosakata dalam al-Qur’an, Muqātil menyatakan bahwa“seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur’an sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur’an tersebut”.Contoh lain dari penafsiran Muqātil adalah tentang kata “ yad ” yang memilikiarti dasar atau leksikal “tangan”. Dalam konteks al-Qur’an, menurut Muqātil, katatersebut bisa memiliki tiga alternatif makna, yakni 1). Tangan secara fisiksebagai anggota tubuh seperti dalam, al-A’raf (7): 108, wa-naza a yadahu fa-izāhiya baydhā’u li n-nāzhirīn (dan ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu tangannyamenjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya). Yang kedua bisa berarti“kedermawanan” seperti dalam al-Isrā’  (17): 29 wa-lā taj al yadaka maghlūlatan ilā‘unuqika …(jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu..), perti juga yangterdapat dalam al-Ma’idah (5):64, wa qālat al-yahūdu yadullāhi maghlūlah. Dan ketiga yad   bermakna aktivitas atau perbuatan seperti dalam Yasin (36): 35 li-ya’kul min tsamarihiwa-mā amilathu aydīhim, serta al-Hajj (22): 10,  zālika bimā qaddamat yadāk  (yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu)





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahannya, Semarang: Tohaputera, 1999.
Al-Farra’, Maānī l-Qur’an, (ed.), Abd al-Jalīl Abduh Shālabī, Cairo, 1988.
Al-Jāhiz, Al-Bayān wa l-Tabyīn, (ed.) Abd al-Salām Hārun, Cairo, 1985.
Al-Kisāī, Maānī l-Qur’an , (ed.), Isa Shihāta, Cairo, Dār al-Qubā li-l-Tibā a wa-l-Nasr, 1998.
Al-Zuabaidi, Tabaqā Al-Nahwiyyīn wa al-Lughawiyyīn , ed. Muhammad Fadl Ibrahim,Cairo: 1954.
Arkoun, Mohammed,  Kajian Kontemporer Al-Qur’an . Bandung: Penerbit Pustaka, 1998.
Gadamer, Hans Georg,  Wahreit und Method : Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik  ,Tuebingen 1960.
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis .Yogyakarta: eLSAQ, 2010.
Lotman, Jurij, Die Analyse des poetichen Texte, Kronberg 1975.
Mubaraok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik; dalam tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur , Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. 
Nur, Kholis Setiawan, M,Pemikiran Islam Progresif dalam Kajian Al-Qur’an. Jakarta: KencanaMedia Group, 2008.
http://www.abusyakir80.blogspot.com/.../pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam
http://www.ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/05-teologia-1.pdf

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...