Thursday, June 12, 2014

PERAN LINGUSTIK TERHADAP PAKAR BAHASA, GURU BAHASA, SERTA PENUTUR BAHASA



MAKALAH


PERANAN LINGUISTIK BAGI PAKAR BAHASA
DAN GURU BAHASA



AZIZ THABA





 
 
  
  
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014


PENDAHULUAN
Kata linguistic berasal dari bahasa latin “lingua” yang artinya bahasa. Menurut Kridalaksana (1993) dalam kamusnya kamus linuistik, kata linguistic di definisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah. Definisi yang sama di kemukakan oleh Tarigan (1986), yaitu seperangkat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan jalan penerapan metode ilmiah terhadap fenomena bahasa. Sebagai penyelidikan bahasa secara ilmiah, linguistik tidak membedakan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya (hasanan, 1984).
Dalam BA, linguistik disebut ilmu lughah. Pada mulanya kata ilmu lughah tidak digunakan dengan makna linguistic atau kajian bahasa. Kata ilmu lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya “Al-Muqoddimah” dan dimaksudkan sebagai ilmu ma’ajim atau lecikology. Berikutnya kata ilmu lughah digunakan oleh Assuyuti dalam judul bukunya “Al-Mazhar Fi ulumi-l Lughah wa Anwa’uha”. Assuyuti pun menggunakan dengan makna lexicology. (dalam Hasanin,1984).[1]
Secara  populer orang asing menyatakan bahwa linguistic adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi, sepeti dikatakan Martiner (1987:19), telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Kata linguistik  berpadanan dengan linguistic dalam bahasa inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa belanda) diturunkan dalam bahasa latin lingua yang berarti ‘ bahasa’.  Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue dan langage dengan makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa inggris, bahasa jawa, atau bahasa prancis. Sedangkan langage beararti bahasa secara umum

PEMBAHASAN

A.   Peranan Linguistik Terhadap Pakar Bahasa
Pakar bahasa pada hakikatnya adalah seorang manusia yang membutuhkan bahasa untuk mengkomunikasikan ide, gagasan serta kritikannya terhadap suatu objek. Alat komunikasi yang paling ampuh adalah bahasa. Dengan bahasa manusia sebagai mahluk sosial dapat berhubungan satu sama lain secara efektif. Dengan bahasa kita menyatakan perasaan, pendapat, bahkan dengan bahasa kita berpikir dan bernalar. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi antar sesamanya, dan juga tidak akan dapat mengeluarkan ekspresinya dan pendapatnya. Manusia dan bahasa sudah menjadi satu ke satuan yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan ini, manusia sangat membutuhkan bahasa. Oleh sebab itu, agar komunikasi berjalan dengan lancar, tidak menimbulkan salah paham, kita perlu terampil berbahasa baik lisan maupun tulis. Komunikasi dikatakan berhasil apabila pesan atau apa yang disampaikan pembicara dapat dipahami atau diterima dengan baik oleh penyimak sesuai dengan maksud pembicara tersebut, artinya tidak menyimpang dari yang disampaikan .
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan ini, bahasa adalah sebuah sistem tanda. Tanda adalah hal atau benda yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menanggapi (melihat, mendengar dan sebainya) apa yang diwakilinya itu. Setiap bagian dari bahasa tentulah mawakili sesuatu. Tegasnya bahasa itu bermakna, artinnya bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya”. Semua orang padai berbahasa, pandai bagaimana mengeluarkan pendapatnya melalui berbahasa, tapi belum tahu bagaimana cara berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan apa yang hendak disampaikan. Oleh karena itu keterampilan berbahasa juga erat kaitannya dengan proses berpikir yang mendasari bahasa itu sendiri. Bahasa seseorang biasanya mencerminkan pikiran seseorang, kita bisa melihat bagaimana seseorang berpikir dengan baik dan bernalar dari bahasa yang digunakan. Kita bisa melihat jika semakin cerah dan jelas pikiran seseorang dari situ bisa dilihat semakin trampil seseorang berbahasa. Melihat hal seperti ini dapat disimpulkan bahwa melatih keterapilan berbahasa bearti melatih keterampilan berpikir.
Masih banyak individu-individu yang belum memahami arti sebuah bahasa dan penggunaan bahasa itu sendiri, misalnya banyak orang tersinggung, marah, bahkan secara langsung menunjukan emosi, karena bahasa tadi yang kita gunakan tidak seperti apa yang lawan bicara kita pikirkan, mungkin kita telah menyinggung prasaannya atau orang tersebut tidak biasa mendengar bahasa-bahasa yang kita gunakan. Dalam pergaulan kita sehari-hari, penggunaan bahasa itu sangat penti di jaga dan kita juga harus membiasakan diri untuk bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar, karena dengan bahasa kita manusia berpikir dan bernalar, itu yang sangat penting yang perlu dipikirkan oleh kita sebagai mahluk social.
Mulai sekarang mari kita ubah paradikma lama kita bagaimana kita gunakan bahasa yang baik, karena dari bahasa tadi orang lain bisa melihat bagaiman kita berpikir. Terutama penggunaan bahasa Indonesia, jangan sampai dikalahkan oleh bahasa pergaulan sehari-hari yang beraneka ragam.
Sebagai contoh, kita bisa melihat kepada orang-orang yang sukses dalam berbica di depan orang banyak (public speaking) nya yang memukau, luar biasa sekali dan bisa menghipnotis audiensnya, Bung Karno, mantan Presiden pertama RI Soekarno, siapa yang tidak mengetahui sejarah beliau. Yang menarik dari dirinya adalah ketika di membawakan pidatonya, semua orang menjadi terpana dan terdiam bagaikan di ancam dengan pisau tajam. Itu karena bahasa yang digunakan Bung Karno bisa “menghipnotis” semua orang yang mendengarkan pidatonya tersebut.
Di panggung Internasional, siapa yang tida mengenal Barak Obama Presiden Amerika Serikat sekarang ini, bagaimana Obama membawa harapan baru bagi Negara Adikuasa tersebut, satu diantara yang menyebabkan Obama sukses menjadi Presiden muda AS yaitu bagaimana Obama berbicara di depan seluruh rakyat AS waktu itu dengan Public Spekingnya yang luar biasa dan dengan bahasa yang beliau gunakan untuk meyakini dan memcerminkan pola pikir dan kecerdasan emosionalnya, seluruh rakyat menjadi yakin dan percaya bahwa Obama bisa memimpin Negara Adikuasa tersebut.
Suatu kecerdasar emosional (IQ) dan juga bahasa yang kita gunakan sangat menjadi penentu dan kunci kesuksena dalam berkomunikasi, berbicara di depan banyak orang. Bahasa juga menunjuka Bangsa. Melalui bahasa yang digunakan seseorang dalam berbicara, berkomunikasi kita bisa melit tingkat kecerdasan emosional (IQ) orang tersebut dan cara orang tersebut berpikir dan bernalar.
Dalam konteks pembicaraan mengenai bahasa dan ilmu bahasa (linguistik), tentu kita tidak dapat mengabaikan peran para ahli bahasa. Jerih payah mereka dalam meneliti, menyelidiki, dan mengkaji bahasa terasa sangat penting dan bermanfaat untuk pembentukan konsep, teori, serta pemahaman yang lebih establish (mantap) dan ilmiah tentang bahasa. Atas jasa dan buah kerja mereka pulalah, kini kita beroleh kepahaman, pengetahuan, dan ilmu yang lebih pasti dan lebih komprehensif di bidang bahasa.
Awalnya, bahasa dianggap sebagai sesuatu fakta yang biasa dan seolah diabaikan dalam frame keilmuan, kemudian bahasa didekati secara mitos, dan selanjutnya dipahami dalam kerangka tekstual dan sakral keagamaan, serta pada perkembangan berikutnya bahasa dinalar secara filsafat.
Dalam kepahaman awam, terjadi kesalahpengertian atau kesalahpahaman tentang siapa ahli bahasa itu sesungguhnya. Terminologi ahli bahasa (linguis) banyak dipahami sebagai orang yang mampu menggunakan banyak bahasa. Jadi, seandainya ada orang yang mampu berbahasa dalam banyak bahasa, maka itulah ahli bahasa. Padahal, orang yang demikian bukanlah linguis melainkan boleh jadi dwibahasawan (bilingual) atau multibahasawan (polyglot).
Seorang linguis adalah seorang yang mumpuni secara teoretik dalam hal aspek-aspek bahasa secara universal. Akan tetapi, tidaklah salah jika dikatakan bahwa ada sekian ahli bahasa yang juga mengetahui dan menguasai banyak bahasa. Syarat menjadi linguis secara mutlak tentutlah bukan kemampuannya secara praktik dalam berbahasa banyak bahasa, melainkan wawasan kebahasaan, kemampuan menganalisis, dan penguasaan metodologis ketika mengkaji bahasa-bahasa yang ada dan dipakai oleh manusia. Seorang linguis harus pula mampu mendeskripsikan bahasa-bahasa yang diteliti sehingga dapat mengungkap dan memberikan hakikat, ciri, dan klasifikasi bahasa. Seorang linguis bermula dari parole, untuk selanjutnya mencari pemahaman langue, dan secara universal membongkar hakikat langangage.
Syarat menjadi linguis menurut penulis dapat diformulasikan  menjadi 6M, yakni sebagai berikut.
1.    Minat terhadap bahasa
Seorang linguis harus memilki minat yang tinggi untuk meneliti bahasa. Dalam meneliti bahasa, linguis tidak memilki sikap bahasa yang negatif atau prejudisme tertentu kepada sesuatu bahasa. Maksudnya, seorang linguis tidak boleh memiliki persepsi dan penilaian bahwa bahasa tertentu lebih baik /lebih bergengsi atau lebih sulit daripada bahasa lain.
2.    Memilki pengetahuan dan wawasan kebahasaan
Seorang linguis harus memilki pengetahuan dan wawasan yang luas berkaitan dengan berbagai aspek bahasa. Pengetahuan tersebut sangat berguna sebagai modal ketika meneliti dan mendeskripsikan bahasa.
3.    Mampu meneliti
Dalam konteks penelitian, linguis pun harus mampu meneliti dan mendeskripsikan kerangka metode penelitian dan hasil penelitian (hasil analisisnya). Tujuan akhir seorang linguis adalah mendeskripsikan hakikat bahasa secara universal.
4.     Mengetahui manfaat
Seorang linguis harus memilki kesadaran mengenai aspek manfaat atau nilai dari pekerjaannya sebagai seorang peneliti bahasa. Manfaat atau nilai tersebut dapat berkait dengan manfaat secara keilmuan maupun manfaat pragmatis (fungsional) untuk berbagai kepentingan.
5.    Melahirkan teori
Melalui penelitian dan kajian yang dilakukan, linguis harus mampu melahirkan teori, baik dalam menguatkan teori sebelumnya, menentang atau mendeskripsikan kelemahan teori sebelumnya, dan teori baru yang mendeskripsikan aspek dan hakikat bahasa yang belum pernah terungkap oleh teori sebelumnya. Secara implisit, dapat dikatakan bahwa denagn melahirkan teori berarti linguis telah berupaya menyempurnakan teori dan temuan keilmuan.


6.    Menguasai prinsip dan kaidah ilmu
Linguis harus mengethui dan menerapkan kaidah ilmu, terutama berkaitan dengan penguasaan dan pelaksanaan observasi, klasifikasi, pengumpulan data bahasa, analisis data bahasa, dan pembuatan inferensi.
Adapun tugas-tugas linguis dalam konteks penlitian dan keilmuan ialah sebagai berikut:
1.    Membuat definisi dan mendefinisikan aspek terminologis yang berkait dengan bahasa. Seorang linguis memiliki tugas mendeskripsikan berbagai konsep, isltilah atau terminologi dalam teori bahasa. Deskripsi tersebut bernilai penting untuk keajegan dan kejelasan berbagai definisi yang dipakai dalam kepentingan keilmuan.
2.    Mengklasifikasi. Seorang linguis harus mengklasifikasi data temuan yang akan dianalisis sehingga menghasilkan deskripsi klasifikasi hasil analisis.
3.    Inferensi. Seorang linguis bertugas membuat inferensi atau simpulan mengenai data bahasa (korpus) yang dianalisis. Inferensi yang dihasilkan mungkin berupa pengujian atau eksperimen suatu teori terhadap suatu gejala (prinsip deduksi) atau penemuan teori baru hasil penelitian terhadap suatu gejala (prinsip) induksi.
4.    Informasi. Seorang linguis bertugas mendeskripsikan informasi yang dihasilkan dari hasil kerja analisisnya. Informasi tersebut berupa informasi keilmuan yang dapat dipublikasikan atau disampaikan melalui berbagai macam bentuk , media, dan forum.
5.    Penelitian. Seorang peneliti bertugas meneliti bahasa, baik dalam posisi menguji kebenaran hasil penelitian sebelumnya terhadap aspek bahasa yang pernah diteliti atau dalam posisi melanjutkan penelitian terhadap bahasa yang pernah diteliti sebelumnya. Atau juga meneliti bahasa yang bemun pernah diteliti.
6.    Membuat model. Seorang linguis bertugas membuat model yang ditujukan untuk memberi kerangka dan sistematika dalam penelitian bahasa. Model yang dibuat tersebut harus berlaku universal dan berfungsi menyederhanakan dan memperjelas deskripsi dan analisis.
7.    Penyempurnaan. Seorang linguis bertugas menyempurnakan teori dan deskripsi sehingga linguistik selalu progresif dan ditunjang oleh deskripsi dan analisis yang makin sempurna.
Dengan kata lain, berdasarkan uraian itu tugas pokok seorang linguis dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Tugas deskriptif dan eksplanatif, yakni memberikan gejala kebahasaan dan menerangkannya.
2.    Tugas prediktif dan pengembangan, yakni tugas mempraduga dalam bentuk hipotesis yang selanjutnya diuji secara ilmiah. Melalui langkah prediksi akan dihasilkan teori, dan teori yang dihasilkan sekaligus juga menjadi langkah mengembangkan ilmu bahasa.
3.    Tugas kontrol, yaitu mengontrol masalah dan mengontrol hasil yang didapat setelah seorang linguis melakukan penelitian kebahasaan.
B.   Peranan Linguistik Terhadap Guru Bahasa
Sekarang ini dapat dikatakan bahwa awal mula penelitian tentang hubungan antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa dapat dilacak balik ke abad 19. Sejak saat itu, setiap penelitian yang diajukan para sarjana acapkali menjadi bahan perdebatan. Hingga tahun  1960-an, tatkala keterkaitan keduanya ditinjau ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa ilmu bahasa tidaklah sepenting  seperti yang dipraanggapkan setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beberapa ahli bahasa seperti  Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai anggapan bahwa ilmu bahasa menjadi basis strategi pemelajaran. Lamendella (1969) berpikir bahwa  sungguh salah manakala kita mengandalkan Tata Bahasa Pembangkit (Tata Bahasa Generatif Transformasional – TGT) atau  teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai  basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlukan dalam bidang pengajaran bahasa  bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang kedua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu bahasa  tetapi dengan syarat  bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantiasa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.
Levenson (1979) mengatakan bahwa tak ada satu pun aliran analisis bahasa yang memonopoli kebenaran deskripsi fenomena ujaran entah itu aliran tata bahasa tradisional atau  tata bahasa transformasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance) secara spesifik dengan  situasi pengajaran bahasa. Pada galibnya dapat dinyatakan bahwa terdapat interaksi timbal balik antara imu bahasa dan pengajaran bahasa. Dalam tulisan ini, terminologi pengajaran bahasa dan teori pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Sejauh  ini pula dapat dikatakan bahwa relasi antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa bersifat diadis. Ini bermakna,  pada sisi yang satu, sebagian teori linguistik dapat diterapkan pada pengajaran bahasa, yang bermakna pula bahwa ilmu bahasa memandu perkembangan teori pengajaran bahasa. Pada sisi yang lain, sebuah teori pengajaran  menyiratkan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat bahasa. Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan teori pengajaran bahasa secara langsung dengan linguistik teoretis.

1.   Ilmu Bahasa Sebagai Pemandu Pengajaran Bahasa
Tahun-tahun awal perang dunia (PD) kedua, ilmu bahasa dikenali sebagai komponen penting dalam teori pengajaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat memerlukan banyak prajurit yang mengetahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi permintaan ini, sekelompok bahasawan seperti  Bloomfield (1942) mulai memakai pengetahuan  Linguistik untuk menganalisis bahasa yang akan diajarkan dan hasilnya terbukti memuaskan. Bloomfield menyarankan bahwa satu-satunya guru yang mangkus (effective) sebaiknya adalah seorang bahasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik, karena guru bahasa sering kali kurang memiliki keterampilan  bahasa yang cukup, hanya bahasawan yang terlatih yang  mengetahui bagaimana peserta didik belajar dari  penutur jati (native speaker) dan bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam konteks ini, saran Bloomfield memang tampak sedikit ekstrim, tetapi kita harus mengakui bahwa sebagai guru bahasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan penguasaan yang baik  tentang ilmu bahasa, supaya kita bisa mengajar dengan baik. Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai konstruksi organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan melalui sinergi antarorgan artikulasi itu. Kita juga dapat membantu peserta didik memperoleh pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan vokal dan konsonan dan cara menghasilkan bunyi itu secara akurat dengan posisi lidah yang benar. Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik tentang ilmu bunyi bahasa (Fonetik) peserta didik bisa mempelajari lafal (pronunciation) kata dengan baik pula.  Minimal, guru bahasa sepatutnya mengadopsi analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan asosiasi fonetik internasional untuk melatih pelafalan.
Menjelang kira-kira tahun 1960, pengaruh Linguistik Struktural terhadap bidang pengajaran bahasa mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Linguistik ini menekankan pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat dalam sistem itu.  Bersama dengan  Behaviorisme,  ia memberi basis teoretis utama pada Teori Audiolingual  dan memengaruhi materi pengajaran bahasa, teknik, dan pendidikan guru. Behaviorisme menghasilkan  teori-teori pemelajaran dan pengajaran bahasa yang menjelaskan bagaimana  sebuah peristiwa  eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan perilaku pada individu  (response) tanpa perilaku mental apapun. Meskipun  Behaviorisme mengabaikan aktivitas mental, ia menekankan pentingnya praktik  dan pengulangan dalam pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor  vital dalam mempelajari bahasa asing. Berkenaan dengan hal ini,  metode audiolingual dapat diambil sebagai contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara dan menyimak sebelum membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan latihan (drills); (3) penghindaran pemakaian bahasa ibu di kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak sebagai keterampilan berbahasa paling mendasar, yang sinkron dengan situasi pengajaran bahasa Inggris saat ini.
Secara spesifik, dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu berkomunikasi dengan orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan menyimak  itu lebih penting daripada kemahiran membaca dan menulis karena ia tidak diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bahwa tatkala ia perlu berkomunikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang asing itu dan mengungkapkan dirinya dengan baik.
Di Indonesia, kita mulai mengajar bahasa Inggris tatkala peserta didik berada di Sekolah Dasar, meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan lokal. Sebelumnya, kita lebih sering mencurahkan perhatian pada pengajaran tata bahasa dan hasilnya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta didik kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik; bahkan beberapa di antaranya tidak bisa berkata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir ini, kita menekankan pentingnya berbicara dan menyimak dalam pengajaran bahasa Inggris dan mengadopsi Metode Audiolingual di kelas. Metode ini memberi penekanan pada praktik dan pengulangan materi yang telah dipelajari di kelas; ia memercayai bahwa bahasa dipelajari melalui pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa supaya bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih, diperlukan praktik yang konstan. Dengan demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, kita sepantasnya berupaya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.
Tatkala pengaruh Strukturalisme pada ilmu pengajaran bahasa begitu menyeluruh dan kuat, pengaruh  TGT menunjukkan hal yang berbeda. Pada akhir tahun 1960-an,  terjadi perkembangan baru dalam  ilmu pengajaran bahasa sebagai akibat dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik adalah teori kognitif pemelajaran bahasa. Teori ini muncul  tatkala TGT lengket erat dengan  pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia berlawanan dengan teori  empirisis, yakni secara pedagogis adalah audiolingualisme, secara psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis adalah strukturalisme. TGT menekankan aktivitas mental. Teori ini menyarankan bahwa manusia memiliki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat manusia memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan jumlah kalimat yang tak terbatas adalah kemampuan bawaan (inborn ability). Bahasawan seperti  Diller (1970) lebih mendukung teori kognitif; sementara bahasawan yang lain seperti  Chastain (1976) dan Rivers (1981:25-27) beranggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi  dan membentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah merepresentasikan berbedanya fase pemelajaran bahasa. Tampaknya, teori empirisis bermanfaat dan lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran bahasa; sedangkan teori kognitif lebih bermanfaat dan cocok untuk analisis bahasa.
Pada tahun 1970an, sekelompok sarjana seperti  Oller (1970) dan Widdowson (1978), yang merupakan ahli bahasanya sendiri tetapi pada saat yang sama bergulat dengan praktik pengajaran, memberi arah kebahasaan pada pendidikan dan pengajaran bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam kedudukannya yang baik untuk menciptakan mata rantai antara teori bahasa dan praktik pengajaran bahasa, keduanya menekankan pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Minat  Oller  pada  Pragmatik bisa dijadikan contoh. Oller (1970:507) menyatakan  bahwa Pragmatik berimplikasi pada pengajaran bahasa; ia membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa untuk mendorong peserta didik tidak hanya  memanipulasi rentetean bunyi tak bermakna, tetapi juga mengirim dan menerima pesan dalam bahasa. Dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup tentang Pragmatik sungguh bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan mengajar bahasa Inggris dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian, orang seringkali berbicara secara tidak langsung, barangkali kita sudah  mengetahuinya, tetapi tanpa pengetahuan Pragmatik, kita tak bisa menerangkannya dengan benar. Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa menerangjelaskan beberapa gejala bahasa secara akurat, yang membuat peserta didik kita memiliki wawasan yang lebih dalam tentang  hakikat bahasa. Widdowson (1978) membatasi  seperangkat konsep yang berkontras untuk membedakan antara bahasa sebagai sistem  formal dan bahasa sebagai peristiwa komunikatif. Beliau menganjurkan pergeseran  penekanan dari pengajaran  bahasa kedua sebagai sistem formal ke pengajaran bahasa kedua sebagai komunikasi. Pandangan Widdowson ini sejalan dengan situasi pengajaran bahasa kedua di negara kita. Saat ini kita menekankan pentingnya kemampuan komunikatif peserta didik kita, yakni  berkata, menyimak, dan berbincang alih-alih kemahiran berbahasa. Ini tidak bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu bahasa; justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran bahasa kita.
2.   Ilmu Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan sebuah entitas yang kompleks. Ia kontradiktif dan opositif. Ilmu bahasa dan pengajaran bahasa semestinya mempertimbangkan kontradiksi ini. Jika tidak, ia tidak bisa memberi solusi yang memuaskan terhadap  permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikatnya kompleks, yang harus dilakukan ilmu bahasa adalah mengidentifikasi elemen atau aspek untuk menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa, kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem gramatikal, sistem leksikal, dan sistem  wacana. Dari keempat aspek itu, kita bisa melihat, termasuk atau tidak termasuk aspek yang mana teori pegajaran atau praktik pengajaran bahasa kita. Secara teoretis, keempat aspek tersebut mesti dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena keempatnya merupakan gambaran menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita menganalisis setiap aspek itu, kita akan memakai teori bahasa untuk menggambarkannya, yang bermakna bahwa  kita harus memepertimbangkan bagaimana ia beroperasi secara linguistis, apa maknanya secara semantis, dan bagaimana ia digunakan secara  sosiolinguistis.  Hanya jika bahasa dianalisis secara sistematis, ia bisa dipelajari secara praksis. Namun, guru bahasa berharap bahwa ia mengajar bahasa secara menyeluruh (holistis), yang bermakna bahwa bahasa selayaknya dianggap sebagai sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan demikian, teori pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa baik sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahasa adalah juga sebuah entitas yang opositif, yakni bahwa bahasa itu terkendali oleh tata aturan (rule-governed) dan bahasa itu berdaya cipta  (creative). Ia  tidak hanya melibatkan  tata dan keteraturan, tetapi juga memberi peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran bahasa atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya mempertimbangkan keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini dengan berbagai cara. Dalam praktik pengajaran kita, kita seharusnya mengajar peserta didik kita tata bahasa atau aturan bahasa; di sisi lain, kita meminta  peserta didik memakai bahasa secara inovatif berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah, pengajaran tata aturan bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi, karena tanpa  dasar yang kokoh.








KESIMPULAN

Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi.  Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern. 
1.   Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.
2.   Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
3.   Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut. 
4.    Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.












DAFTAR PUSTAKA
Aitchison, Jean. 2004. Linguistics: Teach Yourself. McGraw-Hill Companies: USA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Rineka Cipta: Jakarta.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa
Suhardi, B. 2011. Linguistik Umum. Makalah Mata Kuliah Linguistik Umum Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Indraprasta.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...