MAKALAH
PERANAN LINGUISTIK BAGI PAKAR BAHASA
DAN GURU BAHASA
AZIZ THABA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
PENDAHULUAN
Kata linguistic
berasal dari bahasa latin “lingua” yang artinya bahasa. Menurut
Kridalaksana (1993) dalam kamusnya kamus linuistik, kata linguistic di definisikan
sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah. Definisi
yang sama di kemukakan oleh Tarigan (1986), yaitu seperangkat ilmu pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan penerapan metode ilmiah terhadap fenomena bahasa.
Sebagai penyelidikan bahasa secara ilmiah, linguistik tidak membedakan antara
bahasa yang satu dengan yang lainnya (hasanan, 1984).
Dalam BA,
linguistik disebut ilmu lughah. Pada mulanya kata ilmu lughah tidak
digunakan dengan makna linguistic atau kajian bahasa. Kata ilmu
lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya “Al-Muqoddimah”
dan dimaksudkan sebagai ilmu ma’ajim atau lecikology.
Berikutnya kata ilmu lughah digunakan oleh Assuyuti dalam judul bukunya “Al-Mazhar
Fi ulumi-l Lughah wa Anwa’uha”. Assuyuti pun menggunakan dengan makna lexicology.
(dalam Hasanin,1984).[1]
Secara
populer orang asing menyatakan bahwa linguistic adalah ilmu tentang
bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih
tepat lagi, sepeti dikatakan Martiner (1987:19), telaah ilmiah mengenai bahasa
manusia. Kata linguistik
berpadanan dengan linguistic dalam bahasa inggris, linguistique
dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa belanda) diturunkan dalam
bahasa latin lingua yang berarti ‘ bahasa’. Prancis
mempunyai dua istilah, yaitu langue dan langage dengan makna yang
berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa inggris,
bahasa jawa, atau bahasa prancis. Sedangkan langage beararti bahasa
secara umum
PEMBAHASAN
A.
Peranan
Linguistik Terhadap Pakar Bahasa
Pakar bahasa pada hakikatnya adalah seorang manusia
yang membutuhkan bahasa untuk mengkomunikasikan ide, gagasan serta kritikannya
terhadap suatu objek. Alat komunikasi yang paling ampuh adalah bahasa. Dengan
bahasa manusia sebagai mahluk sosial dapat berhubungan satu sama lain secara
efektif. Dengan bahasa kita menyatakan perasaan, pendapat, bahkan dengan bahasa
kita berpikir dan bernalar. Tanpa bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi
antar sesamanya, dan juga tidak akan dapat mengeluarkan ekspresinya dan
pendapatnya. Manusia dan bahasa sudah menjadi satu ke satuan yang tidak dapat
dipisahkan lagi dari kehidupan ini, manusia sangat membutuhkan bahasa. Oleh
sebab itu, agar komunikasi berjalan dengan lancar, tidak menimbulkan salah
paham, kita perlu terampil berbahasa baik lisan maupun tulis. Komunikasi dikatakan
berhasil apabila pesan atau apa yang disampaikan pembicara dapat dipahami atau
diterima dengan baik oleh penyimak sesuai dengan maksud pembicara tersebut,
artinya tidak menyimpang dari yang disampaikan .
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan ini, bahasa adalah sebuah sistem tanda. Tanda adalah hal atau benda
yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang
menanggapi (melihat, mendengar dan sebainya) apa yang diwakilinya itu. Setiap
bagian dari bahasa tentulah mawakili sesuatu. Tegasnya bahasa itu bermakna,
artinnya bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar
masyarakat yang memakainya”. Semua orang padai berbahasa, pandai bagaimana
mengeluarkan pendapatnya melalui berbahasa, tapi belum tahu bagaimana cara
berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan apa yang hendak disampaikan. Oleh
karena itu keterampilan berbahasa juga erat kaitannya dengan proses berpikir
yang mendasari bahasa itu sendiri. Bahasa seseorang biasanya mencerminkan pikiran
seseorang, kita bisa melihat bagaimana seseorang berpikir dengan baik dan
bernalar dari bahasa yang digunakan. Kita bisa melihat jika semakin cerah dan
jelas pikiran seseorang dari situ bisa dilihat semakin trampil seseorang
berbahasa. Melihat hal seperti ini dapat disimpulkan bahwa melatih keterapilan
berbahasa bearti melatih keterampilan berpikir.
Masih banyak individu-individu yang belum memahami
arti sebuah bahasa dan penggunaan bahasa itu sendiri, misalnya banyak orang
tersinggung, marah, bahkan secara langsung menunjukan emosi, karena bahasa tadi
yang kita gunakan tidak seperti apa yang lawan bicara kita pikirkan, mungkin
kita telah menyinggung prasaannya atau orang tersebut tidak biasa mendengar
bahasa-bahasa yang kita gunakan. Dalam pergaulan kita sehari-hari, penggunaan
bahasa itu sangat penti di jaga dan kita juga harus membiasakan diri untuk
bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar, karena dengan bahasa kita
manusia berpikir dan bernalar, itu yang sangat penting yang perlu dipikirkan
oleh kita sebagai mahluk social.
Mulai sekarang mari kita ubah paradikma lama kita
bagaimana kita gunakan bahasa yang baik, karena dari bahasa tadi orang lain
bisa melihat bagaiman kita berpikir. Terutama penggunaan bahasa Indonesia,
jangan sampai dikalahkan oleh bahasa pergaulan sehari-hari yang beraneka ragam.
Sebagai contoh, kita bisa melihat kepada orang-orang
yang sukses dalam berbica di depan orang banyak (public speaking) nya
yang memukau, luar biasa sekali dan bisa menghipnotis audiensnya, Bung Karno,
mantan Presiden pertama RI Soekarno, siapa yang tidak mengetahui sejarah
beliau. Yang menarik dari dirinya adalah ketika di membawakan pidatonya, semua
orang menjadi terpana dan terdiam bagaikan di ancam dengan pisau tajam. Itu
karena bahasa yang digunakan Bung Karno bisa “menghipnotis” semua orang yang
mendengarkan pidatonya tersebut.
Di panggung Internasional, siapa yang tida mengenal
Barak Obama Presiden Amerika Serikat sekarang ini, bagaimana Obama membawa
harapan baru bagi Negara Adikuasa tersebut, satu diantara yang menyebabkan
Obama sukses menjadi Presiden muda AS yaitu bagaimana Obama berbicara di depan
seluruh rakyat AS waktu itu dengan Public Spekingnya yang luar biasa dan
dengan bahasa yang beliau gunakan untuk meyakini dan memcerminkan pola pikir
dan kecerdasan emosionalnya, seluruh rakyat menjadi yakin dan percaya bahwa
Obama bisa memimpin Negara Adikuasa tersebut.
Suatu kecerdasar emosional (IQ) dan juga bahasa yang
kita gunakan sangat menjadi penentu dan kunci kesuksena dalam berkomunikasi,
berbicara di depan banyak orang. Bahasa juga menunjuka Bangsa. Melalui bahasa
yang digunakan seseorang dalam berbicara, berkomunikasi kita bisa melit tingkat
kecerdasan emosional (IQ) orang tersebut dan cara orang tersebut berpikir dan
bernalar.
Dalam konteks pembicaraan mengenai bahasa dan ilmu
bahasa (linguistik), tentu kita tidak dapat mengabaikan peran para ahli bahasa.
Jerih payah mereka dalam meneliti, menyelidiki, dan mengkaji bahasa terasa
sangat penting dan bermanfaat untuk pembentukan konsep, teori, serta pemahaman
yang lebih establish (mantap) dan
ilmiah tentang bahasa. Atas jasa dan buah kerja mereka pulalah, kini kita
beroleh kepahaman, pengetahuan, dan ilmu yang lebih pasti dan lebih
komprehensif di bidang bahasa.
Awalnya, bahasa dianggap sebagai sesuatu fakta yang
biasa dan seolah diabaikan dalam frame keilmuan, kemudian bahasa didekati secara
mitos, dan selanjutnya dipahami dalam kerangka tekstual dan sakral keagamaan,
serta pada perkembangan berikutnya bahasa dinalar secara filsafat.
Dalam kepahaman awam, terjadi kesalahpengertian atau
kesalahpahaman tentang siapa ahli bahasa itu sesungguhnya. Terminologi ahli
bahasa (linguis) banyak dipahami sebagai orang yang mampu menggunakan banyak
bahasa. Jadi, seandainya ada orang yang mampu berbahasa dalam banyak bahasa,
maka itulah ahli bahasa. Padahal, orang yang demikian bukanlah linguis
melainkan boleh jadi dwibahasawan (bilingual)
atau multibahasawan (polyglot).
Seorang linguis adalah seorang yang mumpuni secara
teoretik dalam hal aspek-aspek bahasa secara universal. Akan tetapi, tidaklah
salah jika dikatakan bahwa ada sekian ahli bahasa yang juga mengetahui dan
menguasai banyak bahasa. Syarat menjadi linguis secara mutlak tentutlah bukan
kemampuannya secara praktik dalam berbahasa banyak bahasa, melainkan wawasan
kebahasaan, kemampuan menganalisis, dan penguasaan metodologis ketika mengkaji
bahasa-bahasa yang ada dan dipakai oleh manusia. Seorang linguis harus pula
mampu mendeskripsikan bahasa-bahasa yang diteliti sehingga dapat mengungkap dan
memberikan hakikat, ciri, dan klasifikasi bahasa. Seorang linguis bermula dari
parole, untuk selanjutnya mencari pemahaman langue, dan secara universal
membongkar hakikat langangage.
Syarat menjadi linguis menurut penulis dapat
diformulasikan menjadi 6M, yakni sebagai berikut.
1. Minat terhadap bahasa
Seorang linguis
harus memilki minat yang tinggi untuk meneliti bahasa. Dalam meneliti bahasa,
linguis tidak memilki sikap bahasa yang negatif atau prejudisme tertentu kepada
sesuatu bahasa. Maksudnya, seorang linguis tidak boleh memiliki persepsi dan
penilaian bahwa bahasa tertentu lebih baik /lebih bergengsi atau lebih sulit
daripada bahasa lain.
2. Memilki pengetahuan dan wawasan kebahasaan
Seorang linguis
harus memilki pengetahuan dan wawasan yang luas berkaitan dengan berbagai aspek
bahasa. Pengetahuan tersebut sangat berguna sebagai modal ketika meneliti dan mendeskripsikan
bahasa.
3. Mampu meneliti
Dalam konteks
penelitian, linguis pun harus mampu meneliti dan mendeskripsikan kerangka
metode penelitian dan hasil penelitian (hasil analisisnya). Tujuan akhir
seorang linguis adalah mendeskripsikan hakikat bahasa secara universal.
4. Mengetahui
manfaat
Seorang linguis
harus memilki kesadaran mengenai aspek manfaat atau nilai dari pekerjaannya
sebagai seorang peneliti bahasa. Manfaat atau nilai tersebut dapat berkait
dengan manfaat secara keilmuan maupun manfaat pragmatis (fungsional) untuk
berbagai kepentingan.
5. Melahirkan teori
Melalui
penelitian dan kajian yang dilakukan, linguis harus mampu melahirkan teori,
baik dalam menguatkan teori sebelumnya, menentang atau mendeskripsikan
kelemahan teori sebelumnya, dan teori baru yang mendeskripsikan aspek dan
hakikat bahasa yang belum pernah terungkap oleh teori sebelumnya. Secara
implisit, dapat dikatakan bahwa denagn melahirkan teori berarti linguis telah
berupaya menyempurnakan teori dan temuan keilmuan.
6. Menguasai prinsip dan kaidah ilmu
Linguis harus mengethui dan menerapkan kaidah ilmu,
terutama berkaitan dengan penguasaan dan pelaksanaan observasi, klasifikasi,
pengumpulan data bahasa, analisis data bahasa, dan pembuatan inferensi.
Adapun tugas-tugas linguis dalam konteks penlitian dan
keilmuan ialah sebagai berikut:
1. Membuat definisi dan mendefinisikan aspek terminologis
yang berkait dengan bahasa. Seorang linguis memiliki tugas mendeskripsikan
berbagai konsep, isltilah atau terminologi dalam teori bahasa. Deskripsi tersebut
bernilai penting untuk keajegan dan kejelasan berbagai definisi yang dipakai
dalam kepentingan keilmuan.
2. Mengklasifikasi. Seorang linguis harus mengklasifikasi
data temuan yang akan dianalisis sehingga menghasilkan deskripsi klasifikasi
hasil analisis.
3. Inferensi. Seorang linguis bertugas membuat inferensi
atau simpulan mengenai data bahasa (korpus) yang dianalisis. Inferensi yang
dihasilkan mungkin berupa pengujian atau eksperimen suatu teori terhadap suatu
gejala (prinsip deduksi) atau penemuan teori baru hasil penelitian terhadap
suatu gejala (prinsip) induksi.
4. Informasi. Seorang linguis bertugas mendeskripsikan
informasi yang dihasilkan dari hasil kerja analisisnya. Informasi tersebut
berupa informasi keilmuan yang dapat dipublikasikan atau disampaikan melalui
berbagai macam bentuk , media, dan forum.
5. Penelitian. Seorang peneliti bertugas meneliti bahasa,
baik dalam posisi menguji kebenaran hasil penelitian sebelumnya terhadap aspek
bahasa yang pernah diteliti atau dalam posisi melanjutkan penelitian terhadap
bahasa yang pernah diteliti sebelumnya. Atau juga meneliti bahasa yang bemun
pernah diteliti.
6. Membuat model. Seorang linguis bertugas membuat model
yang ditujukan untuk memberi kerangka dan sistematika dalam penelitian bahasa.
Model yang dibuat tersebut harus berlaku universal dan berfungsi
menyederhanakan dan memperjelas deskripsi dan analisis.
7. Penyempurnaan. Seorang linguis bertugas menyempurnakan
teori dan deskripsi sehingga linguistik selalu progresif dan ditunjang oleh
deskripsi dan analisis yang makin sempurna.
Dengan kata lain, berdasarkan uraian itu tugas pokok
seorang linguis dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Tugas deskriptif dan eksplanatif, yakni memberikan
gejala kebahasaan dan menerangkannya.
2. Tugas prediktif dan pengembangan, yakni tugas
mempraduga dalam bentuk hipotesis yang selanjutnya diuji secara ilmiah. Melalui
langkah prediksi akan dihasilkan teori, dan teori yang dihasilkan sekaligus
juga menjadi langkah mengembangkan ilmu bahasa.
3. Tugas kontrol, yaitu mengontrol masalah dan mengontrol
hasil yang didapat setelah seorang linguis melakukan penelitian kebahasaan.
B.
Peranan
Linguistik Terhadap Guru Bahasa
Sekarang ini dapat dikatakan bahwa awal mula
penelitian tentang hubungan antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa dapat
dilacak balik ke abad 19. Sejak saat itu, setiap penelitian yang diajukan para
sarjana acapkali menjadi bahan perdebatan. Hingga tahun 1960-an, tatkala
keterkaitan keduanya ditinjau ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang
pertama mengatakan bahwa ilmu bahasa tidaklah sepenting seperti yang
dipraanggapkan setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beberapa ahli
bahasa seperti Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan
ketidaksetujuannya mengenai anggapan bahwa ilmu bahasa menjadi basis strategi
pemelajaran. Lamendella (1969) berpikir bahwa sungguh salah manakala kita
mengandalkan Tata Bahasa Pembangkit (Tata Bahasa Generatif Transformasional –
TGT) atau teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai basis
teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlukan dalam bidang
pengajaran bahasa bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan.
Pandangan yang kedua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu bahasa
tetapi dengan syarat bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk
senantiasa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa
menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan
sebagai sumber yang serupa.
Levenson (1979) mengatakan bahwa tak ada satu pun
aliran analisis bahasa yang memonopoli kebenaran deskripsi fenomena ujaran
entah itu aliran tata bahasa tradisional atau tata bahasa
transformasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance)
secara spesifik dengan situasi pengajaran bahasa. Pada galibnya dapat
dinyatakan bahwa terdapat interaksi timbal balik antara imu bahasa dan
pengajaran bahasa. Dalam tulisan ini, terminologi pengajaran bahasa dan teori
pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Sejauh ini pula dapat
dikatakan bahwa relasi antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa bersifat
diadis. Ini bermakna, pada sisi yang satu, sebagian teori linguistik
dapat diterapkan pada pengajaran bahasa, yang bermakna pula bahwa ilmu bahasa
memandu perkembangan teori pengajaran bahasa. Pada sisi yang lain, sebuah teori
pengajaran menyiratkan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat bahasa.
Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan teori pengajaran bahasa secara langsung
dengan linguistik teoretis.
1. Ilmu Bahasa Sebagai
Pemandu Pengajaran Bahasa
Tahun-tahun awal perang dunia (PD) kedua, ilmu bahasa dikenali sebagai
komponen penting dalam teori pengajaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat
memerlukan banyak prajurit yang mengetahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi
permintaan ini, sekelompok bahasawan seperti Bloomfield (1942) mulai
memakai pengetahuan Linguistik untuk menganalisis bahasa yang akan
diajarkan dan hasilnya terbukti memuaskan. Bloomfield menyarankan bahwa
satu-satunya guru yang mangkus (effective)
sebaiknya adalah seorang bahasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik,
karena guru bahasa sering kali kurang memiliki keterampilan bahasa yang
cukup, hanya bahasawan yang terlatih yang mengetahui bagaimana peserta
didik belajar dari penutur jati (native
speaker) dan bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam
konteks ini, saran Bloomfield memang tampak sedikit ekstrim, tetapi kita harus
mengakui bahwa sebagai guru bahasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan
penguasaan yang baik tentang ilmu bahasa, supaya kita bisa mengajar
dengan baik. Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui
fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai konstruksi
organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan melalui sinergi
antarorgan artikulasi itu. Kita juga dapat membantu peserta didik memperoleh
pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan vokal dan konsonan dan cara
menghasilkan bunyi itu secara akurat dengan posisi lidah yang benar.
Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik tentang ilmu bunyi bahasa
(Fonetik) peserta didik bisa mempelajari lafal (pronunciation)
kata dengan baik pula. Minimal, guru bahasa sepatutnya mengadopsi
analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan asosiasi fonetik internasional untuk
melatih pelafalan.
Menjelang kira-kira tahun 1960, pengaruh Linguistik Struktural terhadap
bidang pengajaran bahasa mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Linguistik ini
menekankan pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit
kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat dalam sistem itu. Bersama
dengan Behaviorisme, ia memberi basis teoretis utama pada Teori
Audiolingual dan memengaruhi materi pengajaran bahasa, teknik, dan pendidikan
guru. Behaviorisme menghasilkan teori-teori pemelajaran dan pengajaran
bahasa yang menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan
perilaku pada individu (response)
tanpa perilaku mental apapun. Meskipun Behaviorisme mengabaikan aktivitas
mental, ia menekankan pentingnya praktik dan pengulangan dalam
pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor vital dalam mempelajari bahasa
asing. Berkenaan dengan hal ini, metode audiolingual dapat diambil sebagai
contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara dan menyimak sebelum
membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan latihan (drills); (3) penghindaran
pemakaian bahasa ibu di kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak
sebagai keterampilan berbahasa paling mendasar, yang sinkron dengan situasi
pengajaran bahasa Inggris saat ini.
Secara spesifik, dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin
banyak orang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu
berkomunikasi dengan orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan
menyimak itu lebih penting daripada kemahiran membaca dan menulis karena
ia tidak diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa
Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bahwa tatkala ia perlu
berkomunikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang asing itu
dan mengungkapkan dirinya dengan baik.
Di Indonesia, kita mulai mengajar bahasa Inggris tatkala peserta didik
berada di Sekolah Dasar, meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan
lokal. Sebelumnya, kita lebih sering mencurahkan perhatian pada pengajaran tata
bahasa dan hasilnya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta
didik kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik; bahkan beberapa di
antaranya tidak bisa berkata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir ini, kita
menekankan pentingnya berbicara dan menyimak dalam pengajaran bahasa Inggris
dan mengadopsi Metode Audiolingual di kelas. Metode ini memberi penekanan pada
praktik dan pengulangan materi yang telah dipelajari di kelas; ia memercayai
bahwa bahasa dipelajari melalui pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa
supaya bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih, diperlukan praktik yang
konstan. Dengan demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, kita
sepantasnya berupaya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan
menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.
Tatkala pengaruh Strukturalisme pada ilmu pengajaran bahasa begitu
menyeluruh dan kuat, pengaruh TGT menunjukkan hal yang berbeda. Pada
akhir tahun 1960-an, terjadi perkembangan baru dalam ilmu
pengajaran bahasa sebagai akibat dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik
adalah teori kognitif pemelajaran bahasa. Teori ini muncul tatkala TGT
lengket erat dengan pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia
berlawanan dengan teori empirisis, yakni secara pedagogis adalah
audiolingualisme, secara psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis
adalah strukturalisme. TGT menekankan aktivitas mental. Teori ini menyarankan
bahwa manusia memiliki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat manusia
memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan jumlah kalimat
yang tak terbatas adalah kemampuan bawaan (inborn
ability). Bahasawan seperti Diller (1970) lebih mendukung
teori kognitif; sementara bahasawan yang lain seperti Chastain (1976) dan
Rivers (1981:25-27) beranggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi dan
membentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah merepresentasikan
berbedanya fase pemelajaran bahasa. Tampaknya, teori empirisis bermanfaat dan
lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran bahasa; sedangkan teori kognitif
lebih bermanfaat dan cocok untuk analisis bahasa.
Pada tahun 1970an, sekelompok sarjana seperti Oller (1970) dan
Widdowson (1978), yang merupakan ahli bahasanya sendiri tetapi pada saat yang
sama bergulat dengan praktik pengajaran, memberi arah kebahasaan pada
pendidikan dan pengajaran bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam
kedudukannya yang baik untuk menciptakan mata rantai antara teori bahasa dan
praktik pengajaran bahasa, keduanya menekankan pemakaian bahasa yang
sesungguhnya. Minat Oller pada Pragmatik bisa dijadikan
contoh. Oller (1970:507) menyatakan bahwa Pragmatik berimplikasi pada
pengajaran bahasa; ia membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa untuk mendorong
peserta didik tidak hanya memanipulasi rentetean bunyi tak bermakna,
tetapi juga mengirim dan menerima pesan dalam bahasa. Dalam pemelajaran dan
pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup tentang Pragmatik sungguh
bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan mengajar bahasa Inggris
dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian, orang seringkali
berbicara secara tidak langsung, barangkali kita sudah mengetahuinya,
tetapi tanpa pengetahuan Pragmatik, kita tak bisa menerangkannya dengan benar.
Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa menerangjelaskan beberapa gejala bahasa
secara akurat, yang membuat peserta didik kita memiliki wawasan yang lebih
dalam tentang hakikat bahasa. Widdowson (1978) membatasi
seperangkat konsep yang berkontras untuk membedakan antara bahasa sebagai
sistem formal dan bahasa sebagai peristiwa komunikatif. Beliau
menganjurkan pergeseran penekanan dari pengajaran bahasa kedua
sebagai sistem formal ke pengajaran bahasa kedua sebagai komunikasi. Pandangan
Widdowson ini sejalan dengan situasi pengajaran bahasa kedua di negara kita.
Saat ini kita menekankan pentingnya kemampuan komunikatif peserta didik kita,
yakni berkata, menyimak, dan berbincang alih-alih kemahiran berbahasa.
Ini tidak bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu bahasa;
justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran bahasa
kita.
2. Ilmu Bahasa,
Pengajaran Bahasa, dan Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan sebuah entitas yang kompleks. Ia kontradiktif dan
opositif. Ilmu bahasa dan pengajaran bahasa semestinya mempertimbangkan
kontradiksi ini. Jika tidak, ia tidak bisa memberi solusi yang memuaskan
terhadap permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikatnya kompleks,
yang harus dilakukan ilmu bahasa adalah mengidentifikasi elemen atau aspek
untuk menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa,
kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem gramatikal,
sistem leksikal, dan sistem wacana. Dari keempat aspek itu, kita bisa
melihat, termasuk atau tidak termasuk aspek yang mana teori pegajaran atau
praktik pengajaran bahasa kita. Secara teoretis, keempat aspek tersebut mesti
dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena keempatnya merupakan gambaran
menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita menganalisis setiap aspek itu, kita
akan memakai teori bahasa untuk menggambarkannya, yang bermakna bahwa
kita harus memepertimbangkan bagaimana ia beroperasi secara linguistis,
apa maknanya secara semantis, dan bagaimana ia digunakan secara
sosiolinguistis. Hanya jika bahasa dianalisis secara sistematis, ia
bisa dipelajari secara praksis. Namun, guru bahasa berharap bahwa ia mengajar
bahasa secara menyeluruh (holistis), yang bermakna bahwa bahasa selayaknya
dianggap sebagai sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan
demikian, teori pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa
baik sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahasa adalah juga sebuah entitas
yang opositif, yakni bahwa bahasa itu terkendali oleh tata aturan (rule-governed) dan bahasa itu
berdaya cipta (creative). Ia
tidak hanya melibatkan tata dan keteraturan, tetapi juga memberi
peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran bahasa
atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya mempertimbangkan
keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini dengan berbagai cara.
Dalam praktik pengajaran kita, kita seharusnya mengajar peserta didik kita tata
bahasa atau aturan bahasa; di sisi lain, kita meminta peserta didik
memakai bahasa secara inovatif berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah,
pengajaran tata aturan bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi,
karena tanpa dasar yang kokoh.
KESIMPULAN
Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi
sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik
bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama
bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari
bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang
Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak
disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis
menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan
pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan
teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih
terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara
terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau
bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal,
bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat
memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja,
bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat
memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat
memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu
yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk
mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk
mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi
tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan
berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana
pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut
berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi,
maupun komunikasi. Konsep-konsep dan
istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia.
Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana
berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo,
1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa
(termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu
bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi,
dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi
sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya
nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu,
jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir
karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung
pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula.
Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia
menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap
luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat
modern.
1.
Bahasa sebagai Alat
Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni
ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa
hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi
dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa,
baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis
mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun
adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya
dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk
mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat
kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan
isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang
lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain,
kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara
berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara
berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk
mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau
memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak
sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi
ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk
berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa
menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita,
sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.
2.
Bahasa sebagai Alat
Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari
ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak
diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari
dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang
dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran
perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita
menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam
aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys
Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang
lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita
ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi
orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran
kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi
perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan
dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi,
antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku
untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang
komunikatif”. Misalnya, kata makro
hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun
kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh
masyarakat umum. Kata griya, misalnya,
lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan
kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma,
dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya,
kata-kata griya atau makro akan
memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa
intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat
komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri.
Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas
suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat
kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri
sendiri.
3.
Bahasa sebagai Alat
Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan,
memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka,
mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar
berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien
melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap
orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya,
serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh
mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya.
Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan
masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat
komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada
saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih
bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita
hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita
akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan
menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga
berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada
situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan
tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang
dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi
orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan
pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat.
Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah
menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai
bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan
bangsa tersebut.
4.
Bahasa sebagai Alat Kontrol
Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif.
Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada
masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan
melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu
contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan
bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik
merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara
bincang-bincang (talk show) di
televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan
salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu
merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh
pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu,
kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai
suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang
sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita.
Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada
akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat
persoalan secara lebih jelas dan tenang.
DAFTAR PUSTAKA
Aitchison, Jean. 2004. Linguistics: Teach Yourself. McGraw-Hill Companies: USA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Rineka Cipta: Jakarta.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung:
Angkasa
Suhardi, B. 2011. Linguistik Umum. Makalah Mata Kuliah Linguistik Umum Program
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Indraprasta.
No comments:
Post a Comment