Thursday, June 12, 2014

PERANAN LINGUISTIK (MAKALAH)



MAKALAH



PERSPEKTIF KAJIAN LINGUISTIK TERHADAP BAHASA MANUSIAWI, BAHASA HEWAN, 
DAN FIRMAN TUHAN DALAM KITAB SUCI




AZIZ THABA




PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 
2014


PENDAHULUAN


Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadi objek kajian sosiologi. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa; sedangkan ilmu lain tidak demikian.
Bahasa memainkan peranan penting dalam hidup kita. Mungkin karena lazimnya, sangat jarang kita memperhatikannya, dan lebih menganggapnya sebagai hal yang biasa seperti bernafas atau berjalan. Bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa, dan termasuk dari apa yang membedakan manusia dari binatang-binatang.
Kata “bahasa” memiliki paling kurang dua makna dasar, bahasa sebagai konsep umum, dan “sebuah bahasa” (sebuah sistem linguistik tertentu, contohnya “bahasa Prancis”). Ferdinand de Saussure yang pertama kali dengan jelas memformulasi perbedaannya, menggunakan kata Prancis langage untuk bahasa sebagai sebuah konsep dan langue sebagai instansi spesifik dari bahasa.
Bila berbicara mengenai bahasa sebagai konsep umum, beberapa definisi berbeda dapat digunakan untuk menekankan aspek yang berbeda dari fenomena. Definisi tersebut juga memerlukan pendekatan dan pemahaman berbeda, dan mereka memberikan kajian teori linguistik yang berbeda dan terkadang bertentangan.


PEMBAHASAN

A.   Bahasa Manusia
Salah satu definisi melihat bahasa pada pokoknya sebagai kemampuan mental yang membuat manusia dapat menggunakan perilaku linguistik: untuk belajar bahasa dan menghasilkan dan memahami penyebutan. Definisi ini menekankan keuniversalan bahasa untuk semua manusia dan dasar biologis dari kapasitas manusia terhadap bahasa sebagai perkembangan yang unik dari otak manusia. Pandangan ini memahami bahasa secara garis besar bawaan lahir, sebagai contoh dalam teori Chomsky mengenai Tata bahasa universal, dan teori ekstrim lahiriah dari Jerry Fodor. Definisi semacam ini sering diaplikasikan oleh orang yang mempelajari bahasa lewat kerangka ilmu kognitif dan dalam neurolinguistik.
Definisi lain melihat bahasa sebagai sebuah sistem formal dari isyarat-isyarat yang diatur oleh aturan-aturan kombinasi tata-bahasa untuk mengkomunikasikan suatu makna. Definisi ini menekankan fakta bahwa bahasa manusia dapat dijelaskan sebagai sistem terstruktur tertutup yang terdiri dari aturan-aturan yang menghubungkan isyarat tertentu terhadap makna tertentu. Pandangan strukturalis terhadap bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, dan strukturalisme-nya tetap menjadi fondasi terhadap hampir semua pendekatan terhadap bahasa pada masa sekarang. Beberapa pendukung pandangan bahasa ini telah menyarankan sebuah pendekatan formal untuk mempelajari struktur bahasa, khususnya formulasi dasar dari aturan-aturan abstrak yang dapat dipahami untuk menghasilkan struktur linguistik yang dapat diobservasi. Pendukung utama dari teori tersebut yaitu Noam Chomsky, yang mendefinisikan bahasa sebagai sebuah kumpulan kalimat yang dapat dihasilkan dari sekumpulan aturan tertentu. Sudut pandang strukturalis biasanya digunakan dalam logika formal, semiotik, dan dalam teori tata-bahasa formal dan struktural, kerangka teoritikal yang banyak digunakan dalam penjelasan linguistik. Dalam filsafat bahasa pandangan ini berhubungan dengan filsuf seperti Bertrand Russell, Wittgenstein muda, Alfred Tarski dan Gottlob Frege.
Definisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia dapat bekerja sama. Definisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa dan fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri dan untuk memanipulasi objek dalam lingkungannya. Teori fungsional dari tata bahasa menjelaskan struktur tata-bahasa lewat fungsi komunikatifnya, dan memahami struktur tata-bahasa dari bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana tata-bahasa telah “disesuaikan” untuk melayani kebutuhan komunikatif penggunanya. Pandangan bahasa ini berhubungan dengan kajian bahasa dalam kerangka pragmatis, kognitif, dan kerangka interaksional, serta dalam sosial-linguistik dan antropologi linguistik. Para teori fungsionalis condong mempelajari tata-bahasa sebagai sebuah fenomena dinamis, sebagai suatu struktur yang selalu dalam proses perubahan saat mereka digunakan oleh para pembicaranya. Pandangan ini menyebabkan kajian tipologi linguistik menjadi penting, karena ia dapat memperlihatkan bahwa proses-proses dari gramatikalisasi condong mengikuti lintasan yang secara terpisah bergantung pada tipologi. Dalam filsafat bahasa pandangan ini sering dikaitkan dengan karya terakhir Wittgenstein dan dengan filsuf bahasa umum seperti G. E. Moore, Paul Grice, John Searle dan J. L. Austin.
Bahasa manusia unik bila dibandingkan dengan bentuk lain komunikasi, seperti yang digunakan oleh hewan, karena ia membolehkan manusia untuk menghasilkan penyebutan yang tak terbatas dari sekumpulan elemen yang terbatas, dan karena simbol dan aturan tata-bahasa dari setiap bahasa secara kebanyakan sering berubah-ubah, sehingga sistem hanya dapat diperoleh melalui interaksi sosial. Sistem komunikasi yang digunakan hewan, di sisi lain, hanya dapat mengekspresikan sejumlah penyebutan terbatas yang umumnya ditransmisikan secara genetik.
Bahasa manusia juga berbeda dari sistem komunikasi hewan di mana mereka menggunakan kategori tata-bahasa dan semantik seperti kata benda dan kata kerja, atau saat sekarang atau masa lalu, untuk mengekspresikan arti yang sangat kompleks. Bahasa manusia juga unik karena kompleksitas strukturnya melayani seluas mungkin fungsi dibandingkan sistem komunikasi lainnya.
Bahasa juga unik karena ia memiliki properti penting yang mengatur elemen-elemen menjadi struktur-struktur rekursif; hal ini membolehkan, sebagai contohnya, frasa kata benda mengandung frasa kata benda lainnya (seperti pada “bibir simpanse”) atau suatu klausa mengandung klausa (seperti pada “Saya kira sekarang hujan”).
Bahasa manusia biasanya disebut dengan bahasa alami, dan ilmu yang mengkajinya jatuh pada bidang linguistik. Bahasa itu hidup, mati, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dan berubah seiring dengan waktu. Setiap bahasa yang berhenti berubah atau berkembang dikategorikan sebagai bahasa mati. Kebalikannya, setiap bahasa yang selalu dalam keadaan berubahan diketahui sebagai bahasa hidup atau bahasa modern.
Membuat sebuah perbedaan yang berprinsip antara satu bahasa dan lainnya terkadang hampir tidak mungkin. Misalnya, ada beberapa dialek bahasa Jerman yang mirip dengan dialek bahasa Belanda. Transisi antara bahasa dalam bahasa keluarga yang sama terkadang bertingkat-tingkat (lihat rangkaian dialek). Beberapa condong membuat persamaan dengan biologi, dimana tidak mungkin membuat perbedaan yang jelas antara satu spesies dengan spesies yang lain. Dalam setiap kasus, kesulitan tertinggi mungkin berada pada interaksi antara bahasa dan populasi.  Konsep dari Ausbausprache, Abstandsprache and Dachsprache digunakan untuk membuat pembedaan lebih halus tentang tingkat perbedaan antara bahasa atau dialek.
B.   Bahasa Binatang (Isyarat)
Istilah “bahasa binatang” sering digunakan untuk sistem komunikasi selain-manusia. Linguistik dan semiotisian tidak mempertimbangkan mereka sebagai “bahasa” sejati, tetapi menggambarkan mereka sebagai komunikasi binatang berdasarkan sistem isyarat tidak-simbolis, karena interaksi antara binatang dalam berkomunikasi secara fundamental berbeda secara mendasar dari bahasa manusia. Menurut pendekatan ini, sejak binatang tidak lahir dengan kemampuan memahami, istilah “kultur”, saat diaplikasikan ke komunitas binatang, dipahami mengacu pada sesuatu yang secara kualitas berbeda dengan yang ada di komunitas manusia. Bahasa, komunikasi dan kultur adalah hal-hal yang lebih kompleks di antara manusia. Anjing mungkin saja secara sukses mengkomunikasikan keadaan emosi agresifnya dengan menggeram, yang mungkin atau mungkin tidak menyebabkan anjing lainnya menjauh atau mundur. Hal yang sama, pada saat manusia berteriak dalam ketakutan, ia mungkin atau mungkin tidak memberitahu manusia lain akan adanya bahaya. Keduanya mencontohkan komunikasi, tapi keduanya bukan yang secara umum dikenal dengan bahasa.
Dalam beberapa contoh publikasi, binatang selain manusia telah diajarkan untuk memahami beberapa fitur dari bahasa manusia. Karl von Frisch menerima hadiah Nobel ditahun 1973 untuk pembuktian komunikasi isyarat dan variannya pada lebah. Simpanse, gorila, dan orangutan telah diajarkan isyarat tangan berbasis American Sign Language. Burung beo Abu-abu Afrika, Alex, yang memiliki kemampuan meniru perkataan manusia dengan tingkat akurasi yang tinggi, dianggap memiliki inteligensi yang cukup untuk memahami apa yang ia tiru. Walaupun binatang dapat diajarkan untuk memahami bagian dari bahasa manusia, mereka tidak dapat menghasilkan sebuah bahasa.
Bila pendukung dari sistem komunikasi binatang telah mendebatkan tingkat dari semantik, sistem ini belum ditemukan yang mendekati sintaks pada bahasa manusia.
Bahasa isyarat adalah sebuah bahasa yang, bukannya disampaikan menggunakan pola suara secara akustik, menggunakan pola isyarat yang dikirim secara visual (komunikasi manual, bahasa tubuh) untuk menyampaikan makna—secara simultan menggabungkan pola tangan, orientasi dan pergerakan tangan, lengan atau tubuh, dan ekpresi wajah untuk mengekspresikan pikiran pembicara secara lancar. Ratusan bahasa isyarat digunakan diseluruh dunia dan sebagai inti dari kultur Tuli lokal.
Sejauh ini, hal-hal yang membedakan komunikasi manusia dan binatang dapat disimpulkan sebagai berikut; pertama, bahasa manusia menggunakan suara sebagai sistem komunikasi. Kedua, bahasa manusia bersifat arbitrer atau sewenang-wenang. Ketiga, terdapat dualisme dalam bahasa manusia. Keempat, adanya penggantian atau pemindahan yang berkaitan dengan lapisan bahasa. Kelima, bahasa manusia sangat kreatif dan produktif yang artinya, bahasa manusia dapat dibentuk secara berbeda-beda dan bermacam-macam. Keenam, meniru, dan ketujuh adalah struktur ketergantungan yang juga merupakan kekhasan dari bahasa manusia.
Kesimpulannya bahwa bahasa adalah sistem sinyal suara yang yang arbitrer , dicirikan oleh ketergantungan struktur, kreativitas, perpindahan, dualisme, dan perpindahan (transmisi) budaya. Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa sebuah bahasa itu lebih primitif dariapda bahasa yang lain. Yang ada hanyalah istilah budaya. Budaya yang primitif dicerminkan dari bahasanya, yang mungkin kurang sama dengan bahasa masyarakat maju. Namun, meskipun suku yang sangat primitif punya bahasa, tentu strukturnya sama rumitnya dengan bahasa pada umumnya seperti bahasa Inggris, bahasa Rusia, bahasa Cina, atau bahasa Indonesia. Namun, bahasa manusia sedikit ada kemiripan dengan komunikasi hewan, yakni memang ditakdirkan untuk ada, dan digunakan untuk berkomunikasi.
Bahasa manunia adalah bawaan yangterstruktur. Bahwa seorang bayi yang baru lahir tidak bisa langsung berbicara, tetapi mereka diberitahu dan belajar bagaimana mendapatkan bahasa yang akan mereka hadapi untuk berkomunikasi. Bayi tertarik dengan suara-suara dari mulut orang dewasa dan mereka akan secara naluriah menganalisis suara-suara tersebut.
C.   Perspektif Linguistik terhadap Firman Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Quran)
Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain,agar komunikasi di antara mereka berjalan dengan baik dan lancar dibutuhkan sarana yangmampu menjembatani keinginan dan maksud yang akan disampaikan, dalam hal ini mediakomunikasi yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Beberapa pakar  berupaya memberikan definisi bahasa. Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan “bahasasebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan maksudnya”.
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam yang utama dan menjadituntunan hidup kita. Bahasa al-Qur’an telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah SWT agar  bisa diterima oleh akal manusia. Namun tetap perlu banyak dilakukan pengkajian agar tidak terjadi kesalahpahaman atas pemaknaannya, salah satu jalan yang digunakan adalah denganmenggunakan pendekatan linguistik.
a.   Pengertian dan Objek Linguistik 
Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan fokus utamanya adalah struktur  bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya adalah bagaimana orang menggunakan bahasauntuk berkomunikasi. Ahli linguistik yang disebut linguis menurut Verhaar tidak berurusandengan bahasa sebagai alat pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khasgolongan sosial atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasasebagai bahasa. Secara umum pembidangan linguistik dibagi atas:
a.    Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua bagian besar linguistik mikro dan makro.Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakupstruktur fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis,antropologi dan neurologi.
b.    Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkankajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
c.     Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengkaji perkembangan ilmulinguistik mengenai tokoh-tokohnya, aliran teorinya, ataupun hasil kerjanya.Verhaar merumuskan bidang-bidang dasar linguistik yang menyangkut struktur dasar tertentu dalam berbagai bagian: struktur bunyi dan bahasa (fonetik dan fonologi), struktur kata(morfologi), struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis), arti atau makna (semantik),menyangkut siasat komunikasi antar orang (parole), pemakaian bahasa dan hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan (pragmatik).Selain Ferdinan De Saussure yang sering disebut Bapak atau pelopor linguistik, ada beberapa tokoh yang fokus dalam kajian linguistik seperti Leonard Bloomfield, John RupertFirth, Noam Chomsky dan lain-lain. Dalam Islam ada beberapa nama seperti Abu Aswad ad-Duali, Imam Khalil, Sibaweih, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya (www.abusyakir80.blogspot.com).
b.    Linguistik dalam Al-Qur’an
Ketika kita berbicara bidang linguistik yang ada dalam al-Qur’an maka perhatian kita pasti tertuju pada “mekanisme pelahiran makna”, yaitu bagaimana aspek-aspek al-Qur’an yangmeliputi mikrostruktur, stilistika dan semantik dipahami serta dipakai untuk membedah maknayang dimiliki oleh teks.Pada bagian ini adalah bagaimana makna al-Qur’an melalui relasi-relasi struktural dalamkata maupun kalimat yang dipakai al-Qur’an bisa dijelaskan berdasarkan hukum-hukum serta batas-batas kebahasaan. Demikian pula elemen stilistika yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana keunikan gaya tutur yang dimiliki al-Qur’an bisa dipahami serta masuk dalamwilayah kebahasaan, akan tetapi tidak bermaksud untuk memperbincangkannya dalam teoristiliska secara mendetail. Sedangkan elemen semantik juga tidak dimaksudkan untuk memasukiwilayah madzhab semantik yang beraneka ragam, akan tetapi, bagaimana makna yang beradadalam teks bisa dilahirkan melalui alat bantu semantik (Setiawan, 2008).
a.    Makna dilihat dari Struktur Pembangunnya
Karya-karya kesarjanaan al-Qur’an berjudul Ma’ani al-Qur’an sangat penting dalam perkembangan teorisasi makna dari sudut pandang struktur pembangunnya, mengingat karya dengan titel seperti ini paling banyak mendiskusikan aspek kebahasaan al-Qur’an. Karya-karya kesarjanaan tersebut mengulas berbagai gaya dan seni bertutur al-Qur’an dari perspektif struktur kata dan kalimat serta kekhasan lainnya. Untuk itu, ulasannya tidak saja terfokus kepada struktur dalam kalimat, melainkan juga kemungkinan “peralihan” makna sebuah kosakata yang bisamemberikan pengaruh pada perubahan makna. Dalam pembahasan ini pula dimungkinkan ada peralihan makna sebuah kata kepada makna lain yang dipengaruhi oleh struktur kata dan kalimat.
Dengan demikian, argumen lain yang menunjukkan arti penting karya kesarjanaan bertitel ma’ani adalah fakta bahwa karya-karya tersebut tidak saja bergulat dengan mikrostruktur al-Qur’an, tetapi juga membahas kemungkinan perubahan makna yang diakibatkan oleh perubahanstruktur kalimat. Sedangkan elemen-elemen struktur makna al-Qur’an dalam pembicaraantulisan ini adalah terminology gramatik yang bias dipakai kalangan grammarian dan para pengkaji al-Qur’an.
Di antara termini tersebut adalah elliptical (al-hazf), susunan balik (taqdīmwa ta’khīr), negasi (al-nafi) dan lain sebagainya. Karya tentang Ma’ānī al-Qur’an dimulai sejak era al-Kisā’ī. Ia merupakan salahsatu sarjana besar yang menaruh perhatian serta mengkaji secara mendalam bahasa al-Qur’an dalam hubungannya dengan kritik sastra Arab. Peran yang dimainkan yang begitu besar tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa Sibawayh (w. 180/976), salah satu sarjana besar dalam kajian bahasa Arab yang tinggal di Basrah, begitu sering mengutipdan mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh al-Kisā’ī.
Analisis mikro-struktur yang dilakukan oleh al-Kisā’ī pada batas-batas tertentumemasukkan elemen kemanusiaan dalam ranah bahasa. Bahasa al-Qur’an dalam pandangansemisal al-Kisā’ī menjadi wilayah yang think able, sebuah pergeseran wilayah hermeneutis —meminjam istilah kontemporer—yang sejatinya telah banyak dilakukan para pemikir klasik.Jika kita mengikuti kategorisasi bahasa yang dilakukan oleh ahli semiotik Jurij Lotman (1997: 22) , yakni 1). bahasa natural, 2). bahasa seni, dan 3). bahasa sekunder, yakni struktur komunikasi, maka perlakukan para sarjana muslim klasik tentang al-Qur’an masuk dalam kategori di luar batas-batas bahasa natural tersebut unthink able (tak terpikirkan). Melalui pergumulan intelektual,dalam khazanah klasik wilayah  unthink able tersebut tergeser menjadi think able. Aspek lain dalam diskusi mikrostruktur dalam kalimat adalah tentang susunan balik, taqdīm wa ta’khīr. Salah satu contohnya adalah al-Anbiya (21:3), wa asarrū n-najwā al-lazīna zalamū (dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka). Baik al-Farra’maupun l-Kisā’ī memahami bahwa kalimat dalam ayat tersebut memilikisusun balik, karena asal dari susunan kalimatnya adalah wa al-lazīna zalamū merupakan subjek, sedangkan asarrū merupakan predikat dan an-najwā adalah objeknya. Dengan susunan yang ada dalam ayat memberikan implikasi penekanan makna terhadap frasa yang pertama yakni asarrū n-najwā sedangkan al-lazīna zalamū tidak mendapatkan prioritas atau penekanan makna. Susunan kalimat seperti dalam ayat membawa dalam arti perbuatan yang dilakukan (merahasiakan pembicaraan), lebih penting dalam konteks ayattersebut ketimbang perilaku perbuatan tersebut (Al Farra, 1988: 195).
Tema lain dari diskusi al-Farra’ yang masih berhubungan dengan kekhususanmikrostruktur al-Qur’an adalah tentang elliptical  (al-hazf ). Salah satu contohnya adalah dalamkalimat (2:60), idrib bi-asāka al-hajar fa-n-fajarat minhu snata asyrata aynā ,“pukullah batu itu dengan tongkatmu, lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air”.Kalimat asli dari struktur tersebut menurut al-Farra’ adalah “pukullah dengan tongkatmu,kemudian Musa memukulkan tongkatnya, maka kemudian keluarlah dua belas mata air dari batu tersebut, idrib bi-asāka al-hajara fa-daraba fa-n-fajarat. Sehingga yang dimaksudadalah keluarnya mata air tersebut setelah Musa memukulkan tongkatnya, bukan setelah perintahTuhan kepada Musa. Untuk itu elliptical  terletak pada dibuangnya frasa “Musa memukulkanketongkatnya”. Kasus yang senada terjadi dalam 26:63, an idrib bi-asāka al-bahra fa-nfalaqā, “pukullah lautan dengan tongkatmu, maka akan terbelah” (Setiawan, 2008: 95).
Stilistika yang dimaksud di sini bukanlah perbincangan mengenai pelbagai aspek dan perkembangan dalam dunia stilistika yang secara umum berkenaan dengan seni pengungkapan.Yang menjadi penting dalam stilistika al-Qur’an adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa para sarjana muslim klasik berusaha keras untuk menunjukkan elokuensi al-Qur’an, fasāha, melalui cara pandang stalistika. Di samping itu, diskursus tentang teori makna dalamkesarjanaan klasik menunjukkan relasi yang intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur’ansebagai teks. Wacana yang berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubunganantara kata dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Sementara itu, dalam kurun antara abad kedua sampai dengan kelima hijrah  ma’na  menjadi terminus technicus yang khas dalam teorisasi bahasa, baik berkenaan dengan fungsi leksikal bahasa, sintaktik maupunstilistika (Setiawan, 2008: 109).
Bahasa mengekspresikan kebermaknaan yang ada secara praktis di antara sesuatu.Manusia sebenarnya tidak menggunakan bahasa, tetapi bahasa itulah yang berbicara melaluimanusia. Alam terbuka bagi manusia melalui bahasa. Karena bahasa adalah bidang lahan pemahaman dan penafsiran, maka alam mengungkapkan dirinya kepada manusia melalui berbagai proses pemahaman dan penafsiran berkesinambungan. Bukan manusia memahami bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia memahami lewat bahasa. Bahasa bukan perantara antara alam dan manusia, tetapi ia merupakan penampakkan alam dan pengungkapannya setelah sebelumnya ia tersembunyi, karena bahasa adalah pengeja wantaheksistensial bagi alam.Teori klasik tentang bahasa ini bisa dilengkapi dengan pendapat a l-Jāhiz, dkk. (1985: 43-44) tentang filosofi bahasa sebagai perangkat komunikasi. Al-Jāhiz menyatakan bahwamakna, ma’āni adalah sesuatu yang berada dalam benak seseorang, terkonstruk sedemikianrupa, dan tersimpan di dalam wilayah jiwa manusia yang paling dalam, tersembunyi dan sangat jauh yang tidak bisa diketahui oleh orang lain dari si pemilik makna kecuali denganmenggunakan perantara atau wasilah.
Perantara ini bisa jadi berupa simbol bunyi bahasa yangtertulis dan disepakati dalam komunitas tertentu atau berupa perangkat lainnya. Dalam istilahlinguistik modern elemen-elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik yang tertulismaupun yang tidak merupakan kode. Dalam hal ini al-Jāhiz menyebut lima bentuk kodekomunikasi, yakni 1). Kata (lafazd) 2). Tanda atau isyarat (isyārah) 3). Konvensi (‘aqd ) 4). Kondisi tertentu (hāl) dan 5). Teologi (nushbah) (Al-Jahiz, dkk. 1985: 43-44).
Sinyalemen a l-Jāhiz bisa dipahami bahwa makna hanya bisadikomunikasikan dengan orang lain melaui sebuah medium, baik lisan maupun tertulis.Sebaliknya, tanpa perangkat tersebut makna yang dimiliki seseorang tidak akan pernah bisa dipahami. Ia kemudian memunculkan lima kode komunikasi yang bisa digunakan untuk bisa menjembatani dan menjadi wasilah transmisi informasi serta makna. Dalam kaitan dengan al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, al-Jāhiz berkeyakinan bahwaterdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Baginya, relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam dalālah yang dimiliki al-Qur’an, pilihan katayang dimiliki serta prinsip ekonomi kata.Arti penting pilihan kata yang dipakai al-Qur’an dalam mengkomunikasikan maknaditemukan al-Jāhiz ketika ia membandingkannya dengan syair-syair baik Arab jahiliyah maupunIslam. Baginya, hanya al-Qur’an yang memiliki karakter turtur yang tidak pernah ”muspro”.Salah satu contohnya adalah kosakata mathar  dan ghayts yang dua-duanya berdenotasi hujan.Kesalahan para sastrawan Arab adalah memperlakukan dua kosakata tersebut sebagai sinonim, padahal al-mathar  dalam pemakaian al-Qur’an senantiasa berhubungan dengan siksa, sepertiyang terdapat dalam 4:102 wa-lā junāha ‘alaykum in kāna bikum azan minmatharin aw kuntum.
Sementara penggunaan kata gaytsdalam al-Qur’an senantiasa dihubungkan dengan rahmat Tuhan.Sedangkan aspek lain yang masuk dalam diskusi stilistika Al-Jāhizadalah prinsip ekonomi ungkapan, ījāz . Prinsip ini dalam teori dalam teori bahasakontemporer termasuk salah satu indicator efektivitas bahasa dalam mengkomunikasikansesuatu. Salah satu contoh yang diberikan al-Jāhiz adalah penggunaan kata mar’dalam 79 (al-Nāzi’at) ayat 30-31: wa l-ardha ba’da zālika dahāhā akhrajaminhā mā’ahā wa-mar’āhā, “dan bumi sesudah itu dihamparkannya. Ia memancarkanmata air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya”. Kata mar’ mencakup semua jenis tumbuhankonsumsi seperti sayuran, rerumputan, umbi-umbian, serta sayur-mayur yang tanpa batang,seperti daun kol, melon, buncis dan sebagainya. Al-Qur’an tidak menyebutkan keseluruhantumbuhan sebagai bahan makanan bagi umat manusia serta binatang ternak seperti yangdisinggung dalam ayat selanjutnya, matā’an lakum wa-li-an’āmikum.
Senada dengan al- Jāhiz, teortitikus bahasa dan teolog Sunni, Ibnu Qutaiba (w. 276/898) memperlakukan ayat 30-31 surat an-Nazi’at di atas sebagai salah saturepresentasi prinsip ekonomi ujaran dan ungkapan dalam al-Qur’an. Baginyakata mar’  telah mencakup pelbagai jenis tumbuhan yang bisa dikonsumsi, baik oleh manusiamaupun binatang ternak (Al-Jahir, dkk. 1985: 33). Stilistika memegang peranan penting dalam mengalihkan makna sebuah kosakata. Dalamkerangka linguistik modern bisa disebut dengan model sintagmatik, yakni susunan kata dalamkalimat yang mempengaruhi peralihan makna dari kosakata. Dalam kasus al-Qur’an salah satucontohnya adalah kata kufr , “kufur”, “tidak bertuhan”. Kata ini menurut al-Jāhiz memilikiarti dasar “menutupi”, “melindungi”, atau “mengatapi”. Seseorang yangmenutupi sesuatu dalam bahasa Arab bisa disebut dengan kafarahu. Tukang batudalam bahasa Arab juga bisa disebut dengan kāfiru, karena ia mendirikan dan membuat bangunan di atas sebidang tanah. Dalam 57:20 bahkan al-kuffār berarti petani, yakni ka-matsali ghaitsin a’jaba al-kuffāra nabātuhu, seperti air hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani. Demikian pula, kata kufr  tersebut bisa bermakna“menutupi”. Ungkapan “saya menutupi sesuatu” dalam bahasa Arab juga bisa disebutkan dengan akfuruhu. al-Qur’an secara umum menggunakan kata ini untuk menyebut kelompok atau orang-orang yang sebenarnya mengetahui akan rahmat dan kasih sayang Tuhan, akan tetapi tidak mengikuti bahkan menentang ajaran ketuhanan yang dibawa para Nabi. Dengan demikian,kosakata kufr  beralih dari makna dasarnya, “menutupi”, melindungi” dan lain sebagainyamenjadi makna yang baru yakni “ingkar kepada Tuhan”. Peralihan makna ini tidak bisadilepaskan dari konteks pembicaraan al-Qur’an yang memang sering kali dihubungkan denganrahmat dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia.Aspek lain dari diskusi stilistika adalah kata tanya istifhām. Contohnya adalah kataTanya “mā” dalam 2:69 ud’u lanā rabbaka yubayyin lanā mā lawnuhā, “mohonlahkepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Kata Tanya“ mā” menurut al-Farra’ dalam konteks ayat ini memiliki setidaknya dua alternatif posisigramatik, yakni, sebagai kata hubung dan sebagai kata Tanya. Sedangkan frasa “warnanya”, lawnuhā , dalam struktur kalimat secara keseluruhan merupakan nominatif, karena ia beradadalam posisi setelah tersebut. Untuk susunan kalimat seperti ini. Kata Tanya menjadi pelengkap kalimat yang terjemahannya adalah “jelaskan kepada kami, warna apa yang dimilikisapi tersebut?”, bayyin lanā ayyu syai’in lawnuhā. Penjelasan al-Farra’ mengenai istifhām juga memuat kemungkinan bentuk juga posisi gramatik dari kata ayyun —secara letterlijk  bermakna “yang mana”—yang tergantung kepada struktur kata dan kalimat. Katatersebut menurut al-Farra’ memiliki peran penting dalam hal penentuan struktur, apakah kalimatmemiliki kata Tanya, dan memang menjadi kalimat yang isinya bertanya, ataukah hanyamerupakan kalimat biasa, bukan merupakan pertanyaan.
b.    Semantik Al-Qur’an
Terminus “semantik” sendiri secara semantis banyak memiliki arti. Ia bisa berarti aspek tertentu dalam objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang mengatakansemantik kosakata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang paling banyak dianutdalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian analitik terhadap istilah-istilah kuncisuatu bahasa dengan suatu pendangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual darimasyarakat pengguna bahasa tersebut. Pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berfikir, tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.Babak awal dalam kesadaran semantik, dalam jagat penafsiran al-Qur’an adalah bersamadengan sarjana yang bernama Muqātil Ibn Sulaimān (w. 150/767). Meski karya tafsirMujāhid dalam poin tertentu melampaui apa yang telah dilakukan IbnSulaiman, namun, dalam hal kesadaran semantik, yang menjadi perhatianutama tulisan ini, Mujahid menjadi fokus ulasan sebagai babak awal dari kesadaran semantis tersebut adalah al-Asybāh wa l-Nazā’ir fi l-Qur’ān al-Karīm danTafsīr Muqātil Ibn Sulaimān. Muqātil Ibn Sulaimān mene gaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur’an di sampingmemiliki arti yang definite ,nggenah, juga memiliki beberapa alternatif makna lainnya. Salahsatu contohnya adalah katamawt, yang memiliki arti dasar “mati”. Menurut Muqātil dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki empat artialternatif, yaitu 1). tetes yang belum dihidupkan; 2). manusia yang salah beriman; 3). tanah yang gersang dan tandus; 4). roh yang hilang. Dalam konteks ayat 39 (az- Zumar ): 30 sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga”, katatersebut berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. Berkenaan dengan kemungkinanmakna yang dimiliki oleh kosakata dalam al-Qur’an, Muqātil menyatakan bahwa“seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur’an sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur’an tersebut”.Contoh lain dari penafsiran Muqātil adalah tentang kata “ yad ” yang memilikiarti dasar atau leksikal “tangan”. Dalam konteks al-Qur’an, menurut Muqātil, katatersebut bisa memiliki tiga alternatif makna, yakni 1). Tangan secara fisiksebagai anggota tubuh seperti dalam, al-A’raf (7): 108, wa-naza a yadahu fa-izāhiya baydhā’u li n-nāzhirīn (dan ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu tangannyamenjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya). Yang kedua bisa berarti“kedermawanan” seperti dalam al-Isrā’  (17): 29 wa-lā taj al yadaka maghlūlatan ilā‘unuqika …(jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu..), perti juga yangterdapat dalam al-Ma’idah (5):64, wa qālat al-yahūdu yadullāhi maghlūlah. Dan ketiga yad   bermakna aktivitas atau perbuatan seperti dalam Yasin (36): 35 li-ya’kul min tsamarihiwa-mā amilathu aydīhim, serta al-Hajj (22): 10,  zālika bimā qaddamat yadāk  (yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu)





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahannya, Semarang: Tohaputera, 1999.
Al-Farra’, Maānī l-Qur’an, (ed.), Abd al-Jalīl Abduh Shālabī, Cairo, 1988.
Al-Jāhiz, Al-Bayān wa l-Tabyīn, (ed.) Abd al-Salām Hārun, Cairo, 1985.
Al-Kisāī, Maānī l-Qur’an , (ed.), Isa Shihāta, Cairo, Dār al-Qubā li-l-Tibā a wa-l-Nasr, 1998.
Al-Zuabaidi, Tabaqā Al-Nahwiyyīn wa al-Lughawiyyīn , ed. Muhammad Fadl Ibrahim,Cairo: 1954.
Arkoun, Mohammed,  Kajian Kontemporer Al-Qur’an . Bandung: Penerbit Pustaka, 1998.
Gadamer, Hans Georg,  Wahreit und Method : Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik  ,Tuebingen 1960.
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis .Yogyakarta: eLSAQ, 2010.
Lotman, Jurij, Die Analyse des poetichen Texte, Kronberg 1975.
Mubaraok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik; dalam tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur , Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. 
Nur, Kholis Setiawan, M,Pemikiran Islam Progresif dalam Kajian Al-Qur’an. Jakarta: KencanaMedia Group, 2008.
http://www.abusyakir80.blogspot.com/.../pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam
http://www.ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/05-teologia-1.pdf

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...