MAKALAH
PERSPEKTIF KAJIAN LINGUISTIK TERHADAP BAHASA MANUSIAWI, BAHASA HEWAN,
DAN FIRMAN TUHAN DALAM KITAB SUCI
AZIZ THABA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
PENDAHULUAN
Bahasa sebagai objek
kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang
menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara
pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan
gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadi objek kajian sosiologi.
Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang
memperlakukan bahasa sebagai bahasa; sedangkan ilmu lain tidak demikian.
Bahasa
memainkan peranan penting dalam hidup kita. Mungkin karena lazimnya, sangat
jarang kita memperhatikannya, dan lebih menganggapnya sebagai hal yang biasa
seperti bernafas atau berjalan. Bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar
biasa, dan termasuk dari apa yang membedakan manusia dari binatang-binatang.
Kata
“bahasa” memiliki paling kurang dua makna dasar, bahasa sebagai konsep umum,
dan “sebuah bahasa” (sebuah sistem linguistik tertentu, contohnya “bahasa
Prancis”). Ferdinand de Saussure yang pertama kali dengan jelas memformulasi
perbedaannya, menggunakan kata Prancis langage untuk
bahasa sebagai sebuah konsep dan langue sebagai
instansi spesifik dari bahasa.
Bila
berbicara mengenai bahasa sebagai konsep umum, beberapa definisi berbeda dapat
digunakan untuk menekankan aspek yang berbeda dari fenomena. Definisi tersebut
juga memerlukan pendekatan dan pemahaman berbeda, dan mereka memberikan kajian
teori linguistik yang berbeda dan terkadang bertentangan.
PEMBAHASAN
A.
Bahasa
Manusia
Salah satu definisi
melihat bahasa pada pokoknya sebagai kemampuan mental yang membuat manusia
dapat menggunakan perilaku linguistik: untuk belajar bahasa dan menghasilkan
dan memahami penyebutan. Definisi ini menekankan keuniversalan bahasa untuk
semua manusia dan dasar biologis dari kapasitas manusia terhadap bahasa sebagai
perkembangan yang unik dari otak manusia. Pandangan ini memahami bahasa secara
garis besar bawaan lahir, sebagai contoh dalam teori Chomsky mengenai Tata
bahasa universal, dan teori ekstrim lahiriah dari Jerry Fodor. Definisi semacam
ini sering diaplikasikan oleh orang yang mempelajari bahasa lewat kerangka ilmu
kognitif dan dalam neurolinguistik.
Definisi
lain melihat bahasa sebagai sebuah sistem formal dari isyarat-isyarat yang
diatur oleh aturan-aturan kombinasi tata-bahasa untuk mengkomunikasikan suatu
makna. Definisi ini menekankan fakta bahwa bahasa manusia dapat dijelaskan
sebagai sistem terstruktur tertutup yang terdiri dari aturan-aturan yang
menghubungkan isyarat tertentu terhadap makna tertentu. Pandangan strukturalis
terhadap bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, dan
strukturalisme-nya tetap menjadi fondasi terhadap hampir semua pendekatan
terhadap bahasa pada masa sekarang. Beberapa pendukung pandangan bahasa ini
telah menyarankan sebuah pendekatan formal untuk mempelajari struktur bahasa,
khususnya formulasi dasar dari aturan-aturan abstrak yang dapat dipahami untuk
menghasilkan struktur linguistik yang dapat diobservasi. Pendukung utama dari
teori tersebut yaitu Noam Chomsky, yang mendefinisikan bahasa sebagai sebuah
kumpulan kalimat yang dapat dihasilkan dari sekumpulan aturan tertentu. Sudut
pandang strukturalis biasanya digunakan dalam logika formal, semiotik, dan
dalam teori tata-bahasa formal dan struktural, kerangka teoritikal yang banyak
digunakan dalam penjelasan linguistik. Dalam filsafat bahasa pandangan ini
berhubungan dengan filsuf seperti Bertrand Russell, Wittgenstein muda, Alfred
Tarski dan Gottlob Frege.
Definisi
lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat manusia
dapat bekerja sama. Definisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa dan fakta
bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri dan untuk
memanipulasi objek dalam lingkungannya. Teori fungsional dari tata bahasa
menjelaskan struktur tata-bahasa lewat fungsi komunikatifnya, dan memahami
struktur tata-bahasa dari bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana
tata-bahasa telah “disesuaikan” untuk melayani kebutuhan komunikatif
penggunanya. Pandangan bahasa ini berhubungan dengan kajian bahasa dalam
kerangka pragmatis, kognitif, dan kerangka interaksional, serta dalam
sosial-linguistik dan antropologi linguistik. Para teori fungsionalis condong
mempelajari tata-bahasa sebagai sebuah fenomena dinamis, sebagai suatu struktur
yang selalu dalam proses perubahan saat mereka digunakan oleh para
pembicaranya. Pandangan ini menyebabkan kajian tipologi linguistik menjadi
penting, karena ia dapat memperlihatkan bahwa proses-proses dari
gramatikalisasi condong mengikuti lintasan yang secara terpisah bergantung pada
tipologi. Dalam filsafat bahasa pandangan ini sering dikaitkan dengan karya
terakhir Wittgenstein dan dengan filsuf bahasa umum seperti G. E. Moore, Paul
Grice, John Searle dan J. L. Austin.
Bahasa manusia
unik bila dibandingkan dengan bentuk lain komunikasi, seperti yang digunakan
oleh hewan, karena ia membolehkan manusia untuk menghasilkan penyebutan yang
tak terbatas dari sekumpulan elemen yang terbatas, dan karena simbol dan aturan
tata-bahasa dari setiap bahasa secara kebanyakan sering berubah-ubah, sehingga
sistem hanya dapat diperoleh melalui interaksi sosial. Sistem komunikasi yang
digunakan hewan, di sisi lain, hanya dapat mengekspresikan sejumlah penyebutan
terbatas yang umumnya ditransmisikan secara genetik.
Bahasa
manusia juga berbeda dari sistem komunikasi hewan di mana mereka menggunakan
kategori tata-bahasa dan semantik seperti kata benda dan kata kerja, atau saat
sekarang atau masa lalu, untuk mengekspresikan arti yang sangat kompleks. Bahasa
manusia juga unik karena kompleksitas strukturnya melayani seluas mungkin
fungsi dibandingkan sistem komunikasi lainnya.
Bahasa juga
unik karena ia memiliki properti penting yang mengatur elemen-elemen menjadi
struktur-struktur rekursif; hal ini membolehkan, sebagai contohnya, frasa kata
benda mengandung frasa kata benda lainnya (seperti pada “bibir simpanse”) atau
suatu klausa mengandung klausa (seperti pada “Saya kira sekarang hujan”).
Bahasa
manusia biasanya disebut dengan bahasa alami, dan ilmu yang mengkajinya jatuh
pada bidang linguistik. Bahasa itu hidup, mati, berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain, dan berubah seiring dengan waktu. Setiap bahasa yang berhenti
berubah atau berkembang dikategorikan sebagai bahasa mati. Kebalikannya, setiap
bahasa yang selalu dalam keadaan berubahan diketahui sebagai bahasa hidup atau bahasa modern.
Membuat
sebuah perbedaan yang berprinsip antara satu bahasa dan lainnya terkadang
hampir tidak mungkin. Misalnya, ada beberapa dialek bahasa Jerman yang mirip
dengan dialek bahasa Belanda. Transisi antara bahasa dalam bahasa keluarga yang
sama terkadang bertingkat-tingkat (lihat rangkaian dialek). Beberapa condong
membuat persamaan dengan biologi, dimana tidak mungkin membuat perbedaan yang
jelas antara satu spesies dengan spesies yang lain. Dalam setiap kasus,
kesulitan tertinggi mungkin berada pada interaksi antara bahasa dan
populasi. Konsep dari Ausbausprache,
Abstandsprache and Dachsprache digunakan untuk membuat pembedaan lebih halus
tentang tingkat perbedaan antara bahasa atau dialek.
B.
Bahasa
Binatang (Isyarat)
Istilah
“bahasa binatang” sering digunakan untuk sistem komunikasi selain-manusia.
Linguistik dan semiotisian tidak mempertimbangkan mereka sebagai “bahasa”
sejati, tetapi menggambarkan mereka sebagai komunikasi binatang berdasarkan
sistem isyarat tidak-simbolis, karena interaksi antara binatang dalam
berkomunikasi secara fundamental berbeda secara mendasar dari bahasa manusia.
Menurut pendekatan ini, sejak binatang tidak lahir dengan kemampuan memahami, istilah
“kultur”, saat diaplikasikan ke komunitas binatang, dipahami mengacu pada
sesuatu yang secara kualitas berbeda dengan yang ada di komunitas manusia.
Bahasa, komunikasi dan kultur adalah hal-hal yang lebih kompleks di antara
manusia. Anjing mungkin saja secara sukses mengkomunikasikan keadaan emosi
agresifnya dengan menggeram, yang mungkin atau mungkin tidak menyebabkan anjing
lainnya menjauh atau mundur. Hal yang sama, pada saat manusia berteriak dalam
ketakutan, ia mungkin atau mungkin tidak memberitahu manusia lain akan adanya
bahaya. Keduanya mencontohkan komunikasi, tapi keduanya bukan yang secara umum
dikenal dengan bahasa.
Dalam
beberapa contoh publikasi, binatang selain manusia telah diajarkan untuk
memahami beberapa fitur dari bahasa manusia. Karl von Frisch menerima hadiah
Nobel ditahun 1973 untuk pembuktian komunikasi isyarat dan variannya pada
lebah. Simpanse, gorila, dan orangutan telah diajarkan isyarat tangan berbasis
American Sign Language. Burung beo Abu-abu Afrika, Alex, yang memiliki kemampuan
meniru perkataan manusia dengan tingkat akurasi yang tinggi, dianggap memiliki
inteligensi yang cukup untuk memahami apa yang ia tiru. Walaupun binatang dapat
diajarkan untuk memahami bagian dari bahasa manusia, mereka tidak dapat
menghasilkan sebuah bahasa.
Bila
pendukung dari sistem komunikasi binatang telah mendebatkan tingkat dari
semantik, sistem ini belum ditemukan yang mendekati sintaks pada bahasa
manusia.
Bahasa
isyarat adalah sebuah bahasa yang, bukannya disampaikan menggunakan pola suara
secara akustik, menggunakan pola isyarat yang dikirim secara visual (komunikasi
manual, bahasa tubuh) untuk menyampaikan makna—secara simultan menggabungkan
pola tangan, orientasi dan pergerakan tangan, lengan atau tubuh, dan ekpresi
wajah untuk mengekspresikan pikiran pembicara secara lancar. Ratusan bahasa
isyarat digunakan diseluruh dunia dan sebagai inti dari kultur Tuli lokal.
Sejauh ini, hal-hal yang membedakan komunikasi manusia
dan binatang dapat disimpulkan sebagai berikut; pertama, bahasa manusia
menggunakan suara sebagai sistem komunikasi. Kedua, bahasa manusia bersifat
arbitrer atau sewenang-wenang. Ketiga, terdapat dualisme dalam bahasa manusia.
Keempat, adanya penggantian atau pemindahan yang berkaitan dengan lapisan
bahasa. Kelima, bahasa manusia sangat kreatif dan produktif yang artinya,
bahasa manusia dapat dibentuk secara berbeda-beda dan bermacam-macam. Keenam,
meniru, dan ketujuh adalah struktur ketergantungan yang juga merupakan kekhasan
dari bahasa manusia.
Kesimpulannya bahwa bahasa adalah sistem sinyal suara
yang yang arbitrer , dicirikan oleh ketergantungan struktur, kreativitas,
perpindahan, dualisme, dan perpindahan (transmisi) budaya. Sampai saat ini,
tidak ada bukti bahwa sebuah bahasa itu lebih primitif dariapda bahasa yang
lain. Yang ada hanyalah istilah budaya. Budaya yang primitif dicerminkan dari
bahasanya, yang mungkin kurang sama dengan bahasa masyarakat maju. Namun,
meskipun suku yang sangat primitif punya bahasa, tentu strukturnya sama rumitnya
dengan bahasa pada umumnya seperti bahasa Inggris, bahasa Rusia, bahasa Cina,
atau bahasa Indonesia. Namun, bahasa manusia sedikit ada kemiripan dengan
komunikasi hewan, yakni memang ditakdirkan untuk ada, dan digunakan untuk
berkomunikasi.
Bahasa manunia adalah bawaan yangterstruktur. Bahwa
seorang bayi yang baru lahir tidak bisa langsung berbicara, tetapi mereka
diberitahu dan belajar bagaimana mendapatkan bahasa yang akan mereka hadapi
untuk berkomunikasi. Bayi tertarik dengan suara-suara dari mulut orang dewasa
dan mereka akan secara naluriah menganalisis suara-suara tersebut.
C.
Perspektif
Linguistik terhadap Firman Tuhan dalam Kitab Suci (Al-Quran)
Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi
antara satu dengan yang lain,agar komunikasi di antara mereka berjalan dengan
baik dan lancar dibutuhkan sarana yangmampu menjembatani keinginan dan maksud
yang akan disampaikan, dalam hal ini mediakomunikasi yang paling berpengaruh
dalam kehidupan manusia adalah bahasa. Beberapa pakar berupaya
memberikan definisi bahasa. Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan
“bahasasebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan
maksudnya”.
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan agama Islam yang
utama dan menjadituntunan hidup kita. Bahasa al-Qur’an telah dirancang
sedemikian rupa oleh Allah SWT agar bisa diterima oleh akal manusia.
Namun tetap perlu banyak dilakukan pengkajian agar tidak terjadi
kesalahpahaman atas pemaknaannya, salah satu jalan yang digunakan adalah denganmenggunakan
pendekatan linguistik.
a.
Pengertian dan Objek Linguistik
Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan fokus
utamanya adalah struktur bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya
adalah bagaimana orang menggunakan bahasauntuk berkomunikasi. Ahli linguistik
yang disebut linguis menurut Verhaar tidak berurusandengan bahasa sebagai alat
pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khasgolongan sosial
atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan
ahli psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu
linguistik adalah bahasasebagai bahasa. Secara umum pembidangan linguistik
dibagi atas:
a. Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua bagian besar
linguistik mikro dan makro.Objek kajian linguistik mikro adalah struktur
internal bahasa itu sendiri yang mencakupstruktur fonologi, morfologi,
sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam
hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis,
psikologis,antropologi dan neurologi.
b. Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik teoritis dan
linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau
menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkankajian terapan ditujukan untuk
menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti
pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
c. Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik
sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan
sejarah linguistik mengkaji perkembangan ilmulinguistik mengenai
tokoh-tokohnya, aliran teorinya, ataupun hasil kerjanya.Verhaar merumuskan
bidang-bidang dasar linguistik yang menyangkut struktur dasar tertentu
dalam berbagai bagian: struktur bunyi dan bahasa (fonetik dan fonologi),
struktur kata(morfologi), struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis), arti
atau makna (semantik),menyangkut siasat komunikasi antar orang (parole),
pemakaian bahasa dan hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan
(pragmatik).Selain Ferdinan De Saussure yang sering disebut Bapak atau pelopor
linguistik, ada beberapa tokoh yang fokus dalam kajian linguistik seperti
Leonard Bloomfield, John RupertFirth, Noam Chomsky dan lain-lain. Dalam Islam
ada beberapa nama seperti Abu Aswad ad-Duali, Imam Khalil, Sibaweih, Ibnu Jinni,
Ibnu Faris dan yang lainnya (www.abusyakir80.blogspot.com).
b. Linguistik dalam Al-Qur’an
Ketika kita berbicara bidang linguistik yang ada dalam
al-Qur’an maka perhatian kita pasti tertuju pada “mekanisme pelahiran
makna”, yaitu bagaimana aspek-aspek al-Qur’an yangmeliputi mikrostruktur,
stilistika dan semantik dipahami serta dipakai untuk membedah maknayang
dimiliki oleh teks.Pada bagian ini adalah bagaimana makna al-Qur’an melalui
relasi-relasi struktural dalamkata maupun kalimat yang dipakai al-Qur’an bisa
dijelaskan berdasarkan hukum-hukum serta batas-batas kebahasaan. Demikian
pula elemen stilistika yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana
keunikan gaya tutur yang dimiliki al-Qur’an bisa dipahami serta masuk
dalamwilayah kebahasaan, akan tetapi tidak bermaksud untuk memperbincangkannya
dalam teoristiliska secara mendetail. Sedangkan elemen semantik juga tidak
dimaksudkan untuk memasukiwilayah madzhab semantik yang beraneka ragam, akan
tetapi, bagaimana makna yang beradadalam teks bisa dilahirkan melalui alat
bantu semantik (Setiawan, 2008).
a. Makna dilihat dari Struktur Pembangunnya
Karya-karya kesarjanaan
al-Qur’an berjudul Ma’ani al-Qur’an
sangat penting dalam perkembangan teorisasi makna dari sudut pandang
struktur pembangunnya, mengingat karya dengan titel seperti ini paling banyak
mendiskusikan aspek kebahasaan al-Qur’an. Karya-karya kesarjanaan tersebut
mengulas berbagai gaya dan seni bertutur al-Qur’an dari perspektif
struktur kata dan kalimat serta kekhasan lainnya. Untuk itu, ulasannya
tidak saja terfokus kepada struktur dalam kalimat, melainkan juga
kemungkinan “peralihan” makna sebuah kosakata yang bisamemberikan pengaruh pada
perubahan makna. Dalam pembahasan ini pula dimungkinkan ada peralihan
makna sebuah kata kepada makna lain yang dipengaruhi oleh struktur kata dan
kalimat.
Dengan demikian, argumen
lain yang menunjukkan arti penting karya kesarjanaan bertitel ma’ani adalah fakta bahwa karya-karya
tersebut tidak saja bergulat dengan mikrostruktur al-Qur’an, tetapi juga
membahas kemungkinan perubahan makna yang diakibatkan oleh perubahanstruktur
kalimat. Sedangkan elemen-elemen struktur makna al-Qur’an dalam
pembicaraantulisan ini adalah terminology gramatik yang bias dipakai kalangan
grammarian dan para pengkaji al-Qur’an.
Di antara termini tersebut
adalah elliptical (al-hazf), susunan balik (taqdīmwa ta’khīr), negasi (al-nafi) dan lain sebagainya. Karya
tentang Ma’ānī al-Qur’an dimulai
sejak era al-Kisā’ī. Ia merupakan salahsatu sarjana besar yang menaruh
perhatian serta mengkaji secara mendalam bahasa al-Qur’an dalam hubungannya
dengan kritik sastra Arab. Peran yang dimainkan yang begitu besar tersebut
ditunjukkan oleh fakta bahwa Sibawayh (w. 180/976), salah satu sarjana besar
dalam kajian bahasa Arab yang tinggal di Basrah, begitu sering mengutipdan
mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh al-Kisā’ī.
Analisis mikro-struktur
yang dilakukan oleh al-Kisā’ī pada batas-batas tertentumemasukkan elemen
kemanusiaan dalam ranah bahasa. Bahasa al-Qur’an dalam pandangansemisal
al-Kisā’ī menjadi wilayah yang think able,
sebuah pergeseran wilayah hermeneutis —meminjam istilah kontemporer—yang
sejatinya telah banyak dilakukan para pemikir klasik.Jika kita mengikuti
kategorisasi bahasa yang dilakukan oleh ahli semiotik Jurij Lotman (1997: 22) ,
yakni 1). bahasa natural, 2). bahasa seni, dan 3). bahasa sekunder, yakni
struktur komunikasi, maka perlakukan para sarjana muslim klasik tentang
al-Qur’an masuk dalam kategori di luar batas-batas
bahasa natural tersebut unthink able (tak terpikirkan). Melalui pergumulan intelektual,dalam
khazanah klasik wilayah unthink able tersebut tergeser menjadi think able. Aspek lain dalam diskusi mikrostruktur dalam kalimat adalah tentang
susunan balik, taqdīm wa ta’khīr.
Salah satu contohnya adalah al-Anbiya (21:3),
wa asarrū n-najwā al-lazīna zalamū (dan
mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka). Baik al-Farra’maupun l-Kisā’ī
memahami bahwa kalimat dalam ayat tersebut memilikisusun balik, karena
asal dari susunan kalimatnya adalah wa
al-lazīna zalamū merupakan subjek,
sedangkan asarrū merupakan predikat dan an-najwā adalah objeknya. Dengan
susunan yang ada dalam ayat memberikan implikasi penekanan makna terhadap frasa
yang pertama yakni asarrū
n-najwā sedangkan al-lazīna zalamū tidak mendapatkan prioritas atau penekanan makna. Susunan
kalimat seperti dalam ayat membawa dalam arti perbuatan yang dilakukan
(merahasiakan pembicaraan), lebih penting dalam konteks ayattersebut ketimbang
perilaku perbuatan tersebut (Al Farra, 1988: 195).
Tema
lain dari diskusi al-Farra’ yang masih berhubungan dengan
kekhususanmikrostruktur al-Qur’an adalah tentang elliptical (al-hazf ). Salah satu contohnya adalah
dalamkalimat (2:60), idrib bi-asāka
al-hajar fa-n-fajarat minhu snata asyrata aynā ,“pukullah batu itu dengan tongkatmu,
lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air”.Kalimat asli dari struktur
tersebut menurut al-Farra’ adalah “pukullah dengan tongkatmu,kemudian Musa memukulkan tongkatnya, maka
kemudian keluarlah dua belas mata air dari batu tersebut, idrib bi-asāka al-hajara
fa-daraba fa-n-fajarat. Sehingga yang dimaksudadalah keluarnya mata air tersebut
setelah Musa memukulkan tongkatnya, bukan setelah perintahTuhan kepada Musa.
Untuk itu elliptical terletak pada
dibuangnya frasa “Musa memukulkanketongkatnya”. Kasus yang senada terjadi dalam
26:63, an idrib bi-asāka al-bahra fa-nfalaqā, “pukullah lautan dengan
tongkatmu, maka akan terbelah” (Setiawan, 2008: 95).
Stilistika yang dimaksud di
sini bukanlah perbincangan mengenai pelbagai aspek dan perkembangan dalam
dunia stilistika yang secara umum berkenaan dengan seni pengungkapan.Yang
menjadi penting dalam stilistika al-Qur’an adalah kenyataan sejarah yang
menunjukkan bahwa para sarjana muslim klasik berusaha keras untuk
menunjukkan elokuensi al-Qur’an, fasāha, melalui cara pandang stalistika. Di
samping itu, diskursus tentang teori makna dalamkesarjanaan klasik menunjukkan
relasi yang intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur’ansebagai teks.
Wacana yang berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubunganantara
kata dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Sementara itu,
dalam kurun antara abad kedua sampai dengan kelima hijrah ma’na
menjadi terminus technicus yang khas dalam teorisasi bahasa, baik
berkenaan dengan fungsi leksikal bahasa, sintaktik maupunstilistika (Setiawan,
2008: 109).
Bahasa mengekspresikan
kebermaknaan yang ada secara praktis di antara sesuatu.Manusia sebenarnya tidak
menggunakan bahasa, tetapi bahasa itulah yang berbicara melaluimanusia. Alam
terbuka bagi manusia melalui bahasa. Karena bahasa adalah bidang
lahan pemahaman dan penafsiran, maka alam mengungkapkan dirinya kepada
manusia melalui berbagai proses pemahaman dan penafsiran berkesinambungan.
Bukan manusia memahami bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia
memahami lewat bahasa. Bahasa bukan perantara antara alam dan manusia,
tetapi ia merupakan penampakkan alam dan pengungkapannya setelah
sebelumnya ia tersembunyi, karena bahasa adalah pengeja wantaheksistensial bagi
alam.Teori klasik tentang bahasa ini bisa dilengkapi dengan pendapat a l-Jāhiz,
dkk. (1985: 43-44) tentang filosofi bahasa sebagai perangkat komunikasi.
Al-Jāhiz menyatakan bahwamakna, ma’āni adalah sesuatu yang berada dalam benak
seseorang, terkonstruk sedemikianrupa, dan tersimpan di dalam wilayah jiwa
manusia yang paling dalam, tersembunyi dan sangat jauh yang tidak bisa
diketahui oleh orang lain dari si pemilik makna kecuali denganmenggunakan
perantara atau wasilah.
Perantara ini bisa jadi
berupa simbol bunyi bahasa yangtertulis dan disepakati dalam komunitas tertentu
atau berupa perangkat lainnya. Dalam istilahlinguistik modern elemen-elemen
bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik yang tertulismaupun yang tidak
merupakan kode. Dalam hal ini al-Jāhiz menyebut lima bentuk kodekomunikasi,
yakni 1). Kata (lafazd) 2). Tanda atau isyarat (isyārah) 3). Konvensi
(‘aqd ) 4). Kondisi tertentu (hāl) dan 5). Teologi (nushbah) (Al-Jahiz,
dkk. 1985: 43-44).
Sinyalemen a l-Jāhiz bisa
dipahami bahwa makna hanya bisadikomunikasikan dengan orang lain melaui sebuah
medium, baik lisan maupun tertulis.Sebaliknya, tanpa perangkat tersebut makna
yang dimiliki seseorang tidak akan pernah bisa dipahami. Ia kemudian
memunculkan lima kode komunikasi yang bisa digunakan untuk bisa menjembatani
dan menjadi wasilah transmisi informasi serta makna. Dalam kaitan dengan
al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, al-Jāhiz berkeyakinan
bahwaterdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Baginya,
relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam dalālah yang dimiliki al-Qur’an,
pilihan katayang dimiliki serta prinsip ekonomi kata.Arti penting pilihan kata
yang dipakai al-Qur’an dalam mengkomunikasikan maknaditemukan al-Jāhiz ketika
ia membandingkannya dengan syair-syair baik Arab jahiliyah maupunIslam.
Baginya, hanya al-Qur’an yang memiliki karakter turtur yang tidak pernah
”muspro”.Salah satu contohnya adalah kosakata mathar dan ghayts yang
dua-duanya berdenotasi hujan.Kesalahan para sastrawan Arab adalah memperlakukan
dua kosakata tersebut sebagai sinonim, padahal al-mathar dalam
pemakaian al-Qur’an senantiasa berhubungan dengan siksa, sepertiyang terdapat
dalam 4:102 wa-lā junāha ‘alaykum in kāna bikum azan minmatharin aw kuntum.
Sementara penggunaan
kata gaytsdalam al-Qur’an senantiasa dihubungkan dengan rahmat
Tuhan.Sedangkan aspek lain yang masuk dalam diskusi stilistika Al-Jāhizadalah
prinsip ekonomi ungkapan, ījāz . Prinsip ini
dalam teori dalam teori bahasakontemporer termasuk salah satu indicator
efektivitas bahasa dalam mengkomunikasikansesuatu. Salah satu contoh yang
diberikan al-Jāhiz adalah penggunaan kata mar’dalam 79 (al-Nāzi’at) ayat 30-31: wa l-ardha ba’da zālika
dahāhā akhrajaminhā mā’ahā wa-mar’āhā, “dan bumi sesudah itu dihamparkannya. Ia memancarkanmata air
dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya”. Kata mar’ mencakup semua jenis
tumbuhankonsumsi seperti sayuran, rerumputan, umbi-umbian, serta sayur-mayur
yang tanpa batang,seperti daun kol, melon, buncis dan sebagainya. Al-Qur’an
tidak menyebutkan keseluruhantumbuhan sebagai bahan makanan bagi umat manusia
serta binatang ternak seperti yangdisinggung dalam ayat selanjutnya, matā’an lakum
wa-li-an’āmikum.
Senada dengan
al- Jāhiz, teortitikus bahasa dan teolog Sunni, Ibnu Qutaiba (w. 276/898) memperlakukan ayat 30-31
surat an-Nazi’at di atas sebagai salah saturepresentasi prinsip ekonomi ujaran
dan ungkapan dalam al-Qur’an. Baginyakata mar’ telah mencakup pelbagai jenis tumbuhan yang bisa
dikonsumsi, baik oleh manusiamaupun binatang ternak (Al-Jahir, dkk. 1985: 33).
Stilistika memegang peranan penting dalam mengalihkan makna sebuah kosakata.
Dalamkerangka linguistik modern bisa disebut dengan model sintagmatik, yakni
susunan kata dalamkalimat yang mempengaruhi peralihan makna dari kosakata.
Dalam kasus al-Qur’an salah satucontohnya adalah kata kufr , “kufur”, “tidak
bertuhan”. Kata ini menurut al-Jāhiz memilikiarti dasar “menutupi”,
“melindungi”, atau “mengatapi”. Seseorang yangmenutupi sesuatu dalam bahasa
Arab bisa disebut dengan kafarahu. Tukang batudalam
bahasa Arab juga bisa disebut dengan kāfiru, karena ia mendirikan dan membuat bangunan di
atas sebidang tanah. Dalam 57:20 bahkan al-kuffār berarti petani, yakni ka-matsali ghaitsin a’jaba
al-kuffāra nabātuhu, seperti air hujan yang
tanaman-tanamannya mengagumkan para petani. Demikian pula, kata kufr tersebut bisa
bermakna“menutupi”. Ungkapan “saya menutupi sesuatu” dalam bahasa Arab juga
bisa disebutkan dengan akfuruhu. al-Qur’an secara
umum menggunakan kata ini untuk menyebut kelompok atau orang-orang yang
sebenarnya mengetahui akan rahmat dan kasih sayang Tuhan, akan tetapi
tidak mengikuti bahkan menentang ajaran ketuhanan yang dibawa para Nabi.
Dengan demikian,kosakata kufr beralih dari makna
dasarnya, “menutupi”, melindungi” dan lain sebagainyamenjadi makna yang baru
yakni “ingkar kepada Tuhan”. Peralihan makna ini tidak bisadilepaskan dari
konteks pembicaraan al-Qur’an yang memang sering kali dihubungkan denganrahmat
dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia.Aspek lain dari diskusi stilistika
adalah kata tanya istifhām. Contohnya adalah
kataTanya “mā” dalam 2:69 ud’u lanā rabbaka yubayyin
lanā mā lawnuhā, “mohonlahkepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada
kami apa warnanya”. Kata Tanya“ mā” menurut al-Farra’ dalam
konteks ayat ini memiliki setidaknya dua alternatif posisigramatik, yakni,
sebagai kata hubung dan sebagai kata Tanya. Sedangkan frasa “warnanya”, lawnuhā , dalam struktur kalimat
secara keseluruhan merupakan nominatif, karena ia beradadalam posisi setelah mā tersebut. Untuk susunan
kalimat seperti ini. Kata Tanya mā menjadi pelengkap kalimat yang terjemahannya
adalah “jelaskan kepada kami, warna apa yang dimilikisapi tersebut?”, bayyin lanā ayyu syai’in
lawnuhā. Penjelasan al-Farra’ mengenai istifhām juga memuat kemungkinan
bentuk juga posisi gramatik dari kata ayyun —secara letterlijk bermakna “yang mana”—yang
tergantung kepada struktur kata dan kalimat. Katatersebut menurut al-Farra’
memiliki peran penting dalam hal penentuan struktur, apakah kalimatmemiliki
kata Tanya, dan memang menjadi kalimat yang isinya bertanya, ataukah
hanyamerupakan kalimat biasa, bukan merupakan pertanyaan.
b.
Semantik Al-Qur’an
Terminus “semantik” sendiri
secara semantis banyak memiliki arti. Ia bisa berarti aspek tertentu dalam
objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang
mengatakansemantik kosakata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang
paling banyak dianutdalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian
analitik terhadap istilah-istilah kuncisuatu bahasa dengan suatu pendangan yang
akhirnya sampai pada pengertian konseptual darimasyarakat pengguna bahasa
tersebut. Pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berfikir,
tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya.Babak awal dalam kesadaran semantik, dalam jagat penafsiran
al-Qur’an adalah bersamadengan sarjana yang bernama Muqātil Ibn Sulaimān (w.
150/767). Meski karya tafsirMujāhid dalam poin tertentu melampaui apa yang
telah dilakukan IbnSulaiman, namun, dalam hal kesadaran semantik, yang menjadi
perhatianutama tulisan ini, Mujahid menjadi fokus ulasan sebagai babak awal
dari kesadaran semantis tersebut adalah al-Asybāh wa l-Nazā’ir fi
l-Qur’ān al-Karīm danTafsīr Muqātil Ibn Sulaimān. Muqātil Ibn Sulaimān mene gaskan bahwa setiap kata
dalam al-Qur’an di sampingmemiliki arti yang definite ,nggenah, juga memiliki
beberapa alternatif makna lainnya. Salahsatu contohnya adalah katamawt, yang
memiliki arti dasar “mati”. Menurut Muqātil dalam konteks pembicaraan
ayat, kata tersebut bisa memiliki empat artialternatif, yaitu 1). tetes yang
belum dihidupkan; 2). manusia yang salah beriman; 3). tanah yang gersang
dan tandus; 4). roh yang hilang. Dalam konteks ayat 39 (az- Zumar ):
30 sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga”, katatersebut
berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. Berkenaan dengan
kemungkinanmakna yang dimiliki oleh kosakata dalam al-Qur’an, Muqātil
menyatakan bahwa“seseorang belum bisa dikatakan
menguasai al-Qur’an sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi
yang dimiliki al-Qur’an tersebut”.Contoh lain dari penafsiran Muqātil adalah
tentang kata “ yad ” yang memilikiarti dasar atau leksikal “tangan”.
Dalam konteks al-Qur’an, menurut Muqātil, katatersebut bisa memiliki tiga
alternatif makna, yakni 1). Tangan secara fisiksebagai anggota tubuh seperti
dalam, al-A’raf (7): 108, wa-naza a yadahu fa-izāhiya
baydhā’u li n-nāzhirīn (dan ia mengeluarkan
tangannya, maka ketika itu tangannyamenjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh
orang-orang yang melihatnya). Yang kedua bisa berarti“kedermawanan” seperti
dalam al-Isrā’ (17): 29 wa-lā taj al yadaka
maghlūlatan ilā‘unuqika …(jangan kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu..), perti juga yangterdapat dalam al-Ma’idah (5):64, wa qālat al-yahūdu
yadullāhi maghlūlah. Dan ketiga yad bermakna aktivitas atau perbuatan seperti dalam Yasin (36): 35 li-ya’kul min
tsamarihiwa-mā amilathu aydīhim, serta al-Hajj (22): 10, zālika bimā qaddamat
yadāk (yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang
dikerjakan oleh kedua tangan kamu)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahannya,
Semarang: Tohaputera, 1999.
Al-Farra’, Maānī l-Qur’an, (ed.), Abd
al-Jalīl Abduh Shālabī, Cairo, 1988.
Al-Jāhiz, Al-Bayān wa l-Tabyīn,
(ed.) Abd al-Salām Hārun, Cairo, 1985.
Al-Kisāī, Maānī l-Qur’an , (ed.), Isa
Shihāta, Cairo, Dār al-Qubā li-l-Tibā a wa-l-Nasr, 1998.
Al-Zuabaidi, Tabaqā Al-Nahwiyyīn wa
al-Lughawiyyīn , ed. Muhammad Fadl Ibrahim,Cairo: 1954.
Arkoun, Mohammed, Kajian
Kontemporer Al-Qur’an . Bandung: Penerbit Pustaka, 1998.
Gadamer, Hans Georg, Wahreit und Method : Grundzuge einer
Philosophischen Hermeneutik ,Tuebingen 1960.
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an
& Hadis .Yogyakarta: eLSAQ, 2010.
Lotman, Jurij, Die Analyse des
poetichen Texte, Kronberg 1975.
Mubaraok, Ahmad Zaki, Pendekatan
Strukturalisme Linguistik; dalam tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M.
Syahrur , Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007.
Nur, Kholis Setiawan, M,Pemikiran Islam
Progresif dalam Kajian Al-Qur’an. Jakarta: KencanaMedia Group, 2008.
http://www.abusyakir80.blogspot.com/.../pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam
http://www.ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/05-teologia-1.pdf
No comments:
Post a Comment