Wednesday, December 6, 2017

STEPHEN WALKER : LEARNING THEORY AND BEHAVIOR MOD

JEAN PIAGET : BEHAVIOR AND EVOLUTION

PLANNING OF KUALITATIF RESEARCH

E-LEARNING- RESEARCH AND DEVELOPMENT

TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

PARAGRAF

KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA

BENTUK DAN PILIHAN KATA (DIKSI)

PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA

TEORI SASTRA DAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

LANDASAN TEORI
1.    Hakikat Novel
Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis satra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Novel dalam The American College Dictionary dimasukkan ke jenis fiksi. Berikut ini keterangan dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan (1993: 120): “Fiksi adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karyakarya dari jenis ini, seperti novel atau dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.
Kata fiksi dikenal masyarakat sebagai karya hasil imajinasi. Jackob Sumardjo dan Saini (1991:29) menggolongkan novel (prosa) ke dalam sastra imajinatif. Sementara itu, Clenth Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1989:120) menyatakan bahwa fiksi adalah penyjian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya sebagai fiksi memang bukan suatu yang nyata, tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi salah satu jenis karya sastra yang menekakan kekuatan kesastraannya pada daya papar penceritaan.
Di Indonesia istilah novel disamakan dengan istilah roman. Ukuran luas unsur cerita antara keduanya hampir sama, meskipun berdasarkan asal usul istilah sedikit berbeda. Kata novel berasal dari bahasa Itali yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman berkembang di Jerman. Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan lain. Istilah roman, seperti tercantum dalam Ensiklopedi Indonesia,yang berarti “dulu sekali”, berasal darigenre romance dari abab pertengahan, merupakan cerita panjang tentang kepahlawan dan percintaan.
Dilihat dari segi jumlah katanya, novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 kata hingga tidak terbatas jumlahnya. Jika dihitung pula kecepatan rata-rata orang membaca ialah 300 kata per menit, maka waktu yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendek adalah kurang lebih dua jam (Henry Guntur Tarigan,1989:165).
Arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot/alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang komplels, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula (Jackob Sumardjo dan Saini, 1991:29). Unsur-unsur tersebut kemudian secara intern menjadi unsur intrinsik pembangun novel.
Goldman (dalam Faruk, 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.
Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002:37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Henry Guntur Tarigan (1989:165) memberikan kesimpulan dari uraian yang disampaikan Brooks berkenaan dengan identifikasi novel. Identifikasi novel tersebut yaitu: a) novel bergantung pada tokoh; b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan d) novel menyajikan lebih dari satu emosi.
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.
Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel popular semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 1994:31) membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimism dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
Sebagai sebuah karya sastra novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas adalah dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan banyak berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Itu merupakan pernyataan Burhan Nurgiyantor(1995:10-12) terhadap kelebihan novel menilik dari aspek panjang cerita yang dimiliki novel. Oleh karena itu, unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dituangkan secara penuh untuk mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekontruksi mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekontruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal termasuk peristiwa-peristiwa histori(Nyoman Kutha Ratna, 2003:127).
2.    Hakikat Struktur Novel
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59- 60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia inajinasi.
Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, factor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.
Pengertian unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro (1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsurunsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa, yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.
Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren (1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.
Berikut ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
a.    Unsur intrinsic
Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:
1)   Tema
Secara umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema adalah masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002:142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan dengan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan.
Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaanpersamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:68). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.
Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’ tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan Nurgiyantoro,1995:85).
Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan cerita.
Berkenaan dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan tema tambahan atau tema minor.
Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.
2)   Alur cerita
Alur cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebabakibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara sebabakibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.
Berdasarkan uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:
a)    Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
b)   Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwaperistiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
c)    Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
d)   Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
e)    Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.
Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.
Sebagaimana unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel. Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan. Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan mannusia bersifat plot.
Secara teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.
Plot ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjdi dua kategori, yaitu: kronologis dan tak kronologis. Kategori koronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedangkan kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot balik atau flashback.
Istilah plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot.
Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya. Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.
Perbedaan plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.
3)   Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah ”tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.
Herman J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian berkembang menjadi peristiwa.
Klasifikasi tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu. Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:
a)    Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita. Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena fungsinya hanya sebagai pelengkap.
b)   Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh protagonis.
c)    Tokoh Datar atau Tokoh Bulat
Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi pembaca.
d)   Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adannya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e)    Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.
Seorang peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analisi/deskripsif/langsung, yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci; (2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.
Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokohtokohnya, Robert Humpre menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui. Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik “pengarang serba tahu” artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Teknik solilokui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...