Wednesday, December 6, 2017
STEPHEN WALKER : LEARNING THEORY AND BEHAVIOR MOD
Label:
BOOK
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
JEAN PIAGET : BEHAVIOR AND EVOLUTION
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
PLANNING OF KUALITATIF RESEARCH
Label:
BOOK
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
E-LEARNING- RESEARCH AND DEVELOPMENT
Label:
BUKU
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
PARAGRAF
Label:
BUKU (PARAGRAF)
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA
Label:
KALIMAT
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
BENTUK DAN PILIHAN KATA (DIKSI)
Label:
BUKU
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA
Label:
BUKU
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
TEORI SASTRA DAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
LANDASAN TEORI
1. Hakikat
Novel
Berdasarkan
asalnya kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan
pula dari novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena dibandingkan
dengan jenis-jenis satra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka
novel muncul setelahnya. Menurut (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel
Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Novel
dalam The American College Dictionary dimasukkan ke jenis fiksi. Berikut
ini keterangan dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh
Henry Guntur Tarigan (1993: 120): “Fiksi adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun
karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karyakarya dari
jenis ini, seperti novel atau dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan,
dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.
Kata
fiksi dikenal masyarakat sebagai karya hasil imajinasi. Jackob Sumardjo dan
Saini (1991:29) menggolongkan novel (prosa) ke dalam sastra imajinatif.
Sementara itu, Clenth Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1989:120) menyatakan
bahwa fiksi adalah penyjian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya
sebagai fiksi memang bukan suatu yang nyata, tetapi karya sastra juga bukan
kebohongan karena fiksi salah satu jenis karya sastra yang menekakan kekuatan
kesastraannya pada daya papar penceritaan.
Di
Indonesia istilah novel disamakan dengan istilah roman. Ukuran luas unsur
cerita antara keduanya hampir sama, meskipun berdasarkan asal usul istilah sedikit
berbeda. Kata novel berasal dari bahasa Itali yang kemudian berkembang di
Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman berkembang di Jerman. Belanda,
Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan lain. Istilah roman, seperti tercantum
dalam Ensiklopedi Indonesia,yang berarti “dulu sekali”, berasal darigenre
romance dari abab pertengahan, merupakan cerita panjang tentang kepahlawan
dan percintaan.
Dilihat
dari segi jumlah katanya, novel mengandung kata-kata yang berkisar antara
35.000 kata hingga tidak terbatas jumlahnya. Jika dihitung pula kecepatan
rata-rata orang membaca ialah 300 kata per menit, maka waktu yang dipergunakan
untuk membaca novel yang paling pendek adalah kurang lebih dua jam (Henry
Guntur Tarigan,1989:165).
Arti
luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di
sini dapat berarti cerita dengan plot/alur yang kompleks, karakter yang banyak,
tema yang komplels, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang
beragam pula (Jackob Sumardjo dan Saini, 1991:29). Unsur-unsur tersebut kemudian
secara intern menjadi unsur intrinsik pembangun novel.
Goldman
(dalam Faruk, 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian
yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi
pula. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra
yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang
hero dengan dunia.
Sebagai
karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel
tersebut. Herman J. Waluyo (2002:37) mengungkapkan bahwa di dalam novel
terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan
tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Henry
Guntur Tarigan (1989:165) memberikan kesimpulan dari uraian yang disampaikan
Brooks berkenaan dengan identifikasi novel. Identifikasi novel tersebut yaitu:
a) novel bergantung pada tokoh; b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; c)
novel menyajikan lebih dari satu efek; dan d) novel menyajikan lebih dari satu
emosi.
Novel
dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo
(2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel
pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan
novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada
unsur kreativitasnya.
Senada
dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan
jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer
adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para
remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan
disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya
memang tujuan novel popular semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan
pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga
secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.
Sesuai
dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 1994:31) membagi novel dalam tiga
jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.
Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimism dalam peluangan
tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero
cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia
fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan
nilai-nilai yang otentik.
Sebagai
sebuah karya sastra novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas
adalah dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan banyak berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Itu merupakan pernyataan Burhan
Nurgiyantor(1995:10-12) terhadap kelebihan novel menilik dari aspek panjang
cerita yang dimiliki novel. Oleh karena itu, unsur-unsur pembangun sebuah
novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dituangkan
secara penuh untuk mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Di
pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), yang memandang karya
sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan
bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekontruksi mental dan kesadaran
sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan
peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan
novel dalam usaha untuk merekontruksi dan memahami gejala sosial, perilaku
impersonal termasuk peristiwa-peristiwa histori(Nyoman Kutha Ratna, 2003:127).
2. Hakikat
Struktur Novel
Kita
harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya,
khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59- 60) menyebutkan bahwa
sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation,
yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa
yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang
bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia
sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau
dunia inajinasi.
Berdasarkan
uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada
karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, factor intrinsik, dan dunia
pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik,
yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.
Pengertian
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro
(1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung
turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsurunsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur yang secara faktual
akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung
mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus
unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun
sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Penelitian
terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan
dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa,
yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan,
dan bahasa atau gaya bahasa.
Meskipun
tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh
terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya
banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren
(1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan
dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya
masyarakat, dan filosofis.
Berikut
ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang
berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
a. Unsur intrinsic
Unsur
intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung
membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:
1)
Tema
Secara
umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui
peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi
yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67)
memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema
adalah masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan,
kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002:142). Masalah
hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan dengan manusia secara
pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu,
gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan
tertentu mengenai kehidupan.
Menurut
Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaanpersamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan
Nurgiyantoro 1995:68). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang
didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang
mendukungnya.
Berhubung
tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan
fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat
diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’
tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan
Nurgiyantoro,1995:85).
Stanton
(dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria
yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu
mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan
diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan
cerita.
Berkenaan
dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional
yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang
bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor
sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan
tema tambahan atau tema minor.
Burhan
Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip
tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia
sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik,
yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia
sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.
2)
Alur
cerita
Alur
cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada
peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebabakibat. Sebagaimana dikemukakan
oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita
yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebabakibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113)
bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak
sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan
sebab-akibat.
Berdasarkan
uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang
plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:
a)
Plot adalah kerangka atau struktur
cerita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
b)
Dalam plot terdapat hubungan kausalitas
(sebab-akibat) dari peristiwaperistiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
c)
Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya
dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
d)
Konflik batin pelaku adalah sumber
terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
e)
Plot berkaitan dengan perkembangan
konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.
Plot
memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam
proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki
fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.
Sebagaimana
unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel.
Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran
yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa
cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan
sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan
dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat
verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan
cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam
bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan.
Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia
bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan
sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan
mannusia bersifat plot.
Secara
teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J.
Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi,
yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai
adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau
ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication,
yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh
cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat
menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement,
yaitu penyelesaian.
Plot
ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria
tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang
didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan
isi.
Berdasarkan
kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjdi dua kategori, yaitu: kronologis
dan tak kronologis. Kategori koronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau
progresif, sedangkan kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik;
mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama
diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika
cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot
balik atau flashback.
Istilah
plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria
jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita
dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah
karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan,
atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup,
permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya
sub-subplot.
Plot
berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar
atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya.
Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang
lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan
tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.
Perbedaan
plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot
peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character)
dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan
dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita
yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh
yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu
yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.
3)
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh
dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah
”tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Istilah
“penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa
novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak,
dan berujung pada sang tokoh.
Herman
J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang
menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur
cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada
pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari
interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian
berkembang menjadi peristiwa.
Klasifikasi
tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu.
Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:
a) Tokoh
utama dan tokoh tambahan
Tokoh
utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita.
Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul
sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena
fungsinya hanya sebagai pelengkap.
b) Tokoh
Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh
protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita
sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh
protagonis.
c) Tokoh
Datar atau Tokoh Bulat
Tokoh
datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat
sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi
pembaca.
d) Tokoh
Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh
statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat adannya peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
e) Tokoh
Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh
tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya
dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral
adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.
Seorang
peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin
menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan
Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada
prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh
cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analisi/deskripsif/langsung,
yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci;
(2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan
tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya
dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan
watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk
melukiskan tokoh tersebut.
Berkenaan
dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokohtokohnya, Robert Humpre
menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung;
(2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4)
teknik solilokui. Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak
ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik “pengarang serba
tahu” artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan
mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di
dalamnya. Teknik solilokui atau percakapan batin artinya penggambaran watak
melalui percakapan tokoh itu sendiri.
Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik demi kemajuan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
Subscribe to:
Posts (Atom)
Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal
Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...
-
PENGERTIAN STILISTIKA Stilistika ( stylistic ) menurut Ratna (2009: 1) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil ( style ...
-
Secara etimologis, puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang memilki makna membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeitis yan...
-
S emangat Kebangsaan ___&___ Cinta Tanah Air Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menem...