Friday, November 9, 2018

REDUNTDANT ACRONYM SYNDROME (RAS) SYNDROME DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA

Wednesday, October 3, 2018

BEBERAPA HASIL PENELITIAN SASTRA DENGAN PENDEKATAN STLISTIKA

Edi Subroto, dkk. (1997), melakukan telaah leinguistik terhadap novel Tirai Menurun karya N. H. Dini, dengan judul Telaah Linguistik atas Novel Tirai Mneurun Karya N. H. Dini. Temuan dari penelitian tersebut adalah kekhasan social budaya masyarakat Jawa di dalam novel. Kekahasan yang menonjol adalah kekhasan masyarakat Jawa “wong cilik” yang didasarkan kepada aspek kata, aspek morfosintaksis, serta aspek gaya bahasa. Penelitian tersebut dapat berguna sebagai rujukan sekaligus pembanding, untuk menambah wawasan peneliti akan aspek-aspek kekhasan karya sastra.
Remmy Silado (2007) melakukan analisis pada puisi Bulan Luka Parah karya Husni Djamaludin, dengan menggunakan pendekatan stiistika dari sudut pandang eksotisme kiasan alam. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat fenomena penggunaan gaya bahasa kiasan yang bernuansa eksotisme alam.
Ririh Yuli (2008) mencoba melakukan pendekatan stlistika pada novel Laskar Pelangi, terfokus pada dua aspek; analisis gaya bahasa dan nilai pendidikan yang terkandung dalam novel. Hasilnya adalah terdapat 28 (dua puluh delapan) gaya bahasa, dan memang terdapat nilai pendidikan terbatas pada nilai pendidikan karakter (SQ dan IQ). Dalam implementasinya pada proses belajar mengajar, novel tersebut dapat membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangakan cipta dan rasa serta dapat menunjang pembentukan watak.
Nurmaningsih (2010) melakukan kajian terhadap Serat Centini dalam tesisnya yang berjudul Kajian Stilistika “Teks Seksual dalam Serat Centini” Karya Pakubuwana V. Hasil dari penelitian tersebut adalah ditemukannya kekhasan aspek bahasa seksual, yang diwujudkan dalam aspek bunyi, diksi, majas, serta struktur puisi.
Ali Imron Ma’ruf (2010) dalam bukunya Kajian Stilistika Perspektif Kritik Holistik yang merupakan modifikasi dari disertasinya yang berjudul Kajian Stilistika Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Pemaknaannya, menemukan adanya fenomena kekhasan: 1. Kalimat dengan penyiasatan struktur, dan kalimat dengan sarana retorika, 2. Gaya kata (diksi) yang meliputi kata konotatif, kata konkret, kata serapan dari bahasa asing, kata sapaan khas atau nama diri, kata seru khas jawa, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam, dan kosakata bahasa jawa. 3. Kekahasan gaya wacana yang meliputi gaya wacana dengan sarana retorika, dan gaya wacana alih kode. 4. Temuan bahasa figuratif meliputi majas, tuturan idiomatik dan peribahasa. 5. Kekhasan citraan meliputi citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan intelektual.
Sulistyawan (2012) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Stilistika dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Geguritan Solopos Bulan Desember 2012 Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah, menunjukkan hasil adanya kekhasan fonologis pada geguritan, serta nilai-nilai pendidikan moral, berikut relevansinya terhadap pembelajaran bahasa Jawa.
R. Adi Deswijaya (2014) dalam tesisnya yang berjudul Kajian Stilistika Babad Tanah Jawi JIlid 1-5 Karya Raden Ngabehi Yasadipura I telah memaparkan dengan jelas mengenai kekhasan yang terdapat daam teks tersebut. Kakhasan tersebut meliputi: 1. Pola bunyi, 2. Pola morfologis kata arkais, 3. Kekahasan pemilihan kata berupa tembung entar, tembung garba, pepindahan, plutan, sasmita tembang, baliswara, rurabasa, tembung wangsul, dasanama, dan perubahan bunyi vocal untuk mengutarakan ataupun mengungkapakan gaya peribadi. Temuan lainnya dalam aspek bahasa figurative meliputi penggunaan: 1. gaya bahasa perbandingan simile, 2. Metafora, 3. Perumpamaan epos, 4. Personifikasi, 5. Motonimia, 6. Sinekdoce, dan 7. Alegori. Dalam penelitiaanya, Deswijaya juga menemukan adanya fenomena citraan, meliputi: 1. Citraan pendengaran, 2. Citraan penglihatan, 3. Citraan gerak, 4. Citraan rabaan, 5. Citraan penciuman, dan 6. Citraan pencecapan.

TINJAUAN STILISTIKA

Stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau Stylistic terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Secara etimologis, stylistics yang berarti ilmu tentang gaya bahasa ini berhubungan dengan kata style yang berarti gaya.
Istilah kata style (bahasa Inggris) menurut Shipley 1979 ; Leech & Short 1984 berasal dari kata Latin stilus yang berarti yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan lilin. Kata stilus yang kemudian dieja menjadi stylus ini memiliki kesamaan makna dengan kata stulos pada bahasa Yunani yang berarti alat tulis yang terbuat dari logam, kecil, dan berbentuk batang yang memiliki ujung tajam yang digunakan untuk menulis di atas kertas berlapis lilin. Pada perkembangannya kata stylus memliki arti khusus yang berarti kritik terhadap suatu tulisan (Al Ma’ruf, 2009: 7).
Yeibo (2012: 180) pada penelitiannya mengungkapan bahwa stilistika adalah cabang lingustik umum yang berfokus pada gaya (yaitu cara tertentu seorang penulis atau menyampaikan ekspresinya), khususnya dalam karya sastra. Istilah style juga diuraikan oleh Satoto (2012: 35) bahwa style, stail, atau gaya yaitu cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan itu bisa meliputi setiap aspek kebahasaan seperti diksi, penggunaaan bahasa kias, penggunaan bahasa figuratif, struktur kalimatnya, bentuk-bentuk wacana, ataupun sarana retorika yang lainnya. Sedangkan Ratna (2013: 3) juga mengemukakan bahwa Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) adalah cara-cara khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan tersebut dapat tercapai secara maksimal. Sejalan dengan Satoto dan Ratna, Aminuddin (1995:4) mengungkapkan bahwa style diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadinya. Sementara itu, Al-Ma’ruf (2009: 12) menyatakan, stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya bahasa yakni wujud performansi bahasa dalam sastra setelah melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Ada beberapa pengertian stilistika yang diambil oleh Nurhayati (dalam Masda, 2012 : 39), seperti :
1)   Short dan Christoper Candlin (1999:193) menyatakan Stylistics is a linguistics approach to the study of literary texts. Artinya stilistika adalah pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra.
2)   Stylistics, the study of the relation between linguistic form and Iiterary function (Leech dan Michael Short, 1984:4). Stilistika merupakan studi yang menghubungkan antara bentuk linguistic dengan fungsi sastra.
3)   Slamet Muljana (1956:4) menyatakan bahwa stilistika adalah pengetahuan kata berjiwa. Tiap kata yang digunakan dalam ciptaan sastra, mengandung napas penciptanya, berisi jiwanya, serta mengandung perasaan pengarangnya. Kata-kata dalam ciptaan sastra berbeda sifatnya dengan kata-kata yang terdapat di dalam kamus.
Dari beberapa pengertian stilistika, dapat disimpulkan bahwa stilistika mempelajari bahasa karya sastra, baik dari struktur fisik maupun isi/batin guna mencari keindahan yang dibuat oleh pengarang dalam karya sastranya. Stilistika merupakan ilmu tentang pemanfaatan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra yang meliputi setiap aspek kebahasaan seperti diksi, bahasa kias, ataupun bahasa figuratif dalam mengungkapkan gagasan yang menjadi ciri pribadi pengarangnya dalam karya sastranya.
Menurut Al-Ma’ruf (2009: 47), aspek stilistika berupa bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan yang ditelaah dalam kajian stilistika karya sastra meliputi: gaya bunyi, gaya kata (diksi), gaya kalimat, gaya wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Pendapat lain dikemukakan Sudjiman dalam Al Ma’ruf (2009: 46) yang mengemukakan bahwa style’gaya bahasa’ mencakup diksi (pilihan kata/ leksikal), struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam kaya sastra.
Seperti kita tahu bahasa menjadi media yang paling utama dalam penciptaan karya sastra, ciri khas pengaranglah yang nantinya memunculkan nilai keindahan dari sebuah karya. Pengkajian bahasa dan gaya bahasa inilah yang memunculkan pemahaman yang lebih baik. Semi dalam Asis (2010:102) mengungkapkan stilistika merupakan cabang linguistik yang menelaah pemakaian bahasa dan gaya bahasa termasuk efek yang dtimbulkan oleh cara penggunaan bahasa dalam karya sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebagian besar disebabkan oleh kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasanya sehingga menimbulkan kekuatan dan keindahan bahasanya.
Junus (dalam Al Ma’ruf, 2009: 19) mengemukakan bahwa bidang kajian stilistika meliputi bunyi bahasa, kata, dan struktur kalimat. Pendapat lain dikemukakan Sudjiman (dalam Al Ma’ruf, 2009 : 19) yang mengartikan style sebagai gaya bahasa dan gaya bahasa sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta mantra yang digunakan seorang pengarang yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Dalam penelitiannya, Roziah (2013) melakukan prosedur analisis berdasarkan tiga tahapan penting dalam stilistika, yaitu deskripsi, intepretasi, dan kesan. Deskripsi didapatkan dari tokoh Fahri dan Maria pada Novel Ayat- Ayat Cinta, interpretasi diperlukan untuk memperoleh gambaran penuh mengenai karakter sebelum pemerian kesan dari penggunaan leksikal, gramtikal, kiasan dan konteks kepaduan. Jadi, penelitian ini meneliti perbedaan karakter yang dikaji stilistika.
Pengkajian stilistika yang berkaitan dengan karakterisasi juga dikaji oleh Lamusu (2010) yang mendeskripsikan ciri- ciri karakteristik wacana puisi ciptaan Rendra dan Taufik Ismail yang merupakan gaya pengungkapan bahasa kedua penyair.
Pada penelitiannya, Aghagolzade (2012:932) dalam studinya akan menunjuk peran dan pentingnya sarana stilistika sebagai alat utama pada perpindahan ideologi, pandangan dan pertimbangan dalam teks berkaitan kesusasteraan. Kemudian studi ini akan menyurvei bait sajak pada puisi Farrokhzad. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa gaya bahasa dan perangkat lingusitik.
Kajian stilistika meskipun masih baru dalam bidang sastra, dipandang sebagai kajian yang lebih objektif dan ilmiah dibandingkan dengan kajian konvensional yang selama ini kita kenal.  Pengkajian stilistika berusaha menelaah ciri khas penggunaan bahasa seorang pengarangnya yang dilihat dari aspek-aspek kebahasaanya. Penelitian stilistika berusaha menfokuskan pada pemakaian gaya bahasa pengarang dalam karya sastra. 
Penelitian Kajian Stilistika Antologi Puisi Baju Bulan memiliki perbedaaan dengan penelitian lain. Aspek stilistika yang akan dikaji mencakup keseluruhan aspek dalam pengkajian karya sastra, khususnya puisi, yang meliputi diksi, gaya bahasa atau majas, imaji (citraan), dan simbol (lambang).

SASTRA DAN KEBAHASAANNYA

Sebuah penciptaan karya sastra memiliki kaitan erat dengan bahasa. Al Ma’ruf (2009: 2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Bahasa merupakan sarana dalam mengungkapkan karya sastra. Bahasa sastra dijadikan media ekspresi pengarang dalam menciptakan efek makna dari ‘gaya bahasa’ sebagai sarana bahasa untuk memperoleh nilai estetis yang tinggi sehingga bobot nilai seni sebuah karya sastra bisa tercapai.
Menurut Nurgiyantoro (2002: 273), bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis yang dapat diolah dan memiliki nilai lebih daripada bahan itu sendiri, dalam hal ini adalah bahasa. Pengarang berperang penting dalam mengolah kata- kata dalam karya sastra yang diciptakannya menjadi sebuah karya sastra yang indah. Kemampuan pengarang memainkan kata-kata inilah yang bisa disebut dengan bahasa sastra. Pengarang tidak hanya memberikan keindahan kata-kata, akan tetapi juga makna yang filosofis terhadap fenomena kehidupan. Masda (2012: 8) juga mengungkapkan bahwa bahasa sastra adalah bahasa khas, yakni, bahasa yang direkayasa dan dipoles sedemikan rup. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Ma’ruf (2009: 2) mengungkapan bahasa sastra sebagai berikut :
Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra.Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakam system semiotic tingkat kedua (second order semiotics) ( Abrams, 1981 : 172). Bahasa memiliki arti berdasrkan konvensi bahasa, yang oleh Riffaterre arti bahasa disebut meaning (arti), sedangkan arti bahasa sastra disebut significance (makna). Sebagai medium karya sastra, bahasa sastra berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra. Menurut Riffaterre (1978: 1-2) karya sastra merupakan ekspresi tidak langsung, yakni menyatakan sutu hal dengan arti lain” 
Sebagai media penciptaan karya sastra, bahasa satra memiliki ciri khas, beberapa ciri tersebut seperti bahasa sebagai bahasa emotif dan bahasa bersifat konotatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren dalam Al Ma’ruf (2009: 2) bahwa secara rinci bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif, bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi. Emosional, berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka, atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial.

Tuesday, August 28, 2018

TINJAUAN TEORI KESALAHAN BERBAHASA DALAM MENULIS KARANGAN

a.      Keterampilan Menulis
Keterampilan yaitu kecakapan untuk menyelesaikan tugas (KBBI, 93: 935). Jadi, keterampilan menulis yaitu kecakapan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas menulis. Keterampilan menulis ialah suatu kepandaian seseorang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang disampaikan melalui bahasa tulis, yang realisasinya berupa simbol-simbol grafis sehingga orang lain yaitu pembaca, mampu memahami pesan yang terkandung di dalamnya.
Agar bisa terampil dalam menulis, seorang penulis harus menguasai aspekaspek kebahasaan khususnya aspek bahasa tulis. Bahasa tulis harus memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam bahasa baku. Demi kejelasan makna, susunan kalimat dapat menjadi panjang. Sifatnya terikat, terutama oleh tata bahasa dan diksi dengan tidak menimbulkan keraguan dalam memahami isi
dan menarik kesimpulan.
Bahasa tulis harus lebih memperhatikan peraturanperaturan mengenai sistematika penyusunan kalimat dan penempatan paragrafparagraf yang mendukung gagasan pokok, gagasan penunjang, dan pelengkap maupun gagasan tambahan-tambahan yang lain (Hastuti, 2003: 84).
Terampil menggunakan bahasa merupakan tujuan terpenting dalam kegiatan bahasa. Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan menyimak, keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis. Penelitian ini berupaya menganalisis bidang keterampilan menulis karangan. Kegiatan menulis merupakan bentuk atau wujud kemampuan dari keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah menyimak, berbicara, dan membaca (Nurgiyantoro dalam Supraba, 2008: 10).
Kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain, bahkan oleh penutur ahli bahasa yang bersangkutan. Hal ini karena dalam kemampuan menulis perlu menguasai berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang menjadi isi karangan Menulis atau bahasa tulis semakin lama semakin terasa penting. Dalam dunia modern ini, kita tidak dapat mengikuti arus kehidupan sehari-hari tanpa adanya tulisan atau bahasa tulis. Dalam dunia pendidikan, perdagangan, bisnis perusahaan, dan profesi yang lain, keberhasilannya berhubungan dengan keterampilan menulis sebagai syarat untuk masuk dalam bidang tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa menulis adalah suatu alat yang sangat efektif dalam belajar dan penting dalam dunia pendidikan.
b.      Pengertian Karangan
Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah baik sekolah negeri maupun swasta, siswa seringkali mendapatkan tugas mengarang. Dalam menulis sebuah karangan tentu saja siswa harus mengetahui pengertian karangan dan bagaimana cara menulis sebuah karangan yang baik. Karangan merupakan media bagi ekspresi diri setiap orang. Mengarang merupakan salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan menulis. Selain itu, mengarang juga sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting dalam mendukung komunikasi karena merupakan perwujudan bentuk komunikasi secara tidak langsung atau komunikasi tertulis.
Perkembangan media dalam komunikasi masa (radio, televisi, kaset), menjadikan tulisan atau karangan bukannya semakin mundur tetapi justru semakin bertambah maju. Oleh karena itu, studi dan praktik menulis atau mengarang tetap merupakan bagian penting dalam kurikulum sekolah dan menjadi bagian utama dalam pendidikan dan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Seperti yang telah dibahas di atas, mengarang adalah suatu proses kegiatan pikiran manusia yang hendak mengungkapkan kandungan jiwanya kepada orang lain atau kepada diri sendiri dalam bentuk tulisan. Mengarang dapat dipahami sebagai keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami dengan tepat seperti yang dimaksudkan oleh pengarang; sedangkan hasil dari kegiatan mengarang biasa disebut dengan karangan (Widyamartaya dalam Musrifah, 1999: 3).
Karangan merupakan rangkaian kata-kata atau kalimat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1993: 390), karangan adalah hasil mengarang: tulisan, cerita, artikel, buah pena. Karangan yaitu setiap tulisan yang diorganisasikan yang mengandung isi dan ditulis untuk suatu tujuan tertentu biasanya berupa tugas di kelas. Istilah tersebut sering dipakai untuk tugas menulis dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai suatu proses sadar diri yang menuntut kita membuat keputusan tentang apa yang akan dikatakan, bagaimana mengorganisasi ide, dan bagaimana mengembangkan ide serta kata-kata yang akan kita pakai. Karangan adalah hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca (Gie dalam Musrifah,1999: 14). Selain pengertian itu, karangan adalah bahasa tulis yang merupakan rangkaian kata demi kata sehingga menjadi sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi sebuah wacana yang dapat dibaca dan dipahami (Keraf, 2010: 19-22).
Jadi, karangan yaitu hasil perwujudan ide, gagasan dan pikiran manusia yang tersusun dari rangkaian kata demi kata yang membentuk sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi wacana yang mempunyai tujuan tertentu sehingga dapat dibaca dan dipahami maksudnya oleh pembaca. Dengan demikian untuk membuat karangan yang baik, tentu saja seseorang dituntut memiliki dan menguasai perbendaharaan kata dengan baik.

Sunday, July 1, 2018

Participatory Action Research (Alice McIntyre)

An Introdutions to Sociolinguistic

Wednesday, May 2, 2018

A TEACHER'S GUIDE TO MULTISENSORY LEARNING

INQUIRY-BASED LEARNING

THE SOCIAL STUDIES CURRICULUM

EXPERIMENTAL AND QUASI - EXPERIMENTAL DESIGNS FOR RESEARCH

LEARNING THEORIES

SOCIAL LEARNING THEORY

OXFORD LIBRARY OF PSYCHOLOGY

EDUCATION

Monday, April 2, 2018

PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA


Pendekatan Psikologi Sastra
Semi  (1993:76) menuliskan  bahwa  psikologi  sastra  adalah  suatu  displin yang  memandang  karya  sastra  sebagai  suatu  karya  yang  memuat  peristiwa-peristiwa  kehidupan  manusia  yang  diperankan  oleh  tokoh-tokoh  imajiner  yang ada  didalamnya  atau mungkin  juga  diperankan  tokoh-tokoh  faktual.  Sedangkan psikologi itu sendiri merupakan ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan.
Pendekatan psikologi dalam penelitian karya sastra berpijak pada psikologi kepribadian. Artinya,  penerapan  psikologi  sastra  terhadap  karya  sastra sering  diterapkan  berdasarkan  karakter-karakter  tokoh,  perilaku,  dan  perbuatan tokoh  tersebut  (Sangidu, 2007: 30). Hal ini dapat dikaji ketika melihat psikologi pada tokoh dalam sebuah karya sastra.
Hubungan  antara  psikologi  dengan  sastra  telah  lama  ada,  semenjak  usia ilmu  itu sendiri. Menurut Downs (Ngalong, 2016: 29)  menyebutkan  bahwa  psikologi  itu  sendiri  bekerja  pada  suatu  wilayah  yang gelap,  mistik  dan  paling  peka  terhadap  bukti-bukti  ilmiah.  Dan  wilayah  yang gelap  itu memang  ada  pada manusia,  dari wilayah  yang  gelap  itulah  kemudian muncul  perilaku  serta  aktifitas  yang  beragam,  termasuk  perilaku  baik,  buruk, kreatif, bersastra dan lain-lain.
Pendekatan  psikologi  sastra  dapat  diartikan  sebagai  suatu  cara  analisis berdasarkan  sudut  pandang  psikologi. Sudut  pandang  yang  bertolak  dari  asumsi bahwa karya  sastra  selalu membahas  tentang peristiwa kehidupan manusia  yang merupakan  pancaran  dalam menghayati  dan menyikapi  kehidupan. Akan tetapi, mengkaji karya sastra dapat dilihat pada segi kejiwaan tokoh.
Fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya (Hardjana, 1991: 60).
Pendapat  tersebut  dapat  diperkuat  oleh Wellek  dan Warren  (1993:  81-93),  bahwa  psikologi  sastra memasuki  bidang  kritik  sasra  lewat  beberapa  jalan, antara  lain  pembahasan  tentang  proses  penciptaan  sastra.  Pembahasan  psikologi terhadap  pengarang  (baik  sebagai  suatu  tipe maupun  sebagai  seorang  peneliti). Pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra.
Psikologi  sastra  merupakan  suatu  pendekatan  yang mempertimbangkan segi-segi  kejiwaan  dan  menyangkut  batiniah  manusia (Hardjana,  1985:  66). Melalui  tinjauan  psikologi akan  nampak  fungsi  dan  peran sastra  untuk menghidangkan  citra manusia  untuk memancarkan  karya  sastra  dan melukiskan kehidupan manusia.
Menurut Schott (Sangidu, 2007:  30), ada tiga macam metode psikologi sastra yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis suatu karya sastra.Pertama, menguraika hubungan ketidaksengajaan antara pengarang danpembaca.Kedua, memahami kehidupan pengarang untuk memahami karyanya. Ketiga,  menguraikan  karakter  para  tokoh  yang  ada  dalam  karya  yang  diteliti.
Sedangkan  dalam  pandangan  Endraswara  (2003:  97-98)  ada  tiga macam pendekatan  dalam  psikologi  sastra.  Pertama pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra.  Kedua,  pendekatan  represif  –pragmatik  yang  mengkaji  aspek  psikologis  pembaca  sebagai  penikmat  karya sastra,  yang  terbentuk  dari  pengaruh  karya  yang  ia  baca,  serta  proses  resepsi pembaca  ketika  menikmati  karya.  Ketiga,  pendekatan  ekspresif  yang  menkaji aspek  psikologis  penulis  dalam  proses  kreatif  yang  diwujudkan  ke  dalam karyanya.
Penelitian  psikologi  sastra  berlandaskan  pada  asumsi  dasar  yang dipengaruhi  oleh,  pertama,  adanya  anggapan  bahwa  karya  sastra  merupakan produk  dari  suatu  kejiwaan,  kedua  kajian  psikologi  sastra  di  samping  menelitiperwatakan  tokoh  secara  psikologis  juga  aspek-aspek  pemikiran  dan  perasaan pengarang ketika menciptakan karya itu (Endrawsrara, 2003:96).  
Kajian  psikologi  sastra  adalah  kajian  sastra  yang  memandang  karya sebagai  aktivitas  kejiwaan.  Seksualitas  dari  dimensi  psikologis  erat  kaitannya dengan bagaimana menjalankan  fungsi  sebagai makhluk  seksual,  identitas peran atau  jenis. Dari dimensi  sosial dilihat pada bagaimana  seksualitas muncul dalam hubungan  antar  manusia,  bagaimana  pengaruh  lingkungan  dalam  membentuk pandangan  tentang  seksualitas  menjadi  perilaku  seks.  Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan doronganatau hasrat seksual.Dimensi kultral menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Hubungan  antara  ilmu  psikologi  dengan  ilmu  sastra  adalah  ketika menggunakan  ilmu  psikologi  dalam  menelaah  karya  sastra.  Pada karya sastra, baik novel, cerpen, dan puisi terdapat penokohan.Kesinambungan ilmu psikologi adalah saat mengkaji aspek kejiwaan baik tokoh maupun pengarang. Freud membedakan pikiran manusia dalam tiga tingkat yaitu pikiran sadar (conscious mind) yang berisi semua proses mental yang kita sadari; pikiran prasadar (preconscious mind) yang berisi memori-memori yang dapat diingat kembali pada pikiran sadar dalam kondisi tertentu; dan pikiran bawah sadar (unconscious mind) yang berisi naluri-naluri (instincts) biologis, terutama dorongan-dorongan primitif seperti seks dan agresi (Jarvis, 2006:48). Walaupun manusia mengetahui apa yang terjadi dalam pikiran sadar, namun pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam alam prasadar dan naluri dalam alam bawah sadar tetap memengaruhi keputusannya.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...