Sunday, November 5, 2017

KEARIFAN LOKAL BUGIS

MODUS EKSPRESI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS
SUATU KAJIAN ELONG UGI DENGAN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA

Abdul Kadir
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Cokroaminoto Pinrang
Hp: 081334000250 e-mail: akadir106@yahoo.co.id

Modus adalah tujuan atau fungsi tuturan yang menjelaskan suatu realitas. Tuturan tidak tercipta dari sebuah imajinasi belaka melainkan cerminan atau gambaran dari cara pandang, ideologi, sikap, dan perilaku penuturnya. Modus tuturan sering tidak dijabarkan dalam wujudnya, melainkan berupa bias makna dari pemakaian bahasa dalam tuturan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menemukan modus dalam sebuah tuturan, seringkali mitra tutur atau peneliti wacana baik lisan maupun tulisan harus menginterpretasi tuturan tersebut melalui pendalaman dan pengkajian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan ancangan hermeneutik. Data penelitian ini berupa teks elong ugi dari berbagai buku. Pengumpulan data berupa kajian dokumen (buku). Dalam pengumpulan data, peneliti bertindak sebagai instrument kunci dibantu kawan/rekan sejawat yang memahami tentang elong ugi. Analisis dilakukan sejak awal pengumpuan data, klasifikasi data terpilih, penyajian data, penarikan simpulan. Pun analisis data dikerjakan secara hermeneutik dengan model intraktif-dialektis. Maksudnya pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara serentak, bolak balik dengan mengikuti mode hermeneutika Recouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik, refleksif, dan eksistensial. Untuk memverifikasi semua temuan penelitian, dilakukan triangulasi temuan kepada pakar bahasa Bugis, ahli sastra Bugis, dan budayawan Bugis.
Hasil penelitian ditemukan bahwa modus tuturan yang mengekspresikan Kearifan Lokal (KL) masyarakat Bugis dalam Elong Ugi (EU) meliputi: (1) membangun identitas sosial mansyarakat Bugis,  (b) membangun komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat.
Kata kunci: modus, kearifan lokal, elong ugi, hermenutika

A.    PENDAHULUAN
Bugis adalah salah satu  suku bangsa di Asia Tenggara dengan populasi lebih dari empat juta orang, suku Bugis mendiami bagian Barat Daya pulau Sulawesi. Mereka memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Misalnya, mereka mampu mendirikan kerajaan tanpa sebuah kota sebagai pusat aktivitas, serta menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya. Kendati demikian, berbagai kepercayaan peninggalan pra-Islam tetap dilestarikan sampai akhir abad ke-20 dan sisa-sisa eksistensinya masih tampak hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi para bissu, yaitu sekelompok pendeta-pendeta wadam,  yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur. Ciri khas lainnya tampak pada karakter umum orang-orang Bugis, yaitu dikenal sebagai masyarakat yang berkarakter keras, tapi sangat menjunjung kehormatan. Demi mempertahankan kehormatan, masyarakat Bugis bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis memiliki sikap ramah, sangat menghargai orang lain, dan memiliki kesetiakawanan. 

Kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari umumnya berdasarkan sistem patron-klien, sistem kelompok kesetiakawanan antara seorang pemimpin dengan pengikutnya yang saling mengait dan bersifat menyeluruh. Orang Bugis tetap memiliki rasa kepribadian yang kuat, prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan. Hal itu merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan.

Di sisi lain, orang Bugis memiliki tradisi kesusastraan, baik lisan maupun tulisan. Berbagai karya sastra tulis yang berkembang seiring dengan tradisi lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan ditulis ulang. Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra tulis itu menghasilkan salah satu epos sastra terbesar di dunia, yakni La Galigo yang lebih panjang daripada Mahabarata, berisi kronik sejarah, ikhtisar perundang-undangan, almanak, risalah hal-hal praktis, kumpulan kata-kata mutiara, teks ritual pra-Islam, karya-karya Islami, dongeng dan cerita, serta berbagai jenis sajak (Arsuka, 2006: 3-5; Mangemba, 2002). 

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...