MODUS
EKSPRESI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS
SUATU KAJIAN ELONG UGI DENGAN
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA
Abdul Kadir
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)
Cokroaminoto Pinrang
Hp:
081334000250 e-mail: akadir106@yahoo.co.id
Modus adalah tujuan atau fungsi tuturan
yang menjelaskan suatu realitas. Tuturan tidak tercipta dari sebuah imajinasi
belaka melainkan cerminan atau gambaran dari cara pandang, ideologi, sikap, dan
perilaku penuturnya. Modus tuturan sering tidak dijabarkan dalam wujudnya,
melainkan berupa bias makna dari pemakaian bahasa dalam tuturan itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk menemukan modus dalam sebuah tuturan, seringkali mitra
tutur atau peneliti wacana baik lisan maupun tulisan harus menginterpretasi
tuturan tersebut melalui pendalaman dan pengkajian.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan ancangan hermeneutik. Data penelitian ini berupa
teks elong ugi dari berbagai buku.
Pengumpulan data berupa kajian dokumen (buku). Dalam pengumpulan data, peneliti
bertindak sebagai instrument kunci dibantu kawan/rekan sejawat yang memahami
tentang elong ugi. Analisis dilakukan
sejak awal pengumpuan data, klasifikasi data terpilih, penyajian data,
penarikan simpulan. Pun analisis data dikerjakan secara hermeneutik dengan
model intraktif-dialektis. Maksudnya pengumpulan data dan analisis data
dilakukan secara serentak, bolak balik dengan mengikuti mode hermeneutika
Recouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik, refleksif, dan
eksistensial. Untuk memverifikasi semua temuan penelitian, dilakukan
triangulasi temuan kepada pakar bahasa Bugis, ahli sastra Bugis, dan budayawan
Bugis.
Hasil
penelitian ditemukan bahwa modus
tuturan yang mengekspresikan Kearifan Lokal (KL) masyarakat Bugis dalam Elong
Ugi (EU) meliputi: (1) membangun
identitas sosial mansyarakat Bugis, (b)
membangun komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat.
Kata
kunci: modus, kearifan lokal, elong
ugi, hermenutika
A.
PENDAHULUAN
Bugis adalah
salah satu suku bangsa di Asia Tenggara
dengan populasi lebih dari empat juta orang, suku Bugis mendiami bagian Barat
Daya pulau Sulawesi. Mereka memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh
suku-suku lain di Indonesia. Misalnya, mereka mampu mendirikan kerajaan tanpa sebuah kota sebagai pusat aktivitas, serta menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan
esensial dari adat-istiadat dan budaya. Kendati demikian, berbagai kepercayaan
peninggalan pra-Islam tetap dilestarikan sampai akhir abad ke-20 dan sisa-sisa eksistensinya masih
tampak hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi para bissu, yaitu sekelompok pendeta-pendeta wadam, yang masih menjalankan
ritual perdukunan serta dianggap mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur. Ciri khas lainnya tampak pada
karakter umum orang-orang Bugis, yaitu dikenal sebagai
masyarakat yang berkarakter keras, tapi sangat menjunjung kehormatan. Demi
mempertahankan kehormatan, masyarakat Bugis bersedia melakukan tindak
kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis memiliki sikap ramah, sangat menghargai orang lain,
dan memiliki kesetiakawanan.
Kehidupan
masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari umumnya berdasarkan sistem
patron-klien, sistem kelompok kesetiakawanan antara seorang pemimpin dengan
pengikutnya yang saling mengait dan bersifat menyeluruh. Orang Bugis tetap
memiliki rasa kepribadian yang kuat, prestise dan hasrat berkompetisi
untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan. Hal itu merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan
roda kehidupan sosial kemasyarakatan.
Di sisi lain,
orang Bugis memiliki tradisi kesusastraan, baik lisan maupun tulisan. Berbagai
karya sastra tulis yang berkembang seiring dengan tradisi lisan, hingga kini
masih tetap dibaca dan ditulis ulang. Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra
tulis itu menghasilkan salah satu epos sastra terbesar di dunia, yakni La Galigo yang lebih panjang daripada
Mahabarata, berisi kronik sejarah, ikhtisar
perundang-undangan, almanak, risalah hal-hal praktis, kumpulan
kata-kata mutiara, teks ritual pra-Islam, karya-karya
Islami, dongeng dan cerita, serta berbagai
jenis sajak (Arsuka, 2006: 3-5; Mangemba, 2002).