Monday, November 13, 2023

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

        Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sartini 2011). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Pujiati 2017). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotika adalah suatu bidang ilmu tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun (Afika 2020). Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders. Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda (Oktaviani 2020).

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Sartini 2011). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain - lainya.

Perkembangan terakhir mengenai kajian tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce. Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada pendapat de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental (Lubis 2018). Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (Muh Iqbal 2015). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.

Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Sartini 2011). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (something that represents something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis.

Hubungan ikon, indeks dan simbol seperti yang dicontohkan Hoed apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Contoh lain adalah apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada „larangan untuk berenang‟ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa „adalah berbahaya untuk berenang disitu‟ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional (Sartini 2011).

Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a hierarchy of semantic systems (Sartini 2011). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.

Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.

SEMANTIK KULTURAL DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

Etnolinguistik mengkaji semantik meliputi kajian semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kultural (Andini 2017). Menurut konsep makro dan mikro linguistik, semantik leksikal dan gramatikal masuk dalam konsep mikro linguistik sedangkan semantik kultural masuk dalam konsep makro linguistik. Hal tersebut disebabkan bahwa semantik leksikal adalah salah satu bidang kajian linguistik yang khusus mempelajari arti kata yang lebih kurang bersifat tetap.

Semantik leksikal itu berfokus pada kata tetapi yang dikaji ialah masalah arti, makna atau arti suatu kata, tipe-tipe arti, dan teknik pemerian arti. Lebih lanjut dijelaskan kata dianggap sebagai tanda bahasa (tanda lingual) minimum yang bersifat mandiri secara bentuk makna. Ia merupakan materi bahasa yang siap dipakai dalam pemakaian atau dalam kegiatan berbahasa. Sebagai tanda bahasa kata adalah kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk dengan aspek arti yang pada dasarnya kaitan antara keduanya bersifat manasuka (arbitrer), kecuali pada sebagian kosa-kata yang termasuk tiruan bunyi (onomatope) dan kata-kata yang bernilai emotif-ekspresif. Semantik leksikal ini perlu dicantumkan sebagai alat untuk memerikan ekspresi lingual dan deskripsi makna dalam hubungannya dengan penyebutan waktu, tempat, komunitas, sistem kekerabatan, kebiasaan etnik, kepercayaan, etika, estetika, dan adat-istiadat yang mengarah pada penjelasan tentang kearifan lokal.

Semantik gramatikal yaitu penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran gramatikal (Kridalaksana 2013). Melalui unit lingualnya dapat dipahami sebagai pembentuk sebuah struktur wacana, dapat diamati dibalik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam budaya (seperti folklor). Mengingat analisis unit lingual penting artinya untuk mengungkapkan aspek sosiokultural suatu komunitas, karena relasi antarunit lingual dengan nilai budaya bersifat multitafsir. Data yang dipakai dalam linguistik antropologis dapat berupa kosa-kata, frase, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Semantik kultural merupakan bidang kajian makrolinguistik yaitu makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Andini 2017). Konsep ini dimaksudkan untuk memahami makna ekspresi lingual dan kultural masyarakat.Demikian pula makna yang tercermin dalam perilaku verbal dan nonverbal dalam bahasa dan budaya termasuk salah satu produknya adalah folklor. Semantik kultural untuk menyoroti kearifan lokal yang berkaitan dengan beraneka ragam corak aktivitas kehidupan bahasa dan budaya masyarakat. Dalam aspek sosiokulturalnya kehidupan masyarakat tersebut terkait dengan berbagai peristiwa adat.

 

SEKILAS TENTANG ETNOLINGUISTIK

Kajian etnolinguistik merupakan analisis interdisipliner yang menghubungkan keterkaitan antara penggunaan bahasa dengan lingkungan budaya yang melingkupinya. Obyek penelitian ini begitu menarik untuk dikaji lebih mendalam karena budaya dan bahasa tidak dapat dipisahkan satu sama lain saling membutuhkan. Penelitian dengan kajian etnolinguistik ini diharapkan dapat mendeskripsikan sisi menarik hubungan bahasa dan budaya.Dapat dipahami bahwa etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unitunit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, folklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial.

Subroto (dalam Pekuwali, 2019) mengemukakan bahwa kajian etnolinguistik berkaitan dengan hipotesis “Sapir-Whorf”, yang disebut pula sebagai relativitas bahasa (language relativism) dari pikiran Boas. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa manusia membentuk atau mempengaruhi persepsi manusia akan realitas lingkungannya atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses dan membuat kategori-kategori realitas di sekitarnya (Samson dalam Sugianto, 2017).Lebih lanjut dijelaskan bahwa etnolinguistik juga disebut linguistik antropologi (anthropological linguistics) merupakan kajian bahasa dan budaya sebagai sub-bidang utama dari antropologi (Duranti dalam Rengko, 2021).

Etnolinguistik juga dikatakan sebagai linguistik antropologi (anthropological linguistics) yaitu jenis linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa sebagai konteks dari hipotesis Sapir-Whorf, hal tersebut senada dengan hipotesis Richards, Platt, Weber yakni bahasa sebagai cermin bangsa (M.V. Sri Hartini H.S. 2014). Di samping itu, dijelaskan bahwa pengertian etnolinguistik (anthropological linguistics) yaitu cabang linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktikpraktik budaya dan struktur sosial (Foley dalam Suwandana, 2020).

Syarifuddin (2009) memiliki pendapat bahwa istilah anthropological linguistics yang dipakai Foley (dalam Sibarani, 2015) lebih sesuai dengan yang dimaksud etnolinguistik. Kridalaksana (dalam Patimbano et al., 2019) memakai istilah studi etnolinguistik sama dengan linguistic antropologis. Istilah ini dipilih karena sepaham dengan istilah yang digunakan Matthews yaitu linguistik antropologis. Sementara itu Fernandez konsep teoritisnya menggunakan istilah etnolinguistik mengacu pada istilah anthropological linguistics yang digunakan oleh Foley (M.V. Sri Hartini H.S. 2014). Pendekatan terpadu antarbidang linguistik dan antropologi budaya (etnologi) atau dikenal dengan etnolinguistik, yaitu kajian yang terfokus pada pengkajian terhadap perilaku verbal dan nonverbal dengan sasaran khazanah aset budaya dan bahasa termasuk salah satu produknya folklor. Dalam aspek sosiokulturalnya kehidupan masyarakat tersebut terkait dengan berbagai peristiwa adat seperti upacara adat kelahiran, perkawinan, kematian, kesehatan, dan berbagai aktivitas lainnya (Fernandez  dalam M.V. Sri Hartini H.S., 2014).

 Pendapat lainnya menyebutkan bahwa studi etnolinguistik dapat pula disamakan atau disebut dengan studi linguistik antropologis (Kridalaksana dalam Patimbano et al., 2019). Linguistik antropologis yaitu cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks budaya. Kajian lingusitik antropologis mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa. Maka dari itu, linguistik antropologis merupakan disiplin interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya. Oleh karena studi linguistik antropologis tersebut bermula dari fakta kebahasaan. Dengan kata lain, data yang dipakai dalam linguistik antropologis adalah bahasa yang dapat berupa kosa-kata, frase, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya (Foley dalam Nurdiyanto & Resticka, 2021)

Bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pengetahuan yang dimiliki seorang individu atau masyarakat tertentu. Hal ini menjadikan bahasa sebagai objek yang penting. Data primer yang berkaitan dengan kategori dan ekspresi linguistic dikumpulkan dengan metode etnografi dan etnosain dalam sebuah kajian etnolinguistik. Metthews (dalam M.V. Sri Hartini H.S., 2014) menyatakan bahwa ethnolinguistics can have the sense of anthropological linguistic.

 

SEKILAS TENTANG ANTROPOLINGUISTIK

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan  penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Rahim 2008; Sibarani 2015). Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarkat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya (Sibarani 2015). Selanjutnya, Foley mendefinisikan antropolinguistik sebagai berikut;

“Antropological linguistics is that sub field of linguistics which is concern with the place of language in its wider social and cultural context, its role in forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so (Willian A. Foley 2001)yang jika diterjemahkan berarti linguistik antropologi sebagai sub disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa praktek praktek kultural dan struktur sosial.

Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk menemukan pemahaman kultural (Eriksen 2004). Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Foley berikut ini;

“Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at language to find cultural understandings” (Willian A. Foley 2001) yang apabila diterjemahkan artinya; Linguistik antropologis memandang bahasa melalui prisma konsep inti antropologis, budaya, dan semacamnya, berusaha mengungkap makna di balik penggunaan, penyalahgunaan, atau non-penggunaan bahasa, berbagai bentuk, register, dan gayanya. Ini adalah disiplin interpretatif yang mengupas bahasa untuk menemukan pemahaman budaya”

 

Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik, yakni studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek lain dari kehidupan manusia, yang ketiga bidang tersebut dipelajari dari kerangka kerja linguistik dan antropologi. Kerangka kerja linguistik didasarkan pada kajian bahasa dan kerangka kerja antropologi didasarkan pada kajian seluk-beluk kehidupan manusia. Dengan mendengar istilah antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya (Sibarani 2015).  

 

Bahasa itu adalah aktivitas rohani, proses yang berulang-ulang untuk membentuk ide atau gagasan dengan mengeluarkan bunyi artikulasi (Allen 1995; Appel and Muysken 2005; Campbell-Kibler 2009; Campbell‐Kibler 2010; Chomsky and Noam 2002; L. Thomas et al. 2004). Setiap bahasa mencerminkan lambang jiwa, tabiat, sifat suatu bangsa itu. Hal ini menimbulkan keragaman bahasa dan perbedaannya. Teorinya ini mengandung konsep dasar, bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin ada dalam bahasa yang diwarisinya bersama-sama dengan kebudayaannya. Fungsi bahasa yang utama adalah alat untuk berpikir dan berekspresi. Fungsi utama bahasa ini berlaku pada setiap penutur bahasa di seluruh dunia. 

 

Perhatian utama antropolinguistik dalam pengkajian bahasa, budaya dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia ditekankan pada tiga topik penting, yakni performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation) (Duranti 1997). Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegitan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai. Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik seperti pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina diri (personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial expressions). Konsep partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors). Menurut konsep ini, kajian tentang aktivitas sosial lebih  penting dalam kajian teks itu sendiri (Morgan 2003).

 

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...