Thursday, November 26, 2015

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER BUDAYA LOKAL (MAKALAH SEMINAR NASIONAL AP3KnI UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2015)



PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI
SEKOLAH DASAR KABUPATEN LUWU UTARA

Aziz Thaba
Pascasarjana Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammdiyah Makassar
Contact: 082195025536/E-mail: azizthaba@yahoo.co.id


ABSTRAK
Menghadapi era globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa mental dan moralitas generasi muda Indonesia tergerus oleh arus peradaban, komunikasi, dan teknologi yang semakin mutakhir. Bukan untuk menutup mata akan laju perkembangan zaman, tetapi adaptasi seharusnya disikapi dengan bijak dan berbudaya. Setiap individu, kelompok, atau masyarakat suatu bangsa harus memahami nilai-nilai identitas diri sendiri sebagai penanda harkat, martabat, dan strata sosialnya.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mempertahankan kebudayaan dengan cara memperkenalkan kearifan lokal baik yang popular maupun yang hampir punah kepada peserta didik sejak dini, (2) menaman nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam kearifan lokal masyarakat Bugis di Kabupaten Luwu Utara khususnya di dalam cerita rakyat, (3) menciptakan bahan ajar yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar serta menanamkan nilai-nilai karakter siswa. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang didesain dengan model Four-D (define, design, develop, desiminate). Populasi penelitian ini adalah siswa sekolah dasar (SD) di Kabupaten Luwu Utara. Sampel yang dipilih sebagai uji coba terbatas adalah SDN 193 Tamuku, sedangkan uji coba lapangan dilakukan di SDN 092 Lindu, Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Bone-Bone.
Hasil penelitian ditemukan 22 nilai karakter yang terdapat dalam kearifan lokal cerita rakyat masyarakat Bugis Kabupaten Luwu Utara yang dituangkan dalam bahan ajar yaitu nilai ada tongeng (perilaku jujur), gauk malebbi (santun), ati macinnong (bersih hati), matutu ada-ada (menjaga ucapan), matutui ri panggaukang (menjaga perilaku), paksarikbattangang (persaudaraan), siuddaniang (saling merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak (sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan). Nilai-nilai karakter tersebut diaplikasikan  dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas diluar kelas oleh peserta didik.

Kata-kata kunci: pendidikan karakter, bahan ajar, kearifan lokal


PENDAHULUAN

Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya
Pendidikan merupakan pilar utama penentu kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Nababan (1984:38) menyatakan ada empat fungsi bahasa, yaitu fungsi  kebudayaan, kemasyarakatan, perorangan, dan pendidikan. Fungsi kebudayaan meliputi tiga hal, pelestarian kebudayaan, pengembangan kebudayaan, dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan. Fungsi kemasyarakatan meliputi ruang lingkup dan bidang pemakaian. Fungsi perorangan meliputi fungsi instrumental, kepribadian, pemecahan masalah, khayalan, dan informatif. Fungsi pendidikan meliputi fungsi integratif, instrumental, kultural, dan penalaran.
Moeliono (1981: 38-39) menyatakan bahasa memiliki lima fungsi pokok, yaitu (1) fungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan atau kedaerahan, (2) fungsi sebagai bahasa perhubungan luas pada taraf subnasional, nasional, atau internasional, (3) fungsi sebagai bahasa untuk tujuan khusus, (4) fungsi sebagai bahasa dalam sistem pendidikan sebagai  pengantar dan objek studi, (5) fungsi sebagai bahasa kebudayaan di bidang seni, ilmu, dan teknologi.
Zaman semakin berkembang, dunia pendidikan pun dituntut untuk  menambah kualitas pembelajaran. Kurikulum yang digunakan berubah-ubah  mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan  pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang  digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Keberhasilan pengajaran bahasa sangat ditentukan oleh perangkat pembelajaran yang digunakan. Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Tujuan adanya perangkat pembelajaran adalah untuk memenuhi keberhasilan seorang guru dalam pembelajaran.
Perangkat pembelajaran adalah sebagai panduan atau pemberi arah bagi seorang guru. Hal tersebut penting karena proses pembelajaran adalah sesuatu yang sistematis dan terpola. Masih banyak guru yang hilang arah atau bingung di tengah-tengah proses pembelajaran hanya karena tidak memiliki perangkat pembelajaran. Oleh karena itu, perangkat pembelajaran memberi panduan tentang hal yang harus dilakukan seorang guru di dalam kelas. Selain itu, perangkat pembelajaran memberi panduan dalam mengembangkan teknik mengajar dan memberi panduan untuk merancang perangkat yang lebih baik.
Seorang guru yang profesional tentu mengevaluasi setiap hasil mengajarnya. Begitu pula dengan perangkat pembelajaran. Guru dapat mengevaluasi dirinya sendiri sejauh mana perangkat pembelajaran yang telah dirancang teraplikasi di dalam kelas. Evaluasi tersebut penting untuk terus meningkatkan profesionalime seorang guru. Kegiatan evaluasi bisa dimulai dengan membandingkan dari berbagai aktivitas di kelas, bahan ajar, strategi, metode, atau bahkan langkah pembelajaran dengan data yang ada di dalam perangkat pembelajaran.
Profesionalisme seorang guru dapat ditingkatkan melalui perangkat pembelajaran. Dengan kata lain, perangkat pembelajaran tidak hanya sebagai kelengkapan administrasi. Tetapi, juga sebagai media peningkatan profesionalisme. Seorang guru harus menggunakan dan mengembangkan perangkat pembelajarannya semaksimal mungkin. Memperbaiki segala yang terkait dengan proses pembelajaran lewat perangkatnya. Jika tidak demikian, maka kemampuan sang guru tidak akan berkembang bahkan mungkin menurun.
Salah satu perangkat pembelajaran yang sangat vital dalam menunjang keberhasilan pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa Indonesia adalah bahan ajar. Dalam proses pembelajaran, bahan ajar berkedudukan sebagai modal awal yang akan digunakan atau diproses untuk mencapai hasil. Hasil tersebut berupa pemahaman dan kemampuan siswa. Pentingnya bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran dapat dianalogikan seperti pentingnya bahan-bahan untuk memasak. Jika tidak ada bahan yang digunakan dalam memasak, maka tidak akan ada masakan yang dihasilkan. Sebaliknya, jika terdapat bahan makanan untuk dimasak maka akan dihasilkan suatu makanan walaupun itu sangat sederhana. Dengan melihat analogi tersebut kita dapat memahami bahwa bahan memiliki kedudukan yang penting terhadap suatu proses. Demikian pula halnya dengan bahan ajar dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan komponen yang harus ada di dalam proses pembelajaran.
Hernawan (2012:4) mengatakan bahwa “bahan pembelajaran merupakan seperangkat materi atau substansi pelajaran yang disusun secara runtut dan sistematis serta menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran”. Bahan pembelajaran inilah yang dibentuk sedemikian rupa menjadi bahan ajar yang akan membantu siswa dalam proses pembelajaran. Jadi bahan ajar merupakan segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, bentuknya bisa tertulis maupun tidak tertulis. 
Seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam rumusan GBHN bahwa “Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia”. Sejalan dengan hal tersebut, manifestasi pendidikan sebagai proses budaya seharusnya tertuang dalam bahan pembelajaran yang dapat mengusung budaya baik lokal maupun nasional secara merata. Artinya, muatan budaya dalam bahan ajar yang digunakan dalam dunia pendidikan baik pada jenjang sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi tidak tersentralisasi pada satu kebudayaan saja melainkan dapat menggali kebudayaan dari setiap daerah penggunanya.
Berhubungan dengan hal tersebut, Sugirin, dkk. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Buku Ajar Bahasa Inggris SMP Berbasis Multikultur sebagai Upaya Pemertahanan Budaya Lokal” menunjukkan bahwa dewasa ini sangat penting pendidikan budaya lokal digalakkan secara intensif. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemertahanan budaya terhadap generasi muda serta menjadi benteng dari kebudayaan global yang terus menggerus. Para partisipan (guru dan pelaku pendidikan) harus memahami perlunya insersi budaya  dalam buku ajar serta melakukan upaya insersi budaya lokal/Indonesia dalam pembelajaran Bahasa, walaupun belum mencakup semua komponen budaya. Aspek budaya (culture) menjadi aspek dominan yang diinsersikan. Ada dua pola insersi yang ditemukan, yaitu eksplisit (melalui sub unit tertentu yang khusus membahas tentang budaya) dan implisit (diintegrasikan kedalam teks/task). Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa pola insersi budaya yang dominan adalah pola implisit. Sedangkan aspek/komponen budaya yang diinsersikan ada tiga yaitu cultural knowledge, cultural behavior, dan cultulral representation.
Kurniawati, S. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Pendekatan Tematis” juga membuktikan bahwa keberhasilan proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh bahan ajar yang digunakan. Hasil uji keefektifan dengan menggunakan uji t non-independen membuktikan bahwa bahan ajar tematis tersebut efektif diterapkan. Selain itu, hasil uji kelayakan bahan ajar dinyatakan baik dengan komponen penilaian kelayakan isi/materi 77,92%, kebahasaan 73,40%, penyajian materi 77,92%, dan grafika 70.
Kontras dengan beberapa sekolah dasar yang ada di Kabupaten Luwu Utara, bahan ajar yang digunakan dicetak beberapa percetakan berskala Nasional, dan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, ada pula bahan ajar berbasis buku sekolah elektronik  ‘BSE” yang dicetak dan dikemas dalam bentuk buku paket. Hasil analisis ditemukan bahwa tidak terdapat muatan lokal atau daerah yang ada di Sulawesi Selatan khususnya kebudayaan masyarakat etnis Bugis di Kabupaten Luwu Utara yang terdapat dalam bahan ajar tersebut. Hal ini disebabkan karena bahan ajar tersebut masih didominasi oleh kebudayaan masyarakat Jawa, Denpasar, atau Sumatera. Sebagai contoh, gambar-gambar yang ditampilkan serta cerita anak atau cerita rakyat yang ada di dalamnya adalah berasal dari luar Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Luwu Utara. Kondisi ini tentunya tidak lagi sejalan dengan tujuan pendidikan yang berkarakter luhung dengan mengedepankan karakter lokal. Dampak buruk yang mungkin saja terjadi adalah hilangnya pemahaman, pengetahuan, dan kecintaan peserta didik terhadap budaya mereka sendiri.
Minimnya sumber belajar yang mengedepankan aspek kebudayaan lokal secara proporsional dengan kebudayaan nasional memerlukan perhatian yang serius. Harus ada upaya membelajarkan kultur seni, budaya, nilai, dan karakter lokal sebagai salah satu  sumber yang potensial untuk meramu bahan ajar. Salah satunya dengan mengembangkan bahan ajar yang berbasis cerita rakyat seperti yang dikembangkan dalam penelitian ini.

LANDASAN TEORI

1.   Teori Belajar
Snelbecker (1974:219) berpendapat bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan juga vital bagi psikologi dan pendidikan agar dapat maju dan berkembang, serta memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang ilmu. Dalam penggunaan secara umum, teori-teori berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, serta digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati. Menurut Gagne (1984:127) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.Belajar dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan antara stimulus dan respons.
2.   Teori Belajar Bahasa
Teori belajar telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, pada penelitian ini juga dibahas mengenai teori belajar bahasa. Dahar (2011:70-71) menguraikan beberapa teori belajar bahasa, diantaranya adalah:
a.   Teori Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B. Watson (1878-1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus-respons.
b.   Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) (dalam Dahar, 2011:72) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993:48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (Language Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
c.    Teori Kognitivisme
Pada tahun 60-an golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu, perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
d.   Teori Fungsional
Dengan munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia. Lebih lagi kaidah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
e.    Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, dengan cara menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman peserta didik  harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong peserta didik untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Peserta didik dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya. Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman peserta didik  mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika peserta didik telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata saja, namun berupa konsep.
f.     Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) (dalam Dahar, 2011:75) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh peserta didik.
Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku peserta didik dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup peserta didik. Teori ini menganggap bahwa setiap peserta didik  sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan peserta didik  agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society (McNeil,1977).
g.   Teori Sibernetik
Istilah sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali digunakan tahun 1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai "The study of control and communication in the animal and the machine." Istilah sibernetika digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002:178) dalam bukunya 'A Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' Bahwa "Study of systems which can be mapped using loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi minimal akan menghasilkan feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based on communication (transfer of information) between systems and environment and within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to environment. Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback) dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
3.   Hakikat Pembelajaran Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Dengan kesimpulan tersebut, maka standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan penugasan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena, diharapkan mampu menjadikan: (1) siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP:2006:43).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah dasar. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dihasilkan dari alat ucap (artikulasi) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional (melalui kesepakatan) yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Selain itu, bahasa juga merupakan percakapan atau alat komunikasi dengan sesama manusia. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia dan digunakan sebagai bahasa nasional.
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk kebiasaan, sikap, serta kemampuan peserta didik  untuk tahap perkembangan selanjutnya. Selain itu, pembelajaran harus dapat membantu peserta didik dalam pengembangan kemampuan berbahasa di lingkungannya, bukan hanya untuk berkomunikasi, namun juga untuk menyerap berbagai nilai serta pengetahuan yang dipelajarinya.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan KTSP 2006 bertolak dari standar kompetensi. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena diharapkan mampu menjadikan: (1) peserta didik  dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya, (4) orangtua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengankeadaan peserta didik dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP: 2006:46).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi penting yang diajarkan di SD, karena bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai-mana dinyatakan oleh Akhadiah, dkk. (1991:1) adalah agar siswa ”memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar”. Dari penjelasan Akhadiah tersebut maka tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dapat dirumuskan menjadi empat bagian. (1) Lulusan SD diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. (2) Lulusan SD diharapkan dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia. (3) Penggunaan bahasa harus sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa. (4) Pengajaran disesuaikan dengan tingkat pengalaman siswa SD.
Butir (1) dan (2) menunjukkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia SD yang mencakup tujuan pada ranah kognitif dan afektif. Butir (3) menyiratkan pendekatan komunikatif yang digunakan. Sedangkan butir (4) menyiratkan sampai di mana tingkat kesulitan materi pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan.
Dari tujuan tersebut jelas tergambar bahwa fungsi pengajaran bahasa Indonesia di SD adalah sebagai wadah untuk mengembangakan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu, terutama sebagai alat ko-munikasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di SD dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa yag diperlukan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah maupun untuk menyerap ilmu yang dipelajari lewat bahasa itu. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia juga dapat membentuk sikap berbahasa yang positif serta memberikan dasar untuk menikmati dan menghargai sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu diperhatikan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur bangsa, serta pembinaan rasa persatuan nasional.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dalam BSNP (2006:48) dijabarkan menjadi beberapa tujuan. Tujuan bagi siswa adalah untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Adapun tujuan bagi guru adalah untuk mengembangkan potensi bahasa siswa, serta lebih mandiri dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya. Tujuan bagi orang tua siswa adalah agar mereka dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program pembelajaran. Tujuan bagi sekolah adalah agar sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber belajar yang tersedia. Sedangkan tujuan bagi daerah adalah agar daerah dapat menentukan sendiri bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial.
4.   Pengertian Bahan Ajar
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/ instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (National Center for Vocational Education Research Ltd/ National Center for Competency Based Training) (dalam Majid, 2007:174).
Bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran”. Hal senada dikemukakan Salam (2007: 2-3) Bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik  untuk belajar. Kemudian, Wright (1987:169) menambahkan bahwa bahan ajar dapat membantu ketercapaian tujuan silabus, dan membantu peran guru dan peserta didik dalam proses belajar-mengajar (dalam Trianto, 2005:9). Tomlinson (1998:2) mengatakan, bahan ajar adalah sesuatu yang digunakan guru atau peserta didik untuk memudahkan belajar bahasa, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman berbahasa. bahan ajar menampilkan sosok utuh dari kompetensi yangakan dikuasai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, bahan ajar merupakan unsur penting dari kurikulum. Jika silabus ditentukan arah dan tujuan suatu isi dan pengalaman belajar bahasa sebagai kerangka, maka bahan ajar merupakan daging yang mengisi kerangka tersebut (Trianto, 2005:8). Peran bahan ajar dalam pembelajar menurut Cunningsworth adalah penyajian bahan belajar, sumber kegiatan bagi peserta didik  untuk berlatih berkomunikasi secara interaktif, rujukan informasi kebahasaan, sumber stimulant, gagasan suatu kegiatan kelas, silabus, dan bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman untuk menumbuhkan keparcayaan diri (Cunningsworth, 1995:7).
Kemendiknas (2008:21) memberikan pengertian beberapa definisi bahan ajar sebagai berikut:
1)   Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/ instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.
2)   Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
3)   Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training).
4)   Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/ suasana yang memungkinkan peserta didik  untuk belajar.
5.   Tujuan dan Manfaat Bahan Ajar
Menurut Depdiknas (2008:10), tujuan penyusunan bahan ajar, yakni: (1) menyediakan bahan ajar yang seseuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, sekolah, dan daerah; (2) membantu peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar; dan (3) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Penulisan bahan ajar bermanfaat untuk: (1) membantu guru dalam proses pembelajaran; (2) memudahkan penyajian materi di kelas; (3) membimbing peserta didik belajar dalam waktu yang lebih banyak; (4) peserta didik tidak tergantung kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi; dan (5) dapat menumbuhkan motivasi peserta didik untuk mengembangkan diri dalam mencerna dan memahami pelajaran.
Selanjutnya apabila guru mengembangkan bahan ajar sendiri, manfaat yang dapat diperoleh: (1) diperoleh bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik, sekolah dan daerah; (2) tidak perlu tergantung pada buku teks; (3) bahan ajar menjadi lebih kaya karena dikembangkan dengan berbagai referensi; (4) menambah khasanah guru dalam menulis; (5) membangun komunikasi pembelajaran efektif antara guru dan peserta didik; dan (6) peserta didik  lebih percaya pada gurunya serta kegiatan belajar mengajar akan lebih menarik.
Perlunya pengembangan bahan ajar, agar ketersediaan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar. Pengembangan bahan ajar harus sesuai dengan tuntutan kurikulum, artinya bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan KTSP yang mengacu pada standar isi dan standar kompentensi lulusan. Kemudian karakteristik sasaran disesuaikan dengan lingkungan, kemampuan, minat, dan latar belakang peserta didik.
6.   Pengembangan Bahan Ajar
Penyiapan bahan ajar merupakan hal pokok yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses belajar-mengajar. Tindakan utama pembelajaran dapat diaplikasikan dalam proses pengembangan bahan ajar (Shulman, dalam Trianto, 2005:10). Selanjutnya Jolly dan Bolitho (dalam Tomlinson, 1998:98) memaparkan tahap-tahap pengembangan bahan ajar, yakni: (1) identifikasi kebutuhan guru dan peserta didik; (2) penentuan kegiatan eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontektual dengan mengajukan gagasan yang sesuai dengan pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi pedagogis melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan bahan ajar oleh peserta didik; dan (7) evaluasi bahan ajar.
Kemudian, Richards (2002:262) mengajukan rancangan pengembangan bahan ajar, meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2) pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit (dalam Trianto, 2005:10).
Menurut Tomlinson (1998:2) pemgembangan bahan ajar adalah apa yang dilakukan penulis, guru, peserta didik untuk memberikan sumber masukan berbagai pengalaman yang dirancang untuk meningkatkan belajar bahasa. Pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasardengan memperhatikan potensi peserta didik, bermanfaat bagi peserta didik aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pelajaran, relevansi kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan alokasi waktu yang tersedia (Depdiknas, 2007a:7).
Pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia adalah kegiatan yang diawali dari penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang identifikasi kebutuhan dokumen bahan ajar bahasa dan pembelajarannya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sekolah dan daerah. Kemudian dilanjutkan kegiatan pengembangan bahan ajar melalui beberapa kali uji coba sehingga berterima dan objektif sesuai dengan keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Pengembangan bahan ajar dalam penelitian ini, menggabungkan rancangan tahap-tahap yang telah dipaparkan oleh Jolly & Bolitho, Richards serta Depdiknas, yakni: (1) identifikasi kebutuhan, (2) pengembangan silabus, (3) penyusunan bahan ajar, dan (evaluasi bahan ajar).
  
7.      Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, danemosional peserta didik. Bahasa juga merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik  mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik  dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan kemampuan mengapresiasi terhadap hasil karya sastra Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar tidak luput dari kajian pembelajaran sastra. Sejalan dengan Kurikulum 2013, bahwa pembelajaran tidak difokuskan hanya pada aspek kognitif saja tetapi juga pada jangkauan afektif dan psikomotorik. Sehingga, dalam pembelajaran bahasa Indonesia seorang guru perlu kembali menghayati pembelajaran sastra untuk penanaman nilai-nilai melalui cerita rakyat.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.      Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baiksecara lisan maupun tulis;
2.      Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuandan bahasa negara;
3.      Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
4.      Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, sertakematangan emosional dan sosial;
5.      Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
6.      Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Menurut Lukens (2003:9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama memberikan hiburan dan menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita, dan kesemuanya itu dikemas dalam bahasa yang juga tidak kalah menarik. Sastra selalu berbicara tentang kehidupan, sehingga sastra sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu.
Stewig (1980:18-20) juga menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan. Saxby (1991:4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Dalam sastra tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh dalam menjalani kehidupan yang dikisahkan dalam alur cerita. Hunt (1995:61) mendefinisikan sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak.
Dunia sastra mengenal adanya sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun menurun secara lisan. Sastra jenis ini, kemudian dikenal sebagai folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya.
Menurut Widia dalam Yulianeta (2009: 111), karya sastra dapat memenuhi kebutuhan rohani dan juga dapat menanamkan berbagai nilai yang tidak dapat terlihat secara langsung. Dari pernyataan tersebut sastra sangatlah penting bagi perkembangan mental dan imajinasi anak-anak. Dengan seringnya anak-anak diberikan pembelajaran sastra apalagi sastra yang mereka gemari seperti dongeng, fabel dan cerita rakyat secara langsung akan menumbuhkan nilai-nilai positif. Sesuai dengan pendapat Widijanto (2007: 17) nilai-nilai positif pada anak dapat dilihat dari kesenangan, simpatik, keyakinan, keseriusan, dan kesediaan merespon karya sastra. Dalam kaitanya dengan bahan ajar ini, anak-anak akan tertanam nilai-nilai positif melalui cerita rakyat .
Cerita rakyat adalah prosa kisahan yang aslinya beredar secara lisan dan kepercayaan masyarakat setempat (Rozak, 2007: 51), hidup dan berkembang secara turun-temurun, dari generasi kepada generasi berikutya dan berkembang di kalangan masyarakat, berarti cerita ini milik masyarakat bukan milik seseorang (Djamaris, 1990: 15).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah prosa atau kisah yang ada di suatu daerah tertentu baik itu secara lisan atau tulisan di mana dalam cerita tersebut mengandung unsur moral, estetika, dan edukatif. Dalam cerita rakyat juga terdapat alur, tokoh, tempat dan amanat akan tetapi cerita rakyat belum dapat dibuktikan kebenaranya secara fakta walaupun ada beberapa peningalan yang ada pada suatu daerah tersebut, karena hanya berupa cerita turunan atau cerita turun-temurun yang selalu berubah-ubah persinya sesuai dengan orang yang menyampaikanya.
Dari penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa hakikat cerita rakyat di Kabupaten Luwu Utara adalah kisahan atau cerita baik itu lisan atau tulisan yang ada di daerah Kabupaten Luwu Utara oleh etnis Bugis, bersifat fiksi belum dapat dibuktikan kebenaranya dan berkembang di daerah Kabupaten Luwu Utara di mana dalam cerita tersebut mengandung unsur moral, estetika, sikap positif dan edukatif. Di daerah Kabupaten Luwu utara terdapat beberapa cerita rakyat yang berkembang,  di antara cerita rakyat tersebut adalah Kucing dan Tikus, Sang Kera, Sang Ayam Hutan, dan Raja Kepiting, Si Manusia Udang, Anak yang Giat Mencari Nafkah, dan Pohon Taeng. Cerita rakyat di atas berkembang dan sudah ada yang telah dibukukan di perpustakaan daerah sehingga tetap terjaga kelestarian alur ceritanya.
8.      Sastra Anak
Piaget (Brady, 1991: 28-30) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan, dan tiap tahapan mempunyai karakteristik berbeda yang mempunyai konsekuensi pada respons anak terhadap bacaan. Keempat perkembangan intelektual itu adalah: (1) tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun), (3) tahap operasional konkret (the concrete operational, 7-11 tahun), dan (4) tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Dengan demikian, orang yang dapat dikategorikan sebagai anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai dengan sekitar 12 tahun. Jadi, anak yang dimaksudkan dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal.
Mitchell (2003:5-6) mengemukakan bahwa genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas stile, bentuk atau isi. Lukens (2003:14-34) mengelompokkan genre sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional, puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing genre lagi.
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas. Kepribadian dan atau jati diri seorang anak dibentuk dan terbentuk lewat lingkungan baik diupayakan secara sadar maupun tidak sadar. Lingkungan yang dimaksud amat luas wilayahnya. Ia mulai dari kebiasaan, tingkah laku, contoh dan lain-lain yang diberikan oleh orang tua, pendidikan yang secara sadar di lakukan di lembaga sekolah, sampai adat-istiadat, konvensi, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Saxby (1991:5-10) mengemukakan bahwa kontribusi sastra anak membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spiritual), eksplorasi dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan. Sementara itu, Huck (1987:6-14) mengemukakan bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal values) dan nilai pendidikan (educational values). Nurgiyantoro (2005:36) mengemukakan bahwa sejumlah kontribusi sastra anak bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam nilai personal dan nilai pendidikan. Nilai personal itu melalui perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, rasa etis dan religius sedangkan nilai pendidikan meliputi eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan, penanaman wawasan multikultural, dan kebiasaan membaca.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang dilaksanakan untuk menghasilkan bahan ajar bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar berbasis cerita rakyat Makassar. Research and Development (R&D) digunakan dengan alasan: (1) bahan ajar yang selama ini digunakan di Sekolah Dasar belum memanfaatkan kekayaan budaya lokal khususnya cerita rakyat Makassar yang ada di Kabupaten Gowa, (2) Produk yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 
Fokus dalam penelitian pengembangan ini adalah bahan ajar bahasa Indonesia di kelas III Sekolah Dasar berbasis kearifan lokal cerita rakyat di Kabupaten Luwu Utara yang telah divalidasi oleh Tim Ahli, Praktisi, Teman Sejawat, dan Observer. Bahan ajar yang telah dinyatakan layak kemudian diujicobakan pada satu sekolah uji terbatas dan 2 sekolah uji lapangan pada dua kecamatan yang berbeda. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan tes. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif.

PEMBAHASAN

1. Validitas Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat di Kabupaten Luwu Utara
Berangkat dari harapan dan permasalahan yang dijumpai di lapangan, peneliti mengembangkan sebuah bahan ajar bahasa Indonesia berbasis kearifan lokal cerita rakyat untuk peserta didik kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara. Bahan ajar ini dikembangkan dengan empat tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan diseminasi (dissemination). Keempat tahap tersebut diadaptasi dari prinsip pengembangan bahan pengajaran oleh Thiagarajan (1974: 5) yang selanjutnya dikenal dengan Four-D Model.
a.      Kevalidan bahan ajar
Langkah awal pengembangan bahan ajar ini adalah melakukan pendefinisian. Tahap pendefinisian meliputi kegiatan analisis kurikulum, observasi, analisis peserta didik, analisis materi, penentuan tugas, dan tujuan pembelajaran. Setelah melalui tahap tersebut, peneliti merakukan perancangan Silabus, RPP, LK, dan bahan ajar. Hasil dari rancangan tersebut kemudian divalidasi oleh tim ahli, teman sejawat, dan praktisi (guru). Bahan ajar dikatakan valid jika komponen evaluasi bahan ajar mencakup: (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan (4) grafika telah layak menurut validator. Hasil validasi membuktikan bahwa hasil rancangan berupa RPP, Silabus, dan LK dinyatakan valid hanya dengan satu kali penilaian. Lain halnya dengan materi ajar (buku), rancangan awalnya memiliki berbagai kekurangann baik dalam hal (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan (4) grafika, maupun unsur kesastraan di dalamnya. Oleh karena itu, rancangan awal bahan ajar kembali direvisi berdasarkan permintaan validator ahli media, ahli materi, dan ahli sastra. Berdasarkan kelemahan atau kesalahan yang ada di dalam rancangan awal bahan ajar, peneliti melakukan revisi atau perbaikan. Hasil revisi kembali divalidasi oleh validatoor dengan hasil bahwa rancangan kedua bahan ajar dinyatakan valid. Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pengembangan Bahan Ajar (Depdiknas, 2008:8) yang menyatakan bahwa sebuah bahan ajar dikatakan layak pakai jika komponen-komponennya telah dinyatakan layak atau valid oleh para ahli yang menilai bahan ajar tersebut. Adapun komponen tersebut yaitu (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan (4) grafika. Keempat komponen tersebut secara proporsional menyusun bahan ajar berbasis cerita rakyat Makassar di Kabupaten Luwu Utara.
Pertama. komponen kelayakan isi (materi) mencakup: (a) kesesuaian dengan kurikulum, SK, dan KD; (b) kesesuaian dengan kondisi peserta didik, sekolah, dan daerah; (c) materi harus spesifik, jelas, akurat dan sesuai dengan kebutuhan bahan ajar; (d) kesesuaian dengan nilai moral dan nilai sosial; (e) bermanfaat untuk menambah wawasan peserta didik; dan (f) keseimbangan dalam penjabaran materi (pengembangan makna dan pemahaman, pemecahan masalah, pengembangan proses, latihan dan praktik, tes keterampilan maupun pemahaman). Untuk komponen kelayakan sastra, meliputi, jenis karya sastra yang digunakan, dalam hal ini adalah cerita rakyat yang telah direduksi berdasarkan kebutuhan. Karya sastra tersebut merupakan karya sastra lokal. Disamping itu, karya sastra tidak memiliki unsur sara atau pornotulis di dalamnya. Karya sastra disajikan berdasarkan muatan nilai-nilai yang akan dipelajari atau diajarkan kepada peserta didik.
Kedua, komponen kebahasaan merupakan sarana penyampaian dan penyajian bahan, seperti kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana. Sedangkan aspek terbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa sesuai dengan tingkatan peserta didik .Komponen ini, mencakup: 1) Keterbacaan, meliputi: (a) kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk tulisan atau tifografi, ukuran huruf, dan lebar spasi), (b) kemenarikan (berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan), dan (c) kesesuaian (berhubungan dengan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf); 2) kejelasan informasi, yakni informasi yang disajikan tidak mengandung makna bias dan mencantumkan sumber rujukan yang digunakan; 3) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan bemar; dan 4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efesien (jelas dan singkat).
Ketiga, komponen penyajian, mencakup: (a) kejelasan tujuan pembelajaran (indikator yang dicapai); (b) urutan sajian (keteraturan urutan dalam penguraian sajian); (c) memotivasi dan menarik perhatian peserta didik; (d) interaksi (pemberian stimulus dan respon) untuk mengaktifkan peserta didik; dan (e) kelengkapan informasi (bahan, latihan, dan soal).
Keempat, komponen grafika, meliputi: (a) menggunaan font: bentuk tulisan, ukuran huruf, dan jarak spasi; (b) tata letak (lay out); (c) ilustrasi, gambar, dan foto; dan (d) desain tampilan.
b.      Hasil uji coba kelompok kecil
Setelah bahan ajar dinyatakan valid, langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba pada kelompok kecil atau uji coba model. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi pada uji coba kelompok kecil ini untuk dapat dilanjutkan pada uji coba kelompok besar yaitu (1) nilai kepraktisan bahan ajar, dan (2) nilai keefektifan bahan ajar. Kepraktisan bahan ajar diukur melalui dua aspek yaitu aspek pengelolaan pembelajaran dan keterlaksanaan pembelajaran. Sedangkan nilai keefektifan bahan ajar diukur melalui tiga aspek yaitu hasil belajar peserta didik , aktivitas peserta didik, dan respon peserta didik. Sekolah yang dipilih sebagai subjek uji coba kelompok kecil adalah SDN 193 Tamuku. Jumlah peserta didik yang diberi perlakuan adalah 24 orang. Untuk mengukur pengelolaan pembelajaran, dilakukan observasi oleh dua orang observer yang dipilih selama dua kali pertemuan.
1)   Kepraktisan bahan ajar
a)   Syarat pengelolaan pembelajaran
Aspek pengelolaan pembelajaran membuktikan bahwa hasil rerata kedua pertemuan yang meliputi aspek penyampaian tujuan telah terlaksana dengan sangat baik dengan rerata aspek 4,75 (pelaksanaannya sangat baik), aspek memotivasi peserta didik  telah terlaksana baik dengan rerata 3,50 (pelaksanaannya baik). Aspek penyajian materi terlaksana dengan cukup baik dengan rerata aspek 3,00 (pelaksanaannya cukup baik). Aspek pemanfaatan bahan ajar terlaksana dengan baik dengan rerata aspek 4,50 (pelaksanaanya sangat baik). Aspek pemerian tugas atau latihan terlaksana sangat baik dengan rerata aspek 5,00 (pelaksanaannya sangat baik). Terakhir, aspek pengelolaan kelas terlaksana cukup baik dengan rerata aspek 3,00 (pelaksanaannya cukup baik).
Rerata keseluruhan aspek pengelolaan pembelajaran pada kelompok kecil (uji coba model) adalah 3,96 dengan kategori pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan pembelajaran pada uji coba kelompok kecil telah terlaksana dengan baik. Dengan demikian, bahan ajar berbasis cerita rakyat ini memenuhi syarat pengelolaan pembelajaran untuk diujicobakan di lapangan atau kelompok besar.
b)   Syarat keterlaksanaan pembelajaran
Rerata setiap aspek keterlaksanaan bahan ajar dari dua pertemuan menunjukkan hasil yang cukup baik. Setiap aspek sudah memenuhi syarat keterlaksanaan. Tambahan lagi, rerata keseluruhan aspek (4,25) juga menunjukkan indikator baik. Artinya, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Makassar untuk peserta didik kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara layak untuk diujicobakan pada uji coba kelompok besar atau uji coba lapangan.
2)   Keefektifan bahan ajar
a)   Syarat hasil belajar
Seperti yang telah ditetapkan bahwa bahan ajar layak digunakan jika ketuntasan klasikal adalah 85 % dari keseluruhan peserta didik  yang diujicoba. Hasilnya, dari 24 peserta didik, tiga orang diantaranya dinyatakan tidak tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 21 orang peserta didik  atau 87,5% peserta didik  dinyatakan tuntas secara klasikal. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia uji coba kelompok kecil di kelas III SDN 193 Tamuku dinyatakan tuntas. Sebagai kesimpulan, ditinjau dari hasil belajar peserta didik, bahan ajar berbasis cerita rakyat efektif digunakan dalam pembelajaran.
b)   Syarat aktivitas peserta didik
Syarat penilaian aktivitas belajar peserta didik ketika rerata kesuluruhan aspek berada pada penilaian kategori baik. Hasil observasi dari dua pertemuan menunjukkan bahwa rerata keseluruhan aspek ( aktivitas belajar peserta didik pada uji coba kelompok kecil di SDN 193 Tamuku yaitu 4,06 dengan kategori “baik”. Artinya, aktivitas peserta didik  selama mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Gowa sudah berjalan dengan baik. Dengan demikian, jika ditinjau dari syarat aktivitas belajar peserta didik, maka bahan ajar berbasis cerita rakyat tersebut telah memenuhi standar kelayakan untuk diujicobakan pada kelompok besar.
c)   Syarat respon peserta didik
Syarat respon peserta didik terhadap bahan ajar adalah ketika rerata keseluruhan aspek berada pada indikator baik. Hasil observasi menunjukkan bahwa keseluruhan aspek yang meliputi (1) bahasa; (2) penampilan; (3) sistematika; (4) manfaat; (5) kesesuaian terhadap peserta didik; dan (6) kesesuaian materi yang terdapat di dalam bahan ajar direspon dengan baik oleh peserta didik. Tanggapan guru berdasarkan pertimbangan pengamatan selama dua kali pertemuan. Setiap pernyataan di dalam angket diisi dengan jawaban setuju dan sangat setuju.  Rerata keseluruhan aspek ( adalah 4,76 dengan kategori sangat baik. Artinya peserta didik  memberikan respon dengan sangat baik terhadap bahan ajar yang digunakan selama pembelajaran (2 kali pertemuan).
Jika ditinjau dari syarat respon peserta didik, maka bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara ini telah memenuhi persyaratan untuk diujicobakan pada kelompok besar.
Sebagai kesimpulan, hasil uji coba bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara telah memenuhi syarat kepraktisan dan keefektifan bahan ajar. Kepraktisan bahan ajar yang diukur melalui dua aspek yaitu pengelolaan pembelajaran dan keterlaksanaan bahan ajar telah memenuhi kedua syarat tersebut. begitu pula dengan hasil belajar, aktivitas, dan respon peserta didik  yang memenuhi syarat sehingga bahan ajar ini siap untuk diujicobakan pada kelompok besar.
c.       Hasil uji coba lapangan (kelompok besar)
Pelaksanaan uji coba kelompok besar dilaksanakan di SDN 092 Lindu dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Bone-Bone. Jumlah kelas uji coba di masing-masing lokasi ini adalah satu kelas. Di SDN 092 Lindu,  jumlah peserta didik 26 orang yaitu 14 orang perempuan dan 12 laki-laki. Sedangkan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Bone-Bone, jumlah peserta didik  sama dengan di SDN 193 Tamuku yaitu 24 dengan jumlah peserta didik  laki-laki 10 dan peserta didik  perempuan 14.
1)      Hasil kepraktisan bahan ajar
a)   Syarat pengelolaan pembelajaran
Setelah dilakukan dua kali pertemuan, hasil observasi membuktikan bahwa rerata keseluruhan aspek pengelolaan pembelajaran pada SDN 092 Lindu adalah 3,79 dengan kategori pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan pembelajaran pada uji coba kelompok besar telah terlaksana dengan baik. Sedangkan, rerata keseluruhan aspek pengelolaan pembelajaran pada MI Al-Falah  adalah 4,08 dengan kategori pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan pembelajaran pada uji coba kelompok besar telah terlaksana dengan baik.
Dengan demikian, bahan ajar berbasis cerita rakyat ini memenuhi syarat pengelolaan pembelajaran untuk dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD khususnya pada kelas III.
b)   Syarat keterlaksanaan pembelajaran
Setelah dilakukan dua kali pertemuan, observator menilai bahwa semua aspek hampir dilaksanakan secara maksimal. Artinya, proses pembelajaran dijalankan dengan sangat baik. Di SDN 092 Lindu dan MI Al-Falah, bahan ajar sudah diterapkan sangat sesuai dengan proses belajar mengajar. Tujuan yang akan dicapai juga sangat sesuai dengan materi bahan ajar yang digunakan. Bahan ajar juga sangat mudah diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan gaya belajar mandiri peserta didik  dalam memahami isi atau materi pelajaran. Seperti pada tujuan awal bahan ajar yaitu sebagai media internalisasi nilai karakter, proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sangat baik oleh guru, pada setiap bagian pembelajaran (awal, inti, dan akhir), guru menanamkan hal-hal positif yang berkaitan dengan pembentukan nilai karakter yang dikaitkan dengan cerita rakyat yang ada dalam bahan ajar.
Rerata setiap aspek dari dua pertemuan masing-masing sekolah menunjukkan hasil yang sangat baik. Setiap aspek sudah memenuhi syarat keterlaksanaan. Tambahan lagi, rerata keseluruhan aspek kedua sekolah juga menunjukkan indikator baik yaitu SDN 092 Lindu 4,05 dengan indicator baik, dan MI Al-Falah 4,25 dengan kategori baik. Artinya, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Gowa layak dari segi kepraktisannya untuk dijadikan sebagai bahan ajar.
2)      Hasil kefektifan bahan ajar
a)      Syarat hasil belajar peserta didik
Hasil belajar SDN 092 Lindu telah memenuhi syarat. Diketahui bahwa dari 26 peserta didik, 2 orang  (7,69 %) diantaranya dinyatakan tidak tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 24 orang peserta didik  atau 92,31 % peserta didik  dinyatakan tuntas secara klasikal. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia uji coba kelompok besar di kelas III SDN 092 Lindu dinyatakan tuntas.
Lain halnya dengan MI Al-Falah, diketahui bahwa dari 24 peserta didik, 4 orang (16,67%) diantaranya dinyatakan tidak tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 20 orang peserta didik  atau 83,33 % peserta didik  dinyatakan tuntas secara klasikal. Berdasarkan hasil tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara di MI Al-Falah belum dinyatakan tuntas.
Sebagai kesimpulan, berdasarkan hasil belajar uji coba kelompok kecil (satu sekolah) dan uji coba lapangan (dua sekolah), dua sekolah di antaranya dinyatakan tuntas yaitu SDN 193 Tamuku dan SDN 092 Lindu. Sedangkan MI Al-Falah dinyatakan belum tuntas. Tetapi, hasil ketuntasan klasikalnya sudah sangat memadai (83,33) sehingga rerata keseluruhan ketuntasan hasil belajar dapat  mewakili keefektifan bahan ajar.
b)      Syarat aktivitas belajar
Pada pertemuan pertama, aktivitas belajar peserta didik  belum cukup baik. Kelemahan proses pembelajaran hasil observasi dikonsultasikan dan dievaluasi oleh guru dan peneliti. Setelah melalui tahap konsultasi dan evaluasi pembelajaran pada pertemuan pertama, proses pembelajaran kedua sekolah pada pertemuan kedua menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dengan aktivitas peserta didik  yang semakin baik. Peserta didik mematuhi semua tata tertib pembelajaran, menyimak penjelasan guru dengan baik serta berani dalam memberikan jawaban, komentar, atau pertanyaan. Nilai-nilai kerjasama antara kelompok dan teman sebangku juga sangat baik. Peserta didik  saling bertukar pendapat untuk memecahkan masalah atau tugas yang diberikan. Apresiasi terhadap bahan ajar pun menjadi semakin maksimal.
Rerata keseluruhan aspek ( aktivitas belajar peserta didik pada uji coba kelompok besar di SDN 092 Lindu yaitu 3,98 dengan kategori “baik” dan telah memenuhi syarat. Sedangkan rerata aktivitas belajar peserta didik di MI Al-Falah adalah 3,67 dengan kategori “baik” dan memenuhi persyaratan. Artinya, aktivitas peserta didik selama mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di kedua sekolah dengan menggunakan bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara sudah berjalan dengan baik. Dengan demikian, jika ditinjau dari syarat aktivitas belajar peserta didik, maka bahan ajar berbasis cerita rakyat tersebut telah memenuhi standar kelayakan.
c)      Syarat respon peserta didik
Respon peserta didik terhadap uji coba bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat masyarakat Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa keseluruhan aspek yang meliputi (1) bahasa; (2) penampilan; (3) sistematika; (4) manfaat; (5) kesesuaian terhadap peserta didik; dan (6) kesesuaian materi yang terdapat di dalam bahan ajar direspon dengan baik oleh peserta didik. Tanggapan guru bedasarkan pertimbangan pengamatan selama dua kali pertemuan. Setiap pernyataan di dalam angket diisi dengan jawaban setuju dan sangat setuju.  Rerata keseluruhan aspek ( di SDN 092 Lindu adalah 4,86 dengan kategori sangat baik, begitu pula dengan MI Al-Falah dengan rerata keseluruhan aspek 4,86 dengan kategori sangat baik. Artinya peserta didik  memberikan respon dengan sangat baik terhadap bahan ajar yang digunakan selama pembelajaran (2 kali pertemuan). Jika ditinjau dari syarat respon peserta didik, maka bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara ini telah memenuhi persyaratan uji kelayakan.
Berdasarkan hasil temuan di atas, kelima syarat telah terpenuhi. Jadi bahan ajar berbasis cerita rakyat masyarakat Kabupaten Luwu Utara dinyatakan layak untuk dijadikan sebagai bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar. Kesimpulan ini berdasarkan kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan bahwa bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara layak untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar (SD) yaitu  minimal 3 dari 5 standar keefektifan bahan ajar tercapai, yakni: (1) standar hasil belajar, (2) standar aktivitas peserta didik, (3) standar respon peserta didik, (4) standar pengelolaan pembelajaran dan (5) standar keterlaksanaan bahan ajar. Dengan catatan syarat standar bersifat mutlak. Artinya standar tersebut harus tercapai.
2.      Luaran (output) Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Cerita Rakyat untuk Peserta Didik Kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara
Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran. Tanpa bahan ajar, proses untuk pencapaian tujuan pembelajaran adalah sia-sia belaka. Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar adalah sebuah langkah produktif-kreatif untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang ideal.
Mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang  diamanahkan sebagai wadah pendidikan karakter, maka bahan ajar yang digunakan pun harus memiliki muatan dan dimensi nilai karakter di dalamnya. Berbicara tentang nilai karakter, setiap daerah yang ada di Bumi Persada Indonesia memiliki kearifan dan nilai karakter masing-masing sebagai modal kemajemukan karakter bangsa. Namun, saat ini pendidikan di Indonesia mengalami sentralisasi budaya dan karakter yang tertuang di dalam bahan ajar yang digunakan di setiap instansi pendidikan formal dan swasta. Sebagai contoh, ditemukan bahan ajar pada jenjang Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Luwu Utara yang muatan budaya dan karakter di dalamnya berkiblat dari luar kebudayaan lokal. Hal tersebut tidaklah mengherankan, karena sumber produksi bahan ajar yang digunakan di Indonesia khususnya di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan adalah berasal dari luar Sulawesi Selatan. Lalu, perlahan namun pasti, degredasi terhadap kecintaan dan pengetahuan akan budaya dan karakter lokal akan terjadi. Peserta didik tidak lagi mencintai atau bahkan mengenal budaya dan kearifan karakter lokal mereka sendiri. Oleh karena itu, penelitian pengembangan bahan ajar berbasis cerita rakyat masyarakat Kabupaten Gowa ini adalah salah satu upaya membelajarkan budaya dan menanamkan nilai nilai karakter lokal kepada peserta didik agar menumbuhkan sikap cinta dan berperilaku sesuai dengan karakter-karakter baik dalam budaya lokal kedaerahannya namun tidak melupakan karakter berbangsa.
Dewasa ini, generasi muda Indonesia mengalami ronrongan kebudayaan asing. Masuknya pengaruh asing tersebut menjadikan keaslian budaya dan keluhuran sikap berbangsa mengalami pengerdilan. Terjadi ketimpangan perilaku di sana-sini. Generasi muda tidak lagi menunjukkan sikap sebagai generasi unggul bakal pembangun bangsa. Tindakan kriminal saat ini juga tidak luput dari generasi muda sebagai aktor utamanya. Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar berbasis cerita rakyat masyarakat Kabupaten Luwu Utara ini adalah salah satu langkah membentengi dampak buruk dari kerusakan mental bangsa yang sekarang ini terjadi.
Cerita rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan dianggap sebagai suatu pesan moral bagi para pemiliknya. Oleh karena itu, cerita rakyat memenuhi kelayakan dari segi isi dan fungsi untuk dijadikan sebagai media pendidikan karakter. Pemilihan cerita rakyat untuk peserta didik kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara dilatarbelakangi oleh kekayaan cerita rakyat yang melimpah di daerah ini sekaligus peneliti sebagai pemilik utama cerita rakyat tersebut.
Bahan ajar bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar (SD) berbasis cerita rakyat di Kabupaten Luwu Utara memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahan ajar lainnya. Selain bermuatan budaya lokal, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara juga berbeda dari segi nilai-nilai karakter yang ada di dalamnya. Selain nilai karakter bangsa yang umumnya ada dalam bahan ajar yang disediakan oleh pemerintah, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai karakter lokal. Hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan KTSP yaitu (1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta didik, dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (Depdiknas, 2006b:50-52).
Ada 18 nilai karakter yang ditanamkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Nilai karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Depdiknas, 2006b:76). Dalam bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Makassar ditemukan beberapa nilai karakter selain dari 18 karakter tersebut sebanyak 22 nilai. Adapun ke 22 nilai-nilai lokal yang terimplementasi dalam bahan ajar berbasis cerita rakyat Makassar tersebut, yaitu nilai ada tongeng (perilaku jujur), gauk malebbi (santun), ati macinnong (bersih hati), matutu ada-ada (menjaga ucapan), matutui ri panggaukang (menjaga perilaku), paksarikbattangang (persaudaraan), siuddaniang (saling merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak (sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan).. Nilai-nilai karakter tersebut tertuang di dalam cerita rakyat Makassar. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, guru sebagai fasilitator, mediator, dan inspirator serta sumber informasi bagi peserta didik memperkenalkan dan memberikan pemahaman tentang pentingnya nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini adalah nilai-nilai lokal dapat diajarkan kepada peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia menurut BSNP (2006:43) bahwa guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional
Nilai-nilai karakter yang tertuang dalam penelitian ini sebanyak 22 nilai yang secara umum telah dituliskan dalam 18 nilai karakter yang telah diajukan oleh pendidikan karakter skala Nasional. Namun, nilai-nilai kearifan lokal yang muncul dalam penelitian ini lebih spesifik kepada nilai-nilai yang sangat dekat dengan kehidupan peserta didik dalam keseharian. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan antara peneliti terdahulu yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kasma F. Amin pada tahun 2013 yang menemukan bahwa ada 16 karakter dalam kearifan lokal Bugis dalam pappaseng to matoa. 16 karakter tersebut adalah deceng (karakter baik), teppe (karakter yakin), macca (karakter cerdas), warani (karakter pemberani), marenreng perru (karakter setia), lempuk (karakter jujur), mappasitinaja (karakter adil), ada tongeng (perkataan benar), getting (teguh), matike (cermat), mappasanre (tawakkal), reso (etos kerja), matinulu (rajin), assimellerang (peduli), tenri cau (daya saing tinggi), asseddingeng (gotong royong).
Semua nilai karakter yang tertuang dalam bahan ajar berbasis cerita rakyat Makasar ini dapat diterima dengan baik dan penuh apresiasi oleh peserta didik kelas III Sekolah Dasar. Stimulus yang diberikan selama proses pembelajaran dapat dirasakan oleh siswa karena apa yang dipelajari dapat diamati dalam kehidupan peserta didik. Hal ini sesuai dengan kondisi perkembangan psikologi anak pada usia 9-11 tahun yaitu tahap operasional kongret. Prastowo (2013:32) berpendapat bahwa pada fase tersebut, peserta didik akan dengan mudah menerima stimulus yang diberikan jika stimulus tersebut berkaitan dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan penelitian ini, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fachruddin A.E (1981) menemukan bahwa terdapat 34 sastra lisan yang berkembang di tengah masyarakat Bugis. Sastra lisan tersebut diperoleh dari berbagai wilayah di Sulawesi Selatan. Sastra lisan mengisahkan nilai perjuangan, kecerdikan, dan kerja keras. Nilai-nilai tersebut dikisahkan melalui tokoh, binatang, dan tempat yang diceritakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa banyak nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Bugis dan Makassar yang belum terkaji secara signifikan yang dapat dijadikan sebagai acuan hidup bagi generasi yang akan datang.
Hasil observasi membuktikan bahwa nilai-nilai tersebut diaplikasikan oleh peserta didik di dalam kelas melalui kegiatan interaksi belajar. Banyak cara yang dilakukan oleh guru agar nilai-nilai tersebut diterapkan langsung oleh peserta didik  misalnya kegiatan diskusi, belajar kelompok, kuis interaktif, permainan-permainan yang menerapkan prinsip kerjasama, serta kegiatan lainnya. Selain di dalam kelas, nilai-nilai tersebut juga diimplementasikan di luar kelas. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai karakter yang dibelajarkan memiliki pengaruh terhadap peserta didik.
Menurut guru, pelaksana pembelajaran di kelas uji coba, ada perubahan tingkah laku positif yang cukup signifikan dalam diri peserta didik setelah belajar dan mempraktikan nilai-nilai yang terdapat dalam bahan ajar. Hasil penelitian ini mengisyaratkan kebenaran tentang teori belajar bahasa Behavioristik yang menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respon tertentu yang dikuatkan. Respon itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respon yang berupa pemahaman atau respon yang berwujud ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu.
Menurut teori Behavioristik, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter melalui bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat ini, peserta didik akan mengenal, menghayati berbagai nilai-nilai karakter sehingga nilai-nilai tersebut dapat diterapkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gagne (1984:127). Menurutnya, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan antara stimulus dan respon.
Menurut fungsi dasarnya, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat untuk kelas III Sekolah Dasar ini adalah membelajarkan peserta didik untuk berkomunikasi dengan baik dan benar melalui kegiatan menyimak, berbicara, menulis, dan membaca, peserta didik dilatih kemampuan dan keterampilan berbahasanya. Hal tersebut sejalan dengan hakikat pembelajaran bahasa di sekolah dasar dan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan penugasan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

KESIMPULAN

Selain 18 nilai karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan karakter nasional, kearifan lokal berupa cerita rakyat yang dimiliki oleh masyarakat Bugis Kabupaten Luwu Utara juga ditemukan 22 nilai karakter yang terdapat dalam kearifan lokal cerita rakyat masyarakat Bugis Kabupaten Luwu Utara yang dituangkan dalam bahan ajar yaitu nilai ada tongeng (perilaku jujur), gauk malebbi (santun), ati macinnong (bersih hati), matutu ada-ada (menjaga ucapan), matutui ri panggaukang (menjaga perilaku), paksarikbattangang (persaudaraan), siuddaniang (saling merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak (sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan). Nilai-nilai karakter tersebut diaplikasikan  dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas diluar kelas oleh peserta didik.

DAFTAR ISI

Akhadiah, Sabarti dkk. 1991. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indnesia. Jakarta Erlangga.
Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Amin, Kasma. 2014. Lontarak dan Surek Ugik, Kajian Kearifan Lokal Bugis Sebagai Basis Pendidikan Karakter Bangsa. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Amri, S. dan Ahmadi K. I. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Dalam Kelas. Jakarta : Prestasi Pustaka Raya
Anshari. 2011. Representasi Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik Sastra Lisan Makassar. Makassar: P31 Cipta Media.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
-----------. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Association for Educational Communications and Technology. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.
Basang, Djirong. 1997. Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang. CV Surya Agung.
Bogdan. R & SK. Biklen. (1992). Qualitative research for Education An Introduction to the Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon.
Brady, Laure. 1991. Children and Their Books: The Right Book for The Right Child I. Melbourne: The Macmillan Company.
Brown, James D. 1995. The Elements of Language Curriculum. Boston: Heinle & Heinle Publishrrs.
BSNP. 2006. Standar Isi: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI. Jakarta: BSNP
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP
Byram Michell & Gerundy Peter. 2003. Contex and Culture in Language Teaching and Learning. Australia: Short Run Press ltd.
Coombs, Philip H. 1981. The World Education Crisis. London: Oxford University Press
Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Course-Book. Oxford: Heilnemann.
Daeng Patunru, Razak. 1993. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Depdikbud.
______. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
______. 2003a. Pelayanan Profisional Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas.
______. 2003b. Standar Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
______. 2004a. Kurikulum 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
______. 2004b. Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
______.2006a. KTSP SD & Madrasah Ibtidaiyah: Dilengkapi Model Silabus, Model Pembelajaran Tematik, Model Mata Pelajaran Muatan Lokal. Surakarta: Depdiknas.
______. 2007.  Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP: Panduan Penusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
______. 2008.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Dikmenum. Depdiknas.
Dirjen Dikti. 1983. Panduan Manajemen Sekolah, Proyek Peningkatan mutu Guru Kelas SD Setara D.II Jakarta.
Dubin, F. dan Olshtain, E. 1986. Course Design: Developing Programs and Material for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press, Illinois University.
Ellis, Rod. 1997. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: OxforUniversity Press.
Endraswara, Suwardi. 2005 Tradisi Lisan Jawa : Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta : Narasi.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Folklore: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Fachruddin, A. E. 1981. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Depdikbud.
Fang, Liaw Yock. 1976. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.
Faruk, Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk, Faruk. 1999. “Kritik Terbuka: Sebuah Imperatif Budaya” dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
Gagne, E.D. 1984. The Cognitive Psycholoy of School Learning. Boston: Little Brown.
GBHN. 1999. Garis-Garis Besar Haluan Negara. Bandung: Citra Umbara
Greene dan Petty. 2001. Developing Language Skill in The Elementary Schools. Boston : Alyn and Bacon Inc.
Hadley, Alice Omaggio. 1993. Teaching Language 2nd Edition. USA: Heinle and Heinle Publishers.
Hamalik, Oemar. 1990. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Hamid, Abdullah. 1985. Manusia Bugis Makassar. Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Harjanto.  2005.  Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Hernawan, Asep Herry. 2012. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas Terbuka.
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature in The Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory, and Children’s Literature. Cambridge, Massachussetts: Blackwell.
Iskandarwassid. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
James, Donglas. 2002, Building Adaptation, Butterworth - Heinemann, Edinburgh, U.K.
Joni. 1984. Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Jufri, dkk. 2011. “Struktur Wacana Budaya” Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun III. Makassar: Lembaga Penelitian Umiversitas Negeri Makassar.
Kemdiknas. 2008. Sosialisasi KTSP: Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Kemdiknas RI.
Kurniawati, S. 2009. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Pendekatan Tematis. Tesis. Surakarta: PPS Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Limpo, Syahrul Yasin, dkk. 1995. Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa. Ujung pandang: Pemda Tingkat II Gowa.
Long, M.H. dan G. Crookes. 2004. Three Approaches to Task-Based SyllabusDesign,http:www.iei.uluc.edu/TESOLOnline/topics/threesyllabuses.html.20Maret 2015.
Lukens, Rebecca J. 2003.A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.
Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rodsakarya.
Malmkjaer, K dan Anderson, J.M. 1991. The Linguistics Encyclopedia. London: Routiedge.
Mardiatmadja, 1987. Teknik memimpin Rapat. Yogyakarta: Kanisius
Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar. Bakti Baru-Berita Utama.
McNeil, John D. 1977. Curricuium A Comprehensive Introdaction. Boston : Littel.
Mitchell, Diana. 2003. Children’s Literature, an Invitation to the World. Boston: Ablongman.
Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mudyahardjo. 1992. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2006.  Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya Offse.
Mulyasa, E., 2007. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja. Rodaskarya.
Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolingustik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Natawidjaja, 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta
Nunan, David. 1997. Language Teaching Methodology A Textbook for Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2003. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berwawasan Multikultural. Yogyakarta.
---------------. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Patahuddin, Ahmad Talib, dan Rosidah. 2009. “Studi Penulusuran dan Adaptasi Kearifan Lokal Budaya Suku Bugis-Makassar untuk Membangun Nilai Afektif Siswa pada Pembelajaran Matematika SD di Sulawesi Selatan”. Laporan Penelitian. Makassar. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar.
Peraturan Pemerintah No. 19. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Kementerian Pendidikan Nasional.
Permendikbud No. 65 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 66 tentang Standar Penilaian. Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 67 Tahun 2013 tentang Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Depdikbud.
Prastowo. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: DIVA Press.
              2013. Pengembangan Bahan Ajar Tematik Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Richards, J.C. 1995. The Context of Language Teaching. Cambridge University Press
______. 2002. The Language Teaching Matrix. Cambridge. CUP Press.
______. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
______. 1996. Teacher as Course Developpers. Cambridge: CUP Press.
Rieken, Elizabeth, 1993. Theaching Language in Context. Heinle & Heinle Publiser, Boston.
Rozak . 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustak
Rubin, 1995, Community Organizing and Development: Second Edition, New York : Macmillan Publishing Company.
Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme  Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
 Sadiman,  2004. Media  Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Salam. 2007. Pengembangan Bahan Ajar. Makalah disajikan dalam Penataran Guru Bahasa Indonesia SMA di Sulawesi Selatan: Ujung Pandang.
Saxby, Maurice dan Gordon Winch (eds). 1991. Give Them Wings, The Experience of Children’s Literature. Melbourne: The Macmillan Company.
Scrivener, Alan B., A, 2002 Curriculum for Cybernetics and Systems.
Siregar, Syofian. 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian : Dilengkapi Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Skinner, B.F. 1957. Verbal Behaviour. New York. Appleton-Century Croffts Inc.
 Skolimowski, Henryk. Filsafat Lingkungan: Merancang Taktik Baru untuk Menjalani Kehidupan. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2008. Yogyakarta: Bentang Budaya. 
Snellbecker, G.E. 1974. Learning Theory, Instructional Theory, and Psycho educational Design. New York: McGraw-Hill.
Stewig, John Warren. 1980. Children and Literature. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
-----------. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
-----------. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta
Sugirin, dkk. 2011. Pengembangan Buku Ajar Bahasa Inggris SMP Berbasis Multikultur sebagai Upaya Pemertahanan Budaya Lokal. Yogyakarta: PPS UNY
Sulistyowati, E. 2009. Bahan Ajar, (Online), (endahsulistyowati.wordpress.com/ …/apakah-perbedaan-bahan-ajar-dan-sumber-belajar/, diakses 21 Januari 2015).
Supriadi, D. 2000. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa
Tomlinson, 1998. Materialis Development in Languange Teaching.Camridge: Camridge University Press.
Trianto, 2005. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta Kencana Prenada  Group.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Watson, John B. 1978. Behaviorism, revised edition. Chicago: University of Chicago Press.
Widijanto, et al. (2008). “Lembar Kerja Siswa (LKS) Matematika Interaktif Model E-Learning”. (Online). Tersedia:www.e-psikologi.com/remaja.
(20-11-2012)
Wiener, Norbert. 1954. The Human Use of Human Beings. New York: Doubleday & Company Inc, Garden City New York.
Yulianeta. 2008. Pengembangan Buku Teks Bahasa Indonesia untuk Kelas 2 Sekolah Dasar Berbasis BSE. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...