PENGUATAN PENDIDIKAN
KARAKTER MELALUI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN
LOKAL DI
SEKOLAH DASAR KABUPATEN
LUWU UTARA
Aziz Thaba
Pascasarjana Program Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammdiyah Makassar
Contact: 082195025536/E-mail:
azizthaba@yahoo.co.id
ABSTRAK
Menghadapi era
globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa mental dan moralitas
generasi muda Indonesia tergerus oleh arus peradaban, komunikasi, dan teknologi
yang semakin mutakhir. Bukan untuk menutup mata akan laju perkembangan zaman,
tetapi adaptasi seharusnya disikapi dengan bijak dan berbudaya. Setiap
individu, kelompok, atau masyarakat suatu bangsa harus memahami nilai-nilai
identitas diri sendiri sebagai penanda harkat, martabat, dan strata sosialnya.
Tujuan
penelitian ini adalah (1) mempertahankan kebudayaan dengan cara memperkenalkan
kearifan lokal baik yang popular maupun yang hampir punah kepada peserta didik
sejak dini, (2) menaman nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam kearifan
lokal masyarakat Bugis di Kabupaten Luwu Utara khususnya di dalam cerita rakyat,
(3) menciptakan bahan ajar yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar serta
menanamkan nilai-nilai karakter siswa. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan
yang didesain dengan model Four-D (define, design, develop, desiminate).
Populasi penelitian ini adalah siswa sekolah dasar (SD) di Kabupaten Luwu
Utara. Sampel yang dipilih sebagai uji coba terbatas adalah SDN 193 Tamuku,
sedangkan uji coba lapangan dilakukan di SDN 092 Lindu, Madrasah Ibtidaiyah
Al-Falah Bone-Bone.
Hasil penelitian
ditemukan 22 nilai karakter yang terdapat dalam kearifan lokal cerita rakyat masyarakat
Bugis Kabupaten Luwu Utara yang dituangkan dalam bahan ajar yaitu nilai ada tongeng
(perilaku jujur), gauk malebbi
(santun), ati macinnong (bersih hati), matutu
ada-ada (menjaga ucapan), matutui
ri panggaukang (menjaga perilaku), paksarikbattangang
(persaudaraan), siuddaniang (saling
merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak
(sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan).
Nilai-nilai karakter tersebut diaplikasikan
dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas diluar kelas oleh peserta
didik.
Kata-kata kunci: pendidikan
karakter, bahan ajar, kearifan lokal
PENDAHULUAN
Pendidikan
akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi
kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya
hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab
itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu
memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah
humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami
hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang
dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya
Pendidikan merupakan pilar utama penentu
kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia
yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya
saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.
Nababan
(1984:38) menyatakan ada empat fungsi bahasa, yaitu fungsi kebudayaan,
kemasyarakatan, perorangan, dan pendidikan. Fungsi kebudayaan meliputi tiga
hal, pelestarian kebudayaan, pengembangan kebudayaan, dan inventarisasi
ciri-ciri kebudayaan. Fungsi kemasyarakatan meliputi ruang lingkup dan bidang
pemakaian. Fungsi perorangan meliputi fungsi instrumental, kepribadian, pemecahan
masalah, khayalan, dan informatif. Fungsi pendidikan meliputi fungsi
integratif, instrumental, kultural, dan penalaran.
Moeliono
(1981: 38-39) menyatakan bahasa memiliki lima fungsi pokok, yaitu (1) fungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan atau kedaerahan, (2) fungsi sebagai bahasa
perhubungan luas pada taraf subnasional, nasional, atau internasional, (3) fungsi sebagai bahasa untuk tujuan
khusus, (4) fungsi sebagai bahasa dalam sistem pendidikan sebagai pengantar dan objek studi, (5) fungsi sebagai
bahasa kebudayaan di bidang seni, ilmu, dan teknologi.
Zaman
semakin berkembang, dunia pendidikan pun dituntut untuk menambah kualitas pembelajaran. Kurikulum yang
digunakan berubah-ubah mengikuti
perkembangan zaman. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan
peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah.
Keberhasilan
pengajaran bahasa sangat ditentukan oleh perangkat pembelajaran yang digunakan.
Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman
yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana
yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Tujuan
adanya perangkat pembelajaran adalah untuk memenuhi keberhasilan seorang guru
dalam pembelajaran.
Perangkat pembelajaran adalah sebagai
panduan atau pemberi arah bagi seorang guru. Hal tersebut penting karena proses
pembelajaran adalah sesuatu yang sistematis dan terpola. Masih banyak guru yang
hilang arah atau bingung di tengah-tengah proses pembelajaran hanya karena
tidak memiliki perangkat pembelajaran. Oleh karena itu, perangkat pembelajaran
memberi panduan tentang hal yang harus dilakukan seorang guru di dalam kelas.
Selain itu, perangkat pembelajaran memberi panduan dalam mengembangkan teknik
mengajar dan memberi panduan untuk merancang perangkat yang lebih baik.
Seorang guru yang profesional tentu
mengevaluasi setiap hasil mengajarnya. Begitu pula dengan perangkat pembelajaran.
Guru dapat mengevaluasi dirinya sendiri sejauh mana perangkat pembelajaran yang
telah dirancang teraplikasi di dalam kelas. Evaluasi tersebut penting untuk
terus meningkatkan profesionalime seorang guru. Kegiatan evaluasi bisa dimulai
dengan membandingkan dari berbagai aktivitas di kelas, bahan ajar, strategi,
metode, atau bahkan langkah pembelajaran dengan data yang ada di dalam perangkat
pembelajaran.
Profesionalisme seorang guru dapat
ditingkatkan melalui perangkat pembelajaran. Dengan kata lain, perangkat
pembelajaran tidak hanya sebagai kelengkapan administrasi. Tetapi, juga sebagai
media peningkatan profesionalisme. Seorang guru harus menggunakan dan
mengembangkan perangkat pembelajarannya semaksimal mungkin. Memperbaiki segala
yang terkait dengan proses pembelajaran lewat perangkatnya. Jika tidak
demikian, maka kemampuan sang guru tidak akan berkembang bahkan mungkin
menurun.
Salah satu perangkat pembelajaran yang sangat vital dalam
menunjang keberhasilan pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa Indonesia
adalah bahan ajar. Dalam proses pembelajaran, bahan
ajar berkedudukan sebagai modal awal yang akan digunakan atau diproses untuk
mencapai hasil. Hasil tersebut berupa pemahaman dan kemampuan siswa. Pentingnya
bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran dapat dianalogikan seperti pentingnya
bahan-bahan untuk memasak. Jika tidak ada bahan yang digunakan dalam memasak,
maka tidak akan ada masakan yang dihasilkan. Sebaliknya, jika terdapat bahan
makanan untuk dimasak maka akan dihasilkan suatu makanan walaupun itu sangat
sederhana. Dengan melihat analogi tersebut kita dapat memahami bahwa bahan
memiliki kedudukan yang penting terhadap suatu proses. Demikian pula halnya
dengan bahan ajar dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan komponen yang
harus ada di dalam proses pembelajaran.
Hernawan
(2012:4) mengatakan bahwa “bahan pembelajaran merupakan seperangkat materi atau
substansi pelajaran yang disusun secara runtut dan sistematis serta menampilkan
sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran”.
Bahan pembelajaran inilah yang dibentuk sedemikian rupa menjadi bahan ajar yang
akan membantu siswa dalam proses pembelajaran. Jadi bahan ajar merupakan segala
bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar, bentuknya bisa tertulis maupun tidak tertulis.
Seperti
yang dikemukakan sebelumnya dalam rumusan GBHN bahwa “Pendidikan
merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia”.
Sejalan dengan hal tersebut, manifestasi pendidikan sebagai proses budaya
seharusnya tertuang dalam bahan pembelajaran yang dapat mengusung budaya baik
lokal maupun nasional secara merata. Artinya, muatan budaya dalam bahan ajar
yang digunakan dalam dunia pendidikan baik pada jenjang sekolah dasar,
menengah, dan perguruan tinggi tidak tersentralisasi pada satu kebudayaan saja
melainkan dapat menggali kebudayaan dari setiap daerah penggunanya.
Berhubungan dengan hal tersebut,
Sugirin, dkk. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Buku Ajar Bahasa Inggris SMP Berbasis
Multikultur
sebagai Upaya Pemertahanan Budaya
Lokal” menunjukkan bahwa dewasa ini sangat penting pendidikan budaya lokal
digalakkan secara intensif. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemertahanan
budaya terhadap generasi muda serta menjadi benteng dari kebudayaan global yang
terus menggerus. Para partisipan (guru dan pelaku pendidikan) harus memahami
perlunya insersi budaya dalam buku ajar
serta melakukan upaya insersi budaya lokal/Indonesia dalam pembelajaran Bahasa,
walaupun belum mencakup semua komponen budaya. Aspek budaya (culture) menjadi aspek dominan yang
diinsersikan. Ada dua pola insersi yang ditemukan, yaitu eksplisit (melalui sub
unit tertentu yang khusus membahas tentang budaya) dan implisit (diintegrasikan
kedalam teks/task). Dalam penelitian
tersebut, ditemukan bahwa pola insersi budaya yang dominan adalah pola
implisit. Sedangkan aspek/komponen budaya yang diinsersikan ada tiga yaitu cultural knowledge, cultural behavior,
dan cultulral representation.
Kurniawati,
S. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan
Pendekatan Tematis” juga
membuktikan bahwa keberhasilan proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran
sangat dipengaruhi oleh bahan ajar yang digunakan. Hasil uji keefektifan dengan
menggunakan uji t non-independen membuktikan bahwa bahan ajar tematis tersebut
efektif diterapkan. Selain itu, hasil uji kelayakan bahan ajar dinyatakan baik dengan komponen penilaian kelayakan
isi/materi 77,92%, kebahasaan 73,40%, penyajian materi 77,92%, dan
grafika 70.
Kontras
dengan beberapa sekolah dasar yang ada di Kabupaten Luwu Utara, bahan ajar yang
digunakan dicetak beberapa percetakan berskala Nasional, dan Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, ada pula bahan ajar berbasis buku
sekolah elektronik ‘BSE” yang dicetak
dan dikemas dalam bentuk buku paket. Hasil analisis ditemukan bahwa tidak
terdapat muatan lokal atau daerah yang ada di Sulawesi Selatan khususnya
kebudayaan masyarakat etnis Bugis di Kabupaten Luwu Utara yang terdapat dalam
bahan ajar tersebut. Hal ini disebabkan karena bahan ajar tersebut masih
didominasi oleh kebudayaan masyarakat Jawa, Denpasar, atau Sumatera. Sebagai
contoh, gambar-gambar yang ditampilkan serta cerita anak atau cerita rakyat
yang ada di dalamnya adalah berasal dari luar Sulawesi Selatan khususnya
Kabupaten Luwu Utara. Kondisi ini tentunya tidak lagi sejalan dengan tujuan
pendidikan yang berkarakter luhung
dengan mengedepankan karakter lokal. Dampak buruk yang mungkin saja terjadi
adalah hilangnya pemahaman, pengetahuan, dan kecintaan peserta didik terhadap
budaya mereka sendiri.
Minimnya sumber belajar yang
mengedepankan aspek kebudayaan lokal secara proporsional dengan kebudayaan
nasional memerlukan perhatian yang serius. Harus ada upaya membelajarkan kultur
seni, budaya, nilai, dan karakter lokal sebagai
salah satu sumber yang potensial untuk
meramu bahan ajar. Salah satunya dengan mengembangkan bahan ajar yang
berbasis cerita rakyat seperti yang dikembangkan dalam penelitian ini.
LANDASAN TEORI
1.
Teori Belajar
Snelbecker (1974:219) berpendapat bahwa
perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan juga vital bagi psikologi
dan pendidikan agar dapat maju dan berkembang, serta memecahkan masalah-masalah
yang ditemukan dalam setiap bidang ilmu. Dalam penggunaan secara umum,
teori-teori berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik,
serta digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang
diamati. Menurut Gagne (1984:127) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu
proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.Belajar
dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi
hubungan-hubungan antara stimulus dan respons.
2.
Teori Belajar
Bahasa
Teori belajar telah dikemukakan pada
bagian sebelumnya, pada penelitian ini juga dibahas mengenai teori belajar
bahasa. Dahar (2011:70-71) menguraikan beberapa teori belajar bahasa,
diantaranya adalah:
a.
Teori Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B. Watson
(1878-1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya
memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada
perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia
sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas
(respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah
diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga
dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct)
dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut
hubungan stimulus-respons.
b.
Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum
nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia
tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka
tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa
pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang
secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap
bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa terlalu
kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang relatif
singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa
aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti
sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Istilah nativisme dihasilkan dari
pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa
setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar
bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi.
Eric Lenneberg (1967) (dalam Dahar, 2011:72) membuat proposisi bahwa bahasa itu
merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu,
pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan
ditentukan secara biologis.
Chomsky
dalam Hadley (1993:48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan
bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan
komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh
sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain.
Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki
bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (Language Acquisition Device). Chomsky
dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi
khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih
rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48)
mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia
penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut
golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil
kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah
tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
c.
Teori Kognitivisme
Pada tahun 60-an golongan kognitivistik
mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan
tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik
bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih
bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan
berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan
kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau
dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu, perkembangan bahasa harus
berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih
mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan
perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan
bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita
menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik
awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam
menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman,
produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses
kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus
merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme
mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil
pengolahan kognitif tadi.
d.
Teori Fungsional
Dengan munculnya kontruktivisme dalam
dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa
belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur
ingatan. Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi
kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan
orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia. Lebih lagi
kaidah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat
abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan
pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang
dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
e.
Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua
nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme
menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan,
dengan cara menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan
sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman peserta didik harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong peserta didik untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman peserta didik harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong peserta didik untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Peserta
didik dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah
mengalaminya. Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman
peserta didik mengerti kata-kata
ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika peserta didik telah
mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata
saja, namun berupa konsep.
f.
Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami oleh
perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang
dikemukakan oleh McNeil (1977) (dalam Dahar, 2011:75) “In many instances, communicative language programmes have incorporated
educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the
context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic
curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah
diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di
Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini
menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh
peserta didik.
Humanistic
curiculum
menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku peserta didik dengan
menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup
peserta didik. Teori ini menganggap bahwa setiap peserta didik sebagai objek pembelajaran memiliki alasan
yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop
the whole persons within a human society (McNeil,1977).
g.
Teori Sibernetik
Istilah sibernetika berasal dari bahasa
Yunani (Cybernetics berarti pilot).
Istilah Cybernetics yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali
digunakan tahun 1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai "The study of control and communication in
the animal and the machine." Istilah sibernetika digunakan juga oleh Alan
Scrivener (2002:178) dalam bukunya 'A
Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' Bahwa "Study of systems which can be mapped using
loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow
of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one
loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai
sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops
(berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang
menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat,
satu putaran informasi minimal akan menghasilkan feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik
dalam berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based
on communication (transfer of information) between systems and environment and
within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to
environment. Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan
pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar
sistem, pengontrol (feedback) dari
sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
3.
Hakikat
Pembelajaran Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan mata
pelajaran yang membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar.
Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Dengan
kesimpulan tersebut, maka standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia
merupakan kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan penugasan,
pengetahuan, ketrampilan berbahasa, sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan
merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa
Indonesia dirumuskan karena, diharapkan mampu menjadikan: (1) siswa dapat
mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya,
serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil
intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada
pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan
berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar
kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, (4)
orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan
sesuai dengan keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah
dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan
daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP:2006:43).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu
mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah dasar. Bahasa merupakan sistem
lambang bunyi yang dihasilkan dari alat ucap (artikulasi) yang bersifat
sewenang-wenang dan konvensional (melalui kesepakatan) yang dipakai sebagai
alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Selain itu, bahasa juga
merupakan percakapan atau alat komunikasi dengan sesama manusia. Sedangkan
bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang menjadi salah satu ciri khas
bangsa Indonesia dan digunakan sebagai bahasa nasional.
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki
peranan yang sangat penting dalam membentuk kebiasaan, sikap, serta kemampuan peserta
didik untuk tahap perkembangan
selanjutnya. Selain itu, pembelajaran harus dapat membantu peserta didik dalam
pengembangan kemampuan berbahasa di lingkungannya, bukan hanya untuk
berkomunikasi, namun juga untuk menyerap berbagai nilai serta pengetahuan yang
dipelajarinya.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia berdasarkan KTSP 2006 bertolak dari standar kompetensi. Standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena diharapkan mampu
menjadikan: (1) peserta didik dapat
mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya,
serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil
intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada
pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai
kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan
ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya, (4) orangtua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam
pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program
pendidikan kebahasaan sesuai dengankeadaan peserta didik dengan sumber belajar
yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar
kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional (BSNP: 2006:46).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu
materi penting yang diajarkan di SD, karena bahasa Indonesia mempunyai
kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia sebagai-mana dinyatakan oleh Akhadiah, dkk.
(1991:1) adalah agar siswa ”memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan
situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar”.
Dari penjelasan Akhadiah tersebut maka tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
dapat dirumuskan menjadi empat bagian. (1) Lulusan SD diharapkan mampu
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. (2) Lulusan SD diharapkan
dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia. (3) Penggunaan bahasa harus
sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa. (4) Pengajaran disesuaikan dengan
tingkat pengalaman siswa SD.
Butir (1) dan (2) menunjukkan tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia SD yang mencakup tujuan pada ranah kognitif dan
afektif. Butir (3) menyiratkan pendekatan komunikatif yang digunakan. Sedangkan
butir (4) menyiratkan sampai di mana tingkat kesulitan materi pelajaran Bahasa
Indonesia yang diajarkan.
Dari tujuan tersebut jelas tergambar
bahwa fungsi pengajaran bahasa Indonesia di SD adalah sebagai wadah untuk
mengembangakan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi
bahasa itu, terutama sebagai alat ko-munikasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di
SD dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa yag diperlukan untuk melanjutkan
pendidikan di sekolah menengah maupun untuk menyerap ilmu yang dipelajari lewat
bahasa itu. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia juga dapat membentuk sikap
berbahasa yang positif serta memberikan dasar untuk menikmati dan menghargai
sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu diperhatikan
pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur bangsa, serta pembinaan rasa
persatuan nasional.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
dalam BSNP (2006:48) dijabarkan menjadi beberapa tujuan. Tujuan bagi siswa
adalah untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan
minatnya. Adapun tujuan bagi guru adalah untuk mengembangkan potensi bahasa
siswa, serta lebih mandiri dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan
kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya. Tujuan bagi orang tua siswa
adalah agar mereka dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
pembelajaran. Tujuan bagi sekolah adalah agar sekolah dapat menyusun program
pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber belajar yang
tersedia. Sedangkan tujuan bagi daerah adalah agar daerah dapat menentukan
sendiri bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah
dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial.
4.
Pengertian Bahan
Ajar
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan
teks yang diperlukan guru/ instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan
guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan
yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (National
Center for Vocational Education Research Ltd/ National Center for Competency
Based Training) (dalam Majid, 2007:174).
Bahan ajar merupakan seperangkat
materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara
sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta
didik dalam kegiatan pembelajaran”. Hal senada dikemukakan Salam (2007: 2-3)
Bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik
tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang
memungkinkan peserta didik untuk
belajar. Kemudian, Wright (1987:169) menambahkan bahwa bahan ajar dapat
membantu ketercapaian tujuan silabus, dan membantu peran guru dan peserta didik
dalam proses belajar-mengajar (dalam Trianto, 2005:9). Tomlinson (1998:2)
mengatakan, bahan ajar adalah sesuatu yang digunakan guru atau peserta didik untuk
memudahkan belajar bahasa, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman berbahasa.
bahan ajar menampilkan sosok utuh dari kompetensi yangakan dikuasai peserta
didik dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, bahan ajar merupakan unsur penting dari kurikulum. Jika silabus ditentukan arah
dan tujuan suatu isi dan pengalaman belajar bahasa sebagai kerangka, maka bahan
ajar merupakan daging yang mengisi kerangka tersebut (Trianto, 2005:8). Peran
bahan ajar dalam pembelajar menurut Cunningsworth adalah penyajian bahan
belajar, sumber kegiatan bagi peserta didik untuk berlatih berkomunikasi secara
interaktif, rujukan informasi kebahasaan, sumber stimulant, gagasan suatu
kegiatan kelas, silabus, dan bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman untuk
menumbuhkan keparcayaan diri (Cunningsworth, 1995:7).
Kemendiknas
(2008:21) memberikan pengertian beberapa definisi bahan ajar sebagai berikut:
1)
Bahan ajar merupakan informasi,
alat dan teks yang diperlukan guru/ instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran.
2)
Bahan ajar adalah segala bentuk
bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar di kelas.
3)
Bahan yang dimaksud bisa berupa
bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center
for Competency Based Training).
4)
Bahan ajar adalah seperangkat materi
yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta
lingkungan/ suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar.
5.
Tujuan dan
Manfaat Bahan Ajar
Menurut Depdiknas (2008:10), tujuan
penyusunan bahan ajar, yakni: (1) menyediakan bahan ajar yang seseuai dengan
tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, sekolah,
dan daerah; (2) membantu peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar;
dan (3) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Penulisan bahan ajar
bermanfaat untuk: (1) membantu guru dalam proses pembelajaran; (2) memudahkan
penyajian materi di kelas; (3) membimbing peserta didik belajar dalam waktu
yang lebih banyak; (4) peserta didik tidak tergantung kepada guru sebagai
satu-satunya sumber informasi; dan (5) dapat menumbuhkan motivasi peserta didik
untuk mengembangkan diri dalam mencerna dan memahami pelajaran.
Selanjutnya apabila guru mengembangkan
bahan ajar sendiri, manfaat yang dapat diperoleh: (1) diperoleh bahan ajar yang
sesuai dengan tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar peserta
didik, sekolah dan daerah; (2) tidak perlu tergantung pada buku teks; (3) bahan
ajar menjadi lebih kaya karena dikembangkan dengan berbagai referensi; (4)
menambah khasanah guru dalam menulis; (5) membangun komunikasi pembelajaran
efektif antara guru dan peserta didik; dan (6) peserta didik lebih percaya pada gurunya serta kegiatan
belajar mengajar akan lebih menarik.
Perlunya pengembangan bahan ajar, agar
ketersediaan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tuntutan
kurikulum, karakteristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar.
Pengembangan bahan ajar harus sesuai dengan tuntutan kurikulum, artinya bahan
ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan KTSP yang mengacu pada standar isi
dan standar kompentensi lulusan. Kemudian karakteristik sasaran disesuaikan
dengan lingkungan, kemampuan, minat, dan latar belakang peserta didik.
6.
Pengembangan
Bahan Ajar
Penyiapan bahan ajar merupakan hal pokok
yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses belajar-mengajar. Tindakan utama
pembelajaran dapat diaplikasikan dalam proses pengembangan bahan ajar (Shulman,
dalam Trianto, 2005:10). Selanjutnya Jolly dan Bolitho (dalam Tomlinson,
1998:98) memaparkan tahap-tahap pengembangan bahan ajar, yakni: (1)
identifikasi kebutuhan guru dan peserta didik; (2) penentuan kegiatan
eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontektual dengan mengajukan gagasan
yang sesuai dengan pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi
pedagogis melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan
bahan ajar oleh peserta didik; dan (7) evaluasi bahan ajar.
Kemudian, Richards (2002:262) mengajukan
rancangan pengembangan bahan ajar, meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2)
pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit
pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit
(dalam Trianto, 2005:10).
Menurut Tomlinson (1998:2) pemgembangan
bahan ajar adalah apa yang dilakukan penulis, guru, peserta didik untuk
memberikan sumber masukan berbagai pengalaman yang dirancang untuk meningkatkan
belajar bahasa. Pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berdasarkan indikator
pencapaian kompetensi dasardengan memperhatikan potensi peserta didik,
bermanfaat bagi peserta didik aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi
pelajaran, relevansi kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan
dan alokasi waktu yang tersedia (Depdiknas, 2007a:7).
Pengembangan bahan ajar bahasa dan
sastra Indonesia adalah kegiatan yang diawali dari penelitian untuk mendapatkan
gambaran tentang identifikasi kebutuhan dokumen bahan ajar bahasa dan
pembelajarannya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sekolah dan daerah.
Kemudian dilanjutkan kegiatan pengembangan bahan ajar melalui beberapa kali uji
coba sehingga berterima dan objektif sesuai dengan keterampilan berbahasa dan
bersastra Indonesia (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis).
Pengembangan bahan ajar dalam penelitian ini, menggabungkan rancangan
tahap-tahap yang telah dipaparkan oleh Jolly & Bolitho, Richards serta Depdiknas,
yakni: (1) identifikasi kebutuhan, (2) pengembangan silabus, (3) penyusunan
bahan ajar, dan (evaluasi bahan ajar).
7.
Pengembangan
Bahan Ajar Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat
Bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, danemosional peserta didik. Bahasa juga
merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang
lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan
bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan
imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia
secara baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan
kemampuan mengapresiasi terhadap hasil karya sastra Indonesia. Pembelajaran
Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar tidak luput dari kajian pembelajaran
sastra. Sejalan dengan Kurikulum 2013, bahwa pembelajaran tidak difokuskan hanya
pada aspek kognitif saja tetapi juga pada jangkauan afektif dan psikomotorik.
Sehingga, dalam pembelajaran bahasa Indonesia seorang guru perlu kembali
menghayati pembelajaran sastra untuk penanaman nilai-nilai melalui cerita
rakyat.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.
Berkomunikasi
secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baiksecara lisan
maupun tulis;
2.
Menghargai
dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuandan bahasa
negara;
3.
Memahami
bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai
tujuan;
4.
Menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, sertakematangan
emosional dan sosial;
5.
Menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
6.
Menghargai
dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.
Menurut
Lukens (2003:9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama memberikan hiburan dan
menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk
memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca
untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, mempermainkan emosi pembaca
sehingga ikut larut ke dalam arus cerita, dan kesemuanya itu dikemas dalam
bahasa yang juga tidak kalah menarik. Sastra selalu berbicara tentang
kehidupan, sehingga sastra sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang kehidupan itu.
Stewig
(1980:18-20) juga menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku
bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan. Saxby (1991:4)
mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran
kehidupan. Dalam sastra tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh
dalam menjalani kehidupan yang dikisahkan dalam alur cerita. Hunt (1995:61)
mendefinisikan sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak.
Dunia
sastra mengenal adanya sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah
sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun menurun secara lisan. Sastra
jenis ini, kemudian dikenal sebagai folklore,
cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh
masyarakat pemiliknya.
Menurut
Widia dalam Yulianeta (2009: 111), karya
sastra dapat memenuhi kebutuhan rohani dan juga dapat menanamkan berbagai nilai
yang tidak dapat terlihat secara langsung. Dari pernyataan tersebut
sastra sangatlah penting bagi perkembangan
mental dan imajinasi anak-anak. Dengan seringnya anak-anak diberikan pembelajaran sastra
apalagi sastra yang mereka gemari seperti dongeng, fabel dan cerita rakyat
secara langsung akan menumbuhkan nilai-nilai positif. Sesuai dengan pendapat
Widijanto (2007: 17) nilai-nilai positif
pada anak dapat dilihat dari kesenangan,
simpatik, keyakinan, keseriusan, dan kesediaan merespon karya sastra. Dalam kaitanya dengan bahan
ajar ini, anak-anak akan tertanam nilai-nilai positif melalui cerita rakyat .
Cerita
rakyat adalah prosa kisahan yang aslinya beredar secara lisan dan kepercayaan
masyarakat setempat (Rozak, 2007: 51), hidup
dan berkembang secara
turun-temurun, dari generasi kepada generasi berikutya dan berkembang di
kalangan masyarakat, berarti cerita ini milik masyarakat bukan milik seseorang
(Djamaris, 1990: 15).
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah prosa atau kisah
yang ada di suatu daerah tertentu baik itu secara lisan atau tulisan di mana
dalam cerita tersebut mengandung unsur moral, estetika, dan edukatif. Dalam
cerita rakyat juga terdapat alur, tokoh, tempat dan amanat akan tetapi cerita
rakyat belum dapat dibuktikan kebenaranya secara fakta walaupun ada beberapa
peningalan yang ada pada suatu daerah tersebut, karena hanya berupa cerita
turunan atau cerita turun-temurun yang selalu berubah-ubah persinya sesuai
dengan orang yang menyampaikanya.
Dari
penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa hakikat cerita rakyat di
Kabupaten Luwu Utara adalah kisahan atau cerita baik itu lisan atau tulisan
yang ada di daerah Kabupaten Luwu Utara oleh etnis Bugis, bersifat fiksi belum
dapat dibuktikan kebenaranya dan berkembang di daerah Kabupaten Luwu Utara di
mana dalam cerita tersebut mengandung unsur moral, estetika, sikap positif dan
edukatif. Di daerah Kabupaten Luwu utara terdapat beberapa cerita rakyat yang
berkembang, di antara cerita rakyat
tersebut adalah Kucing dan Tikus, Sang Kera, Sang Ayam Hutan, dan Raja
Kepiting, Si Manusia Udang, Anak yang Giat Mencari Nafkah, dan Pohon Taeng.
Cerita rakyat di atas berkembang dan sudah ada yang telah dibukukan di
perpustakaan daerah sehingga tetap terjaga kelestarian alur ceritanya.
8. Sastra Anak
Piaget
(Brady, 1991: 28-30) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat
tahapan, dan tiap tahapan mempunyai karakteristik berbeda yang mempunyai
konsekuensi pada respons anak terhadap bacaan. Keempat perkembangan intelektual
itu adalah: (1) tahap sensori-motor (the
sensory-motor period, 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun),
(3) tahap operasional konkret (the
concrete operational, 7-11 tahun), dan (4) tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun
ke atas). Dengan demikian, orang yang dapat dikategorikan sebagai anak itu
adalah orang yang berusia 0 tahun sampai dengan sekitar 12 tahun. Jadi, anak
yang dimaksudkan dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai
sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal.
Mitchell
(2003:5-6) mengemukakan bahwa genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori
pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas stile, bentuk atau isi. Lukens (2003:14-34) mengelompokkan genre
sastra anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra
tradisional, puisi, dan nonfiksi dengan masing-masing genre lagi.
Sastra
anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak
dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang
jelas. Kepribadian dan atau jati diri seorang anak dibentuk dan terbentuk lewat
lingkungan baik diupayakan secara sadar maupun tidak sadar. Lingkungan yang
dimaksud amat luas wilayahnya. Ia mulai dari kebiasaan, tingkah laku, contoh
dan lain-lain yang diberikan oleh orang tua, pendidikan yang secara sadar di
lakukan di lembaga sekolah, sampai adat-istiadat, konvensi, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
Saxby
(1991:5-10) mengemukakan bahwa kontribusi sastra anak membentang dari dukungan
terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal
(kognitif, sosial, etis, spiritual), eksplorasi dan penemuan, namun juga
petualangan dalam kenikmatan. Sementara itu, Huck (1987:6-14) mengemukakan
bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu nilai personal (personal
values) dan nilai pendidikan (educational
values). Nurgiyantoro (2005:36) mengemukakan bahwa sejumlah kontribusi
sastra anak bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang
melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar dikelompokkan ke
dalam nilai personal dan nilai pendidikan. Nilai personal itu melalui perkembangan
emosional, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, rasa etis dan
religius sedangkan nilai pendidikan meliputi eksplorasi dan penemuan,
perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan, penanaman wawasan
multikultural, dan kebiasaan membaca.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian pengembangan yang dilaksanakan untuk menghasilkan
bahan ajar bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar berbasis cerita rakyat
Makassar. Research and Development
(R&D) digunakan dengan alasan: (1) bahan ajar yang selama ini digunakan di
Sekolah Dasar belum memanfaatkan kekayaan budaya lokal khususnya cerita rakyat
Makassar yang ada di Kabupaten Gowa, (2) Produk yang dihasilkan dari penelitian
ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Fokus dalam penelitian pengembangan ini adalah bahan
ajar bahasa Indonesia di kelas III Sekolah Dasar berbasis kearifan lokal cerita
rakyat di Kabupaten Luwu Utara yang telah divalidasi oleh Tim Ahli, Praktisi, Teman Sejawat, dan Observer. Bahan ajar yang telah dinyatakan layak kemudian
diujicobakan pada satu sekolah uji terbatas dan 2 sekolah uji lapangan pada dua
kecamatan yang berbeda. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik yaitu observasi, wawancara,
dokumentasi dan tes. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis
deskriptif.
PEMBAHASAN
1. Validitas
Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat di Kabupaten Luwu
Utara
Berangkat dari harapan
dan permasalahan yang dijumpai di lapangan, peneliti mengembangkan sebuah bahan
ajar bahasa Indonesia berbasis kearifan lokal cerita rakyat untuk peserta didik
kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara. Bahan ajar ini dikembangkan
dengan empat tahap yaitu pendefinisian (define),
perancangan (design), pengembangan (develop), dan diseminasi (dissemination). Keempat tahap tersebut
diadaptasi dari prinsip pengembangan bahan pengajaran oleh Thiagarajan (1974: 5) yang selanjutnya dikenal dengan Four-D Model.
a.
Kevalidan
bahan ajar
Langkah awal
pengembangan bahan ajar ini adalah melakukan pendefinisian. Tahap pendefinisian
meliputi kegiatan analisis kurikulum, observasi, analisis peserta didik,
analisis materi, penentuan tugas, dan tujuan pembelajaran. Setelah melalui
tahap tersebut, peneliti merakukan perancangan Silabus, RPP, LK, dan bahan
ajar. Hasil dari rancangan tersebut kemudian divalidasi oleh tim ahli, teman
sejawat, dan praktisi (guru). Bahan ajar dikatakan valid jika komponen
evaluasi bahan ajar mencakup: (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2)
kebahasaan, (3) penyajian, dan (4) grafika telah layak menurut validator. Hasil
validasi membuktikan bahwa hasil rancangan berupa RPP, Silabus, dan LK
dinyatakan valid hanya dengan satu kali penilaian. Lain halnya dengan materi
ajar (buku), rancangan awalnya memiliki berbagai kekurangann baik dalam hal (1) kelayakan
isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan (4) grafika,
maupun unsur kesastraan di dalamnya. Oleh karena itu, rancangan awal bahan ajar
kembali direvisi berdasarkan permintaan validator ahli media, ahli materi, dan
ahli sastra. Berdasarkan kelemahan atau kesalahan yang ada di dalam rancangan
awal bahan ajar, peneliti melakukan revisi atau perbaikan. Hasil revisi kembali
divalidasi oleh validatoor dengan hasil bahwa rancangan kedua bahan ajar
dinyatakan valid. Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pengembangan Bahan Ajar
(Depdiknas, 2008:8) yang menyatakan bahwa sebuah bahan ajar dikatakan layak
pakai jika komponen-komponennya telah dinyatakan layak atau valid oleh para
ahli yang menilai bahan ajar tersebut. Adapun komponen tersebut yaitu (1)
kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan (4)
grafika. Keempat komponen tersebut secara proporsional menyusun bahan ajar
berbasis cerita rakyat Makassar di Kabupaten Luwu Utara.
Pertama. komponen
kelayakan isi (materi) mencakup: (a) kesesuaian dengan kurikulum, SK, dan KD;
(b) kesesuaian dengan kondisi peserta didik, sekolah, dan daerah; (c) materi
harus spesifik, jelas, akurat dan sesuai dengan kebutuhan bahan ajar; (d) kesesuaian
dengan nilai moral dan nilai sosial; (e) bermanfaat untuk menambah wawasan peserta
didik; dan (f) keseimbangan dalam penjabaran materi (pengembangan makna dan pemahaman,
pemecahan masalah, pengembangan proses, latihan dan praktik, tes keterampilan
maupun pemahaman). Untuk komponen
kelayakan sastra, meliputi, jenis karya sastra yang digunakan, dalam hal ini
adalah cerita rakyat yang telah direduksi berdasarkan kebutuhan. Karya sastra
tersebut merupakan karya sastra lokal. Disamping itu, karya sastra tidak
memiliki unsur sara atau pornotulis di dalamnya. Karya sastra disajikan
berdasarkan muatan nilai-nilai yang akan dipelajari atau diajarkan kepada
peserta didik.
Kedua, komponen kebahasaan merupakan
sarana penyampaian dan penyajian bahan, seperti kosakata, kalimat, paragraf,
dan wacana. Sedangkan aspek terbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa
sesuai dengan tingkatan peserta didik .Komponen ini, mencakup: 1) Keterbacaan,
meliputi: (a) kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk tulisan atau
tifografi, ukuran huruf, dan lebar spasi), (b) kemenarikan (berhubungan dengan
minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan), dan
(c) kesesuaian (berhubungan dengan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi,
bangun kalimat, dan susunan paragraf); 2) kejelasan informasi, yakni informasi
yang disajikan tidak mengandung makna bias dan mencantumkan sumber rujukan yang
digunakan; 3) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan bemar;
dan 4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efesien (jelas dan singkat).
Ketiga, komponen penyajian, mencakup:
(a) kejelasan tujuan pembelajaran (indikator yang dicapai); (b) urutan sajian
(keteraturan urutan dalam penguraian sajian); (c) memotivasi dan menarik
perhatian peserta didik; (d) interaksi (pemberian stimulus dan respon) untuk
mengaktifkan peserta didik; dan (e) kelengkapan informasi (bahan, latihan, dan
soal).
Keempat, komponen
grafika, meliputi: (a) menggunaan font: bentuk tulisan, ukuran huruf,
dan jarak spasi; (b) tata letak (lay out); (c) ilustrasi, gambar, dan
foto; dan (d) desain tampilan.
b.
Hasil
uji coba kelompok kecil
Setelah bahan ajar
dinyatakan valid, langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba pada kelompok
kecil atau uji coba model. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi pada uji
coba kelompok kecil ini untuk dapat dilanjutkan pada uji coba kelompok besar
yaitu (1) nilai kepraktisan bahan ajar, dan (2) nilai keefektifan bahan ajar.
Kepraktisan bahan ajar diukur melalui dua aspek yaitu aspek pengelolaan
pembelajaran dan keterlaksanaan pembelajaran. Sedangkan nilai keefektifan bahan
ajar diukur melalui tiga aspek yaitu hasil belajar peserta didik , aktivitas
peserta didik, dan respon peserta didik. Sekolah yang dipilih sebagai subjek
uji coba kelompok kecil adalah SDN 193 Tamuku. Jumlah peserta didik yang diberi
perlakuan adalah 24 orang. Untuk mengukur pengelolaan pembelajaran, dilakukan
observasi oleh dua orang observer yang dipilih selama dua kali pertemuan.
1)
Kepraktisan
bahan ajar
a) Syarat
pengelolaan pembelajaran
Aspek pengelolaan
pembelajaran membuktikan bahwa hasil rerata kedua pertemuan yang meliputi aspek
penyampaian tujuan telah terlaksana dengan sangat baik dengan rerata aspek 4,75
(pelaksanaannya sangat baik), aspek memotivasi peserta didik telah terlaksana baik dengan rerata 3,50
(pelaksanaannya baik). Aspek penyajian materi terlaksana dengan cukup baik dengan
rerata aspek 3,00 (pelaksanaannya cukup baik). Aspek pemanfaatan bahan ajar
terlaksana dengan baik dengan rerata aspek 4,50 (pelaksanaanya sangat baik).
Aspek pemerian tugas atau latihan terlaksana sangat baik dengan rerata aspek
5,00 (pelaksanaannya sangat baik). Terakhir, aspek pengelolaan kelas terlaksana
cukup baik dengan rerata aspek 3,00 (pelaksanaannya cukup baik).
Rerata keseluruhan aspek pengelolaan
pembelajaran pada kelompok kecil (uji coba model) adalah 3,96 dengan kategori
pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan pembelajaran pada uji coba kelompok
kecil telah terlaksana dengan baik. Dengan demikian, bahan ajar berbasis cerita
rakyat ini memenuhi syarat pengelolaan pembelajaran untuk diujicobakan di
lapangan atau kelompok besar.
b) Syarat
keterlaksanaan pembelajaran
Rerata setiap aspek keterlaksanaan bahan
ajar dari dua pertemuan menunjukkan hasil yang cukup baik. Setiap aspek sudah
memenuhi syarat keterlaksanaan. Tambahan lagi, rerata keseluruhan aspek (4,25)
juga menunjukkan indikator baik. Artinya, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis
cerita rakyat Makassar untuk peserta didik kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten
Luwu Utara layak untuk diujicobakan pada uji coba kelompok besar atau uji coba
lapangan.
2)
Keefektifan
bahan ajar
a)
Syarat
hasil belajar
Seperti yang telah ditetapkan bahwa
bahan ajar layak digunakan jika ketuntasan klasikal adalah 85 % dari
keseluruhan peserta didik yang
diujicoba. Hasilnya, dari 24 peserta didik, tiga orang diantaranya dinyatakan tidak
tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 21 orang peserta didik atau 87,5% peserta didik dinyatakan tuntas secara klasikal. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia uji coba kelompok kecil di kelas III
SDN 193 Tamuku dinyatakan tuntas. Sebagai kesimpulan, ditinjau dari hasil
belajar peserta didik, bahan ajar berbasis cerita rakyat efektif digunakan
dalam pembelajaran.
b)
Syarat
aktivitas peserta didik
Syarat penilaian aktivitas belajar
peserta didik ketika rerata kesuluruhan aspek berada pada penilaian kategori
baik. Hasil observasi dari dua pertemuan menunjukkan bahwa rerata
keseluruhan aspek ( aktivitas belajar peserta didik pada uji coba
kelompok kecil di SDN 193 Tamuku yaitu 4,06 dengan kategori “baik”. Artinya,
aktivitas peserta didik selama mengikuti
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan bahan ajar berbasis
cerita rakyat Kabupaten Gowa sudah berjalan dengan baik. Dengan demikian, jika
ditinjau dari syarat aktivitas belajar peserta didik, maka bahan ajar berbasis
cerita rakyat tersebut telah memenuhi standar kelayakan untuk diujicobakan pada
kelompok besar.
c)
Syarat
respon peserta didik
Syarat respon peserta didik terhadap
bahan ajar adalah ketika rerata keseluruhan aspek berada pada indikator baik.
Hasil observasi menunjukkan bahwa keseluruhan aspek yang meliputi (1) bahasa; (2) penampilan; (3) sistematika;
(4) manfaat; (5) kesesuaian terhadap peserta didik; dan
(6) kesesuaian materi yang terdapat di
dalam bahan ajar direspon dengan baik oleh peserta didik. Tanggapan guru
berdasarkan pertimbangan pengamatan selama dua kali pertemuan. Setiap
pernyataan di dalam angket diisi dengan jawaban setuju dan sangat setuju. Rerata keseluruhan
aspek ( adalah 4,76 dengan kategori sangat baik. Artinya
peserta didik memberikan respon dengan
sangat baik terhadap bahan ajar yang digunakan selama pembelajaran (2 kali
pertemuan).
Jika ditinjau dari
syarat respon peserta didik, maka bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten
Luwu Utara ini telah memenuhi persyaratan untuk diujicobakan pada kelompok
besar.
Sebagai kesimpulan,
hasil uji coba bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara telah
memenuhi syarat kepraktisan dan keefektifan bahan ajar. Kepraktisan bahan ajar
yang diukur melalui dua aspek yaitu pengelolaan pembelajaran dan keterlaksanaan
bahan ajar telah memenuhi kedua syarat tersebut. begitu pula dengan hasil
belajar, aktivitas, dan respon peserta didik
yang memenuhi syarat sehingga bahan ajar ini siap untuk diujicobakan
pada kelompok besar.
c.
Hasil uji coba
lapangan (kelompok besar)
Pelaksanaan uji
coba kelompok besar dilaksanakan di SDN 092 Lindu
dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Bone-Bone. Jumlah kelas
uji coba di masing-masing lokasi ini adalah satu kelas. Di SDN
092 Lindu, jumlah
peserta didik 26 orang yaitu 14 orang perempuan dan 12 laki-laki. Sedangkan di Madrasah
Ibtidaiyah Al-Falah Bone-Bone, jumlah peserta didik sama dengan di SDN 193 Tamuku yaitu 24 dengan
jumlah peserta didik laki-laki 10 dan
peserta didik perempuan 14.
1)
Hasil kepraktisan bahan ajar
a) Syarat
pengelolaan pembelajaran
Setelah dilakukan dua kali pertemuan,
hasil observasi membuktikan bahwa rerata keseluruhan aspek pengelolaan
pembelajaran pada SDN 092 Lindu adalah 3,79
dengan kategori pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan pembelajaran pada uji
coba kelompok besar telah terlaksana dengan baik. Sedangkan, rerata keseluruhan
aspek pengelolaan pembelajaran pada MI Al-Falah
adalah 4,08 dengan kategori pelaksanaannya baik. Artinya, pengelolaan
pembelajaran pada uji coba kelompok besar telah terlaksana dengan baik.
Dengan demikian, bahan ajar berbasis
cerita rakyat ini memenuhi syarat pengelolaan pembelajaran untuk dijadikan
sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD khususnya pada
kelas III.
b) Syarat
keterlaksanaan pembelajaran
Setelah dilakukan dua kali pertemuan,
observator menilai bahwa semua aspek hampir dilaksanakan secara maksimal.
Artinya, proses pembelajaran dijalankan dengan sangat baik. Di SDN
092 Lindu
dan MI Al-Falah, bahan ajar sudah diterapkan sangat sesuai dengan proses
belajar mengajar. Tujuan yang akan dicapai juga sangat sesuai dengan materi
bahan ajar yang digunakan. Bahan ajar juga sangat mudah diterapkan. Hal ini
dapat dilihat dari sikap dan gaya belajar mandiri peserta didik dalam memahami isi atau materi pelajaran.
Seperti pada tujuan awal bahan ajar yaitu sebagai media internalisasi nilai
karakter, proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sangat baik oleh guru,
pada setiap bagian pembelajaran (awal, inti, dan akhir), guru menanamkan
hal-hal positif yang berkaitan dengan pembentukan nilai karakter yang dikaitkan
dengan cerita rakyat yang ada dalam bahan ajar.
Rerata setiap aspek dari dua pertemuan
masing-masing sekolah menunjukkan hasil yang sangat baik. Setiap aspek sudah
memenuhi syarat keterlaksanaan. Tambahan lagi, rerata keseluruhan aspek kedua
sekolah juga menunjukkan indikator baik yaitu SDN 092
Lindu
4,05 dengan indicator baik, dan MI Al-Falah 4,25 dengan kategori baik. Artinya,
bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Gowa layak dari
segi kepraktisannya untuk dijadikan sebagai bahan ajar.
2)
Hasil
kefektifan bahan ajar
a) Syarat
hasil belajar peserta didik
Hasil belajar SDN
092 Lindu
telah memenuhi syarat. Diketahui bahwa dari 26 peserta didik, 2 orang (7,69 %) diantaranya dinyatakan tidak tuntas
karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 24 orang peserta didik atau 92,31 % peserta didik dinyatakan tuntas secara klasikal. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia uji coba kelompok besar di kelas III SDN
092 Lindu
dinyatakan tuntas.
Lain halnya dengan MI Al-Falah,
diketahui bahwa dari 24 peserta didik, 4 orang (16,67%) diantaranya dinyatakan
tidak tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah dari batas Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Artinya, terdapat 20 orang peserta
didik atau 83,33 % peserta didik dinyatakan tuntas secara klasikal.
Berdasarkan hasil tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan
bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara di MI Al-Falah belum
dinyatakan tuntas.
Sebagai kesimpulan, berdasarkan hasil
belajar uji coba kelompok kecil (satu sekolah) dan uji coba lapangan (dua
sekolah), dua sekolah di antaranya dinyatakan tuntas yaitu SDN 193 Tamuku dan SDN
092 Lindu. Sedangkan MI Al-Falah dinyatakan belum tuntas.
Tetapi, hasil ketuntasan klasikalnya sudah sangat memadai (83,33) sehingga
rerata keseluruhan ketuntasan hasil belajar dapat mewakili keefektifan bahan ajar.
b) Syarat
aktivitas belajar
Pada pertemuan pertama,
aktivitas belajar peserta didik belum
cukup baik. Kelemahan proses pembelajaran hasil observasi dikonsultasikan dan
dievaluasi oleh guru dan peneliti. Setelah melalui tahap konsultasi dan
evaluasi pembelajaran pada pertemuan pertama, proses pembelajaran kedua sekolah
pada pertemuan kedua menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dengan aktivitas
peserta didik yang semakin baik. Peserta
didik mematuhi semua tata tertib pembelajaran, menyimak penjelasan guru dengan
baik serta berani dalam memberikan jawaban, komentar, atau pertanyaan.
Nilai-nilai kerjasama antara kelompok dan teman sebangku juga sangat baik.
Peserta didik saling bertukar pendapat
untuk memecahkan masalah atau tugas yang diberikan. Apresiasi terhadap bahan
ajar pun menjadi semakin maksimal.
Rerata keseluruhan
aspek ( aktivitas belajar peserta didik pada uji coba
kelompok besar di SDN 092 Lindu
yaitu 3,98 dengan kategori “baik” dan telah memenuhi syarat. Sedangkan rerata
aktivitas belajar peserta didik di MI Al-Falah adalah 3,67 dengan kategori
“baik” dan memenuhi persyaratan. Artinya, aktivitas peserta didik selama
mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di kedua sekolah dengan
menggunakan bahan ajar berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara sudah
berjalan dengan baik. Dengan demikian, jika ditinjau dari syarat aktivitas
belajar peserta didik, maka bahan ajar berbasis cerita rakyat tersebut telah
memenuhi standar kelayakan.
c) Syarat
respon peserta didik
Respon peserta didik terhadap uji coba
bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat masyarakat Kabupaten Luwu
Utara menunjukkan bahwa keseluruhan aspek yang meliputi (1) bahasa; (2) penampilan; (3) sistematika;
(4) manfaat; (5) kesesuaian terhadap peserta didik; dan
(6) kesesuaian materi yang terdapat di
dalam bahan ajar direspon dengan baik oleh peserta didik. Tanggapan guru
bedasarkan pertimbangan pengamatan selama dua kali pertemuan. Setiap pernyataan
di dalam angket diisi dengan jawaban setuju dan sangat setuju. Rerata keseluruhan
aspek ( di SDN 092 Lindu
adalah 4,86 dengan kategori sangat baik, begitu pula dengan MI Al-Falah dengan
rerata keseluruhan aspek 4,86 dengan kategori sangat baik. Artinya peserta
didik memberikan respon dengan sangat
baik terhadap bahan ajar yang digunakan selama pembelajaran (2 kali pertemuan).
Jika ditinjau dari syarat respon peserta didik, maka bahan ajar bahasa
Indonesia berbasis cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara ini telah memenuhi
persyaratan uji kelayakan.
Berdasarkan hasil
temuan di atas, kelima syarat telah terpenuhi. Jadi bahan ajar berbasis cerita rakyat
masyarakat Kabupaten Luwu Utara dinyatakan layak untuk dijadikan sebagai bahan
ajar pembelajaran bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar. Kesimpulan
ini berdasarkan kriteria
yang ditetapkan untuk menyatakan bahwa bahan ajar bahasa Indonesia berbasis
cerita rakyat Kabupaten Luwu Utara layak untuk dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar (SD) yaitu minimal 3 dari 5 standar keefektifan bahan
ajar tercapai, yakni: (1) standar hasil belajar, (2) standar aktivitas peserta
didik, (3) standar respon peserta didik, (4) standar pengelolaan pembelajaran
dan (5) standar keterlaksanaan bahan ajar. Dengan catatan syarat standar
bersifat mutlak. Artinya standar tersebut harus tercapai.
2.
Luaran (output) Bahan Ajar Bahasa Indonesia
Berbasis Cerita Rakyat untuk Peserta Didik Kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten
Luwu Utara
Bahan
ajar merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran. Tanpa bahan
ajar, proses untuk pencapaian tujuan pembelajaran adalah sia-sia belaka. Oleh
karena itu, pengembangan bahan ajar adalah sebuah langkah produktif-kreatif
untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang ideal.
Mengacu
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diamanahkan sebagai wadah pendidikan
karakter, maka bahan ajar yang digunakan pun harus memiliki muatan dan dimensi
nilai karakter di dalamnya. Berbicara tentang nilai karakter, setiap daerah
yang ada di Bumi Persada Indonesia memiliki kearifan dan nilai karakter
masing-masing sebagai modal kemajemukan karakter bangsa. Namun, saat ini
pendidikan di Indonesia mengalami sentralisasi budaya dan karakter yang
tertuang di dalam bahan ajar yang digunakan di setiap instansi pendidikan
formal dan swasta. Sebagai contoh, ditemukan bahan ajar pada jenjang Sekolah
Dasar (SD) di Kabupaten Luwu Utara yang muatan budaya dan karakter di dalamnya
berkiblat dari luar kebudayaan lokal. Hal tersebut tidaklah mengherankan,
karena sumber produksi bahan ajar yang digunakan di Indonesia khususnya di
Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan adalah berasal dari luar
Sulawesi Selatan. Lalu, perlahan namun pasti, degredasi terhadap kecintaan dan
pengetahuan akan budaya dan karakter lokal akan terjadi. Peserta didik tidak
lagi mencintai atau bahkan mengenal budaya dan kearifan karakter lokal mereka
sendiri. Oleh karena itu, penelitian pengembangan bahan ajar berbasis cerita
rakyat masyarakat Kabupaten Gowa ini adalah salah satu upaya membelajarkan
budaya dan menanamkan nilai nilai karakter lokal kepada peserta didik agar
menumbuhkan sikap cinta dan berperilaku sesuai dengan karakter-karakter baik
dalam budaya lokal kedaerahannya namun tidak melupakan karakter berbangsa.
Dewasa
ini, generasi muda Indonesia mengalami ronrongan kebudayaan asing. Masuknya
pengaruh asing tersebut menjadikan keaslian budaya dan keluhuran sikap
berbangsa mengalami pengerdilan. Terjadi ketimpangan perilaku di sana-sini.
Generasi muda tidak lagi menunjukkan sikap sebagai generasi unggul bakal
pembangun bangsa. Tindakan kriminal saat ini juga tidak luput dari generasi
muda sebagai aktor utamanya. Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar berbasis
cerita rakyat masyarakat Kabupaten Luwu Utara ini adalah salah satu langkah
membentengi dampak buruk dari kerusakan mental bangsa yang sekarang ini
terjadi.
Cerita
rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan dianggap sebagai suatu pesan moral bagi para pemiliknya. Oleh
karena itu, cerita rakyat memenuhi kelayakan dari segi isi dan fungsi untuk
dijadikan sebagai media pendidikan karakter. Pemilihan cerita rakyat untuk
peserta didik kelas III Sekolah Dasar di Kabupaten Luwu Utara dilatarbelakangi
oleh kekayaan cerita rakyat yang melimpah di daerah ini sekaligus peneliti
sebagai pemilik utama cerita rakyat tersebut.
Bahan ajar
bahasa Indonesia untuk kelas III Sekolah Dasar (SD) berbasis cerita rakyat di Kabupaten
Luwu Utara memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahan ajar lainnya. Selain
bermuatan budaya lokal, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat
Kabupaten Luwu Utara juga berbeda dari segi nilai-nilai karakter yang ada di
dalamnya. Selain nilai karakter bangsa yang umumnya ada dalam bahan ajar yang
disediakan oleh pemerintah, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat
mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai karakter lokal. Hal
tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan KTSP yaitu (1) berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta didik, dan
lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan
berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara kepentingan
nasional dan kepentingan daerah (Depdiknas, 2006b:50-52).
Ada 18 nilai
karakter yang ditanamkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Nilai
karakter tersebut adalah religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Depdiknas, 2006b:76).
Dalam bahan ajar
bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat Makassar ditemukan beberapa nilai
karakter selain dari 18 karakter tersebut sebanyak 22 nilai. Adapun ke 22
nilai-nilai lokal yang terimplementasi dalam bahan ajar berbasis cerita rakyat
Makassar tersebut, yaitu nilai ada tongeng (perilaku jujur), gauk malebbi (santun), ati macinnong
(bersih hati), matutu ada-ada (menjaga
ucapan), matutui ri panggaukang
(menjaga perilaku), paksarikbattangang
(persaudaraan), siuddaniang (saling
merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak
(sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan)..
Nilai-nilai karakter tersebut tertuang di dalam cerita rakyat Makassar. Untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut, guru sebagai fasilitator, mediator, dan
inspirator serta sumber informasi bagi peserta didik memperkenalkan dan
memberikan pemahaman tentang pentingnya nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini
adalah nilai-nilai lokal dapat diajarkan kepada peserta didik. Hal tersebut
sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia menurut BSNP (2006:43) bahwa
guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai
dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, orang tua dan
masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di
sekolah, sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan
keadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan daerah dapat menentukan
bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap
memperhatikan kepentingan nasional
Nilai-nilai
karakter yang tertuang dalam penelitian ini sebanyak 22 nilai yang secara umum
telah dituliskan dalam 18 nilai karakter yang telah diajukan oleh pendidikan
karakter skala Nasional. Namun, nilai-nilai kearifan lokal yang muncul dalam
penelitian ini lebih spesifik kepada nilai-nilai yang sangat dekat dengan
kehidupan peserta didik dalam keseharian. Selain itu, hasil penelitian ini
menunjukkan perbedaan antara peneliti terdahulu yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Kasma F. Amin pada tahun 2013 yang menemukan bahwa ada 16 karakter dalam kearifan lokal Bugis dalam pappaseng to matoa. 16 karakter tersebut
adalah deceng (karakter baik), teppe (karakter yakin), macca (karakter cerdas), warani (karakter pemberani), marenreng perru (karakter setia), lempuk (karakter jujur), mappasitinaja (karakter adil), ada tongeng (perkataan benar), getting (teguh), matike (cermat), mappasanre
(tawakkal), reso (etos kerja),
matinulu (rajin), assimellerang
(peduli), tenri cau (daya saing tinggi), asseddingeng
(gotong royong).
Semua nilai karakter yang tertuang dalam bahan ajar berbasis cerita
rakyat Makasar ini dapat diterima dengan baik dan penuh apresiasi oleh peserta
didik kelas III Sekolah Dasar. Stimulus yang diberikan selama proses
pembelajaran dapat dirasakan oleh siswa karena apa yang dipelajari dapat
diamati dalam kehidupan peserta didik. Hal ini sesuai dengan kondisi
perkembangan psikologi anak pada usia 9-11 tahun yaitu tahap operasional
kongret. Prastowo (2013:32) berpendapat bahwa pada fase tersebut, peserta didik
akan dengan mudah menerima stimulus yang diberikan jika stimulus tersebut
berkaitan dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan penelitian ini, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fachruddin
A.E (1981) menemukan bahwa terdapat 34 sastra lisan yang berkembang di tengah
masyarakat Bugis. Sastra lisan tersebut diperoleh dari berbagai wilayah di
Sulawesi Selatan. Sastra lisan mengisahkan nilai perjuangan, kecerdikan, dan
kerja keras. Nilai-nilai tersebut dikisahkan melalui tokoh, binatang, dan
tempat yang diceritakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa banyak
nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Bugis dan Makassar yang belum
terkaji secara signifikan yang dapat dijadikan sebagai acuan hidup bagi
generasi yang akan datang.
Hasil observasi
membuktikan bahwa nilai-nilai tersebut diaplikasikan oleh peserta didik di
dalam kelas melalui kegiatan interaksi belajar. Banyak cara yang dilakukan oleh
guru agar nilai-nilai tersebut diterapkan langsung oleh peserta didik misalnya kegiatan diskusi, belajar kelompok,
kuis interaktif, permainan-permainan yang menerapkan prinsip kerjasama, serta
kegiatan lainnya. Selain di dalam kelas, nilai-nilai tersebut juga
diimplementasikan di luar kelas. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai karakter
yang dibelajarkan memiliki pengaruh terhadap peserta didik.
Menurut guru,
pelaksana pembelajaran di kelas uji coba, ada perubahan tingkah laku positif
yang cukup signifikan dalam diri peserta didik setelah belajar dan mempraktikan
nilai-nilai yang terdapat dalam bahan ajar. Hasil penelitian ini mengisyaratkan
kebenaran tentang teori belajar bahasa Behavioristik yang menganggap bahwa
perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respon tertentu yang dikuatkan.
Respon itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respon yang berupa
pemahaman atau respon yang berwujud ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran
dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi
itu.
Menurut teori
Behavioristik, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh
adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka
gerak balas pun dapat diprediksikan. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter
melalui bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat ini, peserta didik
akan mengenal, menghayati berbagai nilai-nilai karakter sehingga nilai-nilai
tersebut dapat diterapkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gagne (1984:127).
Menurutnya, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu
organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dihasilkan
dari pengalaman dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan antara
stimulus dan respon.
Menurut fungsi
dasarnya, bahan ajar bahasa Indonesia berbasis cerita rakyat untuk kelas III
Sekolah Dasar ini adalah membelajarkan peserta didik untuk berkomunikasi dengan
baik dan benar melalui kegiatan menyimak, berbicara, menulis, dan membaca,
peserta didik dilatih kemampuan dan keterampilan berbahasanya. Hal tersebut
sejalan dengan hakikat pembelajaran bahasa di sekolah dasar dan standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan
minimal siswa yang menggambarkan penugasan, pengetahuan, ketrampilan berbahasa,
sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini
merupakan dasar bagi siswa untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional,
nasional, dan global.
KESIMPULAN
Selain 18 nilai
karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan karakter
nasional, kearifan lokal berupa cerita rakyat yang dimiliki oleh masyarakat
Bugis Kabupaten Luwu Utara juga ditemukan 22
nilai karakter yang terdapat dalam kearifan lokal cerita rakyat masyarakat
Bugis Kabupaten Luwu Utara yang dituangkan dalam bahan ajar yaitu nilai ada tongeng
(perilaku jujur), gauk malebbi
(santun), ati macinnong (bersih hati), matutu
ada-ada (menjaga ucapan), matutui
ri panggaukang (menjaga perilaku), paksarikbattangang
(persaudaraan), siuddaniang (saling
merindukan), situlung-tulung (tolong menolong), sipakalakbirik (saling menghargai), abbulosibatang (saling setia), sabbarak
(sabar), kessing ri ada (sopan), kessing ri ampe (lembut), biasa-biasa (sederhana), alusuk ri ada (lembut bertutur), malebbi ati (baik hati), sikatutui (saling menjaga), sipakatau (saling menghormati), sipakalalo (saling mendahukan), sikasi-asi (saling menyayangi), sipakainga (saling mengingatkan).
Nilai-nilai karakter tersebut diaplikasikan
dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas diluar kelas oleh peserta
didik.
DAFTAR ISI
Akhadiah,
Sabarti dkk. 1991.
Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa
Indnesia. Jakarta Erlangga.
Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Amin,
Kasma. 2014. Lontarak dan Surek Ugik,
Kajian Kearifan Lokal Bugis Sebagai Basis Pendidikan Karakter Bangsa.
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Amri, S. dan
Ahmadi K.
I. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan
Inovatif. Dalam Kelas. Jakarta :
Prestasi Pustaka Raya
Anshari.
2011. Representasi Nilai Kemanusiaan
dalam Sinrilik Sastra Lisan Makassar. Makassar: P31 Cipta Media.
Arikunto,
Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
-----------. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Association for Educational
Communications and Technology.
1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.
Basang,
Djirong. 1997. Taman Sastra Makassar.
Ujung Pandang. CV Surya Agung.
Bogdan. R & SK. Biklen. (1992). Qualitative research for Education An
Introduction to the Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon.
Brady,
Laure. 1991. Children and Their Books:
The Right Book for The Right Child I. Melbourne: The Macmillan Company.
Brown,
James D. 1995. The Elements of Language Curriculum. Boston: Heinle &
Heinle Publishrrs.
BSNP. 2006. Standar Isi: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI. Jakarta:
BSNP
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: BSNP
Byram Michell & Gerundy Peter.
2003. Contex and Culture in Language
Teaching and Learning. Australia: Short Run Press ltd.
Coombs, Philip H. 1981. The World Education Crisis. London:
Oxford University Press
Cunningsworth,
Alan. 1995. Choosing Your Course-Book. Oxford: Heilnemann.
Daeng
Patunru, Razak. 1993. Sejarah Gowa.
Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Erlangga.
Danandjaja,
James. 1997. Folklor Indonesia, Ilmu
Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Depdiknas. 2003. Kurikulum
2004. Jakarta: Depdikbud.
______.
2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
______.
2003a. Pelayanan Profisional Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas.
______.
2003b. Standar Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
______.
2004a. Kurikulum 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
______.
2004b. Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.
Jakarta: Depdiknas.
______.2006a.
KTSP SD & Madrasah Ibtidaiyah: Dilengkapi Model Silabus, Model
Pembelajaran Tematik, Model Mata Pelajaran Muatan Lokal. Surakarta:
Depdiknas.
______. 2007. Kumpulan
Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP:
Panduan Penusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar
dan Menengah Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan
Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.
______. 2008. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Dikmenum. Depdiknas.
Dirjen
Dikti. 1983. Panduan Manajemen Sekolah, Proyek Peningkatan mutu Guru
Kelas SD Setara D.II Jakarta.
Dubin, F. dan Olshtain, E. 1986. Course Design: Developing Programs and
Material for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press, Illinois
University.
Ellis, Rod. 1997.
Understanding Second Language Acquisition. Oxford: OxforUniversity
Press.
Endraswara, Suwardi. 2005
Tradisi Lisan Jawa : Warisan Abadi Budaya
Leluhur. Yogyakarta : Narasi.
Endraswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian
Folklore: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Fachruddin,
A. E. 1981. Sastra Lisan Bugis.
Jakarta: Depdikbud.
Fang, Liaw Yock. 1976. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.
Faruk, Faruk. 1999. Pengantar
Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk, Faruk. 1999. “Kritik Terbuka:
Sebuah Imperatif Budaya” dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan.
Yogyakarta: UII Press.
Gagne,
E.D. 1984. The Cognitive Psycholoy of
School Learning. Boston: Little Brown.
GBHN. 1999. Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Bandung: Citra Umbara
Greene dan Petty. 2001. Developing Language Skill in The Elementary
Schools. Boston : Alyn and Bacon Inc.
Hadley, Alice Omaggio. 1993. Teaching Language 2nd Edition. USA:
Heinle and Heinle Publishers.
Hamalik,
Oemar. 1990. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Hamid,
Abdullah. 1985. Manusia Bugis Makassar.
Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia
Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Harjanto. 2005. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta
Hernawan,
Asep Herry. 2012. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Universitas
Terbuka.
Huck,
Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature in The Elementary School. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Hunt,
Peter. 1995. Criticism, Theory, and
Children’s Literature. Cambridge, Massachussetts: Blackwell.
Iskandarwassid.
2008. Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
James, Donglas. 2002, Building Adaptation, Butterworth -
Heinemann, Edinburgh, U.K.
Joni. 1984. Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta: Dirjen
Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Jufri,
dkk. 2011. “Struktur Wacana Budaya” Laporan
Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun III. Makassar: Lembaga Penelitian
Umiversitas Negeri Makassar.
Kemdiknas. 2008. Sosialisasi
KTSP: Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Kemdiknas RI.
Kurniawati, S. 2009. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa
dan Sastra Indonesia dengan Pendekatan Tematis.
Tesis. Surakarta: PPS Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Limpo, Syahrul Yasin, dkk. 1995. Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa.
Ujung pandang: Pemda Tingkat II Gowa.
Long,
M.H. dan G. Crookes. 2004. Three Approaches to Task-Based SyllabusDesign,http:www.iei.uluc.edu/TESOLOnline/topics/threesyllabuses.html.20Maret
2015.
Lukens,
Rebecca J. 2003.A Critical Handbook of
Children’s Literature. New York: Longman.
Majid,
Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran:
Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rodsakarya.
Malmkjaer,
K dan Anderson, J.M. 1991. The Linguistics Encyclopedia. London:
Routiedge.
Mardiatmadja,
1987. Teknik memimpin Rapat.
Yogyakarta: Kanisius
Mattulada.
1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar
dalam Sejarah (1510-1700). Makassar. Bakti Baru-Berita Utama.
McNeil, John D. 1977.
Curricuium A Comprehensive Introdaction. Boston : Littel.
Mitchell,
Diana. 2003. Children’s Literature, an
Invitation to the World. Boston: Ablongman.
Moeliono,
Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia.
Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Mudyahardjo. 1992. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2006. Menjadi
Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung: Remaja Rosdakarya Offse.
Mulyasa, E., 2007.
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:
Remaja. Rodaskarya.
Nababan, P. W. J. 1984.
Sosiolingustik: Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Gramedia.
Natawidjaja,
1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja
Pemimpin Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta
Nunan, David.
1997. Language Teaching Methodology A Textbook for Teachers. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2003. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berwawasan Multikultural.
Yogyakarta.
---------------.
2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman
Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Patahuddin, Ahmad Talib, dan
Rosidah. 2009. “Studi Penulusuran dan
Adaptasi Kearifan Lokal Budaya Suku Bugis-Makassar untuk Membangun Nilai
Afektif Siswa pada Pembelajaran Matematika SD di Sulawesi Selatan”. Laporan
Penelitian. Makassar. Lembaga
Penelitian Universitas Negeri Makassar.
Peraturan
Pemerintah No. 19. 2005. Standar Nasional Pendidikan.
Kementerian Pendidikan Nasional.
Permendikbud No. 65 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 66 tentang Standar Penilaian. Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 67 Tahun 2013
tentang Kurikulum Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdikbud.
----------- No. 81A Tahun 2013
tentang Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Depdikbud.
Prastowo.
2011.
Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar
Inovatif. Yogyakarta: DIVA Press.
2013. Pengembangan
Bahan Ajar Tematik Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Richards, J.C.
1995. The Context of Language Teaching. Cambridge University Press
______. 2002. The
Language Teaching Matrix. Cambridge. CUP Press.
______. 2001. Curriculum
Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
______.
1996. Teacher as Course Developpers. Cambridge: CUP Press.
Rieken,
Elizabeth, 1993. Theaching Language in
Context. Heinle & Heinle Publiser, Boston.
Rozak . 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustak
Rubin,
1995, Community Organizing and
Development: Second Edition, New York : Macmillan Publishing Company.
Rusman.
2011. Model-Model Pembelajaran
Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sadiman,
2004. Media Pendidikan :
Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Salam.
2007. Pengembangan Bahan Ajar. Makalah disajikan dalam Penataran Guru
Bahasa Indonesia SMA di Sulawesi Selatan: Ujung Pandang.
Saxby,
Maurice dan Gordon Winch (eds). 1991. Give
Them Wings, The Experience of Children’s Literature. Melbourne: The
Macmillan Company.
Scrivener,
Alan B., A, 2002 Curriculum for
Cybernetics and Systems.
Siregar,
Syofian. 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian : Dilengkapi Perhitungan
Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Skinner,
B.F. 1957. Verbal Behaviour. New
York. Appleton-Century Croffts Inc.
Skolimowski, Henryk. Filsafat Lingkungan: Merancang Taktik Baru untuk Menjalani Kehidupan.
Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2008. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Snellbecker,
G.E. 1974. Learning Theory, Instructional
Theory, and Psycho educational Design. New York: McGraw-Hill.
Stewig,
John Warren. 1980. Children and
Literature. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Sugiyono.
2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
-----------.
2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
-----------.
2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta
Sugirin,
dkk. 2011. Pengembangan Buku Ajar Bahasa
Inggris SMP Berbasis Multikultur sebagai
Upaya Pemertahanan Budaya Lokal. Yogyakarta: PPS UNY
Sulistyowati,
E. 2009. Bahan Ajar, (Online), (endahsulistyowati.wordpress.com/
…/apakah-perbedaan-bahan-ajar-dan-sumber-belajar/, diakses 21 Januari 2015).
Supriadi,
D. 2000. Mengangkat Citra dan Martabat
Guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa
Tomlinson, 1998. Materialis Development in Languange
Teaching.Camridge: Camridge University Press.
Trianto, 2005. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta Kencana Prenada Group.
Trianto.
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Watson,
John B. 1978. Behaviorism, revised edition. Chicago: University of
Chicago Press.
Widijanto, et al. (2008). “Lembar Kerja Siswa (LKS) Matematika Interaktif Model E-Learning”.
(Online). Tersedia:www.e-psikologi.com/remaja.
(20-11-2012)
Wiener, Norbert.
1954. The Human Use of Human Beings. New York: Doubleday & Company Inc,
Garden City New York.
Yulianeta.
2008. Pengembangan Buku Teks Bahasa Indonesia untuk Kelas 2 Sekolah Dasar
Berbasis BSE. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud.
No comments:
Post a Comment