PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL (CERITA RAKYAT) DI SEKOLAH DASAR
(Aziz Thaba/085298040152)
(Aziz Thaba/085298040152)
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan pilar utama penentu
kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia
yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya
saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan. Pendidikan
nasional merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Pada pihak lain, pendidikan nasional juga berfungsi untuk
menjamin dan melestarikan keberhasilan pembangunan. Dengan demikian ada hubungan
dialektis antara pendidikan nasional dan pembangunan nasional. Dengan perkataan
lain, pendidikan nasional harus mampu mengantisipasikan dan mempengaruhi
perkembangan dan arah pembangunan, sedangkan pembangunan harus mampu menjamin
terlaksananya pendidikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh
pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan dan
pembaharuan pendidikan harus selalu dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan itu sendiri demi terwujudnya sinergitas pembangunan nasional.
Sehubungan dengan pembangunan nasional,
bahasa adalah satu kekayaan budaya berbangsa dan bernegara yang harus
senantiasa dilestarikan, dikembangkan, diajarkan, dan dibudayakan baik bahasa
nasional maupun bahasa daerah. Bahasa
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini haruslah disadari
benar, terutama oleh
guru mata pelajaran Bahasa Indonesia
pada
khususnya dan guru bidang studi lain pada umumnya. Dalam menjalankan
tugasnya sehari-hari, guru
bahasa Indonesia harus memahami bahwa tujuan akhir pembelajaran bahasa adalah agar siswa dapat mempergunakan
bahasa sebagai alat berkomunikasi,
serta terampil dalam menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Keberhasilan
pengajaran bahasa sangat ditentukan oleh perangkat pembelajaran yang digunakan.
Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman
yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana
yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Tujuan
adanya perangkat pembelajaran adalah untuk memenuhi keberhasilan seorang guru
dalam pembelajaran.
Salah satu perangkat pembelajaran yang sangat vital dalam
menunjang keberhasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa Indonesia
adalah bahan ajar. Dalam proses pembelajaran, bahan
ajar berkedudukan sebagai modal awal yang akan digunakan atau diproses untuk
mencapai hasil. Hasil tersebut berupa pemahaman dan kemampuan siswa. Pentingnya
bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran dapat dianalogikan seperti pentingnya
bahan-bahan untuk memasak. Jika tidak ada bahan yang digunakan dalam memasak,
maka tidak akan ada masakan yang dihasilkan. Sebaliknya, jika terdapat bahan
makanan untuk dimasak maka akan dihasilkan suatu makanan walaupun itu sangat
sederhana. Dengan melihat analogi tersebut kita dapat memahami bahwa bahan
memiliki kedudukan yang penting terhadap suatu proses. Demikian pula halnya
dengan bahan ajar dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan komponen yang
harus ada di dalam proses pembelajaran.
Namun, masih sangat minim kita jumpai bahan ajar yang terigintegrasi dengan kearifan lokal (local wisdom) dimana bahan ajar tersebut digunakan. Sehingga, kemungkinan akan lunturnya rasa cinta, pemahaman, dan pengetahuan terhadap budaya sendiri akan semakin kita alami pada peserta didik. Berdasarkan temuan awal di lapangan, beberapa bahan ajar yang digunakan dalam
pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) kelas III khususnya di Kabupaten Gowa,
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu SD
Negeri Paccinongang Unggulan Kecamatan Sungguminasa, SD Inpres Lambengi
Kecamatan Pallangga, dan SD Negeri Anassappu Kecamatan Bontonompo merupakan
bahan ajar yang dicetak beberapa percetakan berskala nasional seperti Erlangga,
Gramedia, dan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, ada
pula bahan ajar berbasis buku sekolah elektronik ‘BSE” yang dicetak dan dikemas dalam bentuk
buku paket. Hasil analisis ditemukan
bahwa tidak terdapat muatan lokal atau daerah yang ada di Sulawesi Selatan
khususnya kebudayaan masyarakat Kabupaten Gowa yang terdapat dalam bahan ajar tersebut.
Hal ini disebabkan karena bahan ajar tersebut masih didominasi oleh kebudayaan
masyarakat Jawa, Denpasar, atau Sumatera. Sebagai contoh, gambar-gambar yang
ditampilkan serta cerita anak atau cerita rakyat yang ada di dalamnya adalah
berasal dari luar Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa. Kondisi ini
tentunya tidak lagi sejalan dengan tujuan pendidikan yang berkarakter luhung dengan mengedepankan karakter
lokal. Dampak buruk yang mungkin saja terjadi adalah hilangnya pemahaman,
pengetahuan, dan kecintaan peserta didik terhadap budaya mereka sendiri. Minimnya
sumber belajar yang mengedepankan aspek kebudayaan lokal secara proporsional
dengan kebudayaan nasional memerlukan perhatian yang serius. Sejalan dengan hal
tersebut, Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa adalah daerah yang kaya
akan kultur seni, budaya, nilai, dan karakter lokal sebagai salah satu sumber yang
potensial untuk meramu bahan ajar.
Dewasa
ini cerita rakyat yang menjadi ciri khas
dan jiwa bangsa semakin terkikis oleh budaya asing. Hal ini terjadi karena arus
globalisasi yang melibatkan negara-negara di dunia menjadi begitu mudahnya
budaya-budaya asing masuk dan berbaur
dengan budaya lokal yang secara langsung dapat mempengaruhi tatanan budaya
bangsa. Demikian halnya cerita rakyat seakan-akan terlupakan dan tidak ada
waktu untuk mengkaji. Salah satu
usaha melestarikan budaya lokal (cerita rakyat) Kabupaten Gowa, maka ditempuh
pendataan dari beberapa orang yang masih mengingat dan sering melantunkan, selanjutnya
disusun untuk dibukukan dan dicetak. Tema-tema cerita yang tampak antara lain:
membasmi kezaliman; kasih sayang ibu; saling menghormati; kesaktian membawa
berkah; giat mencari nafkah; tekun
belajar. Tema-tema tersebut, optimal membantu murid dalam mencapai standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang diamanahkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Hal ini terurai dalam cerita rakyat Kabupaten Gowa, sehingga
cerita tersebut signifikan dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia Kelas III Sekolah
Dasar.
KAJIAN TEORI
Kajian teori yang dibahas meliputi: (1)
hakikat pendidikan, (2) teori belajar, (3) teori belajar bahasa, (4) hakikat
pembelajaran bahasa, (5) pendekatan pembelajaran bahasa, (6) pembelajaran
bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, (7) pengembangan bahan ajar, (8)
pengembangan desain pembelajaran, (9) pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia
berbasis Cerita Rakyat.
1.
Hakikat Pedidikan
Secara umum, pendidikan diartikan
sebagai upaya pengembangan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter
bangsa yang dilandasi nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya,
dan IPTEKS yang bermuara pada pembentukan pribadi manusia bermoral dan
berakhlak mulia serta berbudi luhur. Pendidikan diartikan sebagai upaya untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki idealisme nasional dan
keunggulan profesional, serta kompetensi yang dimanfaatkan untuk kepentingan
bangsa dan negara. Secara formal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan,
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang. (UU No. 20 Tahun 2003).
Tujuan pendidikan merupakan kristalisasi
nilai-nilai yang diwujudkan dalam pribadi siswayang terintegrasikan dalam pola
kepribadian dan kehidupan yang ideal dan utuh, dilandasi keimanan dan ketakwaan
kepada Allah Yang Maha Esa. Tujuan pendidikan mencakup dimensi nilai,
filosofis, psikologis, sosiologis, sosial, pribadi dan budaya (Natawidjaja,
1988: 4). Secara umum, pendidikan bertujuan mengembangkan manusia agar memiliki
kualitas pribadi terintegrasi, bermoral, dan berakhlak mulia, serta
mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki pribadi, ilmu, dan
profesionalisme yang tinggi. Istilah
pendidikan berasal dari bahasa Yunani paedagogie
yang akar katanya pais yang berarti
anak dan again yang artinya
bimbingan. Jadi paedagogie berarti
bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan
diterjemahkan menjadi Education. Education berasal dari bahasa Yunani educare yang berarti membawa keluar yang
tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang.
Menurut
para ahli Langeveld, pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang
diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai
kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalammelaksanakan tugas
hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. John Dewey seorang ahli
filsafat pendidikan Amerika pragmatisme dan dinamis,mengartikan pendidikan
sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapanfundamental secara intelektual
dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.Menurutnya hidup itu adalah suatu
proses yang selalu berubah, tidak satupun yangabadi. Karena kehidupan itu
adalah pertumbuhan, maka pendidikan berarti membantupertumbuhan bathin tanpa
dibatasi oleh usia. Dengan kata lain pendidikan adalahsuatu usaha manusia untuk
membantu pertumbuhan dalam proses hidup tersebutdengan membentukan kecakapan
fundamental atau kecakapan dasar yang mencakupaspek intelektual dan emosional
yang berguna atau bermanfaat bagi manusia terutamabagi dirinya sendiri dan bagi
alam sekitar. Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional
Indonesia, merumuskan pengertian pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek dan
tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu
agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya.
Pengertian
pendidikan yang tertera dalam Garis-Garis Besar HaluanNegara (Tap MPR
No.II/MPR/1988), adalah bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dengan kemampuan di dalam dan di luarsekolah
dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Definisi
Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20
tahun 2003 Bab I, pasal 1 menggariskan pengertian pendidikan sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan
potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Teori Belajar
Snelbecker (1974) berpendapat
bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan juga vital bagi
psikologi dan pendidikan agar dapat maju dan berkembang, serta memecahkan
masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang ilmu. Dalam penggunaan
secara umum, teori-teori berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara
sintaktik, serta digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang diamati. Menurut Gagne (1984) belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman. Belajar dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan
yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan antara stimulus dan respons. Teori
belajar dikelompokkan menjadi teori sebelum abad ke-20 serta teori belajar
selama dan sesudah abad ke-20. Pengelompokan ini dilakukan karena sebelum abad
ke-20, teori belajar dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis, tanpa
dilandasi eksperimen, sedangkan teori belajar abad ke-20 dikembangkan secara
ilmiah. Teori belajar abad ke-20 dibagi menjadi dua keluarga, yaitu keluarga
teori perilaku dan keluarga teori kognitif.
Semua ahli psikologi yang
mendukung pandangan perilaku berpendapat bahwa mereka yang meneliti belajar
hendaknya mendasarkan kesimpulannya atas observasi tentang perilaku eksternal
dan terbuka organisme-organisme. Akan tetapi, mereka berbeda dalam dua hal, yaitu
dalam bagaimana mereka meneliti belajar dan dalam bentuk-bentuk belajar yang
mereka analisis. Studi secara ilmiah tentang belajar baru dimulai pada akhir
abad ke-19. Dengan menggunakan teknik-teknik dari sains, para ahli mulai
melakukan eksperimen untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar.
Penganut teori belajar kognitif
berpendapat bahwa perilaku yang tidak dapat diamati pun dapat dipelajari secara
ilmiah. Sebagian besar dari mereka ini terutama tertarik pada teori yang
disebut teori pemrosesan informasi. Para ahli psikologi kognitif mengemukakan
suatu kerangka teoretis yang dikenal dengan model pemrosesan informasi. Dalam
model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai
transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respons).
Model pemrosesan informasi dapat
digambarkan sebagai kumpulan kotak yang dihubungkan dengan garis-garis.
Kotak-kotak itu menggambarkan fungsi-fungsi atau keadaan sistem, dan
garis-garis menggambarkan transformasi yang terjadi dari satu keadaan ke
keadaan yang lain. Dalam model ini, informasi dalam bentuk energi fisik
tertentu diterima oleh reseptor yang peka terhadap energi dalam bentuk-bentuk
tertentu itu. Reseptor-reseptor ini mengirimkan tanda-tanda dalam bentuk
impuls-impuls elektrokimia ke otak. Jadi transformasi pertama yang dialami
informasi ialah dari berbagai bentuk energi ke satu bentuk yang sama.
3.
Teori Belajar Bahasa
Ada beberapa
teori belajar bahasa seperti; teori belajar bahasa behaviorisme, nativisme,
kognitivisme, fungsional, konstruktivisme, himanisme, dan sibernetik.
Tokoh aliran behavirisme ini
adalah John B. Watson (1878-1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak
Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan
secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan
respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk
tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika
rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat
diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap
perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus-respons.
Istilah nativisme dihasilkan dari
pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa
setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar
bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi.
Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku
khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan
mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48)
yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah
satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal.
Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia
belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa
setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya
“alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Chomsky dalam
Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus
bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari
sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan
bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa
pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini
belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah
atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara
alamiah pada manusia tersebut.
Pada tahun 60-an golongan
kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan
bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan
kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan
kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini
yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari
kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu
distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan
bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan
yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian
urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan
perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh
kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam
lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas
kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di
sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang
sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan
berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam
otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur
kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Konsep sentral teori kognitif
adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan kognitifnya. Proses
belajar bahasa secara kognitif merupakan proses berpikir yang kompleks karena
menyangkut lapisan bahasa yang terdalam. Lapisan bahasa tersebut meliputi:
ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh pada
struktur jiwa manusia.
Slobin menyatakan bahwa dalam
semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan
perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari pada kompleksitas
bentuknya. Menurutnya ada dua hal yang menentukan model teori belajar bahasa
fungsional yaitu: Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh
perkembangan kapasitas komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam
konjungsi dengan skema batin konjungsi. Pada asas formal, perkembangan diikuti
oleh kapasitas perseptual dan pemerosesan informasi yang bekerja dalam
konjungsi dan skema batin tata bahasa.
Akhir-akhir
ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran
kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial
menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk
komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian
tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan
segala variabilitasnya.
Jean
Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan
kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi
mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk
mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa
pertama dan kedua. Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu
sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan
yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun
pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya,
menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab,
serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan
aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan
penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran
serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Siswa
dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya.
Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman siswa
mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika siswa
telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata
saja, namun berupa konsep.
Teori
humanis muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi
Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language
programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic
psikology or view which in the context of goals for other subject areas has
been called ‘the humanistic curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran
bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan
istilah Humanistic curriculum yang
diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama
antar seluruh siswa didik.
Humanistic
curiculum
menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan
menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup
siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran
memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan
utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa
berkembang di tengah masyarakat. The
deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society.
(McNeil,1977).
Teori
Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli
psikologi humanisme seperti Abraham Maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich
Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan
berpusat pada siswa (learner
centered-pedagogy). Praktiknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan
menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa. Dalam teori humanisme,
setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka
masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan
aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai
kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai
fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Istilah
sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali digunakan tahun 1945 oleh
Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics.
Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai
"The study of control and
communication in the animal and the machine." Istilah sibernetika
digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002) dalam bukunya 'A Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' bahwa"Study of systems which can be mapped using
loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow
of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one
loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai
sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan
sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi.
Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi
minimal akan menghasilkan feedback.
Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam berkomunikasi.
"Cybernetics is a theory of control systems based on communication
(transfer of information) between systems and environment and within the
system, and control (feedback) of the system's function in regard to
environment. Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan
pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar
sistem, pengontrol (feedback) dari
sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
Seiring
perkembangan teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari
Amerika sejak tahun 1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan
informasi berkembang pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan
terutama guru untuk berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi
ajar), menerangkan materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi
hasil belajar siswa. Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya
'perbedaan', bahwa suatu hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau
bahwa sesuatu akan berubah seiring perkembangan waktu. Teori sibernetik
diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching approach) dan metode pembelajaran, yang sudah banyak
diterapkan di Indonesia. Misalnya virtual
learning, e-learning, dll.
4.
Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Beberapa pendekatan dalam
pembelajaran bahasa pada prinsipnya dapat digunakan untuk pengajaran bahasa
Indonesia, yakni pendekatan formal atau tradisional, fungsional, integral,
sosiolinguistik, psikologi, psikolinguistik, behavioristic pengelolaan kelas, dan
komunikatif.
Pendekatan formal/tradisional
menganggap pembelajaran bahasa sebagai suatu kegiatan rutin yang konvensional,
dengan mengikuti cara-cara yang telah biasa dilakukan berdasarkan pengalaman.
Prosedur pembelajaran hanya berdasarkan atas pengalaman pengajar dan apa yang
dianggap baik oleh umum. Pembelajaran dimulai dengan rumusan-rumusan teoretis
kemudian diaplikasikan dengan contoh-contoh pemakaiannya, dan dengan jalan
menerjemahkannya. Pendekatan formal digunakan dalam dua metode pembelajaran
bahasa, yaitu metode terjemahan tatabahasa dan metode membaca.
Pendekatan fungsional beranggapan
bahwa untuk mempelajari bahasa sebaiknya melakukan kontak langsung dengan
masyarakat atau orang yang menggunakan bahasa itu. Dengan demikian, siswa
langsung mengalami bahasa yang hidup dan mencoba memakainya sesuai dengan
keperluan komunikasi. Mereka merasakan fungsi bahasa tersebut dalam komunikasi
langsung. Pendekatan fungsional memunculkan berbagai metode mengajar bahasa,
antara lain medote langsung, metode pembatasan, metode intensif, metode
audio-visual, dan metode linguistik.
Pendekatan integral menganut
pikiran bahwa pengajaran bahasa harus merupakan sesuatu yang multi-dimensional,
dalam arti banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengajaran. Oleh
sebab itu, pengajaran harus fleksibel dan dengan metodologi yang terbuka.
Bantuan ilmu-ilmu yang lain bagi kelancaran pengajaran bahasa perlu mendapat
tempat. Pengajaran bahasa harus saling menunjang dengan ilmu lain, misalnya
dengan ilmu sains, psikologi, dan pengetahuan sosial.
Pendekatan sosiolinguistik adalah
pendekatan pengajaran bahasa yang memanfaatkan hasil studi sosiolinguistik.
Sosiolinguistik adalah studi tentang hubungan gejala masyarakat dengan gejala
bahasa. Di dalam perjalanan sejarahnya, sosiolinguistik telah memberikan atau
merumuskan konsep tertentu yang berharga bagi pengembangan pengajaran bahasa.
Pendekatan psikologi memandang
pengajaran bahasa mempunyai kaitan dengan ilmu yang menelaah bagaimana siswa
belajar, dan bagaimana siswa sebagai individu yang kompleks. Hasil studi
psikologi mutlak untuk dikuasai oleh pengajar bahasa. Premis dan asumsi
psikologi dimanfaatkan dalam pendekatan ini, terutama dalam penyusunan strategi
mengajar.
Pendekatan ini bertumpu kepada
teori-teori tentang bagaimana proses yang terjadi dalam benak anak ketika mulai
belajar bahasa, serta bagaimana perkembangannya. Persoalan ini merupakan bidang
yang ditekuni studi psikolonguistik, yaitu ilmu yang mempelajari latar belakang
psikologis kemampuan berbahasa manusia.
Pendekatan ini dipelopori oleh
Skinner pada sekitar tahun 1957. Pendekatan behavioristik dapat dikendalikan
dari luar, yaitu dengan stimulus dan respons. Lingkungan memberikan stimulus
atau rangsangan, sedangkan pembelajar memberikan respons.
Pendekatan pengelolaan kelas
dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan lain, yaitu pendekatan otoriter,
permisif, pengubahan perilaku, pendekatan iklim sosio-emosional, dan pendekatan
proses kelompok.
Pendekatan ini lahir akibat
adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa atas hasil yang dicapai
oleh metide tatabahasa terjemahan, yang hanya mengutamakan penguasaan kaidah
tatabahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai bentuk akhir yang
diharapkan dari belajar bahasa.
Dalam pelaksanaan pembelajaran
pengajar dapat merancang proses pembelajaran, pengajar dapat membagikan bahan
ajar yang berisi salinan atau kutipan dari surat kabar. Bahan ajar demikian
diperlukan sebagai bahan ajar jenis dokumen otentik.
5.
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Bahasa Indonesia merupakan mata
pelajaran yang membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar.
Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa
Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah
dasar. Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang menjadi salah satu ciri
khas bangsa Indonesia dan digunakan sebagai bahasa anasional. Hal ini merupakan
salah satu sebab mengapa bahasa Indonesia harus diajarkan pada semua jenjang
pendidikan, terutama di Sekolah Dasar karena merupakan dasar dari semua mata
pelajaran.
Pembelajaran bahasa Indonesia
memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk kebiasaan, sikap, serta
kemampuan siswa untuk tahap perkembangan selanjutnya. Selain itu, pembelajaran
harus dapat membantu siswa dalam pengembangan kemampuan berbahasa di
lingkungannya, bukan hanya untuk berkomunikasi, namun juga untuk menyerap
berbagai nilai serta pengetahuan yang dipelajarinya.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa
Indonesia berdasarkan KTSP 2006 bertolak dari standar kompetensi. Standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena diharapkan mampu
menjadikan: (1)siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil
karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat
memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan
menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa
dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah
dan kemampuan siswanya, (4) orangtua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat
dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun
program pendidikan kebahasaan sesuai dengankeadaan siswa dengan sumber belajar
yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar
kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional (BSNP: 2006).
6.
Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar merupakan informasi,
alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan
guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan
yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (National
Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for
Competency Based Training) (dalam Abdul Majid, 2007:174). Berdasarkan
website Dikmenjur dalam http://www.dikmenum.go.id “Bahan ajar merupakan
seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun
secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai
siswa dalam kegiatan pembelajaran”. Hal senada dikemukakan Salam (2007:2-3)
Bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik
tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa
untuk belajar. Kemudian, Wright (1987) menambahkan bahwa bahan ajar dapat
membantu ketercapaian tujuan silabus, dan membantu peran guru dan siswa dalam
proses belajar-mengajar (dalam Agus Trianto, 2005:9). Tomlinson (1998:2)
mengatakan, bahan ajar adalah sesuatu yang digunakan guru atau siswa untuk
memudahkan belajar bahasa, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman berbahasa.
bahan ajar menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, bahan ajar merupakan unsur penting dari kurikulum. Jika silabus ditentukan arah
dan tujuan suatu isi dan pengalaman belajar
bahasa sebagai kerangka, maka bahan ajar merupakan daging yang mengisi kerangka tersebut (Agus Trianto, 2005:8).
Peran bahan ajar dalam pembelajar menurut
Cunningsworth adalah penyajian bahan belajar, sumber kegiatan bagi siswa untuk berlatih berkomunikasi secara interaktif,
rujukan informasi kebahasaan, sumber
stimulant, gagasan suatu kegiatan kelas, silabus, dan bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman untuk menumbuhkan
keparcayaan diri (Cunningsworth, 1995:7).
Kemendiknas
(2008) memberikan pengertian beberapa definisi bahan ajar sebagai berikut:
a.
Bahan ajar merupakan informasi,
alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran.
- Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
- Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training).
- Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
AECT (1986) mendefinisikan bahan
ajar sebagai bahan pembelajaran yang berupa barang-barang (media atau perangkat
lunak) yang berisi pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan.
Kadang-kadang barang itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian. Bahan ajar
dapat dilihat dari dua sudut, yakni sebagai proses dan sebagai produk. Sebagai
proses, bahan ajar berfungsi sebagai alat penunjang proses pembelajaran dalam
rangka penyampaian bahan pembelajaran kepada mahasiswa. Sebagai produk, bahan
ajar merupakan hasil dari serangkaian bahan yang dimuat dalam bentuk buku/media
sesuai kurikulum yang berlaku dan sebagai sumber belajar.
Menurut Joni (1984) bahan ajar
menspesifikasi pengalaman belajar dalam bentuk penstrukturan kegiatan
pembelajaran yang kaya dengan variasi sehingga dapat memberikan efek pengiring
yang sama efeknya dengan pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Greene dan
Petty (2001) menyatakan bahwa bahan ajar harus (1) memberikan petunjuk yang
jelas bagi pengajar dan pengelola kegiatan pembelajaran, (2) menyediakan bahan,
alat yang lengkap dan diperlukan untuk setiap kegiatan pembelajaran, (3)
merupakan media penghubung antara pengajar dan pebelajar, (4) dapat dipakai
oleh pebelajar sendiri dalam mencapai kemampuan yang telah ditetapkan, dan (5)
dapat dipakai sebagai program perbaikan.
Menurut
Sulistyowati (2009) penggunaan bahan ajar berfungsi sebagai (1) pedoman bagi
guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran,
sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa,
(2) pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
dipelajari/dikuasainya, dan (3) alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil
pembelajaran.
Kementerian
Pendidikan Nasional (2008) memberikan cakupan bahan ajar, meliputi (1) judul,
(2) materi pembelajaran, (3) standar kompetensi, (4) kompetensi dasar, (5)
indikator, (6) petunjuk belajar, (7) tujuan yang dicapai, (8) informasi
pendukung, (9) latihan, (10) petunjuk kerja, dan (11) penilaian. Sejalan dengan
itu, Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa komponen bahan ajar terdiri atas “(1)
petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru), (2) kompetensi yang akan dicapai, (3) content atau isi materi pembelajaran,
(4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, dapat berupa
lembar kerja, (7) evaluasi, dan (8) respon atau balikan terhadap hasil
evaluasi. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
komponen bahan ajar terdiri atas (1) identitas mata kuliah, meliputi judul,
materi, kompetensi, indikator, tujuan (2) petunjuk belajar, meliputi petunjuk
untuk mahasiswa dan guru, (3) isi materi pembelajaran, (4) informasi pendukung,
(5) latihan-latihan, lembar kerja, (6) penilaian, (7) respon/balikan/ refleksi.
Langkah-langkah pemilihan bahan ajar menurut
Rudianto (2011) adalah (1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam
standar kompetensi (kompetensi inti) dan kompetensi dasar; (2) Identifikasi
jenis-jenis materi pembelajaran; (3) Memilih jenis materi yang sesuai dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Menurut
Mulyasa (2006: 154) ada beberapa hal yang merupakan aspek yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar, yakni:
a.
Keterujian
(validity)
Berkaitan
dengan tingkat kesesuaian materi untuk mencapai suatu kompetensi perlu
mempertimbangkan keterujian materi dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
b.
Kebermaknaan
(significance)
Berkaitan
dengan tingkat kepentingan dan kebermaknaan sehingga materi tersebut
benar-benar penting untuk dipelajari dan berhubungan langsung dengan
pembentukan kompetensi.
c.
Manfaat/
Kegunaan (utility)
Bahan
ajar harus memberikan manfaat bagi siswa, baik secara akademis maupun
nonakademis dalam melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi/
bekerja dan hidup di masyarakat, serta mengembangkan siswa sesuai dengan asas
pendidikan seumur hidup.
d.
Kemungkinan
untuk dipelajari (learnability)
Berkaitan
dengan kemungkinan materi tersebut untuk dipelajari dari segi kelayakan,
ketersediaan, dan kemudahan untuk memerolehnya.
e.
Kemenarikan
(interest)
Bahan
ajar harus dapat membangkitkan semangat belajar siswa dan mendorong mereka
untuk melakukan pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang dapat membantu
tercapainya tujuan kurikulum yang disusun
secara sistematis dan utuh sehingga tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan, memudahkan siswa belajar, dan guru mengajar.
Bentuk bahan ajar yang digunakan,
antara lain: (1) bahan cetak, yakni: buku, lembar
kerja siswa, komik, koran, majalah, dan brosur, (2) audio visual, yakni: video/film,VCD, dan LCD, dan (3) visual,
yakni: foto, gambar, model/maket (Depdiknas,
2007:4-29) dan http://www.dikmenum.go.id. Selanjutnya, media pembelajran
menurut Harjanto (2005:237) dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni: (1) media
dua dimensi (grafis), seperti: gambar, foto, grafik, bagan, poster kartun, dan
komik, (2) media tiga dimensi, seperti: model padat (solid model), model penempang,
dan model susun, (3) media proyeksi, seperti: film, OHP, dan (4) lingkungan.
Fungsi bahan ajar, yakni: 1)
pedoman guru dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran; 2) pedoman
siswa dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran (substansi
kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh siswa) antara lain siswa dapat
belajar: (a) tanpa harus ada guru atau teman, (b) kapan dan dimana saja, (c)
dengan kecepatannya masing-masing, (d) melalui urutan yang dipilihnya sendiri,
dan (e) membantu mengembangkan potensi siswa menjadi pembelajar mandiri; 3)
alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.
Sumber belajar merupakan segala
sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran, berupa: buku teks, media
cetak, media elektronika, nara sumber, lingkungan alam sekitar, dan sebagainya
(Depdiknas, 2006c:9-14). Selanjutnya, menurut Brown H. Douglas (2002:48) sumber
belajar dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kemudahan siswa dalam
memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam
proses belajar mengajar. Kemudian Sadiman, Arief S. (2004) mendefinisikan
”Sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar,
yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar” (dalam
Diknas, 2008:6).
Cakupan
bahan ajar disusun meliputi: (1) judul, MP, SK, KD, indikator, dan tempat, (2) petunjuk belajar (siswa/guru), (3) tujuan yang
dicapai, (4) informasi
pendukung, (5) latihan-latihan, (6)
petunjuk kerja, dan (7) penilaian. Ketujuh bahan tersebut
dapat disusun secara sistematis dalam penulisan bahan ajar. Bahan ajar dapat dikatakan baik bila memenuhi kriteria
sebagai berikut: (1)
menimbulkan minat pembaca; (2) ditulis
dan dirancang untuk digunakan siswa; (3) menjelaskan
tujuan yang ingin dicapai; (4) disusun berdasarkan pola ’belajar yang fleksibel’; (5) strukturnya berdasarkan kompetensi akhir
yang dicapai; (6) berfokus pada kesempatan siswa berlatih; (7) mengakomodasikan
kesukaran belajar siswa; (8) memberikan
rangkuman; (9) gaya penulisan (bahasanya) komunikatif dan semi formal; (10) dikemas dalam proses instruksional; (11) mempunyai
mekanisme mengumpulkan umpan balik
siswa; dan (12) mencantumkan petunjuk belajar.
Agar proses
penyusunan bahan ajar lebih terfokus, diperlukan perangkat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai prinsip
pembelajaran berbasis kompetensi dalam KTSP.
Perangkat pembelajaran itu meliputi: silabus, RPP, materi pembelajaran, evaluasi proses dan hasil, dan lembar kegiatan siswa
(LKS).
Selanjutnya,
penyusunan bahan ajar perlu mengikuti langkah-langkah berikut: (1) merumuskan tujuan; (2) melakukan
analisis standar kompetensi; (3) menentukan
kompetensi dasar; (4) mendeskripsikan indikator; (5) menyusun
kerangka bahan ajar; (6) menyusun skenario penulisan;
(7) menyusun/menulis bahan ajar; (8) uji ahli/uji
lapang; (9) revisi; dan (10) digunakan dalam proses belajar
mengajar. Menyusun bahan ajar dilakukan dengan
menulis sendiri, mengemas kembali informasi, dan
menata informasi yang telah diperoleh secara sistematis. Dengan
demkian memudahkan siswa untuk
memahami bahan ajar tersebut.
Pengembangan bahan
ajar hendaknya memperhatikan prinsif-prinsif
pembelajaran berikut: (1) mulai dari yang mudah untuk memahami
yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami
yang abstrak; (2) pengulangan memperkuat
pemahaman (5x2 lebih baik dari 2x5); (3) umpan balik positif
memberikan penguatan terhadap
pemahaman siswa; (4) motivasi yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar; (5) mencapai tujuan;
dan (6) mengetahui hasil yang dicapai
(Depdiknas, 2008:11).
Bahan ajar dikembangkan dengan
prinsip: (1) disusun berdasarkan KTSP; (2) pengembangan
silabus dengan menganalisis dan mengelompokkan SK, KD,
indikator, dan materi pokok yang erat kaitannya ke dalam satu unit
pelajaran; (3) pendekatan yang dikembangkan
adalah pendekatan tematis, menggunakan tema-tema dalam
kegiatan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan tersebut menggunakan ragam
teks sehari-hari, media massa, dan sastra
dengan tema yang sesuai kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; (4) dikembangkan secara berkesinambungan dengan
pemberian informasi yang memadai, penyajian
materi ajar, dan tugas/latihan, dan (5) implemantasi tugas/latihan bersifat otentik, dilaksanakan secara mandiri dan
kelompok agar pembelajaran lebih bermakna.
Komponen evaluasi bahan ajar
mencakup: (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian,
dan ( 4) grafika. Hal itu dapat dirinci lebih lanjut, seperti berikut:
Pertama, komponen
kelayakan isi (materi) mencakup: (a) kesesuaian dengan kurikulum, SK, dan KD;
(b) kesesuaian dengan kondisi siswa, sekolah, dan daerah; (c) materi harus
spesifik, jelas, akurat dan sesuai dengan kebutuhan bahan ajar; (d) kesesuaian
dengan nilai moral dan nilai social; (e) bermanfaat untuk menambah wawasan
siswa; dan (f) keseimbangan dalam penjabaran materi (pengembangan makna dan
pemahaman, pemecahan masalah, pengembangan proses, latihan dan praktik, tes
keterampilan maupun pemahaman.
Kedua, komponen
kebahasaan merupakan sarana penyampaian dan penyajian bahan, seperti kosakata,
kalimat, paragraf, dan wacana. Sedangkan aspek terbacaan berkaitan dengan
tingkat kemudahan bahasa sesuai dengan tingkatan siswa. Komponen ini, mencakup:
1) Keterbacaan, meliputi: (a) kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk
tulisan atau tifografi, ukuran huruf, dan lebar spasi), (b) kemenarikan
(berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian
keindahan gaya tulisan), dan (c) kesesuaian (berhubungan dengan kata dan kalimat,
panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf); 2) kejelasan
informasi, yakni informasi yang disajikan tidak mengandung makna bias dan
mencantumkan sumber rujukan yang digunakan; 3) kesesuaian dengan kaidah bahasa
Indonesia yang baik dan bemar; dan 4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efesien
(jelas dan singkat).
Ketiga, komponen
penyajian, mencakup: (a) kejelasan tujuan pembelajaran (indikator yang
dicapai); (b) urutan sajian (keteraturan urutan dalam penguraian sajian); (c)
memotivasi dan menarik perhatian siswa; (d) interaksi (pemberian stimulus dan
respon) untuk mengaktifkan siswa; dan (e) kelengkapan informasi (bahan,
latihan, dan soal).
Keempat, komponen
grafika, meliputi: (a) menggunaan font: bentuk tulisan, ukuran huruf,
dan jarak spasi; (b) tata letak (lay out); (c) ilustrasi, gambar, dan
foto; dan (d) desain tampilan.
7.
Pengembangan
Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat
Bahasa memiliki peran sentral
dalam perkembangan intelektual, sosial, danemosional siswa. Bahasa juga merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa
diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain,
mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis
dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia secara baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta
menumbuhkan kemampuan mengapresiasi terhadap hasil karya sastra Indonesia.Pembelajaran
Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar tidak luput dari kajian pembelajaran
sastra. Sejalan dengan Kurikulum 2013, bahwa pembelajaran tidak difokuskan
hanya pada aspek kognitif saja tetapi juga pada jangkauan afektif dan
psikomotorik. Sehingga, dalam pembelajaran bahasa Indonesia seorang guru perlu
kembali menghayati pembelajaran sastra untuk penanaman nilai-nilai melalui
cerita rakyat.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia
bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
a.
Berkomunikasi
secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baiksecara lisan
maupun tulis;
b.
Menghargai
dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuandan bahasa
negara;
c.
Memahami
bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai
tujuan;
d.
Menggunakan
bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, sertakematangan
emosional dan sosial;
e.
Menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,memperhalus budi pekerti,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuanberbahasa;
f.
Menghargai
dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya danintelektual
manusia Indonesia.
Menurut Lukens
(2003:9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman.Sastra
hadir kepada pembaca pertama-tama memberikan hiburan dan menyenangkan. Sastra
menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi,
membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan
merasa terikat karenanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut ke
dalam arus cerita, dan kesemuanya itu dikemas dalam bahasa yang juga tidak
kalah menarik. Sastra selalu berbicara tentang kehidupan, sehingga sastra
sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu.
Stewig (1980:
18-20) juga menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan
sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan.Saxby (1991: 4) mengatakan
bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Dalam
sastra tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh dalam menjalani
kehidupan yang dikisahkan dalam alur cerita.Hunt (1995:61) mendefinisikan
sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak.
Dunia sastra
mengenal adanya sastra lisan dan sastra tulis.Sastra lisan adalah sastra yang
diceritakan dan diwariskan secara turun menurun secara lisan.Sastra jenis ini,
kemudian dikenal sebagai folklore,
cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh
masyarakat pemiliknya.
Huck, dkk (1987:
64-72) membagi buku-buku yang cocok untuk bacaan anak yang sesuai dengan tiap
tahapan usia anak, dan tahapan usia anak itu sendiri dibedakan ke dalam
tahap-tahap: (1) sebelum sekolah, masa pertumbuhan usia 1-2 tahun, (2)
prasekolah dan taman kanak-kanak usia 3,4 dan 5 tahun, (3) masa awal sekolah,
usia 6 dan 7 tahun, (4) elementari tengah, usia 8 dan 9 tahun, dan (5)
elementari akhir, usia 10,11 dan 12 tahun.
Piaget (Brady,
1991: 28-30) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan, dan
tiap tahapan mempunyai karakteristik berbeda yang mempunyai konsekuensi pada
respons anak terhadap bacaan. Keempat perkembangan intelektual itu adalah: (1)
tahap sensori-motor (the sensory-motor
period, 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun), (3) tahap operasional
konkret (the concrete operational,
7-11 tahun), dan (4) tahap operasi formal (the
formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Dengan demikian, orang yang
dapat dikategorikan sebagai anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai
dengan sekitar 12 tahun. Jadi, anak yang dimaksudkan dalam sastra anak itu
adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak
yang sudah masuk dalam masa remaja awal.
Berbagai contoh cerita
rakyat yang dapat diintegrasikan kedalam bahan ajar yang terdapat di Provinsi
Sulawesi Selatan di antaranya adalah Putri Tandampalik,
I Laurang, Ambo Upe dan Burung Beo, Lamaddukelleng,
Sawerigading, La Upe, Nenek Pakande dan sebagainya. Cerita rakyat yang berasal
dari Kabupaten Gowa di antaranya adalah Lamaddukelleng.
Cerita-cerita yang dijadikan sebagai cerita rakyat memiliki makna yang dalam
dan nilai-nilai budaya yang sangat tinggi. Melalui karakteristik dan watak
tokoh, siswa dapat merasakan dan menghayati makna kehidupan yang teraplikasi
dalam kehidupan yang nyata dari makna itulah siswa dapat menemukan nilai-nilai
yang mampu membentuk sikap dan tingkah lakunya.
No comments:
Post a Comment