Thursday, November 26, 2015

Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kearifan Lokal (Cerita Rakyat)

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL (CERITA RAKYAT) DI SEKOLAH DASAR
(Aziz Thaba/085298040152)

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan pilar utama penentu kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan nasional merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Pada pihak lain, pendidikan nasional juga berfungsi untuk menjamin dan melestarikan keberhasilan pembangunan. Dengan demikian ada hubungan dialektis antara pendidikan nasional dan pembangunan nasional. Dengan perkataan lain, pendidikan nasional harus mampu mengantisipasikan dan mempengaruhi perkembangan dan arah pembangunan, sedangkan pembangunan harus mampu menjamin terlaksananya pendidikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan dan pembaharuan pendidikan harus selalu dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri demi terwujudnya sinergitas pembangunan nasional.
Sehubungan dengan pembangunan nasional, bahasa adalah satu kekayaan budaya berbangsa dan bernegara yang harus senantiasa dilestarikan, dikembangkan, diajarkan, dan dibudayakan baik bahasa nasional maupun bahasa daerah. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini haruslah disadari benar, terutama oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia  pada khususnya dan guru bidang studi lain pada umumnya. Dalam  menjalankan tugasnya sehari-hari,  guru bahasa Indonesia harus memahami bahwa tujuan akhir pembelajaran bahasa adalah agar siswa dapat  mempergunakan bahasa sebagai alat  berkomunikasi, serta terampil  dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keberhasilan pengajaran bahasa sangat ditentukan oleh perangkat pembelajaran yang digunakan. Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Tujuan adanya perangkat pembelajaran adalah untuk memenuhi keberhasilan seorang guru dalam pembelajaran.
Salah satu perangkat pembelajaran yang sangat vital dalam menunjang keberhasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa Indonesia adalah bahan ajar. Dalam proses pembelajaran, bahan ajar berkedudukan sebagai modal awal yang akan digunakan atau diproses untuk mencapai hasil. Hasil tersebut berupa pemahaman dan kemampuan siswa. Pentingnya bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran dapat dianalogikan seperti pentingnya bahan-bahan untuk memasak. Jika tidak ada bahan yang digunakan dalam memasak, maka tidak akan ada masakan yang dihasilkan. Sebaliknya, jika terdapat bahan makanan untuk dimasak maka akan dihasilkan suatu makanan walaupun itu sangat sederhana. Dengan melihat analogi tersebut kita dapat memahami bahwa bahan memiliki kedudukan yang penting terhadap suatu proses. Demikian pula halnya dengan bahan ajar dalam proses pembelajaran. Bahan ajar merupakan komponen yang harus ada di dalam proses pembelajaran.
Namun, masih sangat minim kita jumpai bahan ajar yang terigintegrasi dengan kearifan lokal (local wisdom) dimana bahan ajar tersebut digunakan. Sehingga, kemungkinan akan lunturnya rasa cinta, pemahaman, dan pengetahuan terhadap budaya sendiri akan semakin kita alami pada peserta didik. Berdasarkan temuan awal di lapangan, beberapa bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) kelas III khususnya di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan yaitu SD Negeri Paccinongang Unggulan Kecamatan Sungguminasa, SD Inpres Lambengi Kecamatan Pallangga, dan SD Negeri Anassappu Kecamatan Bontonompo merupakan bahan ajar yang dicetak beberapa percetakan berskala nasional seperti Erlangga, Gramedia, dan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, ada pula bahan ajar berbasis buku sekolah elektronik  ‘BSE” yang dicetak dan dikemas dalam bentuk buku paket.  Hasil analisis ditemukan bahwa tidak terdapat muatan lokal atau daerah yang ada di Sulawesi Selatan khususnya kebudayaan masyarakat Kabupaten Gowa yang terdapat dalam bahan ajar tersebut. Hal ini disebabkan karena bahan ajar tersebut masih didominasi oleh kebudayaan masyarakat Jawa, Denpasar, atau Sumatera. Sebagai contoh, gambar-gambar yang ditampilkan serta cerita anak atau cerita rakyat yang ada di dalamnya adalah berasal dari luar Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa. Kondisi ini tentunya tidak lagi sejalan dengan tujuan pendidikan yang berkarakter luhung dengan mengedepankan karakter lokal. Dampak buruk yang mungkin saja terjadi adalah hilangnya pemahaman, pengetahuan, dan kecintaan peserta didik terhadap budaya mereka sendiri. Minimnya sumber belajar yang mengedepankan aspek kebudayaan lokal secara proporsional dengan kebudayaan nasional memerlukan perhatian yang serius. Sejalan dengan hal tersebut, Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Gowa adalah daerah yang kaya akan kultur seni, budaya, nilai, dan karakter lokal sebagai salah satu  sumber yang potensial untuk meramu bahan ajar.
Dewasa ini  cerita rakyat yang menjadi ciri khas dan jiwa bangsa semakin terkikis oleh budaya asing. Hal ini terjadi karena arus globalisasi yang melibatkan negara-negara di dunia menjadi begitu mudahnya budaya-budaya asing masuk  dan berbaur dengan budaya lokal yang secara langsung dapat mempengaruhi tatanan budaya bangsa. Demikian halnya cerita rakyat seakan-akan terlupakan dan tidak ada waktu untuk mengkaji. Salah satu usaha melestarikan budaya lokal (cerita rakyat) Kabupaten Gowa, maka ditempuh pendataan dari beberapa orang yang masih mengingat dan sering melantunkan, selanjutnya disusun untuk dibukukan dan dicetak. Tema-tema cerita yang tampak antara lain: membasmi kezaliman; kasih sayang ibu; saling menghormati; kesaktian membawa berkah;  giat mencari nafkah; tekun belajar. Tema-tema tersebut, optimal membantu murid dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diamanahkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal ini terurai dalam cerita rakyat Kabupaten Gowa, sehingga cerita tersebut signifikan dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia Kelas III Sekolah Dasar.


KAJIAN TEORI

Kajian teori yang dibahas meliputi: (1) hakikat pendidikan, (2) teori belajar, (3) teori belajar bahasa, (4) hakikat pembelajaran bahasa, (5) pendekatan pembelajaran bahasa, (6) pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, (7) pengembangan bahan ajar, (8) pengembangan desain pembelajaran, (9) pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berbasis Cerita Rakyat.
1.      Hakikat Pedidikan
Secara umum, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang dilandasi nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya, dan IPTEKS yang bermuara pada pembentukan pribadi manusia bermoral dan berakhlak mulia serta berbudi luhur. Pendidikan diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki idealisme nasional dan keunggulan profesional, serta kompetensi yang dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Secara formal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. (UU No. 20 Tahun 2003).
Tujuan pendidikan merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diwujudkan dalam pribadi siswayang terintegrasikan dalam pola kepribadian dan kehidupan yang ideal dan utuh, dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa. Tujuan pendidikan mencakup dimensi nilai, filosofis, psikologis, sosiologis, sosial, pribadi dan budaya (Natawidjaja, 1988: 4). Secara umum, pendidikan bertujuan mengembangkan manusia agar memiliki kualitas pribadi terintegrasi, bermoral, dan berakhlak mulia, serta mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki pribadi, ilmu, dan profesionalisme yang tinggi. Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani paedagogie yang akar katanya pais yang berarti anak dan again yang artinya bimbingan. Jadi paedagogie berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi Education. Education berasal dari bahasa Yunani educare yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang.
Menurut para ahli Langeveld, pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalammelaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. John Dewey seorang ahli filsafat pendidikan Amerika pragmatisme dan dinamis,mengartikan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapanfundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.Menurutnya hidup itu adalah suatu proses yang selalu berubah, tidak satupun yangabadi. Karena kehidupan itu adalah pertumbuhan, maka pendidikan berarti membantupertumbuhan bathin tanpa dibatasi oleh usia. Dengan kata lain pendidikan adalahsuatu usaha manusia untuk membantu pertumbuhan dalam proses hidup tersebutdengan membentukan kecakapan fundamental atau kecakapan dasar yang mencakupaspek intelektual dan emosional yang berguna atau bermanfaat bagi manusia terutamabagi dirinya sendiri dan bagi alam sekitar. Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, merumuskan pengertian pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya.
Pengertian pendidikan yang tertera dalam Garis-Garis Besar HaluanNegara (Tap MPR No.II/MPR/1988), adalah bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dengan kemampuan di dalam dan di luarsekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Definisi Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, pasal 1 menggariskan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Teori Belajar
Snelbecker (1974) berpendapat bahwa perumusan teori itu bukan hanya penting, melainkan juga vital bagi psikologi dan pendidikan agar dapat maju dan berkembang, serta memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam setiap bidang ilmu. Dalam penggunaan secara umum, teori-teori berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, serta digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati. Menurut Gagne (1984) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dihasilkan dari pengalaman dengan lingkungan yang di dalamnya terjadi hubungan-hubungan antara stimulus dan respons. Teori belajar dikelompokkan menjadi teori sebelum abad ke-20 serta teori belajar selama dan sesudah abad ke-20. Pengelompokan ini dilakukan karena sebelum abad ke-20, teori belajar dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis, tanpa dilandasi eksperimen, sedangkan teori belajar abad ke-20 dikembangkan secara ilmiah. Teori belajar abad ke-20 dibagi menjadi dua keluarga, yaitu keluarga teori perilaku dan keluarga teori kognitif.
Semua ahli psikologi yang mendukung pandangan perilaku berpendapat bahwa mereka yang meneliti belajar hendaknya mendasarkan kesimpulannya atas observasi tentang perilaku eksternal dan terbuka organisme-organisme. Akan tetapi, mereka berbeda dalam dua hal, yaitu dalam bagaimana mereka meneliti belajar dan dalam bentuk-bentuk belajar yang mereka analisis. Studi secara ilmiah tentang belajar baru dimulai pada akhir abad ke-19. Dengan menggunakan teknik-teknik dari sains, para ahli mulai melakukan eksperimen untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar.
Penganut teori belajar kognitif berpendapat bahwa perilaku yang tidak dapat diamati pun dapat dipelajari secara ilmiah. Sebagian besar dari mereka ini terutama tertarik pada teori yang disebut teori pemrosesan informasi. Para ahli psikologi kognitif mengemukakan suatu kerangka teoretis yang dikenal dengan model pemrosesan informasi. Dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respons).
Model pemrosesan informasi dapat digambarkan sebagai kumpulan kotak yang dihubungkan dengan garis-garis. Kotak-kotak itu menggambarkan fungsi-fungsi atau keadaan sistem, dan garis-garis menggambarkan transformasi yang terjadi dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam model ini, informasi dalam bentuk energi fisik tertentu diterima oleh reseptor yang peka terhadap energi dalam bentuk-bentuk tertentu itu. Reseptor-reseptor ini mengirimkan tanda-tanda dalam bentuk impuls-impuls elektrokimia ke otak. Jadi transformasi pertama yang dialami informasi ialah dari berbagai bentuk energi ke satu bentuk yang sama.
3.      Teori Belajar Bahasa
Ada beberapa teori belajar bahasa seperti; teori belajar bahasa behaviorisme, nativisme, kognitivisme, fungsional, konstruktivisme, himanisme, dan sibernetik.
Tokoh aliran behavirisme ini adalah John B. Watson (1878-1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus-respons.
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
Pada tahun 60-an golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya. Menurut aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Konsep sentral teori kognitif adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan kognitifnya. Proses belajar bahasa secara kognitif merupakan proses berpikir yang kompleks karena menyangkut lapisan bahasa yang terdalam. Lapisan bahasa tersebut meliputi: ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh pada struktur jiwa manusia. 
Slobin menyatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari pada kompleksitas bentuknya. Menurutnya ada dua hal yang menentukan model teori belajar bahasa fungsional yaitu: Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin konjungsi. Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.

Akhir-akhir ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji dengan segala variabilitasnya.
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Siswa dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya. Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman siswa mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika siswa telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata saja, namun berupa konsep.
Teori humanis muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many instances, communicative language programmes have incorporated educational phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.” Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik.
Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir, perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari bahasa.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the whole persons within a human society. (McNeil,1977).
Teori Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli psikologi humanisme seperti Abraham Maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Praktiknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa. Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Istilah sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali digunakan tahun 1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai "The study of control and communication in the animal and the machine." Istilah sibernetika digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002) dalam bukunya 'A Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' bahwa"Study of systems which can be mapped using loops (or more complicated looping structures) in the network defining the flow of information. Systems of automatic control will of necessity use at least one loop of information flow providing feedback." Artinya studi mengenai sistem yang bisa dipetakan menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi minimal akan menghasilkan feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based on communication (transfer of information) between systems and environment and within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to environment. Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback) dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
Seiring perkembangan teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari Amerika sejak tahun 1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan informasi berkembang pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan terutama guru untuk berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi ajar), menerangkan materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya 'perbedaan', bahwa suatu hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau bahwa sesuatu akan berubah seiring perkembangan waktu. Teori sibernetik diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching approach) dan metode pembelajaran, yang sudah banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya virtual learning, e-learning, dll.
4.      Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Beberapa pendekatan dalam pembelajaran bahasa pada prinsipnya dapat digunakan untuk pengajaran bahasa Indonesia, yakni pendekatan formal atau tradisional, fungsional, integral, sosiolinguistik, psikologi, psikolinguistik, behavioristic pengelolaan kelas, dan komunikatif.
Pendekatan formal/tradisional menganggap pembelajaran bahasa sebagai suatu kegiatan rutin yang konvensional, dengan mengikuti cara-cara yang telah biasa dilakukan berdasarkan pengalaman. Prosedur pembelajaran hanya berdasarkan atas pengalaman pengajar dan apa yang dianggap baik oleh umum. Pembelajaran dimulai dengan rumusan-rumusan teoretis kemudian diaplikasikan dengan contoh-contoh pemakaiannya, dan dengan jalan menerjemahkannya. Pendekatan formal digunakan dalam dua metode pembelajaran bahasa, yaitu metode terjemahan tatabahasa dan metode membaca.
Pendekatan fungsional beranggapan bahwa untuk mempelajari bahasa sebaiknya melakukan kontak langsung dengan masyarakat atau orang yang menggunakan bahasa itu. Dengan demikian, siswa langsung mengalami bahasa yang hidup dan mencoba memakainya sesuai dengan keperluan komunikasi. Mereka merasakan fungsi bahasa tersebut dalam komunikasi langsung. Pendekatan fungsional memunculkan berbagai metode mengajar bahasa, antara lain medote langsung, metode pembatasan, metode intensif, metode audio-visual, dan metode linguistik.
Pendekatan integral menganut pikiran bahwa pengajaran bahasa harus merupakan sesuatu yang multi-dimensional, dalam arti banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengajaran. Oleh sebab itu, pengajaran harus fleksibel dan dengan metodologi yang terbuka. Bantuan ilmu-ilmu yang lain bagi kelancaran pengajaran bahasa perlu mendapat tempat. Pengajaran bahasa harus saling menunjang dengan ilmu lain, misalnya dengan ilmu sains, psikologi, dan pengetahuan sosial.
Pendekatan sosiolinguistik adalah pendekatan pengajaran bahasa yang memanfaatkan hasil studi sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah studi tentang hubungan gejala masyarakat dengan gejala bahasa. Di dalam perjalanan sejarahnya, sosiolinguistik telah memberikan atau merumuskan konsep tertentu yang berharga bagi pengembangan pengajaran bahasa.
Pendekatan psikologi memandang pengajaran bahasa mempunyai kaitan dengan ilmu yang menelaah bagaimana siswa belajar, dan bagaimana siswa sebagai individu yang kompleks. Hasil studi psikologi mutlak untuk dikuasai oleh pengajar bahasa. Premis dan asumsi psikologi dimanfaatkan dalam pendekatan ini, terutama dalam penyusunan strategi mengajar.
Pendekatan ini bertumpu kepada teori-teori tentang bagaimana proses yang terjadi dalam benak anak ketika mulai belajar bahasa, serta bagaimana perkembangannya. Persoalan ini merupakan bidang yang ditekuni studi psikolonguistik, yaitu ilmu yang mempelajari latar belakang psikologis kemampuan berbahasa manusia.
Pendekatan ini dipelopori oleh Skinner pada sekitar tahun 1957. Pendekatan behavioristik dapat dikendalikan dari luar, yaitu dengan stimulus dan respons. Lingkungan memberikan stimulus atau rangsangan, sedangkan pembelajar memberikan respons.
Pendekatan pengelolaan kelas dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan lain, yaitu pendekatan otoriter, permisif, pengubahan perilaku, pendekatan iklim sosio-emosional, dan pendekatan proses kelompok.
Pendekatan ini lahir akibat adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa atas hasil yang dicapai oleh metide tatabahasa terjemahan, yang hanya mengutamakan penguasaan kaidah tatabahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai bentuk akhir yang diharapkan dari belajar bahasa.
Dalam pelaksanaan pembelajaran pengajar dapat merancang proses pembelajaran, pengajar dapat membagikan bahan ajar yang berisi salinan atau kutipan dari surat kabar. Bahan ajar demikian diperlukan sebagai bahan ajar jenis dokumen otentik.
5.      Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang membelajarkan siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah dasar. Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi yang menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia dan digunakan sebagai bahasa anasional. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa bahasa Indonesia harus diajarkan pada semua jenjang pendidikan, terutama di Sekolah Dasar karena merupakan dasar dari semua mata pelajaran.
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk kebiasaan, sikap, serta kemampuan siswa untuk tahap perkembangan selanjutnya. Selain itu, pembelajaran harus dapat membantu siswa dalam pengembangan kemampuan berbahasa di lingkungannya, bukan hanya untuk berkomunikasi, namun juga untuk menyerap berbagai nilai serta pengetahuan yang dipelajarinya.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan KTSP 2006 bertolak dari standar kompetensi. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia dirumuskan karena diharapkan mampu menjadikan: (1)siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesusastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri, (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya, (4) orangtua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan di sekolah, (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengankeadaan siswa dengan sumber belajar yang tersedia, dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (BSNP: 2006).
6.      Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training) (dalam Abdul Majid, 2007:174). Berdasarkan website Dikmenjur dalam http://www.dikmenum.go.id “Bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran”. Hal senada dikemukakan Salam (2007:2-3) Bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Kemudian, Wright (1987) menambahkan bahwa bahan ajar dapat membantu ketercapaian tujuan silabus, dan membantu peran guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar (dalam Agus Trianto, 2005:9). Tomlinson (1998:2) mengatakan, bahan ajar adalah sesuatu yang digunakan guru atau siswa untuk memudahkan belajar bahasa, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman berbahasa. bahan ajar menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, bahan ajar merupakan unsur penting dari kurikulum. Jika silabus ditentukan arah dan tujuan suatu isi dan pengalaman belajar bahasa sebagai kerangka, maka bahan ajar merupakan daging yang mengisi kerangka tersebut (Agus Trianto, 2005:8). Peran bahan ajar dalam pembelajar menurut Cunningsworth adalah penyajian bahan belajar, sumber kegiatan bagi siswa untuk berlatih berkomunikasi secara interaktif, rujukan informasi kebahasaan, sumber stimulant, gagasan suatu kegiatan kelas, silabus, dan bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman untuk menumbuhkan keparcayaan diri (Cunningsworth, 1995:7).
Kemendiknas (2008) memberikan pengertian beberapa definisi bahan ajar sebagai berikut:
a.       Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.
  1. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
  2. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training).
  3. Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
AECT (1986) mendefinisikan bahan ajar sebagai bahan pembelajaran yang berupa barang-barang (media atau perangkat lunak) yang berisi pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan. Kadang-kadang barang itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian. Bahan ajar dapat dilihat dari dua sudut, yakni sebagai proses dan sebagai produk. Sebagai proses, bahan ajar berfungsi sebagai alat penunjang proses pembelajaran dalam rangka penyampaian bahan pembelajaran kepada mahasiswa. Sebagai produk, bahan ajar merupakan hasil dari serangkaian bahan yang dimuat dalam bentuk buku/media sesuai kurikulum yang berlaku dan sebagai sumber belajar.
Menurut Joni (1984) bahan ajar menspesifikasi pengalaman belajar dalam bentuk penstrukturan kegiatan pembelajaran yang kaya dengan variasi sehingga dapat memberikan efek pengiring yang sama efeknya dengan pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran. Greene dan Petty (2001) menyatakan bahwa bahan ajar harus (1) memberikan petunjuk yang jelas bagi pengajar dan pengelola kegiatan pembelajaran, (2) menyediakan bahan, alat yang lengkap dan diperlukan untuk setiap kegiatan pembelajaran, (3) merupakan media penghubung antara pengajar dan pebelajar, (4) dapat dipakai oleh pebelajar sendiri dalam mencapai kemampuan yang telah ditetapkan, dan (5) dapat dipakai sebagai program perbaikan.
Menurut Sulistyowati (2009) penggunaan bahan ajar berfungsi sebagai (1) pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (2) pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya, dan (3) alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.
Kementerian Pendidikan Nasional (2008) memberikan cakupan bahan ajar, meliputi (1) judul, (2) materi pembelajaran, (3) standar kompetensi, (4) kompetensi dasar, (5) indikator, (6) petunjuk belajar, (7) tujuan yang dicapai, (8) informasi pendukung, (9) latihan, (10) petunjuk kerja, dan (11) penilaian. Sejalan dengan itu, Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa komponen bahan ajar terdiri atas “(1) petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru), (2) kompetensi yang akan dicapai, (3) content atau isi materi pembelajaran, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja, (7) evaluasi, dan (8) respon atau balikan terhadap hasil evaluasi. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa komponen bahan ajar terdiri atas (1) identitas mata kuliah, meliputi judul, materi, kompetensi, indikator, tujuan (2) petunjuk belajar, meliputi petunjuk untuk mahasiswa dan guru, (3) isi materi pembelajaran, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, lembar kerja, (6) penilaian, (7) respon/balikan/ refleksi.
Langkah-langkah pemilihan bahan ajar menurut Rudianto (2011) adalah (1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi (kompetensi inti) dan kompetensi dasar; (2) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran; (3) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Menurut Mulyasa (2006: 154) ada beberapa hal yang merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar, yakni:
a.       Keterujian (validity)
Berkaitan dengan tingkat kesesuaian materi untuk mencapai suatu kompetensi perlu mempertimbangkan keterujian materi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b.      Kebermaknaan (significance)
Berkaitan dengan tingkat kepentingan dan kebermaknaan sehingga materi tersebut benar-benar penting untuk dipelajari dan berhubungan langsung dengan pembentukan kompetensi.
c.       Manfaat/ Kegunaan (utility)
Bahan ajar harus memberikan manfaat bagi siswa, baik secara akademis maupun nonakademis dalam melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi/ bekerja dan hidup di masyarakat, serta mengembangkan siswa sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.
d.      Kemungkinan untuk dipelajari (learnability)
Berkaitan dengan kemungkinan materi tersebut untuk dipelajari dari segi kelayakan, ketersediaan, dan kemudahan untuk memerolehnya.

e.       Kemenarikan (interest)
Bahan ajar harus dapat membangkitkan semangat belajar siswa dan mendorong mereka untuk melakukan pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang dapat membantu tercapainya tujuan kurikulum yang disusun secara sistematis dan utuh sehingga tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan, memudahkan siswa belajar, dan guru mengajar.
Bentuk bahan ajar yang digunakan, antara lain: (1) bahan cetak, yakni: buku, lembar kerja siswa, komik, koran, majalah, dan brosur, (2) audio visual, yakni: video/film,VCD, dan LCD, dan (3) visual, yakni: foto, gambar, model/maket (Depdiknas, 2007:4-29) dan http://www.dikmenum.go.id. Selanjutnya, media pembelajran menurut Harjanto (2005:237) dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni: (1) media dua dimensi (grafis), seperti: gambar, foto, grafik, bagan, poster kartun, dan komik, (2) media tiga dimensi, seperti: model padat (solid model), model penempang, dan model susun, (3) media proyeksi, seperti: film, OHP, dan (4) lingkungan.
Fungsi bahan ajar, yakni: 1) pedoman guru dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran; 2) pedoman siswa dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran (substansi kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh siswa) antara lain siswa dapat belajar: (a) tanpa harus ada guru atau teman, (b) kapan dan dimana saja, (c) dengan kecepatannya masing-masing, (d) melalui urutan yang dipilihnya sendiri, dan (e) membantu mengembangkan potensi siswa menjadi pembelajar mandiri; 3) alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.
Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran, berupa: buku teks, media cetak, media elektronika, nara sumber, lingkungan alam sekitar, dan sebagainya (Depdiknas, 2006c:9-14). Selanjutnya, menurut Brown H. Douglas (2002:48) sumber belajar dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kemudahan siswa dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Kemudian Sadiman, Arief S. (2004) mendefinisikan ”Sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar” (dalam Diknas, 2008:6).
Cakupan bahan ajar disusun meliputi: (1) judul, MP, SK, KD, indikator, dan tempat, (2) petunjuk belajar (siswa/guru), (3) tujuan yang dicapai, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, dan (7) penilaian. Ketujuh bahan tersebut dapat disusun secara sistematis dalam penulisan bahan ajar. Bahan ajar dapat dikatakan baik bila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) menimbulkan minat pembaca; (2) ditulis dan dirancang untuk digunakan siswa; (3) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai; (4) disusun berdasarkan pola ’belajar yang fleksibel’; (5) strukturnya berdasarkan kompetensi akhir yang dicapai; (6) berfokus pada kesempatan siswa berlatih; (7) mengakomodasikan kesukaran belajar siswa; (8) memberikan rangkuman; (9) gaya penulisan (bahasanya) komunikatif dan semi formal; (10) dikemas dalam proses instruksional; (11) mempunyai mekanisme mengumpulkan umpan balik siswa; dan (12) mencantumkan petunjuk belajar.
Agar proses penyusunan bahan ajar lebih terfokus, diperlukan perangkat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai prinsip pembelajaran berbasis kompetensi dalam KTSP. Perangkat pembelajaran itu meliputi: silabus, RPP, materi pembelajaran, evaluasi proses dan hasil, dan lembar kegiatan siswa (LKS).
Selanjutnya, penyusunan bahan ajar perlu mengikuti langkah-langkah berikut: (1) merumuskan tujuan; (2) melakukan analisis standar kompetensi; (3) menentukan kompetensi dasar; (4) mendeskripsikan indikator; (5) menyusun kerangka bahan ajar; (6) menyusun skenario penulisan; (7) menyusun/menulis bahan ajar; (8) uji ahli/uji lapang; (9) revisi; dan (10) digunakan dalam proses belajar mengajar. Menyusun bahan ajar dilakukan dengan menulis sendiri, mengemas kembali informasi, dan menata informasi yang telah diperoleh secara sistematis. Dengan demkian memudahkan siswa untuk memahami bahan ajar tersebut.
Pengembangan bahan ajar hendaknya memperhatikan prinsif-prinsif pembelajaran berikut: (1) mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak; (2) pengulangan memperkuat pemahaman (5x2 lebih baik dari 2x5); (3) umpan balik positif memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa; (4) motivasi yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar; (5) mencapai tujuan; dan (6) mengetahui hasil yang dicapai (Depdiknas, 2008:11).
Bahan ajar dikembangkan dengan prinsip: (1) disusun berdasarkan KTSP; (2) pengembangan silabus dengan menganalisis dan mengelompokkan SK, KD, indikator, dan materi pokok yang erat kaitannya ke dalam satu unit pelajaran; (3) pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan tematis, menggunakan tema-tema dalam kegiatan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan tersebut menggunakan ragam teks sehari-hari, media massa, dan sastra dengan tema yang sesuai kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; (4) dikembangkan secara berkesinambungan dengan pemberian informasi yang memadai, penyajian materi ajar, dan tugas/latihan, dan (5) implemantasi tugas/latihan bersifat otentik, dilaksanakan secara mandiri dan kelompok agar pembelajaran lebih bermakna.
Komponen evaluasi bahan ajar mencakup: (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan ( 4) grafika. Hal itu dapat dirinci lebih lanjut, seperti berikut:
Pertama, komponen kelayakan isi (materi) mencakup: (a) kesesuaian dengan kurikulum, SK, dan KD; (b) kesesuaian dengan kondisi siswa, sekolah, dan daerah; (c) materi harus spesifik, jelas, akurat dan sesuai dengan kebutuhan bahan ajar; (d) kesesuaian dengan nilai moral dan nilai social; (e) bermanfaat untuk menambah wawasan siswa; dan (f) keseimbangan dalam penjabaran materi (pengembangan makna dan pemahaman, pemecahan masalah, pengembangan proses, latihan dan praktik, tes keterampilan maupun pemahaman.
Kedua, komponen kebahasaan merupakan sarana penyampaian dan penyajian bahan, seperti kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana. Sedangkan aspek terbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa sesuai dengan tingkatan siswa. Komponen ini, mencakup: 1) Keterbacaan, meliputi: (a) kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk tulisan atau tifografi, ukuran huruf, dan lebar spasi), (b) kemenarikan (berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan), dan (c) kesesuaian (berhubungan dengan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf); 2) kejelasan informasi, yakni informasi yang disajikan tidak mengandung makna bias dan mencantumkan sumber rujukan yang digunakan; 3) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan bemar; dan 4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efesien (jelas dan singkat).
Ketiga, komponen penyajian, mencakup: (a) kejelasan tujuan pembelajaran (indikator yang dicapai); (b) urutan sajian (keteraturan urutan dalam penguraian sajian); (c) memotivasi dan menarik perhatian siswa; (d) interaksi (pemberian stimulus dan respon) untuk mengaktifkan siswa; dan (e) kelengkapan informasi (bahan, latihan, dan soal).
Keempat, komponen grafika, meliputi: (a) menggunaan font: bentuk tulisan, ukuran huruf, dan jarak spasi; (b) tata letak (lay out); (c) ilustrasi, gambar, dan foto; dan (d) desain tampilan.
7.      Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, danemosional siswa. Bahasa juga merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan kemampuan mengapresiasi terhadap hasil karya sastra Indonesia.Pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar tidak luput dari kajian pembelajaran sastra. Sejalan dengan Kurikulum 2013, bahwa pembelajaran tidak difokuskan hanya pada aspek kognitif saja tetapi juga pada jangkauan afektif dan psikomotorik. Sehingga, dalam pembelajaran bahasa Indonesia seorang guru perlu kembali menghayati pembelajaran sastra untuk penanaman nilai-nilai melalui cerita rakyat.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
a.       Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baiksecara lisan maupun tulis;
b.      Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuandan bahasa negara;
c.       Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan;
d.      Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, sertakematangan emosional dan sosial;
e.       Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuanberbahasa;
f.       Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya danintelektual manusia Indonesia.
Menurut Lukens (2003:9) sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman.Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama memberikan hiburan dan menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut ke dalam arus cerita, dan kesemuanya itu dikemas dalam bahasa yang juga tidak kalah menarik. Sastra selalu berbicara tentang kehidupan, sehingga sastra sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu.
Stewig (1980: 18-20) juga menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan.Saxby (1991: 4) mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Dalam sastra tergambar peristiwa kehidupan lewat karakter tokoh dalam menjalani kehidupan yang dikisahkan dalam alur cerita.Hunt (1995:61) mendefinisikan sastra anak dengan bertolak dari kebutuhan anak.
Dunia sastra mengenal adanya sastra lisan dan sastra tulis.Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun menurun secara lisan.Sastra jenis ini, kemudian dikenal sebagai folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya.
Huck, dkk (1987: 64-72) membagi buku-buku yang cocok untuk bacaan anak yang sesuai dengan tiap tahapan usia anak, dan tahapan usia anak itu sendiri dibedakan ke dalam tahap-tahap: (1) sebelum sekolah, masa pertumbuhan usia 1-2 tahun, (2) prasekolah dan taman kanak-kanak usia 3,4 dan 5 tahun, (3) masa awal sekolah, usia 6 dan 7 tahun, (4) elementari tengah, usia 8 dan 9 tahun, dan (5) elementari akhir, usia 10,11 dan 12 tahun.
Piaget (Brady, 1991: 28-30) membagi perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan, dan tiap tahapan mempunyai karakteristik berbeda yang mempunyai konsekuensi pada respons anak terhadap bacaan. Keempat perkembangan intelektual itu adalah: (1) tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun), (3) tahap operasional konkret (the concrete operational, 7-11 tahun), dan (4) tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Dengan demikian, orang yang dapat dikategorikan sebagai anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai dengan sekitar 12 tahun. Jadi, anak yang dimaksudkan dalam sastra anak itu adalah orang yang berusia 0 tahun sampai sekitar 12 atau 13 tahun, atau anak yang sudah masuk dalam masa remaja awal. 
Berbagai contoh cerita rakyat yang dapat diintegrasikan kedalam bahan ajar yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan di antaranya adalah Putri Tandampalik, I Laurang, Ambo Upe dan Burung Beo, Lamaddukelleng, Sawerigading, La Upe, Nenek Pakande dan sebagainya. Cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Gowa di antaranya adalah Lamaddukelleng. Cerita-cerita yang dijadikan sebagai cerita rakyat memiliki makna yang dalam dan nilai-nilai budaya yang sangat tinggi. Melalui karakteristik dan watak tokoh, siswa dapat merasakan dan menghayati makna kehidupan yang teraplikasi dalam kehidupan yang nyata dari makna itulah siswa dapat menemukan nilai-nilai yang mampu membentuk sikap dan tingkah lakunya.

No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...