Saturday, September 5, 2015

CERPEN: IBUKU SAYANG IBUKU MALANG

IBUKU SAYANG, IBUKU MALANG

Ibuku sayang, duduk-duduk di tepi pintu menyandar pada daun pintu yang hampir roboh diserang rayap. Tatapannya kosong, wajahnya pucat pasih, persis seperti seorang yang yang tak bernyawa. Rambutnya seringkali disisir si bungsuh sebelum ke sekolah. Kami miskin, tapi bukan berarti kami tak sekolah, kami tak hidup dengan jeripayah bapak tapi kami bisa makan. Hanya saja Ibuku malang jatuh dalam lubang yang dalam, tersungkur, sakit, bahkan hanya satu dua kali nafanya tersisah. Tak tahan mata dan telinga menerima kenyataan ini. Sedih rasa hati, sakit jiwaku, tak mampu lagi aku bertahan melihat lukamu. Cukup...cukup tuhan, jangan menambah luka lagi,,,,sejuta jahitan ada disini, tak mampu lagi ku melihat. Semakin sayang aku pada Mu, semakin kejam pula perlakuan-Mu.

BATARA GURU TURUN KE BUMI (EDISI LESTARI)

CERITA RAKYAT SULAWESI SELATAN


BATARA GURU TURUN KE BUMI
(KONSEP MANUSIA PERTAMA DI BUMI)



KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, sebab hanya izin serta petunjuk-Nya maka bacaan sederhana ini dapat diselesaikan penyusunannya. Penyusunan Buku Cerita “BATARA GURU TURUN KE BUMI” Sebuah Mitos Dalam Sastra Bugis Galigo, dilakukan dalam waktu yang sangat singkat sehingga dalam banyak hal masih diperlukan pembenahan pada edisi berikutnya. Kelemahan mungkin masih akan dijumpai dalam hal bahasa, begitu pula dalam penyajian alur cerita.
Buku Cerita ini merupakan saduran dari hasil penelitian Drs. Johan Nyompa dkk. Dalam bentuk transliterasi dan terjemahan naskah klasik episode Galigo yang berjudul “Mula Riulona Batara Guru" (Saat Diturunkannya Batara Guru). Program penerbitan buku bacaan yang diangkat dari kesusastraan daerah (lokal) amat berguna dalam upaya pelestarian budaya bangsa sendiri. Cerita-cerita rakyat seperti ini diyakini banyak mengandung nilai kemanusiaan, berupa ajaran moral leluhur yang agung. Proses penyaduran dilakukan secara tetapi tidak mengubah garis besar alur cerita dari sumber acuan. Perubahan dilakukan sebatas penyajian dalam bentuk bahasa yang lebih lues (bukan bahasa naskah), juga penyederhanaan alur guna memudahkan pembaca umum memahami isi serta jalan cerita.
Meskipun manfaat penyaduran seperti ini disadari, namun hingga hari ini belum banyak cerita-cerita klasik yang dapat disadur untuk keperluan pembaca umum atau masyarakat. Hal itu disebabkan oleh langkanya pakar dalam bidang sastra klasik yang dapat melakukan hal seperti ini. Kedua, juga terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pemasyarakatan nilai-nilai budaya lama selama ini.
Atas dasar pertimbangan demikian, maka usaha penyaduran cerita Bugis klasik ini dilakukan dalam rangka memperkenalkan warisan budaya leluhur yang masih dapat diselamatkan dari kepunahan. Usaha ini juga dianggap sebagai upaya pelestarian budaya daerah dalam usaha mendukung budaya bangsa yang lebih kokoh di masa akan datang.
Semoga bacaan sederhana ini dapat memberi manfaat dalam rangka pembinaan budi pekerti generasi muda Indonesia umumnya dan Sulawesi-Selatan atau Indonesia Timur pada khususnya. Sastra saduran ini relevan untuk dijadikan bahan bacaan pada semua jenjang pendidikan formal, mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN HAK CIPTA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bumi kosong, tiada yang menyembah Batara..............................................
Undangan musyawarah untuk mengisi bumi ........................................     
Para undangan menuju boting langi ............................................................
Musyawarah, siapa yang turun ke bumi........................................................
Batara Guru turun ke bumi dengan ayunan petir .......................................
Batara Guru telah tiba di bumi ........................................................................
Batara Guru kembali ke bumi, hidup mandiri ..............................................
Batara Guru bekerja keras, tidak mau menggantungkan
hidupnya pada orang lain ..........................................................................     
Warisan Batara Guru di turunkan ke bumi ...................................................
Batara Guru bermimpi ......................................................................................
We Nyilik Timo datang, batara guru gembira..........................................    
We Nyilik Timo tiba di istana ..........................................................................
Batara Guru naik boting langi .........................................................................
Lahirlah lalu lahirlah putraku sayang ...........................................................
Batara Guru mendambakan putra mahkota .................................................
We Nyilik Timo hamil .......................................................................................
Saat-saat menjelang We Nyilik Timo melahirkan ......................................
We Nyilik Timo melahirkan ............................................................................
Upacara pemberian nama batara lattuk ........................................................

“BATARA GURU” TURUN KE BUMI
LALU MENJELMA MENJADI MANUSIA

Bumi Kosong, Tiada Yang Menyembah Batara
Pada suatu waktu nan jauh di masa silam, ketika matahari mulai menerangi permukaan Bumi Persada tercinta, sebuah peristiwa suci telah berlangsung di Kerajaan Langit. Di Langit tertinggi, yaitu pada lapisan langit ke tujuh menurut kepercayaan Bugis kuna, di sanaiah bertahta "sang tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) bersama istri dan anak-anaknya.
Mereka hidup bahagia dan tenteram sebagai penguasa Tunggal di Kerajaan Langit. Pada suatu saat, ketika sang surya mulai menampakkan sinarnya, terbangunlah Patotoe dari tidurnya di istana Sao Kuta Kerajaan Boting Langi. la lalu menghelak  napas, meregangkan otot, sambil merasakan kesegaran udara langit pagi itu.
Tidak lama kemudian, Sang Dewata menoleh ke pekarangan istana seraya menyaksikan latihan perang antara La Tau Pancek dengan La Tau Buleng. Saat memandang ke sekeliling pekarangan istana kediamannya, dilihatnya pula gelanggang sabung ayam kosong dan para penjaga ayam tidak ada di tempat. Seketika Patotoe marah seraya bertanya, "Apa gerangan yang menyebabkan penjaga ayam sabungannya meninggalkan tugasnya."
Saat Patotoe sedang marah, para penjaga ayam itu pun sudah pulang dari perjalanannya. la kemudian ditanya, "Dari mana gerangan kalian sehingga ayam kesayanganku kautinggalkan begitu saja?" Seraya menyembah, Ruma Makkompong dan Sangiang Mpajung bersaudara berkata, "Kami berkunjung ke kolom langit di tepi Peretiwi. Juga mereka menurunkan topan dan mengadu petir." Juga dilaporkan, "Pada saat turun ke Kerajaan Bumi tampak tidak ada nian menyembah kepada Batara. Bumi kosong tidak berpenghuni sehingga tampak lengang."
Mereka lalu menyarankan kepada "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) kiranya memikirkan bagaimana sebaiknya mengisi Bumi. Ruma Makkompong juga menyampaikan kepada Patotoe, "Alangkah baik sekiranya Dewata menurunkan seorang keturunan untuk menjelma di muka Bumi." Lalu, menjawablah Sri Paduka Batara, "Biarlah aku naik ke istana Sao Kuta Pareppae menyampaikan kepada Bunda La Rumpang Megga, sebab atas izin Ratu Palingelah baru bisa ditempatkan keturunan di kolong langit.
Seraya mempertimbangkan laporan para pati pengawal, maka berangkatlah Patotoe naik ke istana berselimutkan sarung kemilau. Kelihatan bagaikan bulan di langit sambil diiringi oleh Raja dari Wawo Langi serta diramaikan oleh bangsawan dari Coppok Meru. Patotoe menaiki tangga, melangkahi ambang pintu kemudian masuk melalui sekat tengah menyusuri dua ratus lima puluh petak Istana Sao Kuta. Dalam sekejap, sampailah la di hadapan Wanita belaiannya. Permaisuri yang setia mendampingi baik dalam suka maupun duka.
Berkatalah Patotoe kepada Sang Permaisuri, "Sebaiknya wahai adik Ratu Palinge kita turunkan anak kita untuk berkuasa di Bumi agar tidak tetap kosong. Kita bukanlah Dewata, wahai adinda, apabila tak seorang pun di kolong langit menyeru tuan kepada Batara." Setelah mendengar perkataan suaminya, maka berkatalah Ratu Palinge "Jika Engkau bermaksud menurunkan tunas ke Bumi, siapa gerangSn yang berani membantah kehendakmu. Seluruh keluarga senantiasa menerima keputusanmu sebab Engkaulah wahai kakanda yang dipertuan sedang lainnya hamba."
Atas kesepakatan Patotoe dengan istrinya, maka dikirimlah utusan ke Toddang Toja untuk mengundang adiknya serta sanak saudara untuk berkumpul di Kerajaan Langit. Belum selesai ucapan Patotoe, dicabutlah segera palang pintu Batara langit lalu diturunkan pelangi tujuh warna disertai guntur sahut-menyahut. Berbagai keperluan dipersiapkan oleh utusan kepercayaan Sang Dewata.
Undangan Musyawarah Untuk Mengisi Bumi
Turunlah segera para utusan Patotoe mengantar undangan. Sesampainya di Toddang Toja, menghadaplah Rukkelleng Mpoba bersama dengan Ruma Makkompong kepada Sinauk Toja penguasa Peretiwi (saudara Patotoe) bersama dengan istri. Setelah beristirahat sejenak, utusan itu menyembah seraya menyampaikan perihal undangan saudaranya ke Boting Langit. Setelah melihat kedatangan utusan saudaranya, bertanyalah Sinauk Toja suami-istri kepada utusan itu perihal apa gerangan yang disuruhkan saudaranya.

|
 Sambil menyembah Rukkellepg Mpoba dan Ruma Makkompong menyampaikan kepada tuannya Sinauk Toja, "Anda diundang oleh kakanda Patotoe untuk naik ke Kerajaan Langit bersama dengan istri. "sang tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) bermaksud menurunkan putranya di Ale Lino (pusat Bumi) sebab dia menganggap bahwa dirinya bukanlah Dewata apabila tak seorang pun menyembah kepadanya dan menadahkan tangan ke Peretiwi."

Setelah selesai menghadap dan setelah Sinauk Toja menerima dan menyetujui undangan kakaknya, mohon pamitlah utusan tersebut. Lalu utusan itu meneruskan perjalanan menuju ke tempat sepupu sekalinya, yaitu To Bala Unynyik dan kemanakannya di Senrijawa yang bernama Sennek Batara. Sesampainya di Kerajaan Senrijawa, kedua utusan itu langsung menghadap dengan terlebih dahulu menyembah. Mereka pun menyampaikan undangan "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) kepada To Bala Unynyi dan Sennek Batara. Setelah melaksanakan perintah Patotoe, maka utusan itu kembali ke Boting Langi melapor.
Para Undangan Menuju Boting Langi
Setelah tiba saat yang ditentukan, yakni saat bulan purnama raya, maka berangkatkan Guru Risellek, Sangka Malewa, Sinrang Mpatara, Sennek Batara dan rombongan ke Boting Langi yang diantar oleh guntur, diiringi kilat dan petir. Sebelum sampai di Boting Langit, Guru Risellek beserta rombongan melewati kerajaan anak-anak Patotoe, Leteng Nriu, Kerajaan Balasangriu, juga melewati Mallimongeng, Kerajaan I La Sangiang, Langku-langku, Kerajaan Aji Pawewang, Mallagenni Kerajaan Aji Tellino, Limpo Majang, Kerajaan Sangiang Kapang, Wawo Unruk Kerajaan La Rumpang Megga.
Semua kerajaan yang dilewati Guru Risellek selalu menyempatkan diri untuk mampir bertegur sapa dengan semua kemanakannya. Sesudah beristirahat sejenak, barulah mereka melanjutkan perjalanannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka sudah melewati Kerajaan Wawo Unruk. Pada saat matahari masih di tempatnya, tibalah Guru Risellek beserta rombongan di Boting Langi. Penjaga serta pengawal Kerajaan Langit datang membukakan pintu halilintar penutup langit.
Setelah memasuki batas wilayah pagar halilintar, maka segenap penjaga istana serempak bangkit menghalangi Guru Risellek beserta rombongan memasuki istana' petir, kediaman Patotoe. Karena bukan orang penghuni langit, maka bangkitlah Paddengncpngnge, Paresolae, To Alebboreng, Pulakalie, I La Sualang, I La Becocik, penjaga pagar guruh, dan datang pula menyerbu burung hantu, setan, bersama dengan ular berbisa dan lipan raksasa penjaga istana Sao Kuta kediaman Patotoe.
Melihat gelagak yang tidak menyenangkan dari para pengawal istana tersebut, meludahlah sembari berkata yang dipertuan di Toddang Toja Guru Risellek, "Lancang benar kalian orang Sunra tidak memperkenankan rombonganku memasuki pagar halilintar. Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku, adalah saudara Patotoe. Seorang tinggal di Boting Langi berkuasa di Ruallette dan seorang tinggal di Toddang Toja menjadi raja di Peretiwi. Kalian lancang tidak memperkenankan rombonganku memasuki pagar istana petir. Perlakuanmu sangat keterlaluan dan membuatku marah kepada kalian."
Setelah mendengar penjelasan Guru Risellek, maka gemetarlah seluruh badan orang Sunra dan seluruh penjaga istana seraya berkata, "Tuan-tuan rupanya yang berkuasa di Pertiwi. Kami telah lancang karena tak membiarkan tuan memasuki pagar istana halilintar, padahal tuan adalah adik Patotoe beserta rombongan yang diundang berkunjung ke istana Ruallette" Seketika itu para penjaga pintu Langit menghadap seraya menyembah lalu mempersilakan Guru Risellek dan rombongan memasuki istana Kerajaan.

Musyawarah, Siapa Yang Turun Ke Bumi
Guru Risellek beserta istri dan rombongan melangkah menunju ke istana Patotoe. Setelah tiba, mereka iangsung memasuki pekarangan istana dan langsung dijemput oleh ribuan dayang-dayang sambil memegang talam emas berisi bertih. Ketika Guru Risellek dan rombongan tiba di depan ‘tangga istana, mereka berhenti sejenak. Pada saat itu, datanglah seluruh penjemput tamu menaburi bertih sebagai tanda penghormatan "tuhan penentu nasib" sekeluarga. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.)
Para pengawal istana kemudian menghadap seraya menyembah kepada Guru Risellek. Menghadaplah bangsawan dari Abang kepada Guru Risellek menyampaikan bahwa kakandanya, yaitu Patotoe beserta istri menghendaki agar mereka naik ke istana Sao Kuta Pareppae. Dengan malas Sinauk Toja membuka mulut kemudian berkata, "Tidak pantas perbuatan yang dilakukan oleh Orang Sunra pengawal istana kepadanya." Ia juga menggerutu, "Seharusnya sedari tadi kami beristirahat di balairung kakanda, tetapi karena perlakuan penjaga tersebut akhirnya baru bisa sampai di istana Patotoe.”
Setelah mendengar perihal kekesalan Guru Riselk beserta rombongannya, maka berpalinglah bangsawan Orang Abang menunjuki penjaga pagar istana petir. Sambil penjemput tamu itu, berkatalah kepada para penjaga pagar, "Bersedialah engkau dihukum di bawah pohon asam atas keangkuhanmu." Setelah itu, melangkahlah Sinauk Toja dan Guru Risellek, raja Peretiwi, menyusuri tangga istana halilintar bersama dengan rombongan. Bertih keemasan bertaburan di sana-sini sebagai tanda penyambutan. Guru Risellek beserta istri dan rombongan menginjakkan kaki di tangga, kemudian naik berpegang pada susuran dan melangkahi ambang pintu. Guru Risellek terus melangkah masuk ke istana dengan menyusuri lantai papan guruh.
Di suatu ruang tamu istana, di sanalah didapati sedang duduk bersimpuh berhimpitan para bangsawan Abang. Mereka lalu membukakan jalan untuk dilewati oleh raja dari Peretiwi dengan terlebih dahulu harus menyusuri dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta untuk sampai ke bilik peristirahatan saudaranya. Guru Risellek beserta rombongan dari peretiwi dengan senang hati menyusuri bilik demi bilik dalam istana keagungan itu.
Setelah tiba di ruang peristirahatan Patotoe, dengan penuh rasa haru dan suka cita, Guru Risellek berdiri termenung lalu memandang ke sekeliling ruang dan menyaksikan sepupu sekali dan kemanakannya duduk berdampingan. Bagaikan halilintar buara teriakan Sinrang Mpatara beserta rombongan hingga memekakkan telinga. Di bagian utara bilik itu, dilihatnya kursi kerajaan istana yang diduduki To Palanroe. Ketika Guru Risellek melihat saudaranya perasaannya teramat senang. la bagaikan sedang menikmati madu rasa hatinya penguasa Lapik Tana memandang saudaranya.
Dalam suasana yang menyenangkan dan penuh haru itu, kedua kakak beradik yang didewakan saling bertegur sapa dengan penuh kemesraan di atas peterana guruh. Sembari menengadah, Patotoe mempersilakan Guru Risellek, To Akkarodda, dan Sinauk Toja. duduk di kursi kerajaan. Guru Risellek bersama dengan rombongan kemudian duduk di atas kursi kerajaan berdampingan dengan kakaknya, To Palanroe.
Setelah semuanya duduk di tempat yang telah disediakan, maka To Palanroe bersama dengan istrinya berkata kepada paduka adinda dan semua sepupu yang diundang ke Kerajaan Langit, "Aku ingin meminta pendapat mereka perihal keinginanku menempatkan atau mengirim keturunan sebagai penguasa di Bumi Patotoe menyampaikan hal ini kepada adik serta para sepupunya sebagai tanda penghargaan kepada mereka.
Patotoe juga menyampaikan kepada adiknya, "Bumi tidak boleh kosong karena kita bukanlah Dewata kalau tidak ada penghuni Bumi menyembah kepada Batara Patotoe kemudian menyampaikan, "Nanti setelah kita sepakat bersaudara bersama dengan sepupu sekali, barulah kita menempatkan keturunan masing-masing di Bumi." Serentak menjawab seluruh bangsawan tinggi, "Sekiranya Sang Batara menghendaki demikian, maka tentulah seluruh keluarga akan merestuinya. Apalagi keinginan tersebut disampaikan dengan hormat, meskipun sesungguhnya mereka adik."
Guru Risellek menyampaikan kepada kakaknya, "Saya menganggap ide yang baik bila berkeinginan menempatkan turunan masing-masing di kolong langit dengan menjelma sebagai manusia biasa." Guru Risellek juga menyampaikan kepada Patotoe, "Mengapa hanya anak kakandalah seorang yang diturunkan, sedangkan keturunan kami tidak kakanda pertimbangkan nasibnya." Setelah mendengar perkataan adiknya, maka Patotoe lalu bertanya, "Beraoa orang sebenarnya anak adinda?" Setelah mendengar pertanyaan‘ kakaknya, maka Guru Risellek menjawab "Ada sembilan orang anaknya, dan semuanya telah dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaanku masing-masing di Kerajaan Bumi Bawah (Peretiwi).
Setelah menjelaskan perihal anaknya, Guru Risellek pun balik bertanya kepada kakaknya perihal anak-anak kakaknya. Patotoe pun menjelaskan kepada Guru Risellek, "Anakku juga sembilan orang dan kesemuanya telah kupersiapkan untuk menduduki tahta kerajaanku masing- masing di Boting Langi. Dengan  demikian, tidak ada masalah menyangkut warisan kerajaan sebab semuanya mempunyai kesempatan yang sama."Patotoe bermusyawarah dengan alot bersama dengan istrinya perihal siapa gerangan di antara anaknya yang cocok diturunkan ke Bumi menjadi penguasa. Setelah pembicaraan Patotoe bersama dengan istrinya  mengalami jalan buntu akibat kesulitan menentukan pilihan, hampir sepetanak nasi lamanya To Palanroe duduk melayangkan pikiran kian kemari dengan perasaan yang kuat. Lama berselang, barulah Patotoe menoleh sembari berkata, "Biarlah kita turunkan Batara Guru, anak sulung kita, ke permukaan Bumi, wahai adinda Ratu Palinge."

Batara Guru Turun Ke Bumi Dengan Ayunan Petir
Setelah melalui persetujuan bersama, maka sampailah pada putusan terakhir bahwa anak sulungnyalah yang bernama Batara Guru yang pantas diutus turun menjadi penguasa di Bumi sekaligus menjelma sebagai manusia. Patotoe lalu berpaling bertanya kepada adindanya, "Siapa gerangan keturunanku yang akan dimunculkan atau dinaikkan menjeima di Bumi. Menjawab Sinauk Toja dan Guru Risellek, "Anak sulungku yang bernama We Nyilik Timo yang akan dinaikkan dari Peretiwi."
Setelah Patotoe dan Guru Risellek menentukan anaknya yang akan dikirim ke Bumi, maka disusullah kemudian oleh para sepupu sekalinya di langit sama menyebutkan keturunannya masing-masing yang dipersiapkan turun ke Bumi. Demikian pula sebaliknya, para pembesar pendamping di Peretiwi juga mempersiapkan turunannya masing-masing yang akan dikirim ke Bumi. Sambil menangis penuh keharuan, To Palanroe menyuruh La Toge Langi (Batara Guru) putera kesayangannya masuk ke kamar mandi dan berlangir lalu bersiap-siap turun ke Bumi. Batara Guru pun segera masuk ke kamar mandi untuk menyucikan diri.
Ketika Batara Guru mendengar ucapan Ayahandanya, tak satu pun kata mampu diucapkan, kecuali termenung sembari merenungi nasibnya. Menghadaplah seraya menyembah Sangka Batara dan To Tenrioddang, keduanya serentak masuk menemui Batara Guru sambil menyampaikan, "Ananda disuruh oleh Sri Paduka untuk keluar sebab matahari sudah tinggi." Setelah mendengar keputusan Paduka Ayahandanya, maka tiba-tiba air mata kerinduan Batara Guru bercucuran mengenang adik- adiknya. Setelah melihat suasana yang menyedihkan itu, semua adik-adik La Togek Langi ikut bersedih seraya menangisi rencana kepergian kakaknya.
Setelah Batara Guru selesai mandi dengan langir busa pada mangkuk guruh besar berkuping, dikeringkanlah tubuhnya oleh Talaga Unruk dan Dettia Tanah. Setelah itu, dipasangkanlah bajunya oleh Welong Mpabarek dengan dikelilingi oleh pedupaan disertai suara belas kasih. Setelah selesai berpakaian, keluarlah Batara Guru yang dipersiapkan turun ke Bumi sambil digenggam pergelangannya oleh adik-adiknya. Batara Guru kemudian diapit oleh pembesar dari Abang Lette dan diramaikan suara kasih sayang yang menyayat hati dari Leteng Riu. la lalu berjalan dipandu oleh para Inang pengasuh dari Wawo Unruk dalam suasana penuh kesedihan.
Pada saat menjelang keberangkatannya itu, Dettia Unruk dan Sangiang Kapang menyuruh Batara Guru menghentikan air mata dengan perpisahannya Kerajaan Boting Langi. Mereka lalu menasihatinya, "Anda harus pasrah! Apa yang bisa diperbuat kalau memang demikian kehendak Sri Paduka ayahanda." Dettia Unru dan Sangiang Kapang juga menyampaikan kepada Batara Guru, "Semogalah Sri Paduka di Peretiwi merasa kasihan sehingga terbukti ucapannya dan benar-benar anaknya dapat menjelma di Bumi. Dialah yang akan menjadi permaisuri kakanda nanti di Bumi, yaitu sepupu sekali kita." Mendengar pembicaraan tersebut, tanpa berkata sepatah kata pun Batara Guru kepada adik-adiknya.
Setelah dipakaikan semua pakaian kebesarannya, Patotoe kemudian menyampaikan kepada putra kesayangannya, "Bukanlah saya yang menjadi penentu segalanya. Sekiranya saya melanggar, maka aku akan hangus disambar petir dan menyala. Jiwa ragaku pun akan hilang." Patotoe juga menyampaikan, "Kamu nanti akan menjelma sebagai manusia, sedangkan aku adalah Dewata. Mendengar perkataan Paduka Ayahandanya, maka semakin     bertambah kesedihan hati Batara Guru memikirkan keputusan orang tuanya.
Setelah bertitah "tuhan penentu nasib," (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) maka bangkitlah La Patigana mengangkat bambu betung yang akan digunakan sebagai tempatnya berbaring Batara Guru. Bambu betung itulah yang akan dijadikan pesawat Batara Guru turun ke Bumi. Setelah memerintah Sangka Batara, maka dicabutlah palang guntur penutup pintu batara dari petir. Seketika itu pulah langit terbelah dua. Dibuka lebar pulalah tujuh lapis langit dan kemudian tiba-tiba alam menjadi gelap gulita. Suasana saat itu bergejolak sehingga menimbulkan goncangan alam yang mahadahsyat.
Bersamaan dengan itu, diturunkan pulalah ayunan kemilau yang dimuati bambu betung tempat berbaringnya Batara Guru. Tumpangan tersebut selanjutnya diusung oleh guntur dan disertai oleh angin kencang. Dalam suasana yang memilukan itulah, semua berangkat beriringan seraya mengelu-elukan tuan penghambaan mereka. Batara Guru telah pergi. la telah turun menjelma sebagai manusia di Bumi. Baginya Kerajaan Langit tinggal sebagai kenangan yang menyedihkan.
Baru setengah langit turun ayunan tali, berpalinglah Manurungnge (Batara Guru) menyingkap baju biru langitnya. Saat itu, dia menengadah dan dilihatnya samar- samar Boting Langi. Menunduk lagi ke Bumi dan dilihatnya pula samar-samar. Semakin terasalah kesedihan hati Manurungnge. Hampir saja terhenti tarikan napasnya mengingat keadaan di Boting Langi. Diingatnyalah semua saudaranya. la teringat kepada adik-adik yang amat disayanginya. Mereka telah jauh dari sisinya.
Manurungnge berkata dalam hati Tenggelam dan hilang rupaku bagi orang-orang yang menyayangi diriku di Ruallette. Entahlah, apakah nanti aku tenggelam atau mati tanpa disaksikan oleh kedua orang tua serta saudara- saudaraku." Banyak hal yang kini menghantui pikiran serta perasaannya. Seakan-akan dirinya pergi tanpa suatu tujuan yang pasti, juga tanpa ditemani oleh siapa pun juga.
Di tengah perjalanannya turun ke Bumi, menunduklah Manurungnge sambil menghambur taletting mperrek. Itulah yang menjelma menjadi wilayah. menggumpal menjadi gunung, kemudian membentuk perbukitan; serta meluaskan lembah; melebarkan laut; menoreh sungai; mengatur gelombang laut; dan melebar pulalah tanah. Batara Guru kembali istirahat di dalam bambu betung pewasat tumpangannya.
Setelah beristirahat sejenak, ia melempar lagi sirih atakka di sebelah kanannya, tellek araso di sebelah kirinya. Lalu, tiba-tiba benda itu menjelma menjadi hutan belantara yang rimbun. Semakin dekatlah Batara Guru ke Bumi. Sambil menunduk, ia kemudian melontarkan lagi wempong mprti dari Wawo Unruk yang kemudian menjelma menjadi ular dan binatang yang beraneka macam.
Dalam waktu tidak terlalu lama, Batara Guru kembali menebarkan bertih kilat dari Limpo Bonga, beras berwarna dari Leteng Nriu. Tidak lama kemudian, ramailah suara aneka ragam margasatwa yang memperebutkan tempat bertengger di hutan. Sejak saat itu, Bumi sudah dalam keadaan terisi berbagai macam tumbuhan serta burung dan hewan.

Batara Guru Telah Tiba Di Bumi
Sudah tidak mail lagi merapat ayunan petir yang ditempati pesawat bambu betung tempat berbaring Batara Guru. Dalam waktu yang bersamaan, tiba-tiba guntur menggelegar tujuh kali bagaikan hendak runtuh Boting Langi. Terasa bumi akan hancur. Saat itulah ayunan petir Manurungnge mendarat di Bumi. Diturunkanlah pesawat bambu betung tempat Batara Guru berbaring, dan selanjutnya dinaikkan kembali ayunan petir ke Boting Langi. Kembali pulalah semua anak Dewata yang mengantarnya. Keadaan saat itu sangat menyedihkan, apalagi setelah Batara Guru melihat alam yang ditempati sudah bukan lagi kerajaan tempat ia dilahirkan. Suasana ini lebih diperburuk lagi oleh kembalinya semua turunan Dewata lainnya ke Kerajaan Langit.
Setelah tiba kembali di Kerajaan Langit, tepat di Sao Kuta Pareppae, menangislah semua anak Patotoe atau saudara Batara Guru setelah melihat ayunan petir Manurungnge sudah dalam keadaan kosong. Berseru seraya menepuk dada Talaga Unruk dan Welong Mpabarek. Mereka lalu bertanya kepada Sri Paduka, "Mengapa tidak menurunkan kami ke Bumi supaya bisa sehidup semati dengan anak Dewata kesayangannya." Tidak menyahut sepatah kata pun To Palanroe, sementara Ratu Palinge hanya duduk termenung mencucurkan air mata kerinduan kepada anaknya. la kelihatan pasrah merenungi nasib yang menimpa putra kesayangannya.
Gelisah pulalah Sinauk Toja hendak turun kembali ke Toddang Toja. Lalu, mohon dirilah Raja Peretiwi kepada kakaknya. Setelah To Palanroe- mengizinkannya, maka tidak terasa olehnya Ratu Palinge sudah turun kembali ke Urik Liu di kerajaan Toddang Toja. Setelah adiknya kembali ke Kerajaan Dunia Bawah, maka Patotoe bersama dengan istri dan anak-anaknya kembali bersedih memikirkan putra sulungnya yang telah berada di Bumi.
Pada saat yang sama, serentak pulalah para undangan sepupu sekali dan kemanakan To Palanroe kembali ke kerajaan dalam suasana sunyi di istana Sao Kuta. Kerajaan Langit, semakin dalam kesedihannya. Batara Unruk dan Ratu Palinge mengenang nasib putra kesayangannya yang telah jauh dari pangkuannya. Keadaan sekeliling istana Sao Kuta Kerajaan Langit sepi. Para penghuni istana seakan-akan kehilangan gairah hidup akibat ditinggalkan oleh Batara Guru Sang Manurung.
Sudah tujuh hari tujuh malam Batara Guru berada di Bumi dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sejak itu pula, tidak pernah ada sesuatu pun yang lewat di kerongkongannya. Ketika malam menjelang dini hari, berpalinglah Manurungnge sambil menendang kain biru bertatahkan bulan sehingga terbelah pesawat bambu betung tempatnya berbaring. Ketika fajar menyingsing di pagi hari, terbangunlah Batara Guru. Matahari pun perlahan bergerak naik. Saat itulah Batara Guru bangkit dari tidurnya. la lalu pergi berjalan-jalan ke hutan di pinggir sungai. Perasaannya diliputi keraguan serta kepalanya seakan dipenuhi ribuan tanda tanya.

Batara Guru Ke Dunia Bawah
Pada waktu Batara Guru sampai di pinggir sungai, tiba-tiba ia melihat air. Untuk mengobati rasa hausnya maka ia turun ke sungai, lalu minum air sungai. Ketika Batara Guru hendak naik dan ingin kembali ke bambu betung tempat tidurnya terlihat olehnya buaya penguasa telaga berpakaian warna kuning. Dengan menengadah, Penguasa telaga mempersilakan Manurungnge naik ke punggungnya. Buaya tersebut menyampaikan, "Aku akan mengantar Batara Guru berkunjung ke Urik Liu, Kerajaan Dunia Bawah, agar kamu bertemu dengan sepupu sekalimu."
Setelah mendengar ajakan Sang Buaya, maka Manurungnge pun naik di punggung Penguasa telaga. Tidak lama dalam perjalanannya menuju ke Kerajaan Dunia Bawah, akhirnya sampailah ia di Urik Liu. Sesampainya di dunia bawah, turunlah Batara Guru dari punggung Sang Buaya lalu berjalan-jalan di Toddang Toja. Kebetulan sekali dalam perjalanannya itu, ia menemui anak raja di Peretiwi sedang berkumpul. Mereka berkumpul untuk menyabung ayam andalannya masing-masing.
Batara Guru yang dijadikan tunas di Bumi berdiri termenung menyaksikan para penyabung silih berganti tampil di gelanggang keemasan. Sambil berdiri memandang di dekat pagar berkata dalam hati Batara Guru, "Kecil-kecil rupanya orang di sini, dan semua keriting rambutnya." Tampaknya Batara Guru baru pertama kali melihat sosok manusia yang hidup di Kerajaan Dunia Bawah yang berbeda dengan turunan "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) di Kerajaan Langit.
Pada saat itu pula Batara Guru tiba-tiba dirundung kesedihan karena dirinya mengenang kembali masa-masa bahagianya bermain dan manyabung ayam di Boting Langi. Kebetulan sekali Linrung Talaga membuka jendela istana dan menyaksikan sepupu sekalinya Batara Guru berdiri sejajar dengan pagar istana Sao Sellik Kerajaan Dunia Bawah. Seraya menyembah dia lalu menyampaikan kepada Sri Paduka ayahandanya bahwa dia melihat orang langit yang sama rupanya dengan sepupu sekalinya yang ditempatkan menjadi tunas di Bumi.
Dengan rasa senang hati, Guru Risellek bersama dengan permaisuri langsung menyuruh putranya agar segera turun memanggil kakak sepupunya. Turunlah segera Linrung Talaga dan langsung memegang lengan sepupunya seraya berkata, "Sri Paduka mengharapkan kakanda naik ke istana Sao Seltik yang megah." Setelah mendengar perkataan adik sepupunya, maka Batara Guru Sang Manurung pun menyetujuinya.
Kemudian, melangkahlah Batara Guru sambil bergandengan tangan dengan sepupu sekalinya. Mereka berdua lalu naik dengan menyusuri tangga berukir sambil berpegang pada susuran tangga kemilau. Mereka terus melangkah melintasi ambang pintu keemasan dan menyusuri lantai papan gemerlap. Mereka melangkah terus hingga masuk dengan melewati sekat tengah dan membelakangi ambang pintu. Hanya sekejap saja, Batara Guru sudah sampai di bilik istana tempat pamannya beristirahat.
Senang sekali Sinauk Toja melihat kedatangan kemanakannya. Sambil menengadah, lalu ia mempersilakan Batara Guru {La Togek Langi) duduk di atas tikar keemasan. Menghadaplah Batara Guru Sang Manurung seraya sujud menyembah di hadapan calon Ibu mertuanya. Sambil menunduk, Sinauk Toja lalu membuka celana keemasan kemudian menyodorkan sirih yang telah ditumbuk kepada kemanakannya. Seraya tersenyum, Sinauk Toja bertanya, "Apa gerangan maksud kemanakanku berkunjung atau turun ke Kerajaan Dunia Bawah (Toddang Toja). Dia menanyakan, "Apakah Batara Guru ingin kawin dan bersanding di pelaminan dengan sepupu sekalimu lalu membawanya naik ke Kerajaan Bumi?"
Setelah mendengar pertanyaan calon mertuanya, menunduk sejenak Manurungnge lalu menjawab, "Sekiranya Paduka Tuanku mengizinkan, maka nanti setelah hamba berada di Bumi barulah Tuan menaikkan calon istriku." Saat ucapannya selesai, Batara Guru lalu menoleh ke kiri dan ke kanan, namun tidak dilihatnya sepupu sekalinya yang ingin dikawini. Perasaan Batara Guru mulai tidak nyaman dan ia pun ingin segera kembali ke Bumi karena merasa jengkel tidak berjumpa dengan calon permaisurinya.
Linrung Talaga meminta sepupunya bermalam di Toddang Toja supaya bisa merasakan nikmatnya makanan orang Toddang Toja, Kerajaan Dunia Bawah. Namun, Batara Guru menolaknya dan mengatakan, ”Aku akan kembali ke Bumi dahulu untuk memasrahkan diri pada ketentuan To Palanroe "tuhan maha pencipta." (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Dengan perasaan yang kurang senang, Batara Guru memutuskan untuk segera kembali ke Bumi.

Batara Guru Kembali Ke Bumi, Hidup Mandiri
Setelah Batara Guru memohon pamit kepada calon mertuanya, maka berpalinglah Sinauk Toja seraya berpesan, "Wahai kemanakanku. Tetaplah tabah menghadapi setiap cobaan yang menimpamu selama berada di pusat Bumi. Sinauk Toja, calon mertuanya, juga menyampaikan kepada Batara Guru Sang Manurungnge, "Nanti kalau kamu sudah tenang dan betah tinggal di Bumi, barulah kami mengirim sepupu sekalimu naik ke Bumi untuk kau jadikan sebagai permaisuri."
Sudah tidak terasa lagi tubuh Batara Guru diperjalankan naik ke Bumi. Hanya dalam sekejap saja, sudah tiba kembali ke Bumi. la tiba di tengah hutan belantara. Setelah beristirahat sejenak, barulah ia masuk berbaring kembali di pesawat bambu betung tempat tidurnya. Batara Guru berbaring sambil menutup kepala dan kakinya dengan kain biru langit yang bertatahkan bulan. Suasana hatinya pun belum berubah. la masih diliputi rasa sedih dan tetap dilanda kerinduan kepada saudara-saudaranya. Juga lebih diperparah oleh rasa rindunya kepada Ibunda Ratu yang melahirkannya.
Waktu terus .berjalan dan sudah sembilan hari ia berada di Bumi dalam keadaan menyedihkan. Tidak satu pun makanan yang melewati kerongkongannya. Ketika malam telah larut, Batara Guru tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dia lalu duduk termenung di atas bambu betung tempatnya berbaring. Saat itu dia sangat sedih merenungi nasibnya dan kembali rindu kepada Boting Langi. Bagaikan hilang kesabarannya mengenangkan adik-adiknya demikian dicintai dan mencintainya. Pada saat itu, berpalinglah Sang Manurung sambil menggerutu mencucurkan air mata kerinduannya kepada langit, kepada orang tua mulianya. lengkapnya, saya khawatir nanti dia lupa diri dan tidak mau menyembah ke Boting Langi. Kalau sekiranya ia durhaka kepada kita, maka ia akan tersiksa, memyebabkan dia tenggeiam dan pendek umur."
"Biarkanlah dahulu wahai adinda Ratu Palinge, kita turunkan tujuh oro dan tujuh buah kampak untuk dipakai merambah hutan. Biarkanlah dahulu dia berusaha sendiri. Dia bisa hidup dengan menanam jagung dan gandum. Setelah ia lolos dari cobaan dengan tabah, barulah kita turunkan warisan lengkapnya dari Kerajaan Boting Langi." Setelah ucapannya selesai, Patotoe kemudian kembali duduk dengan tenang di samping istri kesayangannya.
Pada saat selesai mendengar perkataan Paduka suaminya, Mutia Unruk dengan berat hati kemudian berkata, "Yang aku inginkan adalah Sang Dewata Patotok, segera mengirimkan pusaka lengkap Batara Guru sebab sangat pilu rasa hatiku mendengar anakku mengeluh di pusat Bumi." Setelah menyampaikan harapannya, "sang tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) bersama dengan permaisuri Palinge kembali diam dan suasana pun kembali hening. Tidak ada suara dan juga tidak ada dialog di antara mereka berdua.

Batara Guru Bekerja Keras, Tidak Mau Menggantungkan Hidupnya Pada Orang Lain
Lima belas hari lamanya Batara Guru Sang Manurung di Bumi. Sejak itu, pulalah dia menahan lapar dan dahaga. Menjelang dini hari, tidurnya sangat nyenyak sehingga tidak dirasakan getaran guntur beriringan dengan petir yang menggelegar. Ketika itu, langit seakan-akan runtuh, Bumi pun bagaikan sedang pecah. Pada saat itulah Sang Dewata Langit menurunkan La Oro Kelling menjelma sebagai manusia yang akan bekerja mendampingi Batara Guru.
Pada waktu La Oro sudah sampai di Bumi maka alam pun kembali tenang. Saat menjelang pagi terbangunlah Batara Guru di Atawareng. Kemudian bangkit dari bambu betung tempat pembaringannya. Kebetulan sekali ia melihat La Oro sedang memegang kampak keemasan. Bangkitlah segera Batara Guru yang diturunkan sebagai manusia pertama di Bumi, kemudian sepakat dengan La Oro pergi membuka lahan perkebunan yang bakal ditanami jagung dan gandum.
Hanya sebatang pohon kayu yang ditebang Batara Guru Sang Manurungnge kemudian pohon itulah menimpa pohon kayu lainnya hingga di tepi pantai. Tempat yang tadinya hutan belantara itu, sekarang tiba-tiba terang- benderang hingga laut sebelah barat. Setelah itu, kembalilah Batara Guru Sang Manurungnge duduk di bambu betung tempatnya berbaring. la kemudian beristirahat setelah usai menebang pohon kayu. Hatinya sedikit terobati atas kedatangan La Oro, pendamping atau pengawal setia yang akan menemani hidup Batara Guru di Bumi.
Siang itu, kebetulan sekali matahari sangat panas sehingga keringlah semua perkebunan La Oro. Tidak lama setelah itu, hari kemudian mendung. Lalu, hujan rintik- rintik. Batara Guru mulai kebingungan sebab tiba-tiba Bumi bagaikan hendak runtuh. Bersamaan dengan itu pulalah, api Dewata diturunkan dari Kerajaan Langit. Hanya tujuh hari tujuh malam, bersihlah sudah kebun La Oro Kelling. Pada waktu Batara Guru terbangun dari pembaringannya, ia lalu melangkah ke luar beriringan dengan La Oro pergi mengelilingi kebunnya. Setelah memandang berkeliling, Manurungnge lalu menyampaikan kepada La Oro bahwa tanaman ubi dan keladi, tebu, paria, begitu pula pisang telah tumbuh semua. Sedikit demi sedikit perasaan Batara Guru mulai membaik, meskipun masih jauh dari sempurna.

Warisan Batara Guru Di Turunkan Ke Bumi
Sudah tiga bulan Batara Guru Sang Manurung di Bumi dalam keadaan sengsara menahan lapar dan dahaga. Tidak satu pun makanan melewati kerongkongannya. Ketika malam telah larut, nyenyak sekali tidur Batara Guru sehingga tak terasa olehnya petir sabung-menyabung. Halilintar dan guntur menggelegar, kilat silang-menyilang. Langit pun mendung. Dalam kekacauan alam seperti itu, Batara Guru tidak merasakannya dan tetap saja tertidur dengan nyenyak.
Saat itulah Patotoe menurunkan istana petir keemasan dari Wawo Unruk, bersama dengan We Saung Nriu, We Lele Ellung, Welong Mpabarek, dan saudara sesusuannya. Diturunkan pula Inang pengasuh yang ratusan serta ribuan pengawal seangkatannya. Betapa banyak turunan Langit yang dikirim menjelma menjadi manusia di Bumi. Semuanya dimaksudkan untuk menemani Batara Guru Sang Manurung dalam menjalani hidupnya di Bumi.
Bagaikan diterbangkan oleh guntur negeri di Wawo Unruk, di Uluwongeng. Semua penduduk diturunkan dari Kerajaan Langit bersama istananya. Selain itu, diturunkan pula gelanggang kilat Ellung Pareppak tempat Batara Guru bersantai, pohon asam yang berjejer, dan semua pusaka lengkapnya diturunkan menjelma di Bumi. Bagaikan bunyi burung nuri kedengaran hiruk-pikuk para pengawal seangkatannya yang puluhan ribu, bersama dengan Inang pengasuh.
Tidak henti-hentinya bunyi guntur, petir, dan kilat, maka sampailah berdiri istana petir keemasan di tengah hutan belantara di Ale Luwuk. Setelah selesai seluruhnya menjelma pusaka Batara Guru Sang Manurung, barulah padam api Dewata yang menyala disertai surutnya badai. Seluruh alam di Kerajaan Bumi kembali hening dan tenang. Saat itu, Batara Guru masih juga dalam tidurnya yang nyenyak, sekan-akan tidak ada sesyatu yang terjadi malam itu. Juga ia tidak bermimpi tentang sesuatu yang bakal terjadi pada dirinya saat itu.
Pada waktu fajar mulai menyingsing esok harinya, bangkitlah Batara Guru dari bambu betung tempatnya berbaring. Alangkah terkejut dan keheranan saat terlihat olehnya istana petir keemasan dari Wawo Unruk. Setelah menoleh, juga dilihatnya gelanggang kilat halilintar tempatnya bersantai. Laksana mega beriring istana lengkap pendamping hamba Dewata yang diturunkan menjelma menjadi manusia di Bumi.
Alangkah senang hati Batara Guru melihat seluruh pusakanya telah diturunkan dari Boting Langi. Ketika itu, berangkatlah Manurungnge yang didampingi oleh La Oro Kelling menuju ke perkampungan tempat ia hidup di Ale Luwuk. Hanya sekejap saja, tibalah Batara Guru Sang Manurung di dekat perkampungan istana manurung. Para manurung titisan Dewa yang turun dari Langit tiba-tiba mereka melihat kedatangan Batara Guru yang hanya dikawal oleh La Oro.
Alangkah sedih perasaan mereka melihat kedatangan Batara Guru seperti itu. Semua anak Dewata yang baru tiba dari Boting Langi menyaksikan putra Dewata asuhannya berjalan tanpa mengendarai usungan Dewata dan tidak dinaungi payung petir, serta tidak diiringi oleh bangsawan tinggi. Seraya menangis, Talaga Unruk dan Welong Mpabarek memerintahkan agar anak Dewata pergi menjemput Sri Paduka naik ke istana.
Belum usai ucapan Welong Mpabarek, rrf&ka bergegaslah sekalian apak Dewata datang menjemput tuannya. Setelah memasuki pekarangan istana keagungan (Kerajaan Langit, Batara Guru lalu melangkah menyusur tangga, berpegang pada susuran kemilau. Bagaikan angir dari langit taburan bertih kemilau dari atas istana sebagai tanda penghormatan para penghuni istana kepada Batara Guru Sang Manurung.
Setelah melihat kedatangan Batara Guru Sang Manurung, berserulah Talaga Unruk dan Welong Mpabarek menyampaikan ungkapan rasa kasihan dan sayang kepada keagungan Batara Guru. Para penghuni istana manurung lalu mempersilakan Batara Guru masuk ke dalam istananya. la lalu melangkah terus hingga sampai di balairung. Batara Guru melangkahi ambang pintu, menyusuri lantai papan badai kemilau, sedangkan Talaga Unruk sendiri yang menayangkan lengan anak Dewata asuhannya. Mereka lalu berjalan sambil diapit oleh oleh para saudara sesusuannya.
Setelah Batara Guru duduk di balairung, sambil menengadah We Lele Ellung mempersilakan duduk Tuannya di atas tikar nan permai. Setelah dipersilakan duduk oleh We Lele Ellung, maka Manurungnge pun pergi duduk di atas tikar nan permai seraya di kelilingi oleh ayunan kipas petir dari Limpo Bonga. Tidak lama kemudian, disuguhilah sirih lipatan orang Senrijawa di atas talam kilat. Belum selesai bersirih, dihidangkan pulalah aneka macam makanan orang Ruallette. Tidak terasa Batara Guru meneteskan air mata tanda kegembiraan atas pertolongan "tuhan penentu nasib" ayahandanya. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.)
Hari pun telah siang dan Manurungnge mengantuk lagi kecapekan. Dia lalu masuk ke bilik peraduan untuk beristirahat. Daiam pembaringannya siang itu, berpalinglah Batara Guru seraya berkata kepada We Saung Riu, "Terasa panjang siang ini. Mengapa tidak cepat saja malam?" Batara Guru Sang Manurung rupanya gelisah menunggu saat-saat kedatangan calon istrinya dari Dunia Bawah.
Belum selesai ucapan Manurungnge, matahari pun bagaikan disentakkan lalu terbenamlah di ufuk barat. Malam segera tiba. Gelap pulalah di daiam istana manurung. Malam itu, Batara Guru tertidur nyenyak. Namun, ketika malam telah larut tiba-tiba ia terjaga dari tidurnya. Berkatalah batara, tentang "Panjang rupanya malam ini. Mengapa tidak siang saja?" Belum selesai ucapan Manurungnge, hari pun telah siang, kembali. Suasana hati Batara Guru belum banyak berubah. Hatinya pun masih diliputi tanda tanya.
Telah lima bulan purnama Batara Guru Sang Manurung berada di Bumi. Tepat tengah malam benar, ia bermimpi melihat dirinya naik ke Langit dan singgah mandi di Sungai Limpo Majang. Kemudian, ia langsung naik ke Ruallette, negeri Dewata, di Kerajaan Langit. Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya sedang duduk di bawah pohon asam Tanra Tellu di dekat gelanggang petir tempatnya bersantai ketika ia masih berada di Boting Langi.
Batara Guru melihat para penjaga ayam hadir semuanya. la langsung membuka kurungan ayam lalu menangkap Massalissie, dan mengusap-usap Gonratungnge. Setelah itu, ia kemudian berpaling mengambil Koro yang bersusuh emas bersama Dunrung Leworeng. Berkatalah kemudian Batara Guru dalam mimpi bahwa ia tidak perkenankan disabung Massalissie dan Gonratungnge, begitu pula Gellarengnge.
Seraya menyembah berkatalah para penjaga ayam di Ruallette "Tidak pernah disabung ayam kesayangan Batara itu. Sri Paduka Patotoe melarangnya karena ia bermaksud mengirim kepada Tuan di Bumi." Dalam mimpi itu, alangkah senang hati Batara Guru Sang Manurungnge mendengar ucapan penjaga ayam itu. Perasaan Batara Guru sangat senang dalam mimpinya pada malam itu, seakan ia hidup kembali di pangkuan bunda Ratu kesayangannya.
Batara Guru lalu pergi berdiri di tengah istana dan kebetulan dia melihat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan. Gembira sekali Mutia Unruk seraya memanggil Batara Guru. Duduklah di atas tikar permadani.
Sembari menyembah, Batara Guru pun duduk di antara kedua orang tuanya. Ibunda Ratu Palinge lalu berpaling melingkarkan lengannya pada leher anak sulungnya seraya menyirami air mata putra mahkota yang dicintainya. To Palanroe j$un menunduk seraya menyodorkan sirih kepada putranya lalu berkata, "Besok, pergilah wahai anakku menjemput kirimanmu di pinggir pantai."

Gembira nian Batara Guru karena mengira dirinya benar-benar berada di langit. Ketika dia tersentak dan bangun dari tidurnya, dia kemudian sadar bahwa dirinya berada di Bumi. Dia bangun dan duduk termenung sambil mencucurkan air mata. Lebih dari sepetanak nasi lamanya duduk termenung, barulah dia menyuruh menyalakan lampu. Dalam kesadarannya, ia terus membayangkan peristiwa yang dialami dalam mimpinya.
Oleh karena merasa tidak sanggup memendamnya, Batara Guru Sang Manurung lalu menyampaikan merihat mimpinya kepada We Saung Riu, We Lele Ellung, dan Apung Talaga. Mimpi yang indah itu pun disampaikannya bahwa ada pesan yang dikirim oleh "tuhan maha pencipta To Palanroe" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) agar ia ke pantai menjemput kirimannya. Setelah mendengar perkataan Batara Guru, maka serentak mereka berkata, "Itulah Tuanku, yang disebut mimpi nyata. Biarlah nanti fajar -menyingsing di ufuk timur baru kita pergi ke pinggir pantai. Kita akan menjemput sesuatu sesuai dengan pesan Dewata kepadamu yang akan dikirim melalui laut."
Malam itu, Batara Guru sudah tidak bisa tertidur lagi dan gelisah memikirkan apa gerangan yang akan terjadi sehubungan dengan mimpi tersebut. Ketika fajar tiba, serentaklah bangun seluruh penghuni istana kilat nan keemasan. Memerintahlah We Lele Ellung agar rakyat berkumpul dan mengantar usungan keemasan Batara Guru Sang Manurung di bawah naungan payung kebesarannya. Disertai dengan gemuruh bunyi alat upacara adat kebesaran, Batara Guru diarak menuju ke arah pantai bersama dengan riuhnya bunyi gendang petir manurung. Setelah sampai di sana, diletakkanlah usungan di pinggir pantai.
Seusai menoleh ke kiri dan'ke kanan, tidak satu pun yang tampak olehnya. Seekor burung atau semut pun tidak terlihat. Bahkan, angin dari timur pun eggan berhembus. Kemudian berkatalah di dalam hati Batara Guru, "Apa gerangan kehendak "tuhan maha pencipta" To Palanroe (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) karena jelas sekali tadi malam orang tuaku mengatakan bahwa besok, datanglah ananda ke pantai menjemput kirimanmu.
Akan tetapi, ternyata kini tak ada sesuatu pun yang tampak. Karena tidak menyaksikan sesuatu apa pun juga, maka inginlah Batara Guru kembali ke Ale Luwuk. Dalam keadaan bimbang, tiba-tiba terlihat oleh La Unga Warn dan La Ulak Balu sedang bergantungan di tangkai pohon berupa keris emas pusaka dari Kerajaan Langit. Semua orang terperanjak kaget menyaksikan benda pusaka tersebut.
Juga tampak olehnya perisai emas dan payung kilat manurung tempat bernaungnya "tuhan maha pencipta" To Palanroe. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Setelah menyaksikan keajaiban itu, Batara Guru lalu kembali duduk di pinggir pantai seraya menenangkan hati dan pikirannya. Tidak lama kemudian, ia menoleh ke ufuk timur seketika lautan terang-benderang. Tiba-tiba muncul cahaya bagaikan sinar bara bertebaran di laut nan luas itu. Bertanyalah Batara Guru kepada We Saung Riu, "Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga sinar membara menerangi samudera."
We Nyilik Timo Datang, Batara Guru Gembira
Belum selesai ucapan Batara Guru sudah muncul pula We Nyilik Timo lengkap dengan usungannya di atas permukaan laut di tengah busa air. Puluhan ribu rombongannya memakai sarung berwarna. Dari jauh tampak dengan jelas We Nyilik Timo berkalungkan cahaya kilat, berbaju sutra sulaman benang emas. Melihat kedatangan tersebut, Batara Guru tiba-tiba merasakan sesuatu yang lain pada dirinya. Ada sesuatu yang terasa membebani pundaknya, entah apa penyebabnya,
Bagaikan bara menyala payung keemasan yang menaungi We Nyilik Timo terapung-apung di atas permukaan air. Alangkah senang hati Batara Guru Sang Manurung menyaksikan sepupu sekalinya. Batara Guru kemudian menyuruh anak Dewata datang menemui Sri Paduka Tuannya. Batara Guru tetap berada di tempatnya menyaksikan para pengawalnya berenang menjemput calon istrinya.
Belum selesai ucapan Manurungnge bersamaanlah semua anak raja berenang ke arah ratu pertuanannya. Namun, setiap kali mereka mendekat selalu dihempas oleh gelombang hingga terdampar kembali ke pantai. Melihat ketidakmampuan mereka mencapai usungan, akhirnya Batara Gurulah yang turun berenang menemui sepupu sekalinya. Usaha Batara Guru berenang menjemput calon permaisurinya. Ternyata dilaluinya tanpa menemui  hambatan. Dalam waktu sekejap, tibalah ia di dekat usungan tumpangan We Nyilik Timo. Alangkah gembiranya Batara Guru seraya berpegang paba usungan We Nyilik Timo. Usungan tumpangan calon istrinya itu kemudian ditarik menuju ke pantai. Setelah tiba di pantai betapa terpukau hati Batara Guru menyaksikan kecantikan sepupunya yang tiada bandingannya. Dalam hati yang teramat gembira ia pun mensyukuri pertolongan Dewata Langit dan Dewata Dunia Bawah atas restunya mengirimi calon pendamping di Bumi.
Batara Guru lalu mengajak paduka adindanya agar berkenan berangkat ke istana kerajaan manurung di Ale Luwuk. la pun menyanjung We Nyilik Timo, "Adinda tiada yang menyamai kecantikanmu. la dikirim oleh kedua orang tua mulianya sebagai penghuni istana kemilau, menjadi pemilik negeri di Kerajaan Bumi." We Nyilik Timo tidak menjawab sepatah kata pun ucapan sepupu sekalinya. Dengan menyembah Tenritalunruk dan Apung Ritoja lalu menyampaikan kepada adinda Sri Ratu, "Lapangkanlah perasaan serta ringankan dirimu, kita berangkat menuju ke istana manurung di Ale Luwu."
Janganlah kita tinggal di pinggir laut dihempas angin dan diterpa bayu. Disinari matahari dan dikerumuni mata memandang. Seusai perkataan sepupunya, diangkatlah usungan keemasan We Nyilik Timo yang muncul di Busa Empong dan kemudian disusul oleh usungan keemasan Manurungnge. Sungguh ramai upacara kerajaan di Busa Empong yang bertaut dengan upacara kahiyangan langit Manurungnge di Ale Lino. Perjalanan mereka menuju istana manurung berlangsung sangat meriah. Hanya sekejap saja kedua anak Dewata yang menjelma jadi manusia di Bumi sudah sampai di halaman istana.
We Nyilik Timo Tiba Di Istana
Setelah sampai di istana Ale Luwuk, maka bertaburanlah bertih kilat dari atas istana sebagai tanda penghormatan atas kedatangan Batara Guru Sang Manurung bersama dengan We Nyilik Timo. Setelah dipersilakan memasuki istana, maka beranjaklah We Nyilik Timo. Lengannya dipegangkan oleh Batara Guru, seraya menyusuri tangga kemilau. Mereka berjalan melangkahi ambang pintu, menginjak lantai istana guruh kemudian masuk ke dalam ruangan kehormatan.
Tampak bagaikan orang yang menelan madu raut muka Batara Guru pada saat memandang istrinya. Sudah tidak mau menjauh lagi Manurungnge karena asyiknya bercumbu rayu. Suasana begitu menyenangkan sehingga tidak teringat lagi Kerajaan Boting Langi. Sejak bertemu dengan We Nyilik Timo permaisuri kesayangannya, Batara Guru seakan luluh seketika seluruh penderitaan yang baru dialaminya selama berminggu-minggu. Kebahagiaan itu telah menghapus segala kenangan buruk di Bumi.
Sudah tiga bulan lamanya We Nyilik Timo berada di Bumi dengan perasaan bahagia. Mereka berdua telah menikmati kebahagiaan rumah tangganya sebagai Raja dan Ratu titisan Dewa. Ketika dia membuka jendela istana dan memandang turun, dilihatnya aneka macam buah- buahan yang membuatnya tergiur. Sang Ratu lalu memerintahkan kepada para pergawal istana manurung untuk memetikkan satu demi satu buah tersebut. Setelah mendengar perintah Sang Ratu We Nyilik Timo, para pengawal istana bergegas meninggalkan istana guna mencari aneka macam buah yang diingini oleh Sang Ratu.
Setelah selesai makan buah-buahan dan diikuti oleh para penghuni istana, maka kembali We Nyilik Timo menoleh ke pekarangan istana dan dilihatnya pula burung- burung sedang asyik meminum air yang sedang bergelembung-gelembung busanya. Dia lalu memerintahkan lagi kepada pengawal istana supaya mengambilkan air itu untuk diminum dan diikuti pula oleh sekalian penghuni istana. Suasana istana manurung sangat meriah sejak kedatangan We Nyilik Timo.
Ketika matahari sedang berada di atas kepala, mendung tiba-tiba datang, Bumi pun gelap gulita sehingga tak satu pun yang tampak secara kasat mata. Alam bagaikan mengamuk yang disertai badai, suara guntur menggemuruh, dan kilatan petir menyambar ke semua arah. Dalam suasana alam yang.demikian itu, diusunglah turun Puang Lae-laqjf/ana tinggal di lereng Gunung Latimojong. Diturunkan pula / We Salareng dan We Appang Langi, bissu yang ditetapkan di Leteng Nriu. Setelah mendarat Puang Matoa di lereng Gunung Latimojong, barulah gejolak alam reda. Bumi kembali tenang seperti keadaan sebelumnya di istana manurung. Sudah tidak datang bulan atau sudah hamil We Saung Nriu dan setelah menjelang tiga purnama isi perutnya, diadakanlah upacara keselamatan kandungan. Setelah mencapai usia tujuh bulan kandungannya maka melahirkanlah. Hanya tujuh malam usianya, We Oddang Nriu sudah meninggal. Dicarikanlah hutan belantara kemudian dibuatkan makam peristirahatan, tempat bersemayam arwahnya.
Setelah tiga malam wafatnya We Oddang Nriu, tiba- tiba dicekam kerinduan Batara Guru. Lalu, pergilah dia mengunjungi makam anaknya. Ketika sampai di pemakaman anaknya, didapatinya kuburan itu, ditumbuhi padi berjejer yang sudah matang. Ada yang berwarna merah, kuning, putih, hitam, dan ada pula yang berwarna biru. Semua lembah yang luas s. ta perbukitan panjang dan gunung yang tinggi, sudah dipenuhi padi yang menguning.
Tegak bulu roma Batara Guru Sang Manurung. Gemetar sekujur tubuhnya melinat hamparan padi yang sedang menguning. Dengan segera Batara Guru  menggapai pelangi dan kemudian dilaluinya naik ke Kerajaan Langit. Sesampainya di Boting Langi dan setelah mendapat restu dari penjaga istana, maka menghadaplah di hadapan Patotoe. Dengan rasa yang tidak menentu, Batara Guru menghadap seraya menyembah di hadapan orang tuanya "tuhan penentu nasib." (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.)
Setelah dipersilakan duduk oleh Paduka Ibundanya, dia kemudian menyembah tiga kali, bertanyalah Patotoe kepada Batara Guru, "Apa gerangan maksud Batara Guru datang ke Kerajaan Langit, padahal semua pusakanmu sudah habis diturunkan ke Bumi." Setelah mendengar ucapan Paduka Ayahandanya, maka duduklah termenung Batara Guru tanpa menjawab,sepatah kata pun.
"Tuhan sang pen/ntu nasib" Patotoe (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) kemudian mengingatkan, "Janganlah engkau bolak-balik ke Kerajaan Langit karena hal itu akan mengurangi kekeramatan negeri di Senrijawa (Kerajaan Langit). Dia lalu berkata lagi kepada putranya "Engkau telah menjadi manusia, sedangkan diriku Tuhan. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Menyembah sambil berkata Batara Guru "Benar ucapan Sri Paduka. Memang diriku ini, manusia, sedangkan Sri Paduka adalah Tuhan (Dewata). (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Setelah menjawab, Batara Guru kembali diam. Lalu berucap, "Ada pun sebabnya hamba ke Kerajaan Langit, bermaksud ingin menyampaikan bahwa We Saung Nriu melahirkan bayi perempuan yang kuberi nama We Oddang Nriu. Namun, usianya hanya tujuh hari, kemudian ia meninggal. Dicarikanlah hutan lebat Gunung nan tinggi dan hulu sungai lalu dibuatkan makam tempat bersemayam rohnya. Tiga malam setelah meninggalnya hamba dicekam rasa rindu. Hamba lalu keluar ke makamnya wahai Sri Paduka. Alfan tetapi, entah apalah gerangan yang terhampar berwarna-warni di sekitar kuburannya." Selanjutnya ia menambahkan, "Tidak ada sedikit pun perbukitan atau lembah yang tidak dipenuhinya." Setelah mendengar pembicaraan anaknya, Patotoe kemudian berkata, "Itulah yang dinamakan Sangiang Serri (Ratu Padi). Anakmu yang meninggal itu menjelma menjadi padi." Patotoe lalu menyuruh Batara Guru agar segera turun ke Bumi        dan meminta agar sesampainya di Bumi          nanti   ia segera memetik padi tersebut dan membawanya ke istana. Hanya padi tersebut jangan dulu dimakan.
Setelah keduanya selesai berbicara, maka "tuhan penentu nasib" (bukan Allah            Swt.,            melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) menyuruh Sangiang Mpajung menemani Batara Guru turun ke Bumi, dan meminta bahwa setelah Batara Guru sampai di Bumi, engkau gantungkan pelangi di sudut langit supaya tidak bolak-balik Batara Guru ke Kerajaan Langit. Mendengar perintah "tuhan penentu nasib"     (bukan Allah            Swt. Melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) kepada Sangiang Mpajung, Batara Guru tidak berkata sepatah kata pun. la hanya duduk termenung menjelang jDerpisah dengan kedua orang  tuanya.

Seketika itu pula tidak terasa lagi diri Batara Guru telah diperjalankan turun ($e Bumi. Sesampainya di istana manurung Ale Luwuk, didapatinya onggokan padi di pematang. Dia lalu kembali ke istana dan ternyata Sangiang Serri ikut membawa dirinya memasuki istana. Batara Guru masih dalam suasana rindu akibat perpisahannya dengan kedua orang tuanya. la terus mengenang perjalanannya ke Kerajaan Langit. Juga ia memikirkan bahwa pelangi yang dilalui menemui Patotoe telah digantung di sudut langit sehingga dia tidak mungkin lagi menemui orang tuanya di Kerajaan Langit.
Tujuh malam setelah Batara Guru kembali dari Karajaan Langit, We Lele Ellung pun tidak datang bulan. Dan ketika usia kandungan We Lele Ellung mencapai lima purnama dipanggilkanlah dukun kerajaan untuk mengurutnya. Tiga bulan lamanya diurut barulah tiba' saatnya melahirkan dan setelah anaknya lahir selamat, maka bertanyalah Batara Guru kepada Sang Dukun, "Apakah laki-laki atau perempuan putraku itu?"
Setelah mendengar perihal pertanyaan Paduka Batara Guru, maka Sang Dukun lalu menyembah seraya berkata, "Anak tuan seorang lelaki penyabung, pembunuh ayam." Dengan sangat gembira Batara Guru lalu menyampaikan bahwa mudah-mudahan selamatlah hidup anak raja itu. la akan memberi nama La Pangoriseng yang akan mewarisi Kerajaan Takkebiro dan mengatasnamakan wilayah Kawu-Kawu.
Tiga bulan, lahirnya La Pangoriseng, sudah hamil lagi We Saung Nriu. Setelah kandungannya berusia lima bulan atau lima purnama, maka dipanggangkanlah ratusan ekor kerbau cemara. Dipanggilkan pula dukun kerajaan untuk mengurut perut serta merawatnya, dan dua bulan kemudian melahirkanlah We Saung Nriu. Berpalinglah Batara Guru menanyakan anaknya, "Apakah anaknya laki- laki atau perempuan?"

Seraya menyembah, menjawablah dukun itu, "Lelaki kembar yang dilahirkan We Saung Riu." Dengan senang hati Batara Guru Sang Manurung seraya berdoa mudah- mudahan selamat kehidupan kedua bayi raja itu. Batara Guru kemudian menyampaikan bahwa yang sulung dinamai La Temmallureng Mase-masena dan diberi warisan kerajaan di Senrijawa, sedangkan yang bungsu dinamai La Temmalolo Lalo Elokna dan diberi warisan kerajaan di Larompong dan mengatasnamakan daerah Lamunre.
Setelah tiga bulan usia La Temmalureng, maka tiada haid atau hamil pula Apung Talaga. Setelah lima purnama usia kandungannya, dipanggilkanlah dukun kerajaan, dan dua bulan kemudian melahirkanlah seorang bayi laki-laki. Setelah mengetahui perihal bayi bangsawan tersebut, maka menghadaplah Sang Dukun seraya menyembah dan menyampaikan kepada Batara Guru perihal putranya.
Dengan gembira berkata Manurungnge, mudah- mudahan selamat bayi raja itu. Batara Guru selanjutnya mengumumkan bahwa bayi bangsawan itu dinamainya La Lumpongeng. Sebulan saja setelah lahir  I La Lumpongeng, sudah tidak haid pula Tenritalunruk yang dinaikkan dari Kerajaan Dunia Bawah untuk turut membantu permaisuri adik sebayanya We Nyilik Time. Semakin bahagia perasaan dalam hati Batara Guru meskipun kebahagian itu belum sepenuhnya terwujud.
Ketika usia kandungannya mencapai lima purnama dipanggangkanlah ratusan ekor kerbau serta diawasi oleh dukun kerajaan. Setelah kandungannya berusia tujuh bulan, maka lahirlah pula bayi bangsawannya. Batara Guru lalu menanyakan laki-laki atau perempuan. Seraya menyembah, Sang Dukun memberitahu bahwa lelaki bayi bangsawan yang dilahirkan Tenritalunruk. Selanjutnya, Batara Guru Sang Manurung berdoa mudah-mudahan selamat bayi raja itu. la lalu mengumumkan bahwa bayi itu dinamai La Pattaungeng dan diberinya warisan kerajaan Malaka dan mengatasnamakan wilayah Matana.
Tiga tahun lahirnya La Pangoriseng sudah hamil Apung Ritoja pendamping mulia Sang Ratu yang dinaikkan dari Kerajaan Dunia Bawah. Tujuh purnama kemudian melahirkanlah seorang bayi perempuan yang dinamai We Temmaraja. Setelah mengetahui kelahiran bayi bangsawannya, maka diumumkanlah bahwa bayi bangsawannya We Tenrijawa diberinya warisan Kerajaan Manaung. Dengan senang hati juga Batara Guru berkata, "Meskipun saudaraku menjadi         Ale Luwuk, namun ia dapat mengambil upeti rakyatku sebab dialah anak perempuanku."
Baru lima belas hari lahirnya We Temmaraja, sudah hamil pula We Saung Riu dan tujuh purnama kemudian melahirkanlah kembali seorang bayi laki-laki yang dinamai La Tenriempeng. Setelah mengetahui kelahiran bayi bangsawannya, maka Batara Guru menyampaikan kepada keluarga istana bahwa putranya La Tenriempeng diberi warisan Kerajaan Riburawung dan mengatasnamakan Mata Solok.

Tujuh malam setelah lahir La Tenriempeng sudah hamil lagi We Lele Ellung dan tujuh purnama kemudian melahirkanlah kembali seorang bayi laki-laki yang dinamai La Temmaukkek. Pada saat itu pula Batara Guru mengumumkan bahwa anaknya yang baru lahir menerima warisan Kerajaan Toddang Mpellek dan mengatasnamakan Uluongeng. Setelah kelahiran anak-anaknya dari beberapa orang selir Batara Guru, menyebabkan ia harus membagi beberapa wilayah kerajaannya di Bumi. Meskipun demikian, kebahagiaannya belum sepenuhnya tercapai sebab Permaisuri We Nyilik Timo belum jua dikaruniai kehamilan hingga saat itu.         
Pada saat anak-anak bangsawannya mencapai usia tiga tahun, maka La Pangoriseng, La Temmallureng, La Temmallollong, I La Lumpongeng sudah tidak mau lagi tenang di dalam istana. Mereka bersaudara selalu mau bermain-main bersama di luar. Alam di sekitar istana manurung yang sejuk dan damai menyebabkan mereka ingin menikmatinya. Mereka ingin bebas menikmati alam tanpa terkungkung di bilik-bilik istana.
Ketika suasana istana ramai oleh para anak bangsawan, kini hamil iagi Apung Talaga. Setelah ia dirawat oleh Dukun istana, usia kandungannya pun telah mencapai tujuh bulan. Tidak lama kemudian, melahirkanlah kembali seorang bayi laki-laki. Anak bangsawan tersebut oleh Batara Guru dinamai La Sappe llek, bersamaan dengan kelahiran itu Batara Guru Sang Manurung pun mengumumkan bahwa warisan kerajaan Marawennang yang mengatasnamakan Ussuk diserahkan nanti kepada putranya La Sappe llek.
Lima bulan kemudian sudah hamil pula Tenritalunruk putri pendamping mulia pribadi Ratu We Nyilik Timo yang dikirim dlari Kerajaan Dunia Bawah. Ketika usia kandungannya mencapai lima bulan dipanggilkanlah dukun kerajaan merawatnya. Hanya dua bulan tuan putri dalam perawatan melahirkanlah seorang bayi.
Bertanyalah Batara Guru kepada Sang dukun, "Lelaki atau perempuan anakku." Seraya menyembah, menjawablah Sang dukun, "Lelaki yang dilahirkan." Dengan gembira Batara Guru Sang Manurung mengatakan bahwa kuberi dia nama La Tenrioddang, yang akan mewarisi negeri Lenrang-lenrang dan juga mengatasnamakan Mengkokak. Tujuh bulan setelah lahir La Tenrioddang dinaikkanlah dia pada ayunan tali keemasan bersama La Tenriempeng, La Tenrisinrang, To Sese llek, dan La Tenrioddang.
Tujuh tahun setelah lahir La Pangoriseng, maka dibuatkanlah upacara pijak tanah, lalu dibawa ke ujung jalan. Putra bangsawan tersebut lalu berjalan-jalan mengunjungi gelanggang dan belajar menyabung ayam. Pada saat yang bersamaan dengan upacara pijak tanah La Pangoriseng, juga diikutsertakan La Temmallollong, La Temmallureng, I La Lumpongeng, La Pattunereng, dan Pamadeng Lette.
Sejak anak-anak selesai acara pijak tanah, sudah tidak tenang tinggal di istana La Pangoriseng bersaudara. Tiada lain yang mereka kerjakan kecuali datang berkumpul di gelanggang di bawah pohon asam menyabung ayam andalannya masing-masing. Setiap hari Batara Guru senang melihat dari balik jendela istana anak-anaknya asyik bermain sabung ayam.
Batara Guru Mendambakan Putra Mahkota
Pada saat-saat bahagianya menyaksikan anak- anaknya itu, Batara Guru tiba-tiba dirasuki rasa sedih. Dia lalu berpaling seraya berkata kepada Permaisuri We Nyitik Timo yang amat dicintainya, "Ada terasa duka dalam hatiku." Batara Guru juga menyampaikan, "Sudah lama Permaisuriku berada di Istana Manurung Kerajaan Bumi, tetapi belum juga aku memiliki keturunan." Paduka Batara Guru selanjutnya menyampaikan kepada istrinya, "Aku tidak mau diganti oleh bangsawan campuran. Oleh sebab itu, bangsawan murni yang kuinginkan mewarisi kerajaanku."
Menjawablah We Nyilik Timo yang muncul dari Dunia Bawah kepada suami sepupunya, "Sedangkan kakanda                      masuk juga merasa duka dalam hati ivcueud uucm duo keturunanku, walaupun sudah lebih sepuluh keturunannya, apalagi saya betapa merana hatiku, karena tidak seorang pun keturunanku. "Berpaling Batara Guru Sang Manurung yang menjelma di bambu betung, mengusap-usap istri sepupu sekalinya seraya menyampaikan rasa sayangnya kepada Ratu Yang Muncul. Batara Guru selanjutnya memohon agar ia tetap di istana manurung Ale Luwuk Kerajaan Bumi." Selanjutnya, Paduka Raja berkata kepada We Nyilik Timo, "Walaupun ratusan jumlah keturunanku, namun bukan mereka yang kuharapkan untuk mengganti kedudukanku kelak." la lalu menyampaikan kepada istrinya, "Satu-satunya yang akan menggantikanku menduduki tahta Kerajaan Manurung di Bumi adalah anak Sang Permaisuri tercinta, meskipun saya harus bersabar menungguh datangnya rahmat dari Sang Dewata di Langit dan dari Dunia Bawah.
We Nyilik Timo Hamil
Ketika Batara Guru selesai berdialog dengan istrinya, malam pun telah larut bergandengan tanganlah mereka memasuki bilik peraduannya di balik gemerlapnya cahaya pelita. dan kandil di bahagian dalam. Alangkah gembira perasaan Batara Guru Sang Manurung dalam mahligai cinta memuaskan hati berdua di dalam sarung indah nan kemilau. Mereka berdua bersukaria dengan gaya orang Kerajaan Langit hingga akhirnya keduanya tertidur nyenyak dalam satu bantal. Batara Guru bersama istri kini menikmati tidurnya yang panjang tanpa merasa terjadi sesuatu pada dirinya.
Di Kerajaan Langit, "tuhan penentu nasib" Patotoe (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) telah mengetahui bahwa pada malam itulah permaisuri Batara Guru telah hamil. "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Patotoe berkata kepada permaisuri Ratu Palinge, "Sebaiknya kita turunkan untuknya bissu sejati ke Ale Luwuk Kerajaan Bumi, agar dialah nanti yang mempersiapkan upacara kahiyangan langitnya putra mahkota Batara Guru yang akan lahir kemudian." tuhan penentu nasib (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Patotoe menyampaikan kepada Sri Ratu bahysja telah tinggal darahnya anak Patotoe menyampaikan pula bahwa permohonan anak dan menantunya dikabulkan sebab We Nyilik Timo dan suami tiada menentu pikirannya karena belum juga memperoleh keturunan.
Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, terbangunlah Batara Guru Sang Manurung yang masih satu sarung dengan istrinya. la kemudian melepas sarung diikuti oleh We NyiJik Timo. Lalu, ia melangkah untuk membasuh muka di mangkuk putih. Setelah itu, Batara Guru kemudian menyirih seraya menenangkan hatinya. Tidak lama kemudian, bangkitlah seraya melangkah keluar bergandengan tangan dengan Sang Permaisuri.
Gemuruh kedengaran lantai keemasan bunyi hentakan kaki para Biksu serta Dukun Penghuni Langit yang diturunkan. Bersamaan dengan turunnya penghuni Langit, dinaikkan pulah para Penghuni Istana Dunia Bawah. Ketika utusan kedua Kerajaan itu tiba di Bumi, mereka kemudian memasuki Istana Manurung. Seraya menyembah semuanya langsung duduk di atas peterana keemasan, berdampingan dengan suami-istri.
Sahut-menyahut guntur yang membahana ke segenap penjuru Bumi. Sabung-menyabung kilat dan petir. Badai pun menghempas tiada henti diiringi oleh gelap gulita. Bersamaan dengan itu, menyala pula api Dewata yang disertai oleh angin ribut. Gemetar badan seluruh orang Luwuk dan orang Warek. Ketika itulah diturunkan We Sawammegga di daerah Leteng Riu. Setelah mendarat semuanya, barulah matahari kembali bersinar cerah dan bumi kembali tenang. Batara Guru semakin gelisah perasaannya memikirkan nasib Ratu Yang Muncul sebab belum jua memiliki keturunan. Kerajaan Manurung saat itu kembali diliputi rasa ketidakpastian. Seluruh penghuni istana turut merasakan kesedihan yang diderita oleh Paduka Raja dan Permaisuri.
Manurungnge kemudian memerintahkan We Lele Ellung dan We Saung Riu untuk membawa sesembahan di Latimojong. Juga menyuruh mengundang We Sawammegga dari Leteng Riu, bissu sejati yang baru saja diturunkan dari langit. Undang pula Puang ri Luwuk dan Puang ri Warek supaya datang semua berkumpul untuk memohon kepada Dewa agar saya mendapat putra mahkota. Batara Guru berkata, "Tiada senang hatiku sebab belum ada putra mahkota yang dilahirkan.joleh Paduka Tuanmu”
Utusan itu kemudian pergi dan setelah melaksanakan tugasnya, maka dia lalu kembali membawa bissu sejati, Puang ri Luwuk dan Puang di Warek bersama dengan para pengikutnya. Mereka lalu datang bersimpuh seraya menyembah di hadapan Batara Guru dan permaisuri We Nyilik Timo. Setelah beristirahat dan berdialog sejenak, maka diperintahkanlah We Sawammegga, Puang ri Luwuk, dan Puang di Warek untuk mempersiapkan upacara adat untuk memohonkan kepada Dewata agar Manurungnge dikaruniai putra mahkota.
Ramailah sudah upacara kebangsawanan We Nyilik Timo. Bersahut-sahutan doa keselamatan. Sudah" mengepul asap dupanya Puang Matoa. Keesokan harinya, ketika baru saja matahari memancarkan terbit sinarnya terjadilah sabung-menyabung kilat dan petir. Berkobar- kobar api Dewata manurung beriringan badai dan topan.
Berbaringlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong di atas tikar yang indah. Tujuh hari tujuh malam Puang Matoa tidur terus menjelajahi Boting Langi dan Peretiwi memohonkannya di Ruallette, m^mintakan di Urik Liu.
Ketika matahari baru saja terbit, bangunlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, membasuh muka pada mangkuk putih. Puang Matoa kemudian datang sujud seraya menyembah di hadap an Batara Guru dan permaisuri. Bersamaan dengan itu bertanyalah Manurungnge dan istri, "Bagaimana gerangan tidurnya Puang Matoa. Setelah menyembah, lalu berkata yang bermukim di lereng Latimojong, hamba ke Senrijawa, hamba turun juga ke Peretiwi. Hamba memohonkan Tuanku di Boting Langi dan di Toddang Toja, memintakan Tuanku mahkota pada Dewata.
Rupanya sudah dekat masanya, wahai Tuanku, tiada haid Sri Paduka We Nyilik Timo. Dia akan melahirkan nanti tunas pengganti lelaki, Opu penyabung pembunuh ayam. Dan dialah wahai Tuanku yang akan ditudungi payung menaklukkan sekolong langit.
Alangkah senang hati Manurungnge mendengar ucapan Puang Matoa. Serentak Batara Guru dan permaisuri berkata, "Ambillah olehmu bissu raja sebagai hamba Dewata masing-masing seratus orang." Hanya tujuh hari setelah Raja bissu datang mengurut perutnya, sudah tiada haid lagi We Nyilik Timo. Sudah tak enak perasaannya. We Nyilik Timo sudah ingin memakan buah- buahan yang tidak terdapat di Ale Luwuk. Batara Guru kemudian memerintahkan para burung untuk mencarikan buah Sri Paduka.
Tidak lama setelah itu, berdatanganlah burung dan tamu utuan membawa aneka macam buah-buahan dan makanan yang diingini We Raja Tompok. Seraya berpaling berkata Batara Guru, "Bangkitlah ke mari paduka adinda. Kau saksikan air sejuk yang melimpah." Lalu, ia bangkit We Nyilik Timo, gembira sekali hati Raja Tompok menyaksikan air sejuk yang melimpah. Setelah itu, dimandikanlah permaisuri yang muncul di Busa Empong itu kemudian dipasangkan pakadiannya oleh We Lele Ellung.
Setelah selesai berpakadian disaksikannya berbagai macam buah dan makanan. Alangkah senang hati We Nyilik Timo memakan buah tersebut. Ketika usia kandungannya mencapai lima purnama, ditancapkanlah patok-patok tempat menambatkan kerbau cemara penyambut bayi raja. Lalu dipanggil pulalah dukun kerajaan agar segera datang ke istana untuk menyiapkan kelengkapan upacara kebesara^^rmasuri yang muncul dari Busa Empong. Seteiah selesai dipersiapkan kelengkapan upacara adat kedewaan pertanda kehiyangan bayi raja, maka dipukullah gendang irama gembira, menari tak henti-hentinya.
Mendengung alat musik bunyi tara, menderu bunyi alempang, bersahutan sudra kadidi yang ribuan dan tettillaguni, anak beccingnya, caleppa keemasan dan mongeng-mongeng yang ratusan. Ditiuplah suling emas yang ratusan. Dibunyikan pula gamaru emas yang ribuan, diiringi gong dan disertai tardian Melayu.
Alangkah ramainya kedengaran upacara kerajaan Opu Sang Hiyang yang muncul dan Raja Dewata yang diturunkan. Disulutlah bedil pagar negeri gemuruh bagaikan guntur suara mesiu. Lalu, dibaringkanlah We Nyilik Timo di atas peterana keemasan dihamburi penyeru semangat jiwa, ditutupi kain sutra biru, berseliwerang kipas emas besar dari Boting Langi. Berhadapan Puang ri Luwuk dan Puang di Warek memegang dan mengurut perut yang bertutupkan kain sutra biru.
Puang Matoa tidak henti-hentinya mengucapkan penyeru semangat membumbung tinggi. Tiada henti bedil disulut, tak dibiarkan bunyi letusan bedil pagar negeri sebagai pemberitahuan raja dewa turun ke Bumi. Lengkaplah sudah upacara keselamatan kandungan, maka bangunlah We Nyilik Timo diperciki air, suci, dan dimandikan dengan air mayang dari Senrijawa.
Saat-Saat Menjelang We Nyilik Timo Melahirkan
Tujuh purnama sesudah upacara selamatan kandungan We Nyilik Timo, tepat tengah malam We Raja Tompok dibangunkan oleh rasa sakit di perut. Maka bangunlah We Nyilik Timo mencucurkan air matanya meruah. Segera pula bangkit Manurungnge seraya meraih kedua belah lengan istrinya. Batara Guru bertanya kepada We Timo "Mengapa Adinda bangun tak memberitahu suamimu, seperti rasanya orang yang tidak disayangi."
We Timo tidak menjawab sepatah kata pun kepada suaminya. Batara Guru kemudian memerintahkan We Saung Riu, We Lele Ellung . in Apung Talaga untuk memasang lampu dan menyalakan lilin. Batara Guru memberitahukan bahwa sudah gelisah bayi raja sehingga ucapan Manurungnge serentaklah semua bangun penghuni istana menyalakan lampu.
Alangkah sakitnya perut yang muncul di Busa Empong. Bangkit pulalah segera Puang Matoa ri Lae-lae memasang lanrang patola, gelang emas, lailaiseng tempat berpegang Sang Ratu untuk merejan. Manurungnge sendiri memerintahkan memasang walasuji„ bambu emas yang mengelilinginya, tanah tempat menetesnya darah bayi raja.
Dalam keadaan perih We Nyelik Timo bangun berpegang pada laillaiseng, bertumpu pada papan keemasan, bergantung pada lanrang potto namun tak bergeser juga perutnya. "Bahkan, masuk lebih dalam lagi bayi raja di perutnya. Silih berganti Puang Matoa berdiri menggoyangkan tongkat keemasan, tetapi belum juga bergetar perut We Nyilik Tmok.
Dalam keadaan was-was, mendekatlah Batara Guru pada istrinya seraya menyuruh istrinya bangun berpegang pada lanrang patola, bertumpuh pada papan emas. Manurungnge kemudian memberi semangat dan berkata, "Tidak ada duamu wahai adinda menerima upeti persembahan yang banyak di kolong langit di permukaan Bumi."
Berkata lagi Manurungnge, "Lahirlah kemari darah bangsawan! Keluarlah engkau I La Tiulen agar engkau dinaungi payung di Ale Luwuk. Penguasa tunggal di Watang Mparek, memerintah sekolong langit, sepetala Bumi." Tiada bergetar sedikit pun bayi raja, bahkan kembali lagi lebih jauh ke dalam. Bangkitlah kembali We Nyilik Timo seraya berkeras sambil bersandar pada Inang pengasuh, bertelekan pada anak bangsawan seasuhannya. Sri Paduka menggapaikan kedua lengannya pada Inang pengasuh yang memeliharanya seraya mencucurkan air matanya yang meruah. Apung Talaga sendiri yang mengusapkan limpahan air mata paduka adiknya.
Sembari menangis, berkatalah Apung Talaga, "Kasihan engkau wahai Sri Paduka adinda. Semoga tetaplah roh kehiyanganmu. Hiduplah terus adikku We Timo, melahirkan bayi raja Hanya engkaulah sendiri wahai Sri Paduka yang harus berusaha sekuat tenaga."
Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut We Raja Tompok. Tak ubahnya air mengalir cucuran air matanya. Sudah tujuh hari tujuh malam We Nyilik Timo dicekam sakit, namun belum juga bergerak isi perutnya. Hilang akal semua dukun menyaksikan bayi raja yang tiada juga mau lahir. Sambil menoleh, Manurungnge memerintahkan para penghulu, agar semua daerah takluk datang berkumpul sambil membawa peralatan perangnya. Hanya beberapa saat saja, semua pasukan dan panji perang sudah tiba di depan istana keemasan Manurung.
Ketika itu, perang sudah mulai- berkecamuk. Darah pun mengalir. Lima belas malam lamanya perang berlangsung korban telah berjatuhan dari semua pihak. Saat itu, tepat tengah hari benar, tepat matahari berada di atas kepala, tiba-tiba gelap di Ale Lino. Tak saling mengenal lagi orang banyak. Sabung-menyabung kilat dan petir, silang-menyilang halilintar dan angin ribut beriringan dengan api Dewata. Bersahut-sahutan upacara kerajaan, "Tiba-tiba tegak peiangi di bahagian kaki We Nyilik Timo" Kembali perutnya sakit. Sambil berbaring di pangkuan ibu susu segaharanya dia pun menangis seraya berkata We Raja Tompo, "Matilah daku wahai Inang. Habis nyawaku Apung ri Toja. Tak disaksikan oleh Raja Dewata yang melahirkanku. Tak disak' kan oleh Opu Sang Hiyang orang tuaku. Tidak pula di Todang Toja, kampung halaman tempat aku dibesarkan terbujar jazad diriku."
Alangkah sedih hati Batara Guru mendengar rintihan istri yang amat dicintainya. Berpalinglah dia memegang lengan istrinya. Menangis terisak-isak sembari berkata Manurungnge, "Kasihan engkau wahai adinda We Timo.
Tetaplah di sini jiwa kehiyanganmu Semoga panjang umurmu We Raja Tompok. Harga dirimu didengar To Palanroe." Batara Guru berkata, "Lahirlah engkau bayi raja seorang laki-laki agar engkaulah anak yang mengambil kelewang emas pusaka dari Ruallette. Janganlah engkau menetap merayu-rayu di dalam perut ibumu."
Bangunlah kembali We Nyilik Timo berkuat sambil berpegang pada lanrang potto, menggapai lailaiseng seraya diiringi nazar oleh para Pembesar dari Abang, namun tidak juga berhasil. Tak keruan rasa hatinya Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, ia duduk termenung Puang ri Luwuk dan Puang ri Warek. Berdiri bulu roma para dukun kerajaan sebab tak kunjung lahir bayi raja. Sudah lima belas hari We Timo dalam keadaan sakit  perut. Sedih sekali hati Manurungnge melihat istri. yang amat dicintainya. Menangis Btttara Guru sambil memberi semangat pujian dia pun menyuruh istrinya mengejang. Batara Guru sendiri berdiri mengangkat istrinya, memangku sepupu sekalinya seraya menyandarkan ke dadanya yang lapang. Bagaikan putus tarikan napas We Timo berupaya mengajang, tetapi isi perutnya tidak juga bergerak.
We NyilikTimo Melahirkan
Tepat tengah hari benar, gelap tiba-tiba datang menyergap. Kilat dan petir sambung-menyambung. Tidak saling mengenal lagi orang banyak. Bingung pula semua dukun kerajaan. Tiba-tiba tegak pelangi tujuh macam, dekat pada We Nyilik Timo. Tiba-tiba meluncurlah bayi raja itu ke atas tikar permadani, ditadah dukun, ditimang oleh Puang Matoa. Menoleh seraya berseru dukun raja bahwa pukullah gendang dengan irama perang sebagai pertanda bahwa Raja Penyabung yang berani, penakluk sekolong langit telah menjelma di istana Sao Denra manurung.
Belum selesai ucapan dukun raja, maka ditabuhlah gendang bersama seluruh tetabuhan dan senjata lainnya. Bagaikan hendak terbang istana keemasan manurung diramaikan oleh upacara kedewaan. Alangkah gembiranya Batara Guru bersama dengan istri yang amat dicintainya menyaksikan anaknya yang telah lahir di Ale Luwuk dalam keadaan selamat. Upacara Pemberian Nama Batara Lattuk
Setelah anaknya mulai merangkak, maka diperintahkanlah para Matoa, bangsawan tinggi, dan pengawal istana untuk mengundang seluruh sanak keluarga sesamanya bangsawan untuk hadir di kerajaan Ale Luwuk dalam rangka menghadiri upacara adat sesembahan dan pemberian nama kepada anak raja yang baru lahir.
Ratusan kerbau cemara dipotong sebagai tumbal sesembahan kepada "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dlpertuhankan, Editor.) dan permaisuri di Boting Langi dan kepada Dewata Guru Risellek dan permaisuri di Peretiwi. Setelah sesembahan kepada "tuhan penentu nasib" (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) dan Guru Risellek selesai diterima oleh utusan yang dikirim ke Bumi, diberi pulalah nama anak raja yang baru Iahir. Batara Guru dan We Nyilik Time kemudian menamai putranya Batara Lattuk, dan dia pulalah sebagai pewaris satu-satunya Istana Manurung Ale Luwuk Kerajaan Bumi. Juga semua benda pusaka manurung menjadi miliknya sebagai putra mahkota.


SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...