BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Tes
sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kemampuan dan tingkat
ketercapaian siswa terhadap tujuan pembelajaran yang diinginkan. Untuk itu,
kelengkapan informasi mengenai tes bahasa sangatlah penting. Berawal dari
kesadaran Prof. Dr. M. Soenardi Djiwandono melihat kurang tersedianya buku
pegangan tentang tes bahasa yang dapat digunakan dalam pembelajaran baik di
kelas maupun perkuliahan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal
itu dilakukan sebagai bentuk keprihatinan penulis melihat ketersediaan bahan
rujukan bidang tes bahasa yang pada umumnya masih menggunakan bahasa asing. Untuk
itu makalah yang berjudul “Pendekatan Tes Bahasa” dimaksudkan untuk mengurai
secara rinci tes bahasa tersebut dipandang dari aspek pendekatannya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka eumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah
pendekatan tes bahasa Tradisional?
b.
Bagaimanakah
pendekatan tes bahasa Diskret?
c.
Bagaimanakah
pendekatan tes bahasa Prakmatik?
d.
Bagaimanakah
pendekatan tes bahasa Komunukatif?
e.
Bagaimanakah
pendekatan tes bahasa Integratif?
1.3
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah :
a.
Menddeskripsikan
pendekatan tes bahasa Tradisional.
b.
Menddeskripsikan
pendekatan tes bahasa Diskret.
c.
Menddeskripsikan
pendekatan tes bahasa Prakmatik.
d.
Menddeskripsikan
pendekatan tes bahasa Komunukatif.
e.
Menddeskripsikan
pendekatan tes bahasa Integratif.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Pendekatan
Wardani (2001:6.4) mengemukakan
bahwa pandekatan (approach) adalah
seperangkat asumsi yang saling berkaitan dengan hakikat bahasa, hakikat
pengajaran bahasa serta hakikat apa yang diajarkan. Pendekatan bersifat
aksiomatis artinya bahwa kebenaran itu tidak dipersioalkan atau tidak perlu
dibuktikan lagi.
Pengertian
pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kacamata merah - semua tampak kemerah-merahan. ( Sukandi (2003:39))
2.2
Pengertian
Tes
Menurut Arikunto (1998:
51) tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk
memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang
seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat. Selanjutnya,
menurut Nurkancana, tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang
berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak
atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku
atau prestasi anak tersebut, yang dibandingkan dengan nilai yang dicapai
anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan.
Definisi di atas bila
dikaitkan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas, maka tes adalah
suatu alat yang digunakan oleh pengajar untuk memperoleh informasi tentang
keberhasilan peserta didik dalam memahami suatu materi yang telah diberikan
oleh pengajar. Menurut Djiwandono (2008:12), tes bahasa adalah suatu alat atau
prosedur yang digunakan dalam melakukan penilaian dan evaluasi pada umumnya
terhadap kemampuan bahasa dengan melakukan pengukuran terhadap kemampuan
bahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Tes bahasa merupakan
bagian dari ilmu bahasa atau linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari seluk
beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum seperti yang dilakukan
dalam linguistik umum yang membahas masalah-masalah umum seperti latar belakang
dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa dapat pula bersifat ilmiah, teoritis,
dan rinci seperti yang dilakukan dalam linguistik murni atau linguistik
teoretis yang menyajikan kajian-kajian tentang seluk beluk tata bahasa
transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian tentang makna
dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang psikologi dalam
psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan
bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai
bagian dari komponen ke-3, yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan
tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen
lain dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran
yang mendasarinya, yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga
sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya
amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
2.3
Pendekatan
Tes Bahasa
Secara umum pandangan
terhadap bahasa menentukan dan mendasari bagaimana pembelajaran bahasa
diselenggarankan dan pembelajaran bahasa yang diselenggarakan menentukan tes
bahasanya diselenggarakan. Dengan kata lain, pendekatan terhadap bahasa
menentukan pendekatan pembelajaran bahasa, dan pendekatan pembelajaran bahasa
menentukan pendekatan dalam penyelenggaraan tesnya. Dalam kajian bahasa dikenal
ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang
berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara
pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai
cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk, Djiwandono (2008)
membagi lima jenis pendekatan tes bahasa sebagai berikut : (1) Pendekatan Tradisional,
(2) Pendekatan Diskret, (3) Pendekatan Integratif, (4) Pendekatan Pragmatik,
dan (5) Pendekatan Komunikatif. Kelima pendekatan tes bahasa tersebut
sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:
a.
Pendekatan
Tradisional
Pendekatan tradisional dalam tes bahasa dikaitkan
dengan bentuk pembelajaran bahasa yang tradisional (konvensional) yang banyak
digunakan pada kurun waktu ketika belum cukup banyak pembelajaran yang
pengembangan dan penyelenggaraannya didasarkan atas kajianyang memadaiterhadap
seluk beluk bahasa. Dalam pendekatan tradisional pembelajaran bahasa
diselenggarakan sekedar untuk kebutuhan terbatas tertentu seperti;
berkomunikasi secara lisan dan terbatas dan dititik beratkan pada
ketatabahasaan. Banyak diantaranya hanya menekankan pada kemampuan
menerjemahkan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.
Penyelenggaraan tes dalam penyelenggaraan
pembelajaran secara tradisional itu dilakukan juga secara tradisional tanpa
menggunakan suatu teori bahasa tertentu sebagai dasar. Dalam penyelenggaran tes
bahasa dengan pendekatan tradisional ini tidak terdapat rambu-rambu yang jelas
atau baku tentang jenis kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, cara bagaiman
tes itu diselenggarakan, dan bahkan cara bagaimana pekerjaan siswa itu dinilai.
Semuanya terpulang pada penyusun dan penyelenggara tes. Kadangkala tes bahasa
itu terdiri dari tugas untuk sekedar menerjemahkan suatu teks yang ditulis
dalam bahasa yang sedang dipelajari ke dalam bahasa pertama. Oleh sebab itu pendekatan
tradisionalsering disebut sebagai pendekatan terjemahan.
Dalam pendekatan ini penyelenggaraan tes bahasa
banyak diwarnai dengan berbagai bentuk subjektifitas dalam hal pemilihan
kemampuan bahasa yang dijadikan sasaran, pemilihan dan penetapan bahan dan isi
tes, serta cara penilaian peserta tes. Oleh karena itu, pendekatan tes bahasa
ini seringkali disebut tes pendekatan bahasa pra-ilmiah.
b.
Pendekatan
Diskret
Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa
dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti
suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana
sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu
yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragrafdan
kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari
kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem.
Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian
seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa
itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga
dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa
struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang
berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu
entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu
dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam
pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret
(discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes
dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang
diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar
konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi
bahasa yang lain ( misalnya konsonan δ dan ė), melafalkan satu bunyi bahasa
tertentu (misalnya vokal æ dan å), menyebutkan lawan kata dari satu kata
tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak
dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan
diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas
yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan
tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan
ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa,
khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar
konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis,
berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata,
dan kelancaran bahasa).
c.
Pendekatan
Integratif
Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan
nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara
terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa
digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan
atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan
integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi
lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak
bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk
menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca:
lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan
secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu
sangat baik, sedangkan saudaranya…...), bitur tes yang semula diskert berubah
menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa
lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak
semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat,
tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya.
Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar
mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan
unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata
bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih
dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau
komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan
tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat
jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi
secara keseluruhan.
d.
Pendekatan
Pragmatik
Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam
kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata
bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik.
Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya
dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman
unsur-unsur ekstra linguistik. Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja
mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan
susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit
terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam
konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek
pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa,
dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar
hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap
dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :
Prosedur
atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen
bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala
kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa,
sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu
dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.
Kendala alamiah yang
terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar)
untuk;
1.
Mengolah dan memahami wacana itu dengan
segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang
secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan,
2.
Memahami hubungan-hubungan pragmatik
antara konteks linguistik dan ekstralinguistik.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik
berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata
yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa
kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk
abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang
tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa
peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini
beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk
mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada
umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata.
Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan
menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal
tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara
keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami
bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik),
serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan (
kemampuan ekstralinguistik ).
e.
Pendekatan
Komunikatif
Pendekatan komunikatif dapat dipahami sebagai
pengembangan dari pendekatan pragmatik dengan cakupan yang jauh lebih luas, lebih
beragam dan lebih kompleks. Pendekatan komunikatif terhadap bahasa terkait juga
dengan gagasan tentang konteks ekstra linguisitik seperti halnya dalam
pendekatan pragmatik, namun dengan cakupan yang lebih lengkap dan lebih luas,
karena bertitik tolak dari komunikasi sebagai fungsi utama dalam penggunaan
bahasa. Pendekatan komunikatif menjangkau cakupan yang lebih luas dengan
menelaah penggunaan dan pemahaman bahasa dari fungsi utamanya, yaitu melakukan
komunikasi dengan mengandalkan penggunaan kemampuan komunikatif.
Adapun kemampuan komunikatif itu mula-mula dipahami
antara lain sebagai kemampuan untuk memahami atau mengungkapkan apa yang sudah
atau yang perlu diungkapkan, dengan menggunakan berbagai unsur bahasa yang
terdapat di semua bahasa, dalam memhami ungkapan-ungkapan yang ada secara luwes
dan disesuaikan dengan perubahan yang senantiasa timbul tidak semata-mata
berdasarkan nilai-nilai konvensional yang sudah baku.
Bertitik tolak dari definisi yang tidak mudah
dipahami itu, pemahaman terhadap kemampuan komunikatif itu lebih lanjut
dijabarkan sebagai terdiri dari penguasaan terhadap tiga komoponen utama,
masing-masing adalah
1. Kemampuan
bahasa(language competen), yang meliputi berbagai unsur bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi lewat bahasa, termasuk struktur, kosakata, prosodi, makna.
2. Kemampuan
strategis (strategic competen), yaitu kemampuan untuk menerapkan dan
memanfaatkan komponen-komponen kemampuan bahasa dalam berkomunikasi lewat
bahasa senyatanya, dan
3. Mekanisme
psiko-fisiologis ( psychophysiological mwchaism), yaitu proses psikis dan
neurologis yang digunakan dalam berkomunikasi lewat bahasa.
Untuk mempermudahkan dalam memahaminya maka
didefinisikan kemampuan komunikatif yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan
bahasa sesuai dengan situasi nyata, baik secara riseftif maupun secara
produktif(ability to use appriately, both receptively and productively in real
situtions).
Penerapan kemampuan komunikatif pada tes bahasa
komunikatif didasarkan pada rincian rumusan yang banyak digunakan, yang memhami
kemampuan komunikatif itu sebagai terdiri dari kemampuan linguistik (linguistc
competence), kemampuan wacana (discourse competence), dam kemampuan
strategis(strategic competence). Di tengah berbagai upaya untuk memahami dan
mendefinisikan kemampuan komunikatif yang masih dalam perkembangan itu,
kemampuan komunkatif yang dimaknai sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan
linguistik yang cocok dengan situasi nyata kiranya dapat digunakan. Secara umum
tes bahasa komunikatif adalah tes yang mengedepankan penggunaan kemampuan
komunikatif, yang tidak mengedepankan pengetahuan gramatikal. Secara umum pula
tes bahasa komnikatif merupakan tes yang pengembangan dan penggunaannya
didasarkan atas penerapan teori kemampuan bahasa komunikatif, meskipun
bentuknya tergantung pada dimensi mana yang perlu diutamakan seperti kontek,
keaslian(authenticity), atau simulasi bahasanya.
BAB
III
SIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Simpulan
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa kelima pendekatan tersebut adalah buah pemikiran
yang lahir secara simultan akibat pandangan bahwa masing-masing pendekatan
memiliki kelemahan sehingga melahirkan pendekatan-pendekatan baru. Pendekatan tradisional
dinilai kurang karena pendekatan ini lebih menekankan pada subjektivitas
semata. Seorang pembelajar hanya hendak belajar bahasa karena ada tujuan
tertentu dalam hal pemakaian bahasa semata. Karena kelemahan tersebut, maka
lahirlah pendekatan kongret. Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek satuan
bahasa itu sendiri dan meninggalkan konteks. Karena kelemahan tersebut,
akhirnya muncullah pendekatan tes pragmatik. Pendekatan tes bahasa pragmatik
ini lebih menekankan pada aspek pemakaian bahasa dan kemampuan siswa menguasai
konteks berbahasa mereka. Pendekatan ini kembali dinilai kurang atau lemah
karena melupakan aspek alamiah bahwa dalam berbahasa sebaiknya pemakaiannya
dilakukan pada konteks yang sesungguhnya. Dari kelemahan tersebut, muncullah
pendekatan komunikatif yang mengarahkan tes bahasa dari kemampuan berbahasa
dalam konteks berbahsa yang sebenarnya. Namun pendekatan ini masih dinilai
lemah, oleh karena itu, muncullah pendekatan integratif yang membaurkan keempat
pendekatan lainnya.
3.2
Saran
Makalah ini mengurai
tentang pendekatan tes bahasa. Materi yang disajikan dalam makalah ini terbatas
pada beberapa konsep yang diuraikan para ahli. Oleh karena itu, dibutuhkan
usaha dari para pembaca kreatif untuk mengembangkannya berdasarkan teori-teori
yang diberikan oleh para ahli bahasa lainnya terkhusus kepada teori tes bahasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Wardani, Igag. 2006. Praktik Mengajar. Jakarta: Universitas
Terbuka
Sukandi,
Ujang,dkk. 2003.
Belajar Aktif & Terpadu. Surabaya
:Duta Graha.
Arikunto,Suharsimi
(1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. PT Rineka Cipta,
Jakarta.
Djiwandono, Soenardi.
2008. Tes Bahasa. Jakarta : Gramedia
No comments:
Post a Comment