Thursday, June 12, 2014

ANTARA SASTRA DAN KETERAMPILAN BERBAHASA PESERTA DIDIK



Manfaat Pengajaran Sastra
Sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran, pandangan dan gagasan dari seseorang. Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan pola pikir dan ide kreatif yang dibangun secara mandiri Pemikiran, gagasan dan pola pikir dari pengarang pada dasarnya bersumber dari keadaan-keadaan sekitar lingkup pengarang. Oleh karena itu, di dalam karya sastra terdapat tafsiran-tafsiran masalah dunia nyata. Sastra memiliki hubungan dalam kehidupan dunia nyata. Dengan demikian, pada dasarnya karya sastra memiliki peran dan kedudukan yang penting. Senada dengan hal itu, menurut Rahmanto (1996:16—25) manfaat pengajaran sastra dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:
a.    Membantu keterampilan berbahasa
Terdapat empat keterampilan berbahasa yaitu, membaca, menyimak, menulis dan berbicara. Pada proses pembelajaran tersebut, siswa dapat meningkatkan kemampuannya melalui kegitatan bersastra. Pengajaran sastra berperan meningkatkan keterampilan membaca siswa, misalnya saat siswa membaca puisi atau membaca prosa/cerita. Melatih keterampilan berbicara saat siswa ikut berperan dalam suatu drama. Selain itu, dapat melatih keterampilan menyimak saat guru membacakan suatu karya sastra, atau saat mendengarkan karya sastra melalui rekaman. Pengajaran sastra juga membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan menulis dengan menulis karya-karya sastra.
b.   Meningkatkan pengetahuan budaya
Dalam sistem pendidikan seharusnya disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi peserta didiknya. Pemahaman budaya berperan untuk menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki. Beberapa pengetahuan khusus mengenai budaya sendiri, pada dasarnya menjadi ciri khas. Hal ini membantu menggenalkan karakter dan identitas budaya yang ada. Pengajaran sastra jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar siswa berkenalan dengan budaya, karakter suatu hal tertentu.
c.    Mengembangkan cipta dan rasa
Siswa merupakan individu yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Siswa pada dasarnya memiliki kecakapan dan siswa pula menunjukkan kekurangannya. Secara umum kita memandang siswa pada satu kesatuan yang kompleks, dengan memberikan perlakuaan yang sama. Namun, pada dasarnya siswa memiliki kecakapan dan kekurangan tersendiri. Oleh karena itu, siswa butuh diarahkan agar siswa menyadari potensinya. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indera; bersifat penalaran; yang bersifat objektif; dan bersifat sosial; serta dapat ditambah lagi dengan sifat religius. Pengajaran sastra yang dilakukan secara benar akan dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Secara rinci dijelaskan berdasarkan uraian sebagai berikut:
1)      Indera
Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang diterima oleh panca indera seperti indera penglihatan, indera pendengaran, indera pengecapan dan indera peraba. Seorang pengarang pada dasarnya seorang yang memiliki berbudi halus, peka dan mampu menyampaikan apa yang mereka hayati kepada pembaca. Dengan mengikuti tafsiran serta makna-makna yang mereka ungkapkan siswa akan diantar untuk membedakan hal satu dengan hal lain.
2)      Penalaran
Berpikir logis banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketetapan interprestasi kebahasaan, klasifikasi dan pengumpulan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan membantu siswa latihan memecahkan masalah-masalah berfikir logis semacam itu. Bahkan di samping sarat dengan kecakapan berpikir logis itu, pengajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan dan sebagainya. Tentu saja, siswa tidak bisa langsung diharapkan untuk melakukan hal tersebut. Namun, sejak awal para guru sastra hendaknya melatih siswa untuk memahami fakta-fakta, membedakan mana yang pasti dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal argumentasi yang tepat.
3)      Perasaan
Kepekaan rasa dan emosi sering dikaitkan erat dengan pengajaran sastra, dan hal ini mungkin patut untuk dipertahankan. Pengertian perasaan ini memang agak kabur dan bahkan mereka yang yakin akan adanya perasaan itu tetap tidak selalu dapat mengerti dengan jelas apa maksudnya. Sehubungan dengan perasaan, sastra mungkin dapat menghadirkan problem atau situasi yang merangsang tanggapan perasaan atau tanggapan emonsional. Situasi dan problem itu diungkapkan oleh pengarang dengan cara-cara yang memungkinkan kita tergerak untuk menjelajahi dan mengembangkan perasaan kita sesuai dengan kodrat manusia.
4)      Kesadaran Sosial
Sastra dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran pemahaman terhadap orang lain. Para pengarang modern telah banyak berusaha merangsang minat dan menumbuhkan rasa simpati kita terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang tertindas, gagal, kalah, putus asa. Secara tidak langsung sastra memberikan kesadaran dengan membawa pesan untuk dipahami oleh pembacanya.
5)      Religius
Banyak orang yang menyatakan dirinya sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berhubungan dengan rasa religius ini. Akan tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa mereka hanya dapat memahami dan menjalani hidup sehari-hari dengan memdasarkan pemikiran dan tindakan merka pada sistem kepercayaan yang mereka yakini.
6)      Menunjang pembentukan watak
Dalam nilai pengajaran sastra terdapat dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukkan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya  mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengenal rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti; kebahagian, kebebasan, kesetian, kebanggaan diri sampai kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang mendalami sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal yang lebih bernilai dan tak bernilai. Selain itu, tuntunan yang kedua yaitu, dalam pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian dan penciptaan. Sastra seperti yang kita ketahui, sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.
Pengajaran sastra memiliki manfaat bagi siswa. Selain manfaat yang dikemukakan di atas sastra memiliki fungsi dalam pembentukan kepribadiaan. Bagaimana peran sastra pada karakter siswa dan penanaman nilai-nilai agama. Di dalam Kemendiknas (2011: 15—22) mengemukakan fungsi dalam membentuk kepribadian. Hal tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a.    Sastra Sebagai Pembentuk Karakter Anak
Sastra anak adalah citraan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak-anak yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral dan dieskspresikan dalam bentuk-bentuk kebahassaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak-anak. Sastra dinilai dapat membentuk karakter denan efektif karena nilai-nilai dan moral yang terdapat dalam karya sastra tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui metafora-metafora sehingga menjadi menyenangkan dan tidak menggurui. Nilai-nilai yang terkandung dapat diresepsi oleh anak dan merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.
b.    Sastra Sebagai Strategi Penanaman Nilai-Nilai Agama
Seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari ajaran agama yang tampak dalam kehidupan. Pandangan itu erat dengan proses penciptaan karya sastra, bahwa ia tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan ibadah pada pencipta. Intinya. Karya sastra seharusnya memberikan hikmah. Hikmah karya sastra yang baik adalah bisa membuat orang membacanya tercerahkan. Hikmah itu dapat berupa nilai dan kearifan.
c.    Sastra Sebagai Pembinaan dari Krisis Moral dan Krisis Keteladanan
Arah moderenisasi memberikan banyak perubahan bagi masyarakat. Perubahan yang justru mengarah pada krisis moral dan akhlak. Persoalan lainnya pula terletak pada krisis keteladanan. Krisis moral tersebut bisa diatasi dengan pembinaan watak. Dalam lingkup sekolah, misalnya, pembinaan watak diterapkan pada pengajaran sastra. Artinya pengajaran sastra berdimensi moral. Pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun dan sebagainya banyak ditemukan di dalam karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel maupun drama. Bila karya sastra itu dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, sehingga mampu mengatasi krisis moral dan karya sastra sebagai objek keteladanan yang baik.
Permasalahan Pengajaran Sastra Di Sekolah
Pengajaran sastra mencakup tiga genre, yaitu prosa, fiksi, puisi dan drama. Dalam pengaplikasiaanya dengan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai kegiatan aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Pada pengajaranya terdapat permasalahan yang menghambat proses pembelajaran. Berikut Kemendiknas (2011: 59—68) dikemukakan permasalahan dalam pengajaran sastra dan bagaimanakah seharusnya peran guru sastra untuk membina pengajaran sastra, yaitu sebagai berikut:
a.    Problematika Pengajaran  Sastra di Indonesia
Problematika pengajaran sastra di sekolah dikaitkan pada sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru dapat mengusahakan karya sastra yang dimuat di media massa dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio. Beberapa hal lain pula adanya anggapan gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra itu. Sistem pendidikan di Indonesia acapkali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru sebagai ujung tombak mengingkari hakikat pendidikan. Target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya sehingga tidak urung memaksa guru bahasa menomorduakan sastra. Faktor rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMA memiliki pengaruh terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra yang kurang menjadi faktor lain, hal ini sangat tidak setara jika dibandingkan dengan pengetahuan siswa tentang dunia hiburan atau selebriti. Permasalahan lain, kurikulum pendidikan yang saat ini digunakan tidak pernah memberikan ruang gerak pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat dan tujuan itu sendiri. Pada kenyataan guru pun masih dihadapkan dengan seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah dipatenkan dan menghambat kreativitas guru dan dengan sendirinya pembelajaran sastra menjadi terpinggirkan.
b.   Tugas dan Peran Guru pada Pengajaran Sastra
Tugas guru sastra tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui baik kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang dibatasi dinding kelas. Hasilnya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal, misalnya ketika siswa mendapat tugas menulis puisi berkenaan dengan alam. Namun guru bersangkutan tidak mengajak ke alam terbuka. Padahal pemanfaatan situasi menumbuhkembangkan daya imajinasi kreasi mereka dalam penciptaan puisi. Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menciptkan srategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut untuk mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...