SINKRONISASI PENGETAHUAN LINGUSITIK DAN KETERAMPILAN BERBAHASA PESERTA
DIDIK
Oleh : Aziz Thaba
PENDAHULUAN
Membicarakan
kualitas pandidikan di Indonesia, tidak mungkin tidak menyinggung persoalan
kurikulum. Karena, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas
kurikulum, di samping kualitas aspek lain macam sarana prasarana, kualitas
guru, kesiapan anak didik, peran orang tua, kualitas buku ajar dan lain
sebagainya. Menurut Mansur Muslich kurikulum adalah seperangkat rencana
peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah (1994: 2).
Sedangkan menurut Taba (dalam Musilch, 1994: 1) kurikulum merupakan suatu cara
untuk mempersiapkan anak-anak untuk berpartisipasi sebagai anggota yang
proaktif dalam masyarakat, yang mempunyai komponen: tujuan dan sasaran seleksi,
dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan mengajar, dan
evaluasi hasil belajar. Secara ringkas Wardiman Djojonegoro mengatakan bahwa
kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan (1996: 119).
Berdasarkan
konsep para ahli kurikulum di atas, kurikulum menjadi salah satu prioritas yang
paling mendesak yang harus diperhatikan dan diperbaiki pemerintah agar
pembangunan dunia pendidikan berjalan dengan baik. Menurut John Dewey
kurikulim sering manjadi jauh dan abstrak bagi dunia anak (Preire, 2003: 224).
Bahan keilmuan tidak diterjemahakan ke dalam istilah-istilah kehidupan anak,
melainkan secara langsung disodorkan sebagai pengganti kehidupan anak saat ini,
atau sebgai suntikan pada kehidupan anak saat ini (Preire, 2003: 236). Sebagai
sarana, kurikulum tidak mempunyai arti apa-apa apabila tidak ditunjang oleh
sarana dan prasarana yang memadai seperti sumber belajar dan mengajar,
kamampuan tenaga pengajar, metodologi yang sesuai serta kejernihan arah dan
tujuan yang akan dicapai (Tilaar, 1995: 251). Mengingat pentingnya peranan
kurikulum dalam pembangunan pendidikan, dalam tulisan ini penting diketengahkan
bagaimana perjalanan dan perkembangan kurikulum di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Kurikulum
merupakan sarana yang mengatur berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
pendidikan dalam suatu Negara. Oleh karea itu, membicarakan kurikulum tidak
dapat lepas dari persoalan yang melingkupinya. Persoalan pendidikan di
Indonesia menjadi perhatian penting sejak lahirnya Negara Indonesia. Hal ini
ditandai pada tahun 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan
Pengajaran dan Kebudayaan untuk menyusun persekolahan sesuai kurikulum yang
diusulkan (253). Untuk itulah, kurikulum sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional sejak tahun 50-an mengalami beberapa kali perubahan karena
adanya tuntutan zaman. Namun demikian, realisasi kurikulum pertama kalinya
secara eksplisit lahir dengan nama kurikulum 1968. Dalam kurikulum ini isi pendidikan
adalah mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan membina/memperkembangkan
fisik yang kuat dan sehat. Pengorganisasian pada masing-masing kelompok
(Djojonegoro, 1996: 415-16). Dan memang, dalam kurikulum 1968 ini proses pembelajaran
berdasarkan materi.
Selang
kurang lebih 8 tahun, perjalanan kurikulum 1968 mengalami penyempurnaan menjadi
kurikulum 75. Dalam kurikulum 75 ini arah perjalanan pembelajaran tidak lagi
didasarkan pada materi, tetapi didasarkan pada tujuan pendidikan yang jelas.
Tujuan tersebut dijabarkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan
instruksional khusus. Dengan lajunya pembangunan nasional turut juga
mempengaruhi lajunya pembangunan dunia pendidikan. Oleh karena itu,
kurikulum 75 yang berdasarkan pada tujuan itu disempurnakan menjadi kurikulum
84 atas usulan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional dan TAP MPR No IV/1983
(Tilaar, 1995: 260). Ciri yang menonjol pada kurikulum 84 adalah (1) apa yang akan
diajarkan, (2) mengapa diajarkan, dan (3) bagaimana diajarkan.
Percobaan-percobaan dalam kurikulum 84 ini akhirnya menghasilkan konsep
pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada tingkat SMA, kurikulum ini
secara garis besar dibagi menjadi program inti dan program pilihan.
Menginjak
tahun 1994, lahirlah kurikulum 94 sebagai penyempurnaan kurikulum 84.
Penyempurnaan ini karena adanya Undang-undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2
tahun 1989, tentang Sitem Pendidikan Nasioanl. Dalam kurikulum ini yang paling
menonjol lahirnya istilah link and match antara dunia pendidikan dan dunia
industri khususnya pada sekolah kejuruan. Namun demikian, kurikulum ini masih tetap
berorientasi pada tujuan.
Sejak tahun
2001 Departemen Pandidikan Nasioanal melakukan serangkaian kegiatan untuk
menyempurnakan kurikulum 1994. Selama kurang lebih empat tahun (2004) lahirlah
kurikulum dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hal ini karena,
pendekatan yang digunakan adalah kompetensi dan kemampuan minimal yang harus dicapai
oleh peserta didik pada setiap tingkatan kelas dan pada akhir satuan pendidikan
dirumuskan secara eksplisit. Di samping rumusan kompetensi, sebagai tolok ukur
ketercapaian hasil pembelajaran dirumuskan pula materi standar untuk mendukung
pencapaian kompetensi dan indikatornya.
Kurikulum
yang berbasis kompetensi (KBK) dalam perjalanannya disempurnakan menjadi
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah,
karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan
karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8). Secara singkat dapat dikatakan
KTSP adalah kurikulum yang pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada satuan
lembaga pendidikan. Oleh karena itu, para, “stake holder” pendidikan dalam
sebuah lembaga tersebut harus memahami apa itu KTSP, utamanya adalah guru.
Karena guru adalah sosok yang selalu bergelut dengan kurikulum sebagai arah
sebuah pembelajaran di kelas.
Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan
pemerintah: (1) UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, (2) PP No. 19 tahun
2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (3) Permendiknas No. 22 tahun 2006,
tentang Standar isi, (4) Permendiknas No. 23 tahun 2006, tentang Standar
Kompetensi Kelulusan, (5) Permendiknas No 24, tahun 2007, tentang Pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan 23.
B.
Problematika
Pembelajaran Bahasa Indonesia
1.
Kebijakan
Pemerintah
Sejak
lahirnya kurikulum, pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari berbagai
macam problema. Dalam kurikulum 1968 -kurikulum yang mengacu pada
materi-pembelajaran berdasarkan materi sebagai bahan ajarnya. Sehingga, proses
belajar mengajar tidak jelas arah dan tujuannya. Meski dalam kurikulum tersebut
terdapat pernyataan bahwa “murid-murid harus dibiasakan memakai bahasa
Indonesia yang baik dan benar”, pembelajaran bahas tetap menitikberatkan pada
pengetahuan bahasa, karena yang menjadi dasar bukan tujuan tetapi materi.
Pembelajaran berbasis materi pada umumnya guru selalu ketinggalan dengan materi
yang relevan dan aktual bagi para siswa. Ia cenderung mengandalkan
materi-materi yang terdapat dalam buku paket. Pada umumnyaa guru enggan
berkreasi mencari materi pembelajaran di luar buku paket sebagai buku pegangan.
Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan kurikulum sehingga guru siap
merealisasikan konsep-konsep yang terdapat dalam kurikulum majadi kreativitas
konkret di depan kelas. Jika, hal ini dilakukan oleh pemerintah, tentunya para
guru tidak mengandalkan sumber belajar yang monoton (terdapat dalam buku paket)
tetapi mereka lebih kreatif untuk mencari dan memilih bahan pembelajaran.
Menyadari
pentingnya tujuan pembelajaran dalam kurikulum, kurikulum 68 yang bertumpu pada
meteri sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, kurikulum tersebut
disempurnakan menjadi kurikulum 75 yang menitikberatkan pada tujuan
pembelajaran. Dalam kurikulum 75 pun, pembelajaran bahasa juga tidak bebas dari
permasalahan pembelajaran. Kurikulum yang menginstruksikan berbagai macam
tujuan –mulai dari tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional
umum, dan tujuan instruksional khusus- menimbulkan kebingungan guru dalam
merumuskan tujuan khusus. Kenyataan itu, mengakibatkan perlunya menyiapkan guru
sebagai pelaksana kurikulum di depan kelas. Untuk itu hal penting yang harus
diperhatikan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah setiap kebijakan
selalu berkesinambungan dengan kebijakan yang lain. Kebijakan tidak boleh
terpotong-potong pada satu kebijakan saja, tetapi membutuhkan pemikiran
kebijakan selanjutnya sebagai dampak dari kebijakan yang telah diputuskan.
Permasalahan
yang muncul dalam kurikulum 75 melahirkan kurikulum 1984. Kurikulum ini tetap
bertumpu pada tujuan, akan tetapi ada perbedaan yang agak menonjol, di samping
memfokuskan pada kemampuan berbahasa yang harus dimiliki peserta didik juga
menitikberatkan pada fungsi bahasa. Dari sinilah, akhirnya tujuan kurikuler
dalam kurikulum ini sudah semakin jelas dan baik. Sebagai misal, (1) siswa
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk membaca
wacana bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pengalaman siswa, (2) siswa
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan 21. 000 kosa kata dalam
ranah-ranah kebahasaan dalam pengalamannya, (3) siswa memiliki kemampuan
berbahasa Indonesia dengan menggunakan stuktur lanjutan bahasa Indonesia (4)
siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk
menulis, (5) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi
dan tujuan berbahasa.
Pada
kurikulum ini tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sudah terlihat dengan jelas.
Tetapi, karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memandu perjalanan
kurikulum sampai tingkat bawah, tujuan yang sudah dirumuskan dengan baik itu
ternyata belum dapat diwujudkan sesuai dengan harapan. Belum dapat terwujud
disebabkan guru sebagai sosok yang bersentuhan langsung dengan siswa tidak
mengajak siswa untuk menggunakan bahasa dengan baik dan benar sesuai dengan
rumusan yang terdapat pada kurikulum, tetapi masih berkutat pada pembelajaran
tentang bahasa. Sehingga, out put yang dihasilkan tidak mempunyai keterampilan
berbahasa melainkan mampu dalam ilmu tentang bahasa. Untuk inilah, sekali lagi
kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan sosok guru sebagai pelaksana
kurikulum di tingkat dasar.
Kurikulum
1994 merupakan peyempurnaan kurikulum 1984. Dalam kurikulum ini masih
berorientasi pada tujuan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia adalah (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indosesia sebagai
bahasa Nasional dan bahasa Negara, (2) siswa memahami bahasa Indonesia
dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk
bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan
menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual,
kematangan emosional, dan sosial, (4) siswa mampu menikmati, menghayati,
memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa.
Pada tujuan
umum no 3, jelas sekali bahwa siswa diharapkan mampu menggunakan bahasa
Indonesia dalam kehidupannya. Akan tetapi, kenyataannya pembelajaran bahasa
berkutat pada pembelajaran tentang bahasa. Pembelajaran semacam itu,
mengakibatkan hasil lulusan dapat ditebak mereka tidak terampil berbahasa
tetapi mengetahui tentang bahasa. Ini disebabkan kebijakan pemerintah yang
kurang menyiapkan guru sebagai pelaksana kurikulum.
Dalam
Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (2003: 3-4) standar kompetensi yang ingin
dicapai dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencakup: (1) Kemampuan
Berbahasa (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis), (2) kemampuan
Bersastra (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis). Standar kompetensi
tersebut dijabarkan menjadi berbagai macam kompetensi dasar yang harus dikuasai
oleh siswa. Oleh karena itu peran guru dalam membantu penguasaan dan pencapaian
kemampuan tersebut sangat penting. Untuk menguasai kompetensi, seorang guru
harus mengetahui karakteristik mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang
menitikberatkan pada kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, bukan
kemampuan tentang bahasa dan kemampuan tentang sastra.
Dari sisni
tampaklah bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mementingkan sebuah
produk dari pembelajar. Dalam pembeljaran bahasa, baik guru maupun siswa tidak
berpikir tentang sistem bahasa, melainkan berpikir bagaimana menggunakan bahasa
secara baik dan benar. Berkaitan dengan pembelajaran sastra, yang lebih penting
adalah bagaimana menjadikan sastra sebagai media yang harus diapresiasi.
Karena, mengingat bahwa hakikat bahasa dan sastra adalah sebuah sarana
komunikasi.
Pada
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih banyak persoalan
berkaitan dengan pembelajaran bahasa. KTSP pada prinsipnya sangat terbuka
adanya muatan lokal dalam pengembangannya. Muatan lokal merupakan satu
kesatuan utuh yang tak terpisahkan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Kurikulum muatan lokal ini merupakan upaya agar penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan upaya
peningkatan mutu pendidikan nasional, sehingga pengembangan dan implementasi
kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi KTSP. Dalam kurikulum tingkat
satuan pendidikan materi muatan lokal dapat berupa bahasa daerah atau bahasa
asing. Materi pada muatan lokal ini hendaknya sesuatu yang ingin dikembangkan
oleh daerah tersebut. Pengembangan kurikulum muatan lokal dapat terdiri atas
tingkat provinsi, tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan, dan tingkat
sekolah (Mulyasa, 2007: 278). Terkait dengan kurikulum muatan lokal ini, hal
penting yang sering diabaikan adalah tidak berorientasi pada kebutuhan
masyarakat setempat, tetapi berorientasi pada pengajar. Tidak berorientasi pada
tujuan pendidikan secara nasional tapi hanya bersifat kedaerahan.
Materi
muatan lokal sedapat mungkin mejadi sebuah andalan produk dari sekolah
tersebut, untuk itu perlu tindak lanjut dari hasil yag diproduksi anak didik.
Misalnya, jika anak didik membuat grup seni, bagaimana sekolah dapat menjual
seni tersebut untuk kepentingan masyarakatnya. Jika, sekolah mempunyai kelompok
pembuat bahan kerajinan, bagaimana upaya masyarakat dapat manikmati hasil
kerajinan anak didik tersebut. Karena itu, muatan lokal tersebut hendaknya
menopang eksistensi sebuah lembaga agar semakin kokoh di mata masyarakat.
Sampai saat
ini pun malpraktik pendidikan masih melingkupi dunia pendidikan kita. KTSP yang
mengisyaratkan pembelajaran sepenuhnya diserahkan kepada pihak satuan
pendidikan, realisasinya pemerintah masih memberlakukan ujian nasional sebagai
penentu kelulusan. Malpraktik pendidikan juga akibat kebijakan pemerintah yang
kurang tepat. Dalam KTSP memberikan keleluasaan kepada sekolah utamanya guru
dalam membuat skenario pembelajaran mulai dari rencana pembelajaran sampai
dengan evaluasi. Tetapi, realitas kelulusan diambil alih oleh pemerintah dengan
mengharuskan sekolah melaksanakan ujian nasional. Kenyataan itu membuat
ketidakberdayaan guru dalam mengkonsentrasikan kelas menjdai sebuah simponi
indah dan menarik. Di samping itu, guru merasa didzalimi, yang akhirnya
terpaksa berbuat curang demi kelulusan anak didiknya. Bukankah keberhasilan
pendidik tidak hanya diukur dengan angka-angka dari beberapa mata pelajaran,
melainkan dari proses pembelajaran panjang dan menyeluruh? Dan harapannya, dari
proses panjang dan menyeluruh itu akan melahirkan manusia yang berkepribadian
dan humanitet yang tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu,
kata Manssur Fakih (dalam O’neil, 2001: x) para praktisi pendidikan seperti
para guru di lembaga formal, pelatih pada tempat kursus di berbagai pendidikan
non formal, ataupun pendidikan rakyat, di kalangan buruh, petani maupun rakyat
miskin, banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam satu pergumulan
politik dan ideologi malalui arena pendidikan. Dan memang, Tilaar menegaskan
bahwa kalau kita berbicara mengenai kurikulum tidak lepas dari politik (1995:
253)
2.
Membangun
Kultur
Kultur dalam
sebuah kehidupan apa pun termasuk kehidupan pendidikan menjadi sangat penting
untuk diperhatikan. Kultur seperti etos kerja yang rendah, sehingga mewujudkan
malas belajar bagi para siswa maupun guru. Kultur senang ambil jalan pintas,
suka menerabas dan suka budaya instan, menimbulkan kesantaian kerja, tetapi
menginginkan penghasilan yang luar biasa. Suburlah kultur hipokrit menimbulkan
sikap pengecut dan tidak bertanggung jawab. Segala sesuatu dilimpahkan pada
orang lain sebagai wujud penghindaran dari tanggung jawab yang semestinya.
Sulitnya
mengubah kultur di atas paling tidak menjadi penghambat majunya dunia
pendidikan (termasuk dalam pembelajara bahasa). Padahal perubahan manjadi kunci
penting yang harus dilakukan oleh guru, peserta didik, dan masyarakat di
samping pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan. Untuk
menyikapi realitas tersebut perlu menyimak ungkapan filosofis Rhenald Kasali
dalam bukunya Change! (2005), yakni, “tak peduli berapa jauh jalan salah
yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”. Dari sisnilah tampaknya penting
melakukan sebuah perubahan jika menginginkan pembelajaran yang sesuai dengan
minat dan kebutuhan siswa.
Berkaitan
dengan pembelajaran bahasa, guru harus mampu menciptakan kultur yang baik.
Untuk menunjang dan mewujudkan harapan tersebut penting memupuk dan mematrikan
budaya yang sangat “urgen” dalam upaya pengembangan diri seorang guru. Budaya
tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah budaya membaca, budaya menulis, dan
budaya meneliti.
Pertama,
budaya membaca. Membicarakan persoalan secara umumpenulis setuju jika
persoalan membaca bagi masyarakat kita sampai saat ini belum menjadi sebuah
kultur apalagi sebuah budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan,
tesis yang sering muncul di masyarakat adalah masih rendahnya minat baca
masyarakat. Hal ini didukung oleh berbagai macam fakta. Sebagai misal,
kemampuan membaca anak didik sekolah dasar kita berada pada urutan ke-38 dari
39 negara yang disurvei (laporan International Education Acheivement). Rasio
perbadingan mambaca koran di Indonesia 1 koran dibaca oleh 42 orang, padahal
sesuai dengan rasio ideal (menurut UNESCO) 1 koran dibaca oleh 10 orang.
Pernyataan ini, tetntunya guru berada di dalamnya. Terkait dengan persoalan
budaya membaca, penting merenungkan pertanyaan oratoris seperti: berapa jumlah
guru yang setiap hari membaca? (bisa membaca koran, bisa membaca majalah, bisa
membaca buku, bisa membaca jurnal, bukan membaca SMS). Berapa orang guru yang
berlangganan koran, majalah, ataukah sumber bacaan lain? Berapa jumlah judul
buku yang dibaca oleh seorang guru dalam setiap bulan atau tahunnya? Apakah ada
seorag guru merasa pusing kepalanya karena seharian belum membaca koran,
membaca majalah, membaca buku, membuka internet, atau sumber bacaan lain?
Berapa orang guru yang menyisakan sebagian gajinya untuk membeli buku? Berapa
persenkah guru di tanah air ini yang mempunyai perpustakaan pribadi?
Akan tetapi
ada persoalan ironis yang sudah menjadi budaya dalam diri seorang guru. Kenapa
banyak guru pusing kepalanya, jika seharian tidak menghisap”si raja
nikotin”? Kenapa banyak guru cemas dengan HP-nya yang tergusur merk baru?
Kenapa, juga tidak sedikit para guru yang dipusingkan merk sepeda motor baru
tetangganya? Bahkan tidak sedikit guru yang memajang mobil di garasinya, meski
tidak selalu dipakai kerja. Bukankah budaya, “pristese” yang menjadi “iman”
mereka?
Kedua, budaya menulis. Demikian juga dengan membaca, menulis masih jauh dari kegiatan yang membudaya. Terkait dengan budaya menulis ini, masih banyak guru yang merasakan bahwa kegiatan menulis itu merupakan kegiatan yang sulit. Hal itu karena tidak adanya kegiatan pendukung yakni membaca. Budaya menulis tidak dapat berdiri sendiri, artinya budaya menulis ini selalu dan otomatis didahului oleh budaya membaca. Orang yang suka menulis otomatis suka membaca. Akhirnya, budaya menulis menuntut seorang guru untuk mencari informasi dari sumber bacaan sebagai referensi dalam kepenulisannya. Disamping kita haus informasi, dengan menulis kita dapat menularkan dan berbagi (sharing) pengalaman, pemikiran, ide, gagasan kepada khalayak luas sebagai bahan diskusi. Dan memang, dunia tulis-menulis (baca: literasi) adalah dunia penyebarluasan informasi yang sangat efektif.
Kedua, budaya menulis. Demikian juga dengan membaca, menulis masih jauh dari kegiatan yang membudaya. Terkait dengan budaya menulis ini, masih banyak guru yang merasakan bahwa kegiatan menulis itu merupakan kegiatan yang sulit. Hal itu karena tidak adanya kegiatan pendukung yakni membaca. Budaya menulis tidak dapat berdiri sendiri, artinya budaya menulis ini selalu dan otomatis didahului oleh budaya membaca. Orang yang suka menulis otomatis suka membaca. Akhirnya, budaya menulis menuntut seorang guru untuk mencari informasi dari sumber bacaan sebagai referensi dalam kepenulisannya. Disamping kita haus informasi, dengan menulis kita dapat menularkan dan berbagi (sharing) pengalaman, pemikiran, ide, gagasan kepada khalayak luas sebagai bahan diskusi. Dan memang, dunia tulis-menulis (baca: literasi) adalah dunia penyebarluasan informasi yang sangat efektif.
Ketiga,
budaya meneliti. Budaya meneliti merupakan tindak lanjut dari budaya seorang
kutu buku yang gandrung dengan bacaan dan seorang penulis yang terbius dengan
pena untuk menulis. Seseorang yang suka melakukan penelitian secara otomatis ia
adalah maniak bacaan dan tulisan. Karena itu, penggairahan budaya meneliti akan
mengikis sekian banyak budaya kurang baik seperti rendahnya budaya baca-tulis,
tidak terbiasanya berpikir analitis, lemahnya berpikir kritis, kurangnya
berpikir sitematis, dan berpikir objektif.
Budaya
meneliti sangat penting untuk guru, karena kebiasaan melakukan penelitian akan
mempertajam wacana guru dalam penguasaan materi pembelajaran. Dalam menggeluti
kegiatan penelitian di satu sisi sudah barang tentu guru terlibat dengan sekian
banyak buku sebagai sumber teori untuk referensi penelitiannya. Dengan membaca
tentu mereka bergulat dengan pemikiran orang lain sebagai wadah mendiskusikan
tesis yang terdapat dalam buku yang dibacanya. Pada sisi lain, peneliti akan
menghasilkan penemuan baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukankah
seorang guru dituntut kreatif dan inovatif untuk menciptakan kualitas
pembelajarannya?
Dalam rangka
menciptakan guru professional, ketiga budaya di atas – budaya membaca, menulis,
dan meneliti – merupakan budaya tree in one yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Untuk itu, mungkinkah guru yang malas membaca,
malas menulis, dan malas meneliti dapat menjadi guru professional? Jangan hanya
direnungkan, tetapi penting dilakukan.
3.
Minusnya
Kreativitas Guru
Di samping kebijakan pemerintah dan membangun kultur, salah stu
komponen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah kehadiran sosok
guru. Mengapa guru? Menurut Komisi Internasioanal tentang pendidikan di abad
ke-21 UNESCO dikatakan bahwa aneka perubahan dasar dalam ilmu dan
teknologi dewasa ini berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Setiap
usaha pembaharuan pendidikan yang tidak mengikutsertakan guru sejak awal atau
tidak memberdayakan (empowerment) guru akan mengalami kegagalan (Tilaar, 1995:
259).
Dalam sebuah pembelajaran, guru adalah sosok yang mempunyai peran
penting dalam mengorkestra ruang kelas. Oleh karena itu, guru dituntut aktif,
kreatif, dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai macam buku yang
terkait dengan pembelajaran seperti Course Design karya Fraida Dubbin and Elite
Olshtain (1986), Task for Indefendent Language Learning karya Colin Rose
and Malkolm J. Nicholl (1997), Metode Mengajar Writing Berbasis Genre
Secara Efektif karya Pardiyono (2007), Strategi Pembelajaran Aktif
karya Hisyam Zaini (2007). Menyimak beberapa buku di atas guru dituntut untuk
menciptakan ruang pembelajaran yang kondusif untuk belajar. Dengan demikian
penciptaan situasi dan kondisi seperti yang diisyaratkan oleh PAIKEM merupakan
tanggung jawab guru sepenuhnya. Meski paradigm baru menganjurkan pembelajaran
berpusat pada siswa, bukan berarti guru cukup mengawasi kegiatan siswa, tetapi
juga harus aktif, kreatif, dan inovatif memandu jalannya proses pembelajaran.
Untuk itulah, dalam menciptakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan,
berkesan, dan bermakna guru dapat memilih dan menciptakan sebuah pendekatan,
metode, teknik, setrategi, dan atau media pembelajaran.
Dalam buku Kenapa Guru Harus Kreatif, Andi Yudha Asfandiyar
menyatakan bahwa kalau guru tidak kreatif akan ketinggalan zaman (2008: 31).
Terkait dengan guru harus kreatif, ia mencirikan guru kreatif itu hendaknya
fleksibel, optimis, cekatan, humoris, inspiratif, responsif, empatik, dan
nge-frend (2008: 31-36). Sesuai dengan pendapat Asfandiyar, Mulyasa menyatakan
bahwa peran guru dalam pembelajaran meliputi guru sebagai model, teladan,
motivator, inovator, dan kreator (2005: 37-51).
Seorang guru yang benar-benar guru (professional) jika mereka
memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi mencakup
pengertian: (1) Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002,
kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung
jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat
dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. (2) Menurut PP
RI No. 19 tahun 2005 pasal 28, pendidik adalah agen pembelajar yang harus
memiliki empat jenis kompetensi, yakini kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional, dan sosial. (3) Kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat
tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seorang guru untuk
memangku jabatan guru sebagai profesi.
Terkait dengan komponen keprofesionalan guru, dapat ditunjukkan
ciri-ciri guru profesional sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealime, (2) memilki kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya, (4) mematuhi kode etik profesi,
(5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan
untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, (9) memiliki
organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber: UU tentang Guru dan Dosen).
Dalam pembelajaran bahasa guru harus aktif, kreatif, dan inovatif
dalam menciptakan suasana pembelajaran. Menurut Mulyasa, guru yang menciptakan
pembelajran dengan kemampuan kreatifnya dikatakan sebagai guru yang profesional
(2005). Keprofesionalan guru ditandai dengan pemilihan metode yang tepat,
artinya metode yang sesuai dengan karakteristik siswa ( Waradita, 2003:29).
Pada pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah sangat megandalkan penggunaan metode-metode yang
aplikatif dan menarik. Pembelajaran yang menarik akan memikat anak-anak untuk
terus dan betah mempelajari Bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 setelah bahasa
ibu. Apabila siswa sudah tertarik dengan pembelajaran maka akan dengan mudah
meningkatkan prestasi siswa dalam bidang bahasa. Di sebagian siswa,
pembelajaran Bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa
bisa dan penyampaian materi yang kurang menarik, sehingga secara tidak langsung
siswa menjadi lemah dalam menangkap meteri tersebut. Penulis, sebagai guru
Bahasa Indonesia, sangat merasakan problema pembelajaran yang terjadi selama
ini. Untuk itu dituntut guru yang mampu mggiring siswa dalam suasana yang
menyenangkan.
Hasil penelitian menyimpulkan perbedaan mendasar dari Kurikulum
Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi terletak pada
dominasi peran guru dan sekolah. Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 berorientasi
pada materi, posisi sentral dipegang oleh birokrasi pendidikan yang menentukan
hitam putihnya out put sekolah, sedangkan guru dan sekolah hanya melaksanakan
saja, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi pihak sekolah dan guru
memegang peranan yang dominan. Perbedaan lainnya bahwa Kurikulum Pendidikan
Dasar 1994 berorientasi pada parameter standar materi, sedangakan Kurikulum
Berbasis Kompetensi berorientasi pada parameter keberhasilan. Keberhasilan yang
dimaksud adalah terletak pada kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh peserta
didik. Pada Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 silabus ditentukan oleh pihak
Departemen Pendididkan Nasional, sedangkan Kurikulm Berbasis Kompetensi
sialabus ditentukan sekolah sendiri dengan melihat potensi masing-masing anak.
Kurikulum yang menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar berguna sebagai
acuan dasar. Pada Kurikulum Pendiddikan Dasar 1994, guru merupakan fokus aktivitas
belajar-mengajar, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi guru lebih
berperan sebagai fasilitator. Peserta didik sebagai subyek dalam proses
belajar-mengajar diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menetukan capaian
kompetensi yang harus ia raih. Peserta didik harus lebih aktif menyampaikan
ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-langkah
berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai pembimbing, sekaligus
pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.
Guru Bahasa Indonesia hendaknya mampu membelajarkan keterampilan
berbahasa bukan membelajarkan pengetahuan tentang bahasa. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa guru Bahasa Indonesia harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam
mengorkestrasikan ruang pembelajaran bahasa, agar menghasilkan anak didik
terampil berbahasa.
KESIMPULAN
Perjalanan
kurikulum di Indonesia sudah mengalami proses perubahan yang tidak sedikit.
Akan tetapi, sampai saat ini realitasnya masih belum menggembirakan. Meski
demikian, bukan berarti penyempurnaan kurikulum dari tahun ke tahun tidak
berandil dalam dunia pembelajaran. Maka dari itu, revisi demi kebaikan dan
kesempurnaan hendaknya selalu menjadi pemikiran penting baik pemerintah maupun
praktisi pendidikan.
Problematika
yang muncul dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terkait dengan adanya kurikulum
di Indonesia juga semakin kompleks sesuai dengan tuntutan zaman. Paling tidak,
dari perjalanan kurikulum yang berlaku mulai dari kurikulum 1968 sampai dengan
kurikulum tingkat satuan pendididkan (KTSP) muncul permasalahan yang terkait
dengan (1) kebijakan pemerintah yang kurang konsisten dan berkesinambungan
dengan kebijakan lain yang terkait (2) kultur buruk yang mematri dalam
kehidupan masyarakat sekolah, dan (3) minusnya kreativitas guru sebagai
pelaksana kurikulum di tingkat sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Mukhsini. 1990. Strategi
Belajra Mengajar Ketrampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan
Asih Asah Asuh.
Asfandiyar, Andi Yuda. 2009.
Kenapa Guru Harus Kratif?. Bandung: Penerbi Mizan Pustaka.
Depdibud. 1990. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004
SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta: Depdiknas
Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima
Puluh Tahun Pengebangan Pedidikan Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Endrswara, Suwardi. 2005. Metode
dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Friere, Paulo dkk. 2003.
Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme Konsevatif Liberal Anarkis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kasali, Renald. 2005. Change!. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama.
Kasali, Renald. 2005. Change!. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama.
Mulyasa. E. 2005. Menjadi Guru Prifesional:
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa. E. 2007. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Ramaja
Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 1994.
Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum 1994. Malang: IKIP Malang.
O’neil, Williem F. 2001. Ideologi
Ideologi Pendidikan (diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 tahun
Pembangunan pendidikan Nasional 1945-1995: Satuan Analisis Kebijakan. Jakarta:
Grasindo.
Wardita, Ratu. 2003. “Pengajaran
Apresiasi Puisi di SMU” Jurnal Forum pendidikan. Edisi September.
No comments:
Post a Comment