Thursday, June 12, 2014

KAJIAN LINGUISTIK TENTANG PENGUASAAN LINGUISTIK


SINKRONISASI PENGETAHUAN LINGUSITIK DAN KETERAMPILAN BERBAHASA PESERTA DIDIK
Oleh : Aziz Thaba
PENDAHULUAN

Membicarakan kualitas pandidikan di Indonesia, tidak mungkin tidak menyinggung persoalan kurikulum. Karena, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas kurikulum, di samping kualitas aspek lain macam sarana prasarana, kualitas guru, kesiapan anak didik, peran orang tua, kualitas buku ajar dan lain sebagainya. Menurut Mansur Muslich kurikulum adalah seperangkat rencana peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah (1994: 2). Sedangkan menurut Taba (dalam Musilch, 1994: 1) kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak-anak untuk berpartisipasi sebagai anggota yang proaktif dalam masyarakat, yang mempunyai komponen: tujuan dan sasaran seleksi, dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan mengajar, dan evaluasi hasil belajar. Secara ringkas Wardiman Djojonegoro mengatakan bahwa kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan (1996: 119).
Berdasarkan konsep para ahli kurikulum di atas, kurikulum menjadi salah satu prioritas yang paling mendesak yang harus diperhatikan dan diperbaiki pemerintah agar pembangunan dunia pendidikan berjalan dengan baik. Menurut  John Dewey kurikulim sering manjadi jauh dan abstrak bagi dunia anak (Preire, 2003: 224). Bahan keilmuan tidak diterjemahakan ke dalam istilah-istilah kehidupan anak, melainkan secara langsung disodorkan sebagai pengganti kehidupan anak saat ini, atau sebgai suntikan pada kehidupan anak saat ini (Preire, 2003: 236). Sebagai sarana, kurikulum tidak mempunyai arti apa-apa apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai seperti sumber belajar dan mengajar, kamampuan tenaga pengajar, metodologi yang sesuai serta kejernihan arah dan tujuan yang akan dicapai (Tilaar, 1995: 251). Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam pembangunan pendidikan, dalam tulisan ini penting diketengahkan bagaimana perjalanan dan perkembangan kurikulum di Indonesia.
 
 PEMBAHASAN

A.   Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Kurikulum merupakan sarana yang mengatur berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam suatu Negara. Oleh karea itu, membicarakan kurikulum tidak dapat lepas dari persoalan yang melingkupinya. Persoalan pendidikan di Indonesia menjadi perhatian penting sejak lahirnya Negara Indonesia. Hal ini ditandai pada tahun 1945, BP-KNIP mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan untuk menyusun persekolahan sesuai kurikulum yang diusulkan (253). Untuk itulah, kurikulum sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sejak tahun 50-an mengalami beberapa kali perubahan karena adanya tuntutan zaman. Namun demikian, realisasi kurikulum pertama kalinya secara eksplisit lahir dengan nama kurikulum 1968. Dalam kurikulum ini isi pendidikan adalah mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan membina/memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat. Pengorganisasian pada masing-masing kelompok (Djojonegoro, 1996: 415-16). Dan memang, dalam kurikulum 1968 ini proses pembelajaran berdasarkan materi.
Selang  kurang lebih 8 tahun, perjalanan kurikulum 1968 mengalami penyempurnaan menjadi kurikulum 75. Dalam kurikulum 75 ini arah perjalanan pembelajaran tidak lagi didasarkan pada materi, tetapi didasarkan pada tujuan pendidikan yang jelas. Tujuan tersebut dijabarkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Dengan lajunya pembangunan nasional turut juga mempengaruhi lajunya  pembangunan dunia pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum 75 yang berdasarkan pada tujuan itu disempurnakan menjadi kurikulum 84 atas usulan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional dan TAP MPR No IV/1983 (Tilaar, 1995: 260). Ciri yang menonjol pada kurikulum 84 adalah (1) apa yang akan diajarkan, (2) mengapa diajarkan, dan (3) bagaimana diajarkan. Percobaan-percobaan dalam kurikulum 84 ini akhirnya menghasilkan konsep pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada tingkat SMA, kurikulum ini secara garis besar dibagi menjadi program inti dan program pilihan.
Menginjak tahun 1994, lahirlah kurikulum 94 sebagai penyempurnaan kurikulum 84. Penyempurnaan ini karena adanya Undang-undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, tentang Sitem Pendidikan Nasioanl. Dalam kurikulum ini yang paling menonjol lahirnya istilah link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri khususnya pada sekolah kejuruan. Namun demikian, kurikulum ini masih tetap berorientasi pada tujuan.
Sejak tahun 2001 Departemen Pandidikan Nasioanal melakukan serangkaian kegiatan untuk menyempurnakan kurikulum 1994. Selama kurang lebih empat tahun (2004) lahirlah kurikulum dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hal ini karena, pendekatan yang digunakan adalah kompetensi dan kemampuan minimal yang harus dicapai oleh peserta didik pada setiap tingkatan kelas dan pada akhir satuan pendidikan dirumuskan secara eksplisit. Di samping rumusan kompetensi, sebagai tolok ukur ketercapaian hasil pembelajaran dirumuskan pula materi standar untuk mendukung pencapaian kompetensi dan indikatornya.
Kurikulum  yang berbasis kompetensi (KBK) dalam perjalanannya disempurnakan menjadi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8). Secara singkat dapat dikatakan KTSP adalah kurikulum yang pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada satuan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, para, “stake holder” pendidikan dalam sebuah lembaga tersebut harus memahami apa itu KTSP, utamanya adalah guru. Karena guru adalah sosok yang selalu bergelut dengan kurikulum sebagai arah sebuah pembelajaran di kelas.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah: (1) UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, (2) PP No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (3) Permendiknas No. 22 tahun 2006, tentang Standar isi, (4) Permendiknas No. 23 tahun 2006, tentang Standar Kompetensi Kelulusan, (5) Permendiknas No 24, tahun 2007, tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23.
B.   Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia
1.   Kebijakan Pemerintah
Sejak lahirnya kurikulum, pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari berbagai macam problema. Dalam kurikulum 1968 -kurikulum yang mengacu pada materi-pembelajaran berdasarkan materi sebagai bahan ajarnya. Sehingga, proses belajar mengajar tidak jelas arah dan tujuannya. Meski dalam kurikulum tersebut terdapat pernyataan bahwa “murid-murid harus dibiasakan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar”, pembelajaran bahas tetap menitikberatkan pada pengetahuan bahasa, karena yang menjadi dasar bukan tujuan tetapi materi. Pembelajaran berbasis materi pada umumnya guru selalu ketinggalan dengan materi yang relevan dan aktual bagi para siswa. Ia cenderung mengandalkan materi-materi yang terdapat dalam buku paket. Pada umumnyaa guru enggan berkreasi mencari materi pembelajaran di luar buku paket sebagai buku pegangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan kurikulum sehingga guru siap merealisasikan konsep-konsep yang terdapat dalam kurikulum majadi kreativitas konkret di depan kelas. Jika, hal ini dilakukan oleh pemerintah, tentunya para guru tidak mengandalkan sumber belajar yang monoton (terdapat dalam buku paket) tetapi mereka lebih kreatif untuk mencari dan memilih bahan pembelajaran.
Menyadari pentingnya tujuan pembelajaran dalam kurikulum, kurikulum 68 yang bertumpu pada meteri sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, kurikulum tersebut disempurnakan menjadi kurikulum 75 yang menitikberatkan pada tujuan pembelajaran. Dalam kurikulum 75 pun, pembelajaran bahasa juga tidak bebas dari permasalahan pembelajaran. Kurikulum yang menginstruksikan berbagai macam tujuan –mulai dari tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus- menimbulkan kebingungan guru dalam merumuskan tujuan khusus. Kenyataan itu, mengakibatkan perlunya menyiapkan guru sebagai pelaksana kurikulum di depan kelas. Untuk itu hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah setiap kebijakan selalu berkesinambungan dengan kebijakan yang lain. Kebijakan tidak boleh terpotong-potong pada satu kebijakan saja, tetapi membutuhkan pemikiran kebijakan selanjutnya sebagai dampak dari kebijakan yang telah diputuskan.
Permasalahan yang muncul dalam kurikulum 75 melahirkan kurikulum 1984. Kurikulum ini tetap bertumpu pada tujuan, akan tetapi ada perbedaan yang agak menonjol, di samping memfokuskan pada kemampuan berbahasa yang harus dimiliki peserta didik juga menitikberatkan pada fungsi bahasa. Dari sinilah, akhirnya tujuan kurikuler dalam kurikulum ini sudah semakin jelas dan baik. Sebagai misal, (1) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk membaca wacana bahasa Indonesia sesuai dengan tingkat pengalaman siswa, (2) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan 21. 000 kosa kata dalam ranah-ranah kebahasaan dalam pengalamannya, (3) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan menggunakan stuktur lanjutan bahasa Indonesia (4) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk menulis, (5) siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa.
Pada kurikulum ini tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sudah terlihat dengan jelas. Tetapi, karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memandu perjalanan kurikulum sampai tingkat bawah, tujuan yang sudah dirumuskan dengan baik itu ternyata belum dapat diwujudkan sesuai dengan harapan. Belum dapat terwujud disebabkan guru sebagai sosok yang bersentuhan langsung dengan siswa tidak mengajak siswa untuk menggunakan bahasa dengan baik dan benar sesuai dengan rumusan yang terdapat pada kurikulum, tetapi masih berkutat pada pembelajaran tentang bahasa. Sehingga, out put yang dihasilkan tidak mempunyai keterampilan berbahasa melainkan mampu dalam ilmu tentang bahasa. Untuk inilah, sekali lagi kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan sosok guru sebagai pelaksana kurikulum di tingkat dasar.
Kurikulum 1994 merupakan peyempurnaan kurikulum 1984. Dalam kurikulum ini masih berorientasi pada tujuan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indosesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara, (2) siswa memahami  bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan sosial, (4) siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Pada tujuan umum no 3, jelas sekali bahwa siswa diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Akan tetapi, kenyataannya pembelajaran bahasa berkutat pada pembelajaran tentang bahasa. Pembelajaran semacam itu, mengakibatkan hasil lulusan dapat ditebak mereka tidak terampil berbahasa tetapi mengetahui tentang bahasa. Ini disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang menyiapkan guru sebagai pelaksana kurikulum.
Dalam Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (2003: 3-4) standar kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencakup: (1) Kemampuan Berbahasa (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis), (2) kemampuan Bersastra (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis). Standar kompetensi tersebut dijabarkan menjadi berbagai macam kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Oleh karena itu peran guru dalam membantu penguasaan dan pencapaian kemampuan tersebut sangat penting. Untuk menguasai kompetensi, seorang guru harus mengetahui karakteristik mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang menitikberatkan pada kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, bukan kemampuan tentang bahasa dan kemampuan tentang sastra.
Dari sisni tampaklah bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mementingkan sebuah produk dari pembelajar. Dalam pembeljaran bahasa, baik guru maupun siswa tidak berpikir tentang sistem bahasa, melainkan berpikir bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan benar. Berkaitan dengan pembelajaran sastra, yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan sastra sebagai media yang harus diapresiasi. Karena, mengingat bahwa hakikat bahasa dan sastra adalah sebuah sarana komunikasi.
Pada kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih banyak persoalan berkaitan dengan pembelajaran bahasa. KTSP pada prinsipnya sangat terbuka adanya muatan lokal dalam pengembangannya.  Muatan lokal merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kurikulum muatan lokal ini merupakan upaya agar penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, sehingga pengembangan dan implementasi kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi KTSP. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan materi muatan lokal dapat berupa bahasa daerah atau bahasa asing. Materi pada muatan lokal ini hendaknya sesuatu yang ingin dikembangkan oleh daerah tersebut. Pengembangan kurikulum muatan lokal dapat terdiri atas tingkat provinsi, tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan, dan tingkat sekolah (Mulyasa, 2007: 278). Terkait dengan kurikulum muatan lokal ini, hal penting yang sering diabaikan adalah tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat setempat, tetapi berorientasi pada pengajar. Tidak berorientasi pada tujuan pendidikan secara nasional tapi hanya bersifat kedaerahan.
Materi muatan lokal sedapat mungkin mejadi sebuah andalan produk dari sekolah tersebut, untuk itu perlu tindak lanjut dari hasil yag diproduksi anak didik. Misalnya, jika anak didik membuat grup seni, bagaimana sekolah dapat menjual seni tersebut untuk kepentingan masyarakatnya. Jika, sekolah mempunyai kelompok pembuat bahan kerajinan, bagaimana upaya masyarakat dapat manikmati hasil kerajinan anak didik tersebut. Karena itu, muatan lokal tersebut hendaknya menopang eksistensi sebuah lembaga agar semakin kokoh di mata masyarakat.
Sampai saat ini pun malpraktik pendidikan masih melingkupi dunia pendidikan kita. KTSP yang mengisyaratkan pembelajaran sepenuhnya diserahkan kepada pihak satuan pendidikan, realisasinya pemerintah masih memberlakukan ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Malpraktik pendidikan juga akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Dalam KTSP memberikan keleluasaan kepada sekolah utamanya guru dalam membuat skenario pembelajaran mulai dari rencana pembelajaran sampai dengan evaluasi. Tetapi, realitas kelulusan diambil alih oleh pemerintah dengan mengharuskan sekolah melaksanakan ujian nasional. Kenyataan itu membuat ketidakberdayaan guru dalam mengkonsentrasikan kelas menjdai sebuah simponi indah dan menarik. Di samping itu, guru merasa didzalimi, yang akhirnya terpaksa berbuat curang demi kelulusan anak didiknya. Bukankah keberhasilan pendidik tidak hanya diukur dengan angka-angka dari beberapa mata pelajaran, melainkan dari proses pembelajaran panjang dan menyeluruh? Dan harapannya, dari proses panjang dan menyeluruh itu akan melahirkan manusia yang berkepribadian dan humanitet yang tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu, kata Manssur Fakih (dalam O’neil, 2001: x) para praktisi pendidikan seperti para guru di lembaga formal, pelatih pada tempat kursus di berbagai pendidikan non formal, ataupun pendidikan rakyat, di kalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah terlibat dalam satu pergumulan politik dan ideologi malalui arena pendidikan. Dan memang, Tilaar menegaskan bahwa kalau kita berbicara mengenai kurikulum tidak lepas dari politik (1995: 253)
2.   Membangun Kultur
Kultur dalam sebuah kehidupan apa pun termasuk kehidupan pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Kultur seperti etos kerja yang rendah, sehingga mewujudkan malas belajar bagi para siswa maupun guru. Kultur senang ambil jalan pintas, suka menerabas dan suka budaya instan, menimbulkan kesantaian kerja, tetapi menginginkan penghasilan yang luar biasa. Suburlah kultur hipokrit menimbulkan sikap pengecut dan tidak bertanggung jawab. Segala sesuatu dilimpahkan pada orang lain sebagai wujud penghindaran dari tanggung jawab yang semestinya.
Sulitnya mengubah kultur di atas paling tidak menjadi penghambat majunya dunia pendidikan (termasuk dalam pembelajara bahasa). Padahal perubahan manjadi kunci penting yang harus dilakukan oleh guru, peserta didik, dan masyarakat di samping pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan. Untuk menyikapi realitas tersebut perlu menyimak ungkapan filosofis Rhenald Kasali dalam bukunya  Change! (2005), yakni, “tak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”. Dari sisnilah tampaknya penting melakukan sebuah perubahan jika menginginkan pembelajaran yang sesuai dengan minat  dan kebutuhan siswa.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, guru harus mampu menciptakan kultur yang baik. Untuk menunjang dan mewujudkan harapan tersebut penting memupuk dan mematrikan budaya yang sangat “urgen” dalam upaya pengembangan diri seorang guru. Budaya tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah budaya membaca, budaya menulis, dan budaya meneliti.
Pertama, budaya membaca. Membicarakan persoalan secara umumpenulis setuju jika  persoalan membaca bagi masyarakat kita sampai saat ini belum menjadi sebuah kultur apalagi sebuah budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tesis yang sering muncul di masyarakat adalah masih rendahnya minat baca masyarakat. Hal ini didukung oleh berbagai macam fakta. Sebagai misal, kemampuan membaca anak didik sekolah dasar kita berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang disurvei (laporan International Education Acheivement). Rasio perbadingan mambaca koran di Indonesia 1 koran dibaca oleh 42 orang, padahal sesuai dengan rasio ideal (menurut UNESCO) 1 koran dibaca oleh 10 orang. Pernyataan ini, tetntunya guru berada di dalamnya. Terkait dengan persoalan budaya membaca, penting merenungkan pertanyaan oratoris seperti: berapa jumlah guru yang setiap hari membaca? (bisa membaca koran, bisa membaca majalah, bisa membaca buku, bisa membaca jurnal, bukan membaca SMS). Berapa orang guru yang berlangganan koran, majalah, ataukah sumber bacaan lain? Berapa jumlah judul buku yang dibaca oleh seorang guru dalam setiap bulan atau tahunnya? Apakah ada seorag guru merasa pusing kepalanya karena seharian belum membaca koran, membaca majalah, membaca buku, membuka internet, atau sumber bacaan lain? Berapa orang guru yang menyisakan sebagian gajinya untuk membeli buku? Berapa persenkah guru di tanah air ini yang mempunyai perpustakaan pribadi?
Akan tetapi ada persoalan ironis yang sudah menjadi budaya dalam diri seorang guru. Kenapa banyak guru  pusing kepalanya, jika seharian tidak menghisap”si raja nikotin”?  Kenapa banyak guru cemas dengan HP-nya yang tergusur merk baru? Kenapa, juga tidak sedikit para guru yang dipusingkan merk sepeda motor baru tetangganya? Bahkan tidak sedikit guru yang memajang mobil di garasinya, meski tidak selalu dipakai kerja. Bukankah budaya, “pristese” yang menjadi “iman” mereka?

Kedua,  budaya menulis. Demikian juga dengan membaca, menulis masih jauh dari kegiatan yang membudaya. Terkait dengan budaya menulis ini, masih banyak guru yang merasakan bahwa kegiatan menulis itu merupakan kegiatan yang sulit. Hal itu karena tidak adanya kegiatan pendukung yakni membaca. Budaya menulis tidak dapat berdiri sendiri, artinya budaya menulis ini selalu dan otomatis didahului oleh budaya membaca. Orang yang suka menulis otomatis suka membaca. Akhirnya, budaya menulis menuntut seorang guru untuk mencari informasi dari sumber bacaan sebagai referensi dalam kepenulisannya. Disamping kita haus informasi, dengan menulis kita dapat menularkan dan berbagi (sharing) pengalaman, pemikiran, ide, gagasan kepada khalayak luas sebagai bahan diskusi. Dan memang, dunia tulis-menulis (baca: literasi) adalah dunia penyebarluasan informasi yang sangat efektif.
Ketiga, budaya meneliti. Budaya meneliti merupakan tindak lanjut dari budaya seorang kutu buku yang gandrung dengan bacaan dan seorang penulis yang terbius dengan pena untuk menulis. Seseorang yang suka melakukan penelitian secara otomatis ia adalah maniak bacaan dan tulisan. Karena itu, penggairahan budaya meneliti akan mengikis sekian banyak budaya kurang baik seperti rendahnya budaya baca-tulis, tidak terbiasanya berpikir analitis, lemahnya berpikir kritis, kurangnya berpikir sitematis, dan berpikir objektif.
Budaya meneliti sangat penting untuk guru, karena kebiasaan melakukan penelitian akan mempertajam wacana guru dalam penguasaan materi pembelajaran. Dalam menggeluti kegiatan penelitian di satu sisi sudah barang tentu guru terlibat dengan sekian banyak buku sebagai sumber teori untuk referensi penelitiannya. Dengan membaca tentu mereka bergulat dengan pemikiran orang lain sebagai wadah mendiskusikan tesis yang terdapat dalam buku yang dibacanya. Pada sisi lain, peneliti akan menghasilkan penemuan baru untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukankah seorang guru dituntut kreatif dan inovatif untuk menciptakan kualitas pembelajarannya?
Dalam rangka menciptakan guru professional, ketiga budaya di atas – budaya membaca, menulis, dan meneliti – merupakan budaya tree in one  yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, mungkinkah guru yang malas membaca, malas menulis, dan malas meneliti dapat menjadi guru professional? Jangan hanya direnungkan, tetapi penting dilakukan.
3.   Minusnya Kreativitas Guru
Di samping kebijakan pemerintah dan membangun kultur, salah stu komponen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah kehadiran sosok guru. Mengapa guru? Menurut Komisi Internasioanal tentang pendidikan di abad ke-21 UNESCO dikatakan bahwa aneka perubahan dasar dalam ilmu dan teknologi  dewasa ini berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Setiap usaha pembaharuan pendidikan yang tidak mengikutsertakan guru sejak awal atau tidak memberdayakan (empowerment) guru akan mengalami kegagalan (Tilaar, 1995: 259).
Dalam sebuah pembelajaran, guru adalah sosok yang mempunyai peran penting dalam mengorkestra ruang kelas. Oleh karena itu, guru dituntut aktif, kreatif, dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai macam buku yang terkait dengan pembelajaran seperti Course Design karya Fraida Dubbin and Elite Olshtain (1986), Task for Indefendent Language Learning  karya Colin Rose and Malkolm J. Nicholl (1997),  Metode Mengajar Writing Berbasis Genre Secara Efektif  karya Pardiyono (2007), Strategi Pembelajaran Aktif  karya Hisyam Zaini (2007). Menyimak beberapa buku di atas guru dituntut untuk menciptakan ruang pembelajaran yang kondusif untuk belajar. Dengan demikian penciptaan situasi dan kondisi seperti yang diisyaratkan oleh PAIKEM merupakan tanggung jawab guru sepenuhnya. Meski paradigm baru menganjurkan pembelajaran berpusat pada siswa, bukan berarti guru cukup mengawasi kegiatan siswa, tetapi juga harus aktif, kreatif, dan inovatif memandu jalannya proses pembelajaran. Untuk itulah, dalam menciptakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, berkesan, dan bermakna guru dapat memilih dan menciptakan sebuah pendekatan, metode, teknik, setrategi, dan atau media pembelajaran.
Dalam buku Kenapa Guru Harus Kreatif,  Andi Yudha Asfandiyar menyatakan bahwa kalau guru tidak kreatif akan ketinggalan zaman (2008: 31). Terkait dengan guru harus kreatif, ia mencirikan guru kreatif itu hendaknya fleksibel, optimis, cekatan, humoris, inspiratif, responsif, empatik, dan nge-frend (2008: 31-36). Sesuai dengan pendapat Asfandiyar, Mulyasa menyatakan bahwa peran guru dalam pembelajaran meliputi guru sebagai model, teladan, motivator, inovator, dan kreator (2005: 37-51).
Seorang guru yang benar-benar guru (professional) jika mereka memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi mencakup pengertian: (1) Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. (2) Menurut PP RI No. 19 tahun 2005 pasal 28, pendidik adalah agen pembelajar yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakini kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. (3) Kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
Terkait dengan komponen keprofesionalan guru, dapat ditunjukkan ciri-ciri guru profesional sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealime, (2) memilki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya, (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber: UU tentang Guru dan Dosen).
Dalam pembelajaran bahasa guru harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam menciptakan suasana pembelajaran. Menurut Mulyasa, guru yang menciptakan pembelajran dengan kemampuan kreatifnya dikatakan sebagai guru yang profesional (2005). Keprofesionalan guru ditandai dengan pemilihan metode yang tepat, artinya metode yang sesuai dengan karakteristik siswa ( Waradita, 2003:29).
Pada pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah sangat megandalkan penggunaan metode-metode yang aplikatif dan menarik. Pembelajaran yang menarik akan memikat anak-anak untuk terus dan betah mempelajari Bahasa Indonesia sebagai bahasa ke-2 setelah bahasa ibu. Apabila siswa sudah tertarik dengan pembelajaran maka akan dengan mudah meningkatkan prestasi siswa dalam bidang bahasa. Di sebagian siswa, pembelajaran Bahasa Indonesia sangat membosankan karena mereka sudah merasa bisa dan penyampaian materi yang kurang menarik, sehingga secara tidak langsung siswa menjadi lemah dalam menangkap meteri tersebut. Penulis, sebagai guru Bahasa Indonesia, sangat merasakan problema pembelajaran yang terjadi selama ini. Untuk itu dituntut guru yang mampu mggiring siswa dalam suasana yang menyenangkan.
Hasil penelitian menyimpulkan perbedaan mendasar dari Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi terletak pada dominasi peran guru dan sekolah. Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 berorientasi pada materi, posisi sentral dipegang oleh birokrasi pendidikan yang menentukan hitam putihnya out put sekolah, sedangkan guru dan sekolah hanya melaksanakan saja, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi pihak sekolah dan guru memegang peranan yang dominan. Perbedaan lainnya bahwa Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 berorientasi pada parameter standar materi, sedangakan Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada parameter keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah terletak pada kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pada Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 silabus ditentukan oleh pihak Departemen Pendididkan Nasional, sedangkan Kurikulm Berbasis Kompetensi sialabus ditentukan sekolah sendiri dengan melihat potensi masing-masing anak. Kurikulum yang menjadi pegangan dalam proses belajar-mengajar berguna sebagai acuan dasar. Pada Kurikulum Pendiddikan Dasar 1994, guru merupakan fokus aktivitas belajar-mengajar, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi guru lebih berperan sebagai fasilitator. Peserta didik sebagai subyek dalam proses belajar-mengajar diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menetukan capaian kompetensi yang harus ia raih. Peserta didik harus lebih aktif menyampaikan ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi, dan menentukan langkah-langkah berikutnya. Dalam kaitan ini guru hanya berperan sebagai pembimbing, sekaligus pemberi motivasi kepada anak dalam belajar.
Guru Bahasa Indonesia hendaknya mampu membelajarkan keterampilan berbahasa bukan membelajarkan pengetahuan tentang bahasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru Bahasa Indonesia harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengorkestrasikan ruang pembelajaran bahasa, agar menghasilkan anak didik terampil berbahasa.   



















KESIMPULAN

Perjalanan kurikulum di Indonesia sudah mengalami proses perubahan yang tidak sedikit. Akan tetapi, sampai saat ini realitasnya masih belum menggembirakan. Meski demikian, bukan berarti penyempurnaan kurikulum dari tahun ke tahun tidak berandil dalam dunia pembelajaran. Maka dari itu, revisi demi kebaikan dan kesempurnaan hendaknya selalu menjadi pemikiran penting baik pemerintah maupun praktisi pendidikan.
Problematika yang muncul dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terkait dengan adanya kurikulum di Indonesia juga semakin kompleks sesuai dengan tuntutan zaman. Paling tidak, dari perjalanan kurikulum yang berlaku mulai dari kurikulum 1968 sampai dengan kurikulum tingkat satuan pendididkan (KTSP) muncul permasalahan yang terkait dengan (1) kebijakan pemerintah yang kurang konsisten dan berkesinambungan dengan kebijakan lain yang terkait (2) kultur  buruk yang mematri dalam kehidupan masyarakat sekolah, dan (3) minusnya kreativitas guru sebagai pelaksana kurikulum di tingkat sekolah.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mukhsini. 1990. Strategi Belajra Mengajar Ketrampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Asfandiyar, Andi Yuda. 2009. Kenapa Guru Harus Kratif?. Bandung: Penerbi Mizan Pustaka.
Depdibud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta: Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima Puluh Tahun Pengebangan  Pedidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endrswara, Suwardi. 2005. Metode dan  Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Friere, Paulo dkk. 2003. Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme Konsevatif Liberal Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kasali, Renald. 2005. Change!. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama.
Mulyasa. E. 2005. Menjadi Guru Prifesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Ramaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 1994. Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum 1994. Malang: IKIP Malang.
O’neil, Williem F. 2001. Ideologi Ideologi Pendidikan (diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 tahun Pembangunan pendidikan Nasional 1945-1995: Satuan Analisis Kebijakan. Jakarta: Grasindo.
Wardita, Ratu. 2003. “Pengajaran Apresiasi Puisi di SMU” Jurnal Forum pendidikan. Edisi September.
 

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...