Wednesday, June 4, 2014

CERPEN



SURAT LUKA YANG TAK KUNJUNG SAMPAI



Yang Terhormat, Ayah
Di tempat.

Sekiranya 23 lembar kertas telah kusulap menjadi bola-bola yang bertebaran di lantai kamarku. Semuanya ragu, jadi sebaiknya kudekap dalam kepalanku yang sudah hampir kokoh. Lalu kutebar diatas ubin kamar sebagai saksi tentang hatiku. Kop surat di atas adalah tulisan suratku untuk kertas yang ke-24, sekiranya sudah cukup meyakinkan. Surat ini adalah untuk ayah, ayah yang pergi dan menikah kembali dengan wanita lain. Tanpa kabar, tanpa nafkah. Sebenarnya ini adalah luka. Luka yang berusaha kubisikkan lewat matamu. Jangan pernah palingkan wajah, karena mungkin esok dipetang hari mungkin juga ayahmu pergi menghilang entah kemana bersama wanita lain. Jadi, pesanku adalah rasakan bisikanku. Diam sejenak. Fikirkan, apakah kata “yang terhormat” tepat untuk ayahku. Jika kamu berfikir kata itu tidak tepat, maka kamu adalah hatiku. Tetapi, jika kamu berfikir tepat atau bahkan kamu masih ragu, maka aku akan berbaik hati berdoa “Tuhan, beri dia rasa apa yang aku rasakan”. Ternyata aku masih ragu.

Yang ................, Ayah
Di tempat
Terhormat telah kuhapus, jadi bola-bola kertas genap menjadi 24 bertebaran di atas ubin kamar sebagai saksi tentang hatiku. Sekarang hanya tinggal kata “Yang................Ayah”. Kepalaku pening karena dari tadi berusaha membuka lembaran-lembaran kisah di kepala, tetapi tidak satupun yang dapat. Bahkan sketsa wajah dan aroma suaranya pun telah meluluh. Jadi, saya sedikit ingin bertanya, ayahmu pasti sayang padamu?, kuat untukmu?, nafas hidupmu?  Senang rasanya melihat kamu senang. Tapi, apakah pantas jika kutulis ayah di Kop lembaran kertas surat ke-25 ini, ayah tidak pernah sayang padaku, tidak pernah kuat untukku, tidak pernah menjadi nafas hidupku, bahkan wajahnya pun tidak ada dalam kepalaku. Diam sejenak. Fikirkan, apakah kata “ayah” tepat untuk ditulis disurat ini. Jika kamu berfikir kata itu tidak tepat, maka kamu adalah hatiku. Tetapi, jika kamu berfikir tepat atau bahkan kamu masih ragu, maka aku akan berbaik hati berdoa “Tuhan, beri dia rasa apa yang aku rasakan”. Ternyata aku masih ragu.
Yang.................,..............
Di tempat

CERPEN



BELENGGU
Karya : Aziz Thaba

Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seratus tahun lagi, aku masih tetap sama. Ketika air mata menetes, kamu tidak meneteskan air mata. Kalau pun menetes, mungkin hanya pura-pura belaka. Bagaimana bisa? Aku, kamu, dia, dan mereka adalah berbeda. Kalian tidak mengerti!. Seringkali ketika aku tersungkur, kamu datang memapah, mungkin seorang atau beberapa diantara kalian. Lalu, kau mempermainkan lidahmu dengan kata-kata arif nan bijaksana. Kupingku terasa panas, kepalaku terasa ingin pecah, dadaku sesak bak ingin memuntahkan pijar-pijar murka yang lama terbelenggu. Ini aku, bukan kamu, dia atau mereka!. Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peristiwa yang lalu. Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah kehendak tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku bukan kamu, dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku rasa?” dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu terjatuh karena pukulan bapakmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku semata”.
Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu tahun lagi, aku masih tetap sama. Anak dari seorang wanita yang luka dan merana, malam kemarin, malam ini, dan seribu malam yang akan datang. Tidak ada tangis di wajahnya, tapi aku tahu, malam itu, bendungan hati ibu telah retak. Penghujung malam adalah sahabat hati yang setia. Tanpa hujat dan mendengar penuh tegun, sedikit lubang antara kedua pupil mengeja luka-luka yang kemarin, hari ini, dan jika tuhan berkehendak seribu tahun yang akan datang. Rona ketika kamu datang kerumah reot siang tadi masih jelas. Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peritiwa yang lalu. Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah kehendak tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku bukan kamu, dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku rasa?” dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu menangis karena bapakmu membawa pelacur murahan kerumahmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku semata”.
Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu juta tahun lagi, aku masih tetap sama. Seorang tetuah dari bocah yang mengeliat di antara plasenta rahim, merasakan getirnya hati ketika sang induk perkasa menjamah harta orang lain. Ini demi hidup gumpalan daging yang usianya dua bulan ditinggal sang bapak. Ini adalah luka, luka ibu yang perih, lukaku. Tapi rupanya, masih ada anjing-anjing sosial yang menakar luka itu dengan sebungkus kudapan hangat yang dijajahkan diemperan-emperan rumah setiap pagi dan sore serupa diskusi menghardik ibu, aku, dan saudaraku. Ini bukan karma, ini adalah rencana tuhan. Aku berusaha untuk yakin, tetapi mereka menggerutu. Tuhan, titip seratus, seribu, atau seribu juta tahun untukku. Aku tidak sabar menyaksikan mereka menangis kegirangan menyaksikan luka yang dulu pernah ibu rasakan. “Tuhan..., tanamkan padanya janin, lalu biarkan suaminya bersina dengan wanita lain, lalu merana ditinggal pergi. Maka hari itu, lunaslah semua luka.  










PUISI UNTUK AYAH

Sketsa Ayah
Karya : Aziz Thaba

Antara Ada dan Tiada
Antara Suka dan Duka
Antara Rindu dan Kebencian
Karena Ayah
Aku Malu
Aku Lelah
Aku Takut
Seribu Sukma Mati di Taman Surga

CERPEN



IBUKU SAYANG, IBUKU MALANG

Ibuku sayang, duduk-duduk di tepi pintu menyandar pada daun pintu yang hampir roboh diserang rayap. Tatapannya kosong, wajahnya pucat pasih, persis seperti seorang yang yang tak bernyawa. Rambutnya seringkali disisir si bungsuh sebelum ke sekolah. Kami miskin, tapi bukan berarti kami tak sekolah, kami tak hidup dengan jeripayah bapak tapi kami bisa makan. Hanya saja Ibuku malang jatuh dalam lubang yang dalam, tersungkur, sakit, bahkan hanya satu dua kali nafanya tersisah. Tak tahan mata dan telinga menerima kenyataan ini. Sedih rasa hati, sakit jiwaku, tak mampu lagi aku bertahan melihat lukamu. Cukup...cukup tuhan, jangan menambah luka lagi,,,,sejuta jahitan ada disini, tak mampu lagi ku melihat. Semakin sayang aku pada Mu, semakin kejam pula perlakuan-Mu.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...