Wednesday, June 4, 2014

CERPEN



BELENGGU
Karya : Aziz Thaba

Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seratus tahun lagi, aku masih tetap sama. Ketika air mata menetes, kamu tidak meneteskan air mata. Kalau pun menetes, mungkin hanya pura-pura belaka. Bagaimana bisa? Aku, kamu, dia, dan mereka adalah berbeda. Kalian tidak mengerti!. Seringkali ketika aku tersungkur, kamu datang memapah, mungkin seorang atau beberapa diantara kalian. Lalu, kau mempermainkan lidahmu dengan kata-kata arif nan bijaksana. Kupingku terasa panas, kepalaku terasa ingin pecah, dadaku sesak bak ingin memuntahkan pijar-pijar murka yang lama terbelenggu. Ini aku, bukan kamu, dia atau mereka!. Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peristiwa yang lalu. Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah kehendak tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku bukan kamu, dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku rasa?” dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu terjatuh karena pukulan bapakmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku semata”.
Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu tahun lagi, aku masih tetap sama. Anak dari seorang wanita yang luka dan merana, malam kemarin, malam ini, dan seribu malam yang akan datang. Tidak ada tangis di wajahnya, tapi aku tahu, malam itu, bendungan hati ibu telah retak. Penghujung malam adalah sahabat hati yang setia. Tanpa hujat dan mendengar penuh tegun, sedikit lubang antara kedua pupil mengeja luka-luka yang kemarin, hari ini, dan jika tuhan berkehendak seribu tahun yang akan datang. Rona ketika kamu datang kerumah reot siang tadi masih jelas. Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peritiwa yang lalu. Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah kehendak tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku bukan kamu, dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku rasa?” dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu menangis karena bapakmu membawa pelacur murahan kerumahmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku semata”.
Kemarin, malam ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu juta tahun lagi, aku masih tetap sama. Seorang tetuah dari bocah yang mengeliat di antara plasenta rahim, merasakan getirnya hati ketika sang induk perkasa menjamah harta orang lain. Ini demi hidup gumpalan daging yang usianya dua bulan ditinggal sang bapak. Ini adalah luka, luka ibu yang perih, lukaku. Tapi rupanya, masih ada anjing-anjing sosial yang menakar luka itu dengan sebungkus kudapan hangat yang dijajahkan diemperan-emperan rumah setiap pagi dan sore serupa diskusi menghardik ibu, aku, dan saudaraku. Ini bukan karma, ini adalah rencana tuhan. Aku berusaha untuk yakin, tetapi mereka menggerutu. Tuhan, titip seratus, seribu, atau seribu juta tahun untukku. Aku tidak sabar menyaksikan mereka menangis kegirangan menyaksikan luka yang dulu pernah ibu rasakan. “Tuhan..., tanamkan padanya janin, lalu biarkan suaminya bersina dengan wanita lain, lalu merana ditinggal pergi. Maka hari itu, lunaslah semua luka.  










PUISI UNTUK AYAH

Sketsa Ayah
Karya : Aziz Thaba

Antara Ada dan Tiada
Antara Suka dan Duka
Antara Rindu dan Kebencian
Karena Ayah
Aku Malu
Aku Lelah
Aku Takut
Seribu Sukma Mati di Taman Surga

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...