BELENGGU
Karya
: Aziz Thaba
Kemarin, malam
ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seratus tahun lagi, aku masih tetap
sama. Ketika air mata menetes, kamu tidak meneteskan air mata. Kalau pun
menetes, mungkin hanya pura-pura belaka. Bagaimana bisa? Aku, kamu, dia, dan
mereka adalah berbeda. Kalian tidak mengerti!. Seringkali ketika aku
tersungkur, kamu datang memapah, mungkin seorang atau beberapa diantara kalian.
Lalu, kau mempermainkan lidahmu dengan kata-kata arif nan bijaksana. Kupingku
terasa panas, kepalaku terasa ingin pecah, dadaku sesak bak ingin memuntahkan
pijar-pijar murka yang lama terbelenggu. Ini aku, bukan kamu, dia atau mereka!.
Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peristiwa yang lalu.
Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah kehendak
tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku bukan kamu,
dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku rasa?”
dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu terjatuh karena
pukulan bapakmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku semata”.
Kemarin, malam
ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu tahun lagi, aku masih tetap sama.
Anak dari seorang wanita yang luka dan merana, malam kemarin, malam ini, dan
seribu malam yang akan datang. Tidak ada tangis di wajahnya, tapi aku tahu,
malam itu, bendungan hati ibu telah retak. Penghujung malam adalah sahabat hati
yang setia. Tanpa hujat dan mendengar penuh tegun, sedikit lubang antara kedua
pupil mengeja luka-luka yang kemarin, hari ini, dan jika tuhan berkehendak
seribu tahun yang akan datang. Rona ketika kamu datang kerumah reot siang tadi
masih jelas. Seringkali di tepi bibir mu terciprat suara dari selaksah peritiwa
yang lalu. Aku masih ingat ketika kamu berkata “sabar..., semua ini adalah
kehendak tuhan”. “Cihhh....” dalam hati, aku ringkih dengan celoteh itu. Aku
bukan kamu, dia, atau mereka. Jika kutanya, “maukah kamu merasakan apa yang aku
rasa?” dalam hatiku serapah “semoga kamu bisa menyaksikan ibumu menangis karena
bapakmu membawa pelacur murahan kerumahmu”. “Hmmm....tapi, mungkin hanya aku
semata”.
Kemarin, malam
ini, esok, atau jika Tuhan berkehendak seribu juta tahun lagi, aku masih tetap
sama. Seorang tetuah dari bocah yang mengeliat di antara plasenta rahim,
merasakan getirnya hati ketika sang induk perkasa menjamah harta orang lain.
Ini demi hidup gumpalan daging yang usianya dua bulan ditinggal sang bapak. Ini
adalah luka, luka ibu yang perih, lukaku. Tapi rupanya, masih ada anjing-anjing
sosial yang menakar luka itu dengan sebungkus kudapan hangat yang dijajahkan
diemperan-emperan rumah setiap pagi dan sore serupa diskusi menghardik ibu,
aku, dan saudaraku. Ini bukan karma, ini adalah rencana tuhan. Aku berusaha
untuk yakin, tetapi mereka menggerutu. Tuhan, titip seratus, seribu, atau
seribu juta tahun untukku. Aku tidak sabar menyaksikan mereka menangis
kegirangan menyaksikan luka yang dulu pernah ibu rasakan. “Tuhan..., tanamkan
padanya janin, lalu biarkan suaminya bersina dengan wanita lain, lalu merana
ditinggal pergi. Maka hari itu, lunaslah semua luka.
PUISI
UNTUK AYAH
Sketsa
Ayah
Karya : Aziz Thaba
Antara Ada dan Tiada
Antara Suka dan Duka
Antara Rindu dan Kebencian
Karena Ayah
Aku Malu
Aku Lelah
Aku Takut
Seribu Sukma Mati di Taman Surga
Karya : Aziz Thaba
Antara Ada dan Tiada
Antara Suka dan Duka
Antara Rindu dan Kebencian
Karena Ayah
Aku Malu
Aku Lelah
Aku Takut
Seribu Sukma Mati di Taman Surga
No comments:
Post a Comment