Tuesday, September 30, 2014


MENYOAL SELEKSI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU
“BERKARAKTERKAH?”


AZIZ THABA
Jalan Andi Kambo, No. 18-20 Kota Palopo
(Ganesha Operation, azizthaba@yahoo.co.id)

ABSTRAK
Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education)  dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter. Urgensitas pendidikan karakter ini tentu tidak terlepas dari lembaga pendidikan sebagai perpanjangan tangan dari cita-cita mulia bangsa Indonesia yang tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Namun, apa jadinya jika sekolah sebagai tempat untuk mendidik, menanamkan nilai-nilai kehidupan dan budaya, tidak terkecuali nilai karakter, memilih sendiri siswa yang dinilai layak untuk dididik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sekolah memiliki andil dalam menciptakan kesemerautan moral. Tujuan penelitian ini adalah merekonstruksi kembali konsep dan manajemen pendidikan khususnya di lembaga pendidikan formal dalam hal realisasi fungsi dan peran lembaga pendidikan itu sendiri khususnya dalam implementasi pendidikan karakter sekarang ini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian studi pustaka dan metode historis. Hasil penelitian membuktikan bahwa dalam UU jelas mengatur tentang hak asasi manusia. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” Oleh karena itu, seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan bentuk miskonsepsi dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri khsusnya dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dan pendidikan karakter.
Kata Kunci: Seleksi, Karakter


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai.
Secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.
Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya.
Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Namun, untuk melaksanakan tujuan mulia tersebut, sebaiknya cara pandang kita harus diperluas bukan hanya pada proses pendidikan di dalam lembaga pendidikan itu sendiri, tetapi keseluruhan proses menuju pendidikan itu sebaiknya dibangun dan dilaksanakan dengan konsep karakter pula. Salah satu proses yang menjadi kajian utama dalam tulisan ini adalah seleksi penerimaan siswa baru. Jika tujuan lembaga pendidikan formal adalah mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.
Maka keberadaan seleksi peserta didik baru menjadi cambuk bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Artinya jika seleksi itu diadakan, maka sekolah memiliki peran yang strategis negatif dalam menciptakan manusia yang memiliki dekadensi moral seperti premanisme, pemerkosaan, pembunuhan, pencuri, dan berbagai keterpurukan lainnya.  
Undang-undang pendidikan dan hak asasi manusia dengan jelas dan tegas mengatur tentang tujuan dan kedudukan warga negara terhadap pendidikan. Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Jadi, negara bertanggung jawab kepada setiap warga negara untuk memberikan jaminan pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai perpanjangan tangan tugas dan kewajiban negara berhak memberikan pendidikan “khususnya pendidikan karakter” kepada setiap warga negara tanpa harus memandang “bagaimana dia”, “tingkat kecerdasan”, serta aspek-aspek lainnya.
Identifikasi Masalah
Eksistensi undang-undang pendidikan mengatur dengan jelas bagaimana pelaksanaan pendidikan, dasar, tujuan,  dan fungsi pendidikan. Begitu pula dengan pendidikan karakter yang saat ini menjadi populer dan fokus utama dunia pendidikan dalam menghadapi realitas manusia Indonesia saat ini. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa negara menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah dalam melaksanakan tugas negara senantiasa relevan dengan ketentuan tersebut. Namun, kondisi dilapangan masih tidak sejalan dengan UU.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.    Apakah pendidikan karakter itu?
2.    Apakah yang dimaksud dengan seleksi penerimaan peserta didik baru?
3.    Bagaimanakah realitas seleksi penerimaan peserta didik baru khususnya di Kota Palopo?
4.    Apakah seleksi penerimaan peserta didik baru sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UU yang mengatur tentang sistem pendidikan?
5.    Apakah seleksi penerimaan peserta didik baru mencerminkan pendidikan karakter?
Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai  pendidikan karakter?
2.    Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai seleksi penerimaan peserta didik baru?
3.    Mendeskripsikan realitas seleksi penerimaan peserta didik baru khususnya di Kota Palopo
4.    Untuk mengetahui kesesuaian antara seleksi penerimaan peserta didik baru dengan amanat yang tertuang dalam UU yang mengatur tentang  pendidikan.
5.    Untuk mengetahui hubungan seleksi penerimaan peserta didik baru mencerminkan pendidikan karakter.
Kajian Pustaka
Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008:215) adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2008:21), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut (Syahroni, 2013: 2).
Dalam pendidikan karakter di sekolah, Syahroni (2013: 4) menyatakan bahwa semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu kebijakan, manajemen, isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (dalam Syahroni, 2013: 5) bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:429) menjelaskan bahwa seleksi merupakan cara memilih untuk mendapatkan yang terbaik atau metode yang digunakan suatu lembaga atau instansi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Faidi (2013: 15) bahwa seleksi merupakan tahap memilah dan memilih sesuatu yang kompleks atau berkelompok untuk memperoleh hasil final sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seleksi penerimaan peserta didik baru adalah usaha, metode, atau cara yang dilakukan oleh lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan formal untuk memperoleh peserta didik yang terbaik.
Seleksi penerimaan peserta didik baru dilakukan dilembaga pendidikan formal sekali dalam setahun yakni pada tahun ajaran baru. Seleksi dilakukan dengan beberapa indikator persyaratan yang harus dipenuhi seperti kelengkapan berkas (Ijazah, SKHU, fotokopi buku laporan prestasi belajar, dll.), serta lulus tes tertulis atau tes wawancara. Tes tertulis yang biasanya diberikan seperti tes kemampuan akademik, sedangkan tes wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi pribadi calon peserta didik.
Dasar Hukum Pendidikan Karakter
Dasar hukum dalam pembinaan pendidikan karakter seperti yang dikutip dalam Sarkawi (2013:1-2) antara lain:
1.    Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” sebagai kunci tugas dan tanggung jawab negara terhadap setiap warga negara, karena kecerdasan kehidupan bangsa adalah kecerdasan warga negara.
2.    Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai-nilai: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
3.    Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen.
a.       Bab XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”
b.      Bab XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 5 : “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”
4.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
a.       Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 1 : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
b.      Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 2 : “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”
c.       Bab II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 1 : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
d.      Bab II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 2 : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
5.    Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007  tentang RPJPN 2005-2025) : Tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,  bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada tuhan yang maha esa.
6.    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Bab II (lingkup, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 4 : “Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”
7.    Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
a.       Bab III (Penyelenggaraan Pendidikan Formal). Bagian Pertama (Pendidikan Anak Usia Dini) Pasal 61 Ayat 2 Pendidikan anak usia dini bertujuan:
1)      membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
2)      mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Tujuan Pendidikan Tingkat Selanjutnya Pasal 67 Ayat 3 : Pasal 77 : Pasal 84 Ayat 2, Pendidikan dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; sehat, mandiri, dan percaya diri; dan toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi pustaka dan metode empiris. Metode studi pustaka yaitu metode penelitian yang memperoleh data-data dari kajian kepustakaan (buku atau literatur) berupa teori atau konsep-konsep. Metode empiris merupakan metode penelitian yang berdasarkan hasil pengalaman, pengamatan (observasi dan wawancara) yang dilakukan (Muhadi, 2011:32)
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua objek penelitian yaitu   SMPN 1 Palopo, SMPN 3 Palopo, dan MTsN Model Palopo, SMAN 1 Palopo, SMAN 3 Palopo, dan SMKN 1 Palopo terbukti melaksanakan sistem seleksi penerimaan peserta didik baru. Seleksi yang dilakukan meliputi dua aspek yaitu seleksi berkas dan seleksi potensi akademik calon peserta didik. Seleksi berkas meliputi kelengkapan data berupa ijazah terakhir yang dilegalisir atau SKHU, pas foto. Tes potensi akademik meluputi bahasa Inggris, bahasa Indonesia, matematika. Khusus untuk MTsN Model Palopo, tes pengetahuan keislaman juga menjadi tolok ukur. Ketika calon peserta didik tidak mampu untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka siswa dinyatakan tidak dapat bersekolah pada sekolah yang diminati, dipercayai, serta diidolakan untuk menjadi tempat yang menjadikan diri mereka cerdas dan menjadi manusia yang berakhlak. Langkah yang ditempuh oleh siswa dengan keputusan tersebut adalah mencari sekolah lain sebagai subtitusi atas harapan dan cita-cita mereka yang termarginalkan.

Pembahasan
Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru Tidak Sesuai dengan UU Pendidikan Nasional
Di dalam UUD negara Indonesia tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Tetapi dalam UU menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki persamaan kedudukan (Hak dan Kewajiban) sebagai warga negara. Begitu pula halnya dalam dunia pendidikan nasional. Dalam hal memperoleh pendidikan, tidak ada UU yang menyebutkan bahwa hanya orang yang beruang dan berilmu “smart” saja yang boleh memperoleh pendidikan. Tetapi setiap warga negara memiliki kesamaan kedudukan dalam hal memperoleh pendidik. Dalam pembukaan UUD 1945 menyampaikan bahwa negara bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu,  Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Kedua landasan hukum tersebut menyebutkan tentang hak. Hak yang dimaksud di dalam UU tersebut adalah sesuatu yang sudah sepantasnya harus diterima dan dirasakan secara aman, nyaman, dan terpenuhi oleh si pemilik hak.
Selanjutnya, panca sila telah menyebutkan lima aspek hidup berbangsa dan bernegara yaitu pertama, ketuhanan. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, sebaiknya kita berkiblat pada sifat mulia tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia kecuali dari apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab yang artinya bahwa manusia dituntut untuk senantiasa adil dan beradab. Artinya dalam pelaksanaan pendidikan, keadilan dimaksudkan adalah pemerataan. Ketiga, Persatuan indonesia yang artinya Indonesia dalam konteks kebangsaan mendukung sistem pendidikan nasional tanpa adanya pandang bulu. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, artinya warga negara memiliki wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi khususnya dalam bidang jaminan pendidikan. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang artinya semua warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan.
Jadi, seleksi penerimaan peserta didik baru tidak memiliki relevansi terhadap UU pendidikan. Oleh karena itu, sistem seleksi sebaiknya ditiadakan dan diganti dengan sistem yang lebih demokratis dan sejalan dengan UU.
Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru Tidak Berkarakter
Pendidikan sekarang ini menghendaki dilaksanakannya pendidikan karakter. Namun, pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri tidak berlaku menyeluruh pada setiap aspek pelaksanaan pendidikan. Kita hanya melihat pada satu sisi saja yakni pendidikan karakter yang dilakukan dalam proses belajar. Kita selalu ingin mengajarkan karakter yang baik pada siswa seperti sikap toleransi, tidak membeda-bedakan teman, dan bekerja keras. Namun, sistema yang ditunjukkan kepada siswa sama sekali tidak mencerminkan karakter. Sekolah membeda-bedakan siswa untuk didik, tidak ada rasa toleransi atas keinginan dan harapan siswa, serta tidak memiliki tanggung jawab moral dan profesi yang ada dalam diri seorang guru atau kepala sekolah.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa sekolah berfungsi untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika. Jadi, fungsi sekolah adalah “memanusiakan manusia”.
Jika lembaga pendidikan memberlakukan seleksi penerimaan peserta didik baru, maka ada dua produk yang dihasilkan yaitu 1) menciptakan generasi yang kecewa karena keinginannya menjadi lebih baik, gagal, 2) menciptakan generasi yang gagal untuk dibina karakternya sehingga timbul karakter negatif dalam diri mereka. Hal inilah yang menjadi momok yang memprihatinkan saat ini.
Kesimpulan
Seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan sebuah kesalahan dalam hal pembinaan karakter serta perwujudan fungsi dan peran lembaga pendidikan formal. Proses seleksi tidak memiliki relevansi dengan UU pendidikan. Seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan sebuah pelanggaran hukum yang berkenaan dengan hak asasi manusia.
UU jelas mengatur tentang hak asasi manusia. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” Oleh karena itu, seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan bentuk miskonsepsi dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri khsusnya dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dan pendidikan karakter.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1.    Ibu Muhaeni selaku orang tua serta saudara tercinta yang terus mendukung dan memberikan motivasi.
2.    Pimpinan serta rekan kerja Ganesha Operation yang senantiasa memberikan dukungan.

 Daftar Pustaka
Badan Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Muhadi. 2011. Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Bandung: Alfabeta.
Syahroni. 2013.Konsep Pendidikan Karakter. [jurnal]. Diakses pada tanggal 28 April 2014.
Sarkawai. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pendidikan Karakter. [jurnal]. Diakses pada tanggal 28 April 2014.









KRITIK SASTRA "CERPEN MENETAK SUNYI"

Tuesday, September 9, 2014

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...