MENYOAL
SELEKSI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU
“BERKARAKTERKAH?”
AZIZ THABA
Jalan Andi Kambo, No. 18-20 Kota Palopo
(Ganesha Operation, azizthaba@yahoo.co.id)
ABSTRAK
Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan
karakter (character
education) dalam konteks sekarang sangat
relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis
tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka
kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja,
kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah
sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu
betapa pentingnya pendidikan karakter. Urgensitas
pendidikan karakter ini tentu tidak terlepas dari lembaga pendidikan sebagai
perpanjangan tangan dari cita-cita mulia bangsa Indonesia yang tertuang dalam
batang tubuh UUD 1945 “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”. Namun, apa jadinya jika sekolah sebagai tempat untuk
mendidik, menanamkan nilai-nilai kehidupan dan budaya, tidak terkecuali nilai
karakter, memilih sendiri siswa yang dinilai layak untuk dididik. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sekolah memiliki andil dalam menciptakan kesemerautan
moral. Tujuan penelitian ini adalah merekonstruksi kembali konsep dan manajemen
pendidikan khususnya di lembaga pendidikan formal dalam hal realisasi fungsi
dan peran lembaga pendidikan itu sendiri khususnya dalam implementasi
pendidikan karakter sekarang ini. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian studi pustaka dan metode historis. Hasil penelitian membuktikan
bahwa dalam UU jelas mengatur tentang hak asasi manusia. Salah satunya adalah
hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.” Pasal 31
ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” Oleh karena itu,
seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan bentuk miskonsepsi dari
penyelenggaraan pendidikan itu sendiri khsusnya dalam pelaksanaan kurikulum
2013 dan pendidikan karakter.
Kata Kunci: Seleksi, Karakter
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Karakter adalah upaya
dalam rangka membangun karakter (character
building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan
kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis
karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi
tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai.
Secara terminologis, karakter dapat
dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri
seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter
peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil.
Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual,
emosional, intelektual, dan estetika.
Menyadari pentingnya karakter,
dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya.
Bahkan
di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang
sangat meresahkan. Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan
generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan
kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas
pendidikan karakter.
Namun,
untuk melaksanakan tujuan mulia tersebut, sebaiknya cara pandang kita harus
diperluas bukan hanya pada proses pendidikan di dalam lembaga pendidikan itu
sendiri, tetapi keseluruhan proses menuju pendidikan itu sebaiknya dibangun dan
dilaksanakan dengan konsep karakter pula. Salah satu proses yang menjadi kajian
utama dalam tulisan ini adalah seleksi penerimaan siswa baru. Jika tujuan
lembaga pendidikan formal adalah mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional,
intelektual, dan estetika.
Maka
keberadaan seleksi peserta didik baru menjadi cambuk bagi lembaga pendidikan
itu sendiri. Artinya jika seleksi itu diadakan, maka sekolah memiliki peran
yang strategis negatif dalam menciptakan manusia yang memiliki dekadensi moral
seperti premanisme, pemerkosaan, pembunuhan, pencuri, dan berbagai keterpurukan
lainnya.
Undang-undang pendidikan dan hak
asasi manusia dengan jelas dan tegas mengatur tentang tujuan dan kedudukan
warga negara terhadap pendidikan. Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan”. Jadi, negara bertanggung jawab kepada setiap warga negara
untuk memberikan jaminan pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal
sebagai perpanjangan tangan tugas dan kewajiban negara berhak memberikan
pendidikan “khususnya pendidikan karakter” kepada setiap warga negara tanpa
harus memandang “bagaimana dia”, “tingkat kecerdasan”, serta aspek-aspek
lainnya.
Identifikasi Masalah
Eksistensi undang-undang pendidikan mengatur dengan
jelas bagaimana pelaksanaan pendidikan, dasar, tujuan, dan fungsi pendidikan. Begitu pula dengan
pendidikan karakter yang saat ini menjadi populer dan fokus utama dunia
pendidikan dalam menghadapi realitas manusia Indonesia saat ini. Seperti yang
diuraikan sebelumnya bahwa negara menjamin hak warga negara untuk memperoleh
pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah dalam
melaksanakan tugas negara senantiasa relevan dengan ketentuan tersebut. Namun,
kondisi dilapangan masih tidak sejalan dengan UU.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang dan identifikasi di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Apakah pendidikan karakter
itu?
2. Apakah yang dimaksud
dengan seleksi penerimaan peserta didik baru?
3. Bagaimanakah realitas
seleksi penerimaan peserta didik baru khususnya di Kota Palopo?
4. Apakah seleksi penerimaan
peserta didik baru sesuai dengan amanat yang tertuang dalam UU yang mengatur
tentang sistem pendidikan?
5. Apakah seleksi penerimaan
peserta didik baru mencerminkan pendidikan karakter?
Tujuan Penelitian
Sehubungan
dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai pendidikan karakter?
2. Untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai seleksi penerimaan peserta didik baru?
3. Mendeskripsikan realitas
seleksi penerimaan peserta didik baru khususnya di Kota Palopo
4. Untuk mengetahui
kesesuaian antara seleksi penerimaan peserta didik baru dengan amanat yang
tertuang dalam UU yang mengatur tentang pendidikan.
5. Untuk mengetahui hubungan seleksi
penerimaan peserta didik baru mencerminkan pendidikan karakter.
Kajian Pustaka
Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008:215) adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2008:21), karakter
mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi
(motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani
yang berarti “to mark” atau menandai
dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku
jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang
perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut
(Syahroni, 2013: 2).
Dalam pendidikan karakter di sekolah, Syahroni (2013:
4) menyatakan bahwa semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu kebijakan, manajemen, isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (dalam
Syahroni, 2013: 5) bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas
dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan
berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu,
gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena
itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Seleksi
Penerimaan Peserta Didik Baru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:429)
menjelaskan bahwa seleksi merupakan cara memilih untuk mendapatkan yang terbaik
atau metode yang digunakan suatu lembaga atau instansi untuk memperoleh hasil
yang lebih baik. Menurut Faidi (2013: 15) bahwa seleksi merupakan tahap memilah
dan memilih sesuatu yang kompleks atau berkelompok untuk memperoleh hasil final
sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
seleksi penerimaan peserta didik baru adalah usaha, metode, atau cara yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan formal untuk
memperoleh peserta didik yang terbaik.
Seleksi penerimaan peserta didik baru dilakukan dilembaga
pendidikan formal sekali dalam setahun yakni pada tahun ajaran baru. Seleksi
dilakukan dengan beberapa indikator persyaratan yang harus dipenuhi seperti
kelengkapan berkas (Ijazah, SKHU, fotokopi buku laporan prestasi belajar,
dll.), serta lulus tes tertulis atau tes wawancara. Tes tertulis yang biasanya
diberikan seperti tes kemampuan akademik, sedangkan tes wawancara dilakukan
untuk mengetahui kondisi pribadi calon peserta didik.
Dasar Hukum
Pendidikan Karakter
Dasar hukum dalam pembinaan
pendidikan karakter seperti yang dikutip dalam Sarkawi (2013:1-2) antara lain:
1. Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” sebagai
kunci tugas dan tanggung jawab negara terhadap setiap warga negara, karena
kecerdasan kehidupan bangsa adalah kecerdasan warga negara.
2. Pancasila sebagai dasar negara
mengandung nilai-nilai: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan
3. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen.
a.
Bab XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 3:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”
b.
Bab XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 5
: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
a.
Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 1 : “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”
b.
Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 2 : “Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”
c.
Bab II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 1 : “Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
d.
Bab II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 2 : “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”
5. Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang
RPJPN 2005-2025) : “Tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis,
berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan pancasila dan dijiwai oleh iman
dan takwa kepada tuhan yang maha esa.”
6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan. Bab II (lingkup, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 4 : “Standar Nasional
Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat”
7. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
a.
Bab III (Penyelenggaraan Pendidikan Formal). Bagian
Pertama (Pendidikan Anak Usia Dini) Pasal 61 Ayat 2 Pendidikan anak usia dini
bertujuan:
1)
membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab; dan
2)
mengembangkan potensi kecerdasan spiritual,
intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta didik pada masa emas
pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Tujuan
Pendidikan Tingkat Selanjutnya Pasal 67 Ayat 3 : Pasal 77 : Pasal 84 Ayat 2, Pendidikan
dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan
inovatif; sehat, mandiri, dan percaya diri; dan toleran, peka sosial,
demokratis, dan bertanggung jawab.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian studi pustaka dan metode empiris. Metode studi pustaka yaitu
metode penelitian yang memperoleh data-data dari kajian kepustakaan (buku atau
literatur) berupa teori atau konsep-konsep. Metode empiris merupakan metode
penelitian yang berdasarkan hasil pengalaman, pengamatan (observasi dan
wawancara) yang dilakukan (Muhadi, 2011:32)
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua objek penelitian
yaitu SMPN 1 Palopo, SMPN 3 Palopo, dan
MTsN Model Palopo, SMAN 1 Palopo, SMAN 3 Palopo, dan SMKN 1 Palopo terbukti
melaksanakan sistem seleksi penerimaan peserta didik baru. Seleksi yang
dilakukan meliputi dua aspek yaitu seleksi berkas dan seleksi potensi akademik
calon peserta didik. Seleksi berkas meliputi kelengkapan data berupa ijazah
terakhir yang dilegalisir atau SKHU, pas foto. Tes potensi akademik meluputi
bahasa Inggris, bahasa Indonesia, matematika. Khusus untuk MTsN Model Palopo,
tes pengetahuan keislaman juga menjadi tolok ukur. Ketika calon peserta didik
tidak mampu untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka siswa dinyatakan tidak
dapat bersekolah pada sekolah yang diminati, dipercayai, serta diidolakan untuk
menjadi tempat yang menjadikan diri mereka cerdas dan menjadi manusia yang
berakhlak. Langkah yang ditempuh oleh siswa dengan keputusan tersebut adalah
mencari sekolah lain sebagai subtitusi atas harapan dan cita-cita mereka yang termarginalkan.
Pembahasan
Seleksi Penerimaan
Peserta Didik Baru Tidak Sesuai dengan UU Pendidikan Nasional
Di dalam UUD negara Indonesia tidak ada satu pun pasal
yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang
berbeda-beda. Tetapi dalam UU menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki
persamaan kedudukan (Hak dan Kewajiban) sebagai warga negara. Begitu pula
halnya dalam dunia pendidikan nasional. Dalam hal memperoleh pendidikan, tidak
ada UU yang menyebutkan bahwa hanya orang yang beruang dan berilmu “smart” saja yang boleh memperoleh
pendidikan. Tetapi setiap warga negara memiliki kesamaan kedudukan dalam hal
memperoleh pendidik. Dalam pembukaan UUD 1945 menyampaikan bahwa negara
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan”. Kedua landasan hukum tersebut menyebutkan tentang hak.
Hak yang dimaksud di dalam UU tersebut adalah sesuatu yang sudah sepantasnya
harus diterima dan dirasakan secara aman, nyaman, dan terpenuhi oleh si pemilik
hak.
Selanjutnya,
panca sila telah menyebutkan lima aspek hidup berbangsa dan bernegara yaitu pertama, ketuhanan. Dalam konteks
pelaksanaan pendidikan, sebaiknya kita berkiblat pada sifat mulia tuhan yang
tidak membeda-bedakan manusia kecuali dari apa yang diinginkan oleh manusia itu
sendiri. Kedua, kemanusiaan
yang adil dan beradab yang artinya bahwa manusia dituntut untuk senantiasa adil
dan beradab. Artinya dalam pelaksanaan pendidikan, keadilan dimaksudkan adalah
pemerataan. Ketiga, Persatuan
indonesia yang artinya Indonesia dalam konteks kebangsaan mendukung sistem
pendidikan nasional tanpa adanya pandang bulu. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, artinya warga negara
memiliki wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi khususnya dalam bidang
jaminan pendidikan. Kelima, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang artinya semua warga negara berhak
untuk memperoleh pendidikan.
Jadi,
seleksi penerimaan peserta didik baru tidak memiliki relevansi terhadap UU
pendidikan. Oleh karena itu, sistem seleksi sebaiknya ditiadakan dan diganti
dengan sistem yang lebih demokratis dan sejalan dengan UU.
Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru Tidak
Berkarakter
Pendidikan
sekarang ini menghendaki dilaksanakannya pendidikan karakter. Namun,
pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri tidak berlaku menyeluruh pada
setiap aspek pelaksanaan pendidikan. Kita
hanya melihat pada satu sisi saja yakni pendidikan karakter yang dilakukan
dalam proses belajar. Kita selalu ingin mengajarkan karakter yang baik pada
siswa seperti sikap toleransi, tidak membeda-bedakan teman, dan bekerja keras.
Namun, sistema yang ditunjukkan kepada siswa sama sekali tidak mencerminkan
karakter. Sekolah membeda-bedakan siswa untuk didik, tidak ada rasa toleransi
atas keinginan dan harapan siswa, serta tidak memiliki tanggung jawab moral dan
profesi yang ada dalam diri seorang guru atau kepala sekolah.
Seperti
diuraikan sebelumnya bahwa sekolah berfungsi untuk mewujudkan kecerdasan spiritual,
emosional, intelektual, dan estetika. Jadi, fungsi
sekolah adalah “memanusiakan manusia”.
Jika
lembaga pendidikan memberlakukan seleksi penerimaan peserta didik baru, maka
ada dua produk yang dihasilkan yaitu 1) menciptakan generasi yang kecewa karena
keinginannya menjadi lebih baik, gagal, 2) menciptakan generasi yang gagal
untuk dibina karakternya sehingga timbul karakter negatif dalam diri mereka.
Hal inilah yang menjadi momok yang memprihatinkan saat ini.
Kesimpulan
Seleksi
penerimaan peserta didik baru merupakan sebuah kesalahan dalam hal pembinaan
karakter serta perwujudan fungsi dan peran lembaga pendidikan formal. Proses
seleksi tidak memiliki relevansi dengan UU pendidikan. Seleksi penerimaan
peserta didik baru merupakan sebuah pelanggaran hukum yang berkenaan dengan hak
asasi manusia.
UU jelas mengatur tentang hak asasi manusia.
Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pasal
28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.” Pasal 31 ayat
(1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” Oleh karena itu,
seleksi penerimaan peserta didik baru merupakan bentuk miskonsepsi dari
penyelenggaraan pendidikan itu sendiri khsusnya dalam pelaksanaan kurikulum
2013 dan pendidikan karakter.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Ibu
Muhaeni selaku orang tua serta saudara tercinta yang terus mendukung dan
memberikan motivasi.
2.
Pimpinan
serta rekan kerja Ganesha Operation yang senantiasa memberikan dukungan.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdiknas.
Muhadi. 2011. Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Bandung: Alfabeta.
Syahroni.
2013.Konsep Pendidikan Karakter.
[jurnal]. Diakses pada tanggal 28 April 2014.
Sarkawai.
2013. Dasar-Dasar Hukum Pendidikan
Karakter. [jurnal]. Diakses pada tanggal 28 April 2014.
No comments:
Post a Comment