PENDAHULUAN
Pada dasarnya, aktivitas yang dilakukan anak-anak
setiap harinya adalah bermain, baik
di sekolah maupun di lingkungan rumah. Aktivitas bermain yang dilakukan di
lingkungan sekolah hendaknya menjadi perhatian guru,
karena melalui permainan tersebut banyak manfaat
yang bisa diperoleh anak terutama jika permainan tersebut mendapat arahan
dari guru. Permainan (play) memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Piaget, 1962; Vigotsky,
1978; Zuhdi, 1999).
Penghayatan dan pemahaman konsep serta nilai maupun
pengembangan keterampilan dapat
ditumbuhkan melalui play dalam bentuk permainan boneka, membaca estetis, simulasi
ataupun bermain peran. Perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran melalui play sebagai bentuk simulasi
kreatif perlu dilandasi pemahaman tentang (1)simulasi kreatif: hakikat, konsep, dan teori, (2) konsep teoretik simulasi kreatif, (3) manfaat simulasi kreatif.
BAGIAN
I
SIMULASI KREATIF: HAKIKAT, KONSEP, DAN TEORI
Kegiatan simulasi (play) pada awalnya merupakan suatu
kegiatan bermain yang dilakukan
siswa-siswa TK Froebelian dan Montessari. Froeble menggunakan media hadiah,
mengajak siswa membuat kerajinan dan melibatkan siswa
pada situasi bermain dan bernyanyi. Kegiatan
bermain memang selalu menjadi bagian dari program pendidikan anakanak. Kegiatan
bermain secara natural ini akhirnya digunakan dan diterima sebagai alat pembelajaran pada seperempat pertama abad keduapuluh,
walaupun tidak sepenuhnya dianggap sebagai
satu-satunya cara belajar anak.
Pada program pendidikan anak saat ini, sekolah
merancang bermacam peralatan dan materi
permainan dalam kelas. Hampir semua kelas prasekolah saat ini dilengkapi dengan
tempat boneka, tempat rumah-rumahan, miniatur dari plastik, pakaian mainan,
mobil-mobilan dan sebagainya yang dapat
digunakan siswa untuk mengekspresikan kehidupan di sekitar
lingkungan mereka.
lingkungan mereka.
Melalui situasi bermain, anak diharapkan mendapatkan
pemahaman mendalam terhadap objek-objek dan
memiliki keterampilan khusus dalam mengamati dan memperoleh materi, serta agar anak mendapat makna spiritual yang disimbolkan oleh
materi dan kegiatankegiatan tersebut. Play ini pada akhirnya dapat digunakan guru sebagai wahana
atau media pembelajaran untuk membentuk
pemahaman melalui kegiatan atau bermain peran atau dengan menggunakan berbagai media yang tersedia. Banyak ahli yang masih kesulitan mendefinisikan simulasi (play), karena sampai saat ini masih belum ada kriteria yang disetujui secara umum untuk
menentukan bahwa suatu kegiatan merupakan permainan.
Namun, bila dikaitkan dengan pembelajaran, simulasi kreatif merupakan bentuk pengunjukkan maupun permainan sesuatu yang bermakna
terutama dalam menggambarkan pesan dan
suasana, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta bernilai bagi anak dalam membuahkan pengalaman belajar tertentu.
Kreatif di sini tentu saja harus dilihat dasri dua sisi,
yaitu sisi kreativitas guru sebagai pensimulasi dan sisi kreativitas siswa sebagai penghayat simulasi.
Untuk memahami simulasi ini ada beberapa hal yang
berhubungan dengan ciri yang menandai suatu kegiatan itu
dapat dikatakan sebagai simulasi atau play. Riberman (1977), Garvey (1990), Neumann (1971), dan Schwartzman (1978) menyatakan
pendapatnya bahwa simulasi kreatif (permainan
atau play); (1) bukan merupakan suatu
pekerjaan yang nyata (manipulatif), (2) memiliki
tiga elemen (criteria, proses, tujuan), (3) kegiatan fisikal yang spontan dan sukarela, (4) tidak produktif, (5) hal yang
menyenangkan/menggembirakan, (6) motivasinya intrinsic, (7)
tidak memiliki tujuan ekstrinsik, (8) melibatkan aktif pelakunya, dan (9) merupakan spontanitas fisik, sosial, dan kognitif (dalam
Resmini, 1996).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian simulasi kreatif sebagai berikut. Simulasi
kreatif merupakan wahana pembelajaran dalam bentuk pengunjukkan atau permainan sesuatu yang bermakna dalam menggambarkan
pesan, suasana, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan,
dan bernilai bagi anak dalam membuahkan pengalaman belajar tertentu.
Simulasi kreatif merupakan pembelajaran yang terbentuk sebagai representasi simbolik, bermakna nonliteral yang
berkaitan dengan kegiatan fisikal yang spontan dan
sukarela dalam bentuk permainan manipulatif yang bersifat unproductive yang menekankan pada segi menghibur dengan
memperhatikan motivasi intrinsic siswa. Simulasi
kreatif terbentuk dalam sebuah orkestrasi yang melibatkan kegiatan aktif
siswa baik fisik, sosial, maupun kognitif sehingga tujuan, isi, dan bentuk
pengalaman yang direncanakan dalam
pembelajaran dapat dihayati.
BAGIAN 2
KONSEPSI TEORITIK SIMULASI KREATIF
Micchell dan Mason (1948)
mengidentifikasi empat jenis teori permainan, yaitu: (1) teori surplus energi, (2) teori relaksasi, (3) teori pralatihan,
dan (4) teori rekapitulasi. Teori di atas
oleh Gilmore (1971), Ellis (1973), dan Fein (1979) dikembangkan sebagai teori
klasikal dan teori dinamik.
1.
Teori Klasikal
a.
Teori Surplus Energi
Teori
ini menyatakan bahwa sejumlah energi yang dimiliki seseorang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan bermain dengan atau tanpa
tujuan sehingga isi permainan
tidak dipentingkan. Kegiatan bermain dapat dilakukan bila sseorang itu memiliki energi yang lebih untuk bekerja.
b.
Teori Relaksasi
Teori
ini menyatakan bahwa bermain digunakan untuk mengisi kembali energi yang telah dikeluarkan setelah melakukan suatu pekerjaan. Relaksasi
akan menghasilkan energi
baru.
baru.
c.
Teori Pralatihan
Menurut
teori ini, bermain merupakan kegiatan instingtif. Anak-anak secara naluri akan terlibat dalam kegiatan bermain yang berdasarkan isi
permainannya dipandang dapat digunakan
sebagai persiapan untuk hidup di masa mendatang.
d.
Teori Rekapitulasi
e.
Menurut teori ini, kegiatan bermain harus dimengerti tidak saja
sehubungan dengan masa
depan seseorang, tetapi juga dengan kegiatan masa lalu seseorang. Tingkat
permainan dikaitkan dengan
perkembangan dari kuno dan primitive menuju yang modern. Dua teori pertama di atas bisa dipakai guru, misalnya saja setelah
waktu libur atau berakhir
pekan guru tidak akan memulai pelajaran sampai energi siswa pulih kembali.
Begitu juga setelah mereka bermain, energi mereka terlalu banyak dan untuk itu
guru akan membantu menyalurkan energi
surplus anak untuk melakukan suatu pekerjaan.
2.
Teori Dinamik
Teori ini berusaha
menjelaskan isi dari kegiatan atau permainan. Teori dinamik ini terdiri dari teori konstruktivis dan psikodinamik.
a.
Teori Konstruktivis
Menurut Piaget kegiatan bermain adalah suatu cara memanipulasi
dunia luar sehingga dunia
luar tersebut dapat cocok dan sesuai dengan skema organisasional seseorang saat
itu. Kegiatan bermain merupakan
salah satu fungsi utama dalam mengembangkan intelektual anak. Vygotsky
juga mengemukakan pendapatnya bahwa bermain merupakan kreasi situasi imajiner yang tumbuh diantara anak dan masyarakat. Permainan membebaskan
anak dari realitas yang ada dan akan
menyebabkan anak mengontrol situasi yang akan berlangsung. Anak dapat menggunakan obyek untuk melambangkan sesuatu. Dalam
permainan makna tidak bisa berkaitan
dengan benda dan tindakan sehingga anak dapat melakukan proses pemikiran yang lebih tinggi. Permainan yang bersifat pura-pura itu
sangat berperan dalam penguasaam
bahasa dan kemampuan memecahkan masalah.
b.
Teori Psikodinamik
Freud menganggap bermain merupakan antartik yang memungkinkan anak menguasai situasi-situasi sulit dengan menguasai perasaan yang
tidak dapat dikuasai anak menggunakan
situasi yang nyata sehingga dapat merasakan kejadian yang melelahkan atau menyengsarakan dengan merasakannya melalui situasai permainan
sehingga membantu anak menghadapi
elemen-elemen efektif dari situasi kehidupan yang lebih positif.
Murphy (1962) mengemukakan pendapatnya bahwa anak usia dini
menggumakan permainan untuk
menghadapi masalah-masalah kehidupan seperti bermain dokter-dokteran atau sekolah-sekolahan. Pada akhirnya teori psikodinamik ini
melihat permainan sebagai suatu
mekanisme bukan sebagai katarsis. Permainan digunakan sebagai suatu bentuk psikoterapi untuk anak-anak yang tidak dapat mengungkapkan
perasaan atau menggambarkan
pengalamannya. Namun, tetap ada perbedaan antara pendidikan dan terapi pembelajaran
tentang anak dengan cara mengatasi permainan mereka tetap menjadi bagian dari tradisi pendidikan anak.
Ellis (1973) menyatakan karakter teori yang sifatnya modern yaitu
teori yang memandang permainan sebagai suatu
fungsi motivasi kompeten dan teori yang memandang permainan sebagai suatu alat pelarian rangsangan. Permainan
dipandang sebagai suatu alat di mana
anak dapat mencari dan mengekspresikan stimulasi yang ada secara eksternal
maupun internal untuk membuat
keseimbangan optimal. White
(1959) mengemukakan teorinya, yaitu teori motivasi kompetensi yang menjelaskan bahwa kegiatan bermain merupakan sesuatu cara agar
anak menjadi lebih efektif dalam
tindakannya dan memperoleh kepuasan personal yang lebih berdasar pada
kompetensi yang dimilikinya (dalam
Spodek, 1994).
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa permainan imajinatif anak-anak merupakan suatu usaha untuk
mengorganisasikan pengalaman
afektif, kognitif, dan psikomotornya. Permainan merupakan alat untuk menggali potensi dan mengembangkan kreativitas, mempunyai pengaruh yang
positif terhadap perkembangan
anak, memiliki peran dalam segi emotif, kognitif, dan segi peran sosialisasi untuk mengembangkan konsep dirinya.
BAGIAN 3
MANFAAT
SIMULASI KREATIF
Sebagaimana
dijelaskan pada paparan di atas, simulasi kreatif (permainan) merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan pengalaman afektif, kognitif,
dan psikomotor anak. Permainan
merupakan alat untuk menggali potensi dan mengembangkan kreativitas, mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan anak,
memiliki peran dalam segi emotif,
kognitif, dan segi peran sosialisasi untuk mengembangkan konsep diri anak.
Dengan demikian, melalui simulasi
kreatif guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang alamiah, yang dapat mendorong guru untuk mengamati perkembangan kognisi,
emosi, sosial, dan perkembangan
fisik anak.
1.
Perkembangan Kognisi
Sebagaimana
dikemukakan di atas, perkembangan kognisi anak dapat dikembangkan melalui permainan simbolik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa
hasil penelitian bahwa terdapat
keterkaitan antara permainan dengan perkembangan kognisi (Stone, 1995). Dalam permainan
simbolik, anak menggunakan bahasa, lisan maupun bahasa tubuh (gesture) untuk mentransformasikan identitas obyek, aktivitas, atau orang.
Misalnya, seorang anak menggunakan
sapu atau raket yang diidentikkan dengan gitar untuk melaksanakan kegiatan bermain musik (gitar). Seorang anak perempuan memegang sisir dan menempelkannya
di telinganya sambil berkata
“Halo, Nia apa kabar?, hari Minggu kita pergi ke kebun binatang, yuk?”. Pada saat itu anak mentransformasikan dan
mengidentifikasikan peran dalam permainan
simbolik yang merupakan tahap perkembangan mental sampai mencapai tingkat penghayatan yang tinggi (katarsis). Proses pengidentifikasian
objek dengan sesuatu yang lain seperti
tergambarkan dalam contoh di atas melibatkan proses berpikir abstrak yang akan mebantu perkembangan mental anak.
Contoh
lain, pada saat anak bermain menyusun piramida
dari kotak berhuruf (seperti terlihat pada gambar
samping) atau gelas plastik berwarna dan berhuruf
sehingga membentuk susunan kata bermakna, maka
dia akan berusaha agar gelas-gelas berwarna dan
berhuruf tersebut tidak mudah jatuh. Hal ini menuntut anak untuk berpikir divergen, karena
melalui permainan anak akan mencoba memecahkan masalah dan menemukan solusi permasalahan. Dengan demikian, melalui permainan yang dilakukan
anak akan memperoleh kesempatan
untuk menemukan berbagai solusi permasalahan melalui kegiatan berpikir divergen. Hal ini sejalan dengan tujuan pengembangan kognitif,
yaitu (1) belajar memecahkan masalah,
(2) berpikir logis, mengumpulkan dan memuat informasi yang diperleh sedemikian rupa sehingga masuk akal, dan (3) berpikir secara simbolis,
misalnya menggunakan subyek dengan
cara yang unit (Fawzia, 2003).
2.
Perkembangan Emosi
Selain
mengembangkan kognisi anak, permainan juga merupakan salah satu sarana untuk membantu perkembangan emosi anak. Melalui permainan, anak
dapat mengekspresikan perasaan dan
pikirannya serta mampu mengatasi kegalauan pikiran dan perasaan anak. Dalam mengikuti sebuah permainan, anak berada dalam
dunia yang tidak nyata
sehingga mereka merasa bebas untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Perasaan
anak akan dapat dipandang dengan baik sehingga tercipta konteks yang aman untuk perkembangan emosi anak. Selain itu, permainan dapat digunakan
sebagai alat untuk mengurangi ketegangan atau stress
pada anak atau sebagai media terapi. Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara permainan dengan berkurangnya
rasa cemas (Storm dalam Stone, 1995).
Sebagai contoh permainan
sosiodrama dan storytelling dalam pelaksanaan kegiatannya
akan melibatkan hubungan emosi yang kuat antara si pendongeng dengan
pendengar (anak), karena melalui penampilan storyteller yang baik dengan mimic dan gesture yang mendukung akan menghadirkan dongeng kehidupan dalam sajian verbal yang sarat dengan emosi dan imajinasi. Melalui kegiatan ini anak akan hanyut dalam alur cerita dan turut merasakan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Pada akhirnya, hasil dari keterlibatan emosi ini akan melahirkan pengalaman pada anak berupa nilai pendidikan yang mereka peroleh dari pesan amanat yang tersirat maupun tersurat dalam cerita yang disimak tersebut.
pendengar (anak), karena melalui penampilan storyteller yang baik dengan mimic dan gesture yang mendukung akan menghadirkan dongeng kehidupan dalam sajian verbal yang sarat dengan emosi dan imajinasi. Melalui kegiatan ini anak akan hanyut dalam alur cerita dan turut merasakan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Pada akhirnya, hasil dari keterlibatan emosi ini akan melahirkan pengalaman pada anak berupa nilai pendidikan yang mereka peroleh dari pesan amanat yang tersirat maupun tersurat dalam cerita yang disimak tersebut.
3. Perkembangan Sosial
Permainan yang dilakukan anak akan menciptakan sebuah
interaksi. Dalam interaksi tersebut anak-anak akan
belajar berlatih bekerja sama, bernegosiasi, memecahkan permasalahan dan konflik, bertenggang rasa, berlatih kesabaran dalam
menunggu giliran, dan bahu-membahu dalam
melahirkan sesuatu. Dengan demikian, permainan merupakan salah satu sarana untuk membantu perkembangan sosial anak. Keterlibatan
sosial juga akan tampak pada setiap kegiatan
permainan yang dilakukan anak, begitu juga dalam kegiatan storytelling sebagaimana telah diuraikan di atas.
4. Perkembangan Fisik
Interaksi yang dilakukan anak dalam melakukan sebuah
permainanmenuntut anak untuk menggunakan kemampuan
fisiknya. Melalui permainan, anak diarahkan untuk menguji system keseimbangan tubuhnya, misalnya dalam permainan akrobatik,
permainan yang menguji kecepatan gerak,
kelincahan, ketangkasan dan kegesitan, atau bentuk permainan lainnya. Melalui permainan-permainan di atas, anak akan dapat
mengembangkan panca inderanya. Dengan demikian,
permainan dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan fisik-motorik anak. Sebagai contoh, setelah melakukan
kegiatan sorrytelling
siswa
dapat diarahkan untuk melakukan permainan sosiodrama untuk memerankan para tokoh yang ada dalam cerita. Tidak dapat disangkal bahwa cerita/dongeng
dapat membantu mengembangkan perkembangan
fisik anak. Melalui dramatisasi tadi, anak dapat diarahkan untuk memeragakan tokoh-tokoh sesuai dengan karakterknya melalui
pengontrolan gerakan, peniruan gerakan, penyesuaian
keseimbangan tubuhm pengembangan motorik halus dan motorik kasar, dan dalam pengekspresian berbagai karakter tokoh melalui
pengolahan mimic dan gesture.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
bagi anak permainan berfungsi dalam mengembangkan
fisik, motorik, sosial, emosi, kognisi (daya pikir), daya cipta, daya ingat, bahasa, kepribadian, ketajaman penginderaan, dan
upaya melepaskan rasa ketegangan/stress anak. Fungsi
atau manfaat lainnya dari permainan, yaitu bagi guru dan orang tua dapat berkomunikasi dengan anak, memahami jalan pikiran dan
karakter anak, dan dapat memberikan intervensi
serta berkolaborasi. Dalam hal ini permainan terutama dapat dimanfaatkan sebagai media terapi dan media intervensi. Sesuai dengan
teori-teori permainan yang telah dipaparkan di atas,
permainan memiliki manfaat dan fungsi lain bagi anak, yaitu sebagai wahana rekreasi, penyaluran kelebihan energi, kesenangan dan sebagai
sarana untuk latihan menghadapi hidup.
EVALUASI
(Dikrjakan hingga 04 Januari 2018, pukul 00.00)
- Kemukakan pendapatmu mengenai pandangan Piaget, 1962; Vigotsky, 1978; Zuhdi, 1999 bahwa bermain (play) sangat urgen dalam membantu tumbuh kembang anak!
- Setelah membaca wacana tentang Simulasi Kreatif: Hakikat, Konsep, dan Teori (Bagian I), saya harapkan mahasiswa memberikan batasan yang jelas apa sebenarnya hakikat simulasi kreatif itu?
- Ilustrasikan sebuah contoh simulasi kreatif dalam pembelajaran bahasa dan sastra anak lintas kurikulum dengan mengacu pada salah satu teori simulasi (teori klasikal atau teori dinamik)