Monday, May 19, 2014

HATI (PUISI)



Puisi
HATI
Karya Aziz Thaba
Kuingin melukiskan guratan kesedihanku
di pucuk daun pada embun pagi yang bening
namun aku lemah,  kesombongan matahari
kesombongan yang bersinar sangat terik hingga ia mencair, lalu kucoba melukiskanya di langit yang cerah tapi awan hitam menutupinya hingga ia tak abstrak.
aku tak tahu harus ku ukir di mana kesedihanku ini
 karna alam pun enggan menerimaku untuk berkisah...
biarlah, aku membangkang, membangkan karena tak sanggup untuk diam
Ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang mengapa pagi ini membuat kita menciut bersama
ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang matahari pagi ini yang menitikkan air matanya melihat kita
ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang angin yang membuat kita terhempas
terpisah jauh dari kebersamaan
ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang kecemburuanku yang menyiksa dan mengurung diri di sudut sepi
ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang guratanku ini yang selalu menurutmu samar
namun disinilah ku menyimpan rindu yang terkoyak
ada satu hal yang tidak pernah kau pahami
tentang malam yang selalu ku sebut
ujung malam yang tirus,
kurapalkan....kekasihku....
tentangmu, ia yang tak akan tercapai oleh sesiapun yang menggambarkanmu,
tentangmu, segala pensifatan tersesat, segala gambaran berguguran.
mengenaimu, bayangan paling lembut pun kebingungan.
sungguh, lepas dari tanganku semua sarana penghubung selain yang dihubungkan kasih-sayangMu, putus dari diriku semua ikatan selain yang aku ikatkan padaMu.
dan, lihatlah aku sayang.
orang yang paling malu berada di depanmu
yang marah pada dirinya,
dan, kau masih datang menemuiku, membelaiku dengan kasih sayang yang melimpah.
dengan punggung yang berat, dengan tengkuk yang merunduk, dengan kesalahan, cemas dan harap, aku datang mengais harap dan bersimpuh dihadapanmu.
maafkan segala kedunguan dan kehinaanku, Tuhan.
kau aku api.
jangankan ranjang, kamarpun akan siap kita bakar.
kau aku pijar api.
jauh dari gigil dan gelap.
adakah mimpi yang datang seperti Ibrahim
karna pilihan
adakah mimpi itu datang sebagai petanda yang mampu terbaca
walau ku tahu itu mesti abstrak
namun tak salah bila ku berharap.
ohhh.....
waktu telah memanjakan ide bertempurung di tempatnya
ohhh...
testimoni tuhan, berilah jalan tuk menjaring kata-katamu
ohhh...
kata yang berjalan tak hentinya seperti jalanan tak pernah sepi digilas kendaraan.
ohhh....
absurditas tak lelah bersembunyi saat dicari
dan ohhh...
mimpi terngiangilah hari.
malam pucat. sepi semakin pasi. bintang bulan terlipat dalam selimutmu. hitam langit makin sempurna kepekatannya oleh mendung yang menjelaga. lalu gerimis. mengiris rindu dalam kesunyian berlapis-lapis.
di antara desis lirih tidurmu, igau kecil di sela lelapmu, adakah terselip namaku kau sebut?
entahlah, malam ini aku begitu cemburu pada bantal, guling, ranjang, dinding dan langit-langit kamarmu.
Wangi seribu mawar merajam udara
Udara
Wangi
Mawar
Dan seribu imaji dua anak manusia;
... ... saling menenun kata,
saling menyeru pada kalam yang gaib,
tak ada panas
tak ada debu yang melayang
atau ricik dan deras hujan
yang bisa merintang osmosis batin pecinta
ajari aku ini...
Kabut yang likat
dan kabut yang pupus
lekatan liris pada tiangtiang jembatan
... matahari menggeliat
dan kembali gugup
tak lagi dilangit
‘berpusing’ dipedih lautan
saat kau temui malam yang rangkak,
tahukah kau, di mana letak buhul tepinya?
itu pastilah malam kita.
... saat binar rindu lahir dari dinding keterpisahan kita
diruang yang berjarak,
dimalam yang ringkas,
dirindu yang pungkas,
selalu lahir waktu pertemuan,
bergetar dari dua binar
matamu, mataku
ya, mata kita.



MENANTANG PRESIDEN (PUISI)



PUISI
MENANTANG PRESIDEN
Aziz Thaba
Universitas Cokroaminoto Palopo

Atas nama mereka yang tergadai
Wahai kau pemilik nama
Dengarkan aku yang bukan siapa-siapa
Aku hanya rakyatmu yang jelata
Jelata karena jilatan, Pendusta
Jilatanmu, jilatan mereka yang berdasi di gedung sana
Senin...ya....senin yang lalu, senin penuh luka dan duka
Kisahnya terukir jelas dibenakku, dibenak mereka
Seorang bayi perempuan menutup usianya tanpa bertutur sapa dengan empunya nama
Bertutur untuk perih luka di pundaknya
Mereka hanya butuh keadilan yang sepantasnya
Setelah kau jadikan mereka komoditi niaga atas nama dan suaranya
Kini biarkan aku menantangnya atas nama bayi yang mereka beri luka
Jika aku mati, teruskan perjuangan kita ini saudara...
Perjuangan menuntut nyawa si empunya nama
Karena hari ini, nyawa dibalas dengan nyawa
Pasang matamu
Pasang kedua kupingmu
Kita dicumbu ketidakadilan penipu
Penipu yang berkeliaran di kantor pengadilan itu
Penipu yang berkeliaran di gedung-gedung pemerintahan itu
Mereka hampir muntah, memuntahkan uang haram yang dikunyahnya setiap minggu
Kita termarjinalkan, termarjinalkan oleh anggota dewan
Aku menunggu anakmu muntah sampai mati karena makananmu
Aku menunggu istrimu sekarat karena uangmu
Aku menunggu sampai semua keluargamu kaku tak bernafas karena hartamu
Ini tantanganku, Sebuah sumpah serapa untuk dirimu
Selasa, ya selasa yang lalu
Sebab Sandal jepit, tergadai lima tahun di persidangan siang itu
Sedang 1000 M yang raib kau beri 1 tahun saja di sidang itu
Aku murka, murkaku murka tuhan yang akan menciutkan biji matamu
Karmaku adalah karma tuhan yang akan memotong kelaminmu tanpa jeda
Kini masaku, masa kita yang tertindas oleh mereka
Ayo...Kau perempuan miskin yang duduk dengan tatapan kosong di sana
Beri kami segelas kopi pahit, kopi agar kami insomnia
Mata ini jangan sampai redup dan tak mampu melihat kecurangan mereka,
Dan Kau anak kecil yang menggendong karung berisikan sampah
Masukkan sampah berdasi kedalam karungmu  lalu kau bakar mereka hidup-hidup di pelataran kota
Pelacur-pelacur pemuas nafsu murba
Pensiunkan dirimu, biarkan mereka bercumbu dengan anjing yang menjilati kelaminnya
Biarkan air mani mereka menetes di sepanjang jalan kota
Lalu, Bercumbu dengan istri saudaranya
Dan kau ruh-ruh yang gentayang di sana
Berpumpunlah, jangan biarkan nyawamu terbuang sia-sia
Melayanglah ke udara
Kibarkan bendera merah putih awawarna
Awawarna karena desersi....luka
Kisah desersi mereka adalah luka, luka karena mereka tidak memberi makan pekikan-pekikan tak berdosa
Presiden....
Mampukah kau memberi makan kami yang kelaparan?
kelaparan karena tanah yang kemarin sore kami cangkul telah keras dan berbatu
jika tidak, aku menantangmu,,,,menantangmu karena aku sanggup
sanggup untuk memberi makan mereka yang lapar
Presiden....
Mampukah kau memberi keadilan kepada kami
Keadilan  yang kau beli dengan harga kapas
Keadilan yang kebal bagi kaummu
Kaum yang duduk di kantor-kantor pemerintahan
Jika tidak,,,,,aku menantangmu,,,,menantangmu karena aku sanggup
Sanggup untuk memberi mereka keadilan
Keadilan yang telah lama kau simpan di kantong-kantong bajumu

Ya Allah....................
Oh.....Yesus............................
Oh.....Sang Hiangwidi..........................
Oh.....Dewata..................................................
Sambut tangan kami yang melambai padaMu
Usablah air mata kami dengan jemariMU yang halus itu
Karena hari ini, restuilah tantanganku pada presiden
Atas nama mereka yang tergadai
Aziz Thaba, Lahir di Bone-Bone 11 Sepetember 1991, Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Cokroaminoto Palopo. Nomor Hp. 081354829956.







PATIH PATUH (CERPEN)




Sebuah Cerpen
PATIH PATUH
Karya Aziz Thaba

Ku tatap barisan foto di dinding-dinding kamarku, terkisah mereka yang pernah ada di sekitarku, canda dan tawa bersama, makan bersama, sedih bersama, bahkan kami saling ejek-mengejek namun kita tetap teman, teman di kala sedih, teman di kala tidak punya uang, teman di kala kita senang, semua hal kita selalu berteman. Ini cerita tentang teman-temanku, temanku yang entah dimana mereka berada. Namun mereka tetap temanku. 21 tahun yang lalu, Aku lahir di indonesia, orang tuaku orang indonesia, dan aku tahu lagu kebangsaan indonesia. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Mereka selalu mengejekku dengan hal itu, sejak SD, teman-teman punya lagu yang katanya modern, lagu anak band. Mereka hafal dengan jelas lagunya. Aku tahu lagu itu tentang wanita yang jatuh cinta, putus cinta, dan masih banyak lagi tentang cinta, cinta, dan cinta. Aku tahu karena sering ku dengarkan saat mereka bernyanyi diruang kelas. Ada juga kaki di kepala kepala di kaki. Ini lagu kesukaan Bambang saat duduk di bangku SD dulu. Ahhh...lagunya membalikkan pikiran ku, padahal hanya kudengar, bagaimana dengan mereka yang menghafal dan menyanyikannya setiap hari. Kaki mereka adalah kepala, kepala mereka adalah kaki. Aku bangga dengan lagu kebangsaanku, Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Halo-halo Bandung, Ibu Kita Kartini, Indonesia Pusaka dan masih banyak lagi, inilah lagu yang selalu aku dendangkan saat di rumah, disekolah terutama saat hari upacara bendera . Ada pemandangan lucu yang selalu aku saksikan saat upacara bendera di hari Senin, Lagunya Indonesia Raya, aku selalu menjadi tim paduan suara di sekolah. Saat kita mulai bernyanyi banyak siswa yang hanya menggoyangkan bibirnya tanpa bersuara misalnya, safar, anna, uhra, dan raoda. Itulah sebabnya suaraku yang paling cempreng saat bernyanyi di upacara bendera. Anehnya lagi, ketika lirik lagu hampir selesai kita nyanyikan, masih banyak yang salah menyanyikannya. Ditambah lagi Marsuki, jelas-jelas ia sudah salah, masih saja ketawa dengan lantangnya. Tidak heran, setipa hari senin lapangan bulu tangkis di halaman sekolah penuh dengan manusia yang dijemur hingga kadar tujuh. Kalau aku sendiri tidak, maklum siswa teladan. Mungkin nyanyian di upacara berikutnya kita ganti saja dengan nyanyian anak band.
***
Aku lahir di indonesia, orang tuaku orang indonesia, dan aku tahu baju adat kebangsaan indonesia. Banyak macamnya, baju bodo, kebaya, dan lain sebagainya. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang indonesia, aku senang berpakaian batik, aku senang menggunakan blangkon, karena itu adalah identitas ku, banyak kisah yang ingin aku ceritakan, kemarin aku hadir dalam reuni Akbar sekolahku saat SMU, aku gunakan baju batik, celana hitam, aku tidak menggunakan blangkon, mungkin karena aku lupa. Semua mata tertuju padaku, mereka tertawa cengengesan melihat tampilanku yang indonesia banget, aku bangga, indonesia adalah jati diriku. Katanya kostumku bukan zamannya lagi, sekarang zaman modern, baju kaos buatan eropa, celana jeans dan topi warna-warni, bergaya sih boleh tapi jati diri jangan sampai dilupakan. Ada lagi yang lebih parah, mereka merobek beberapa bagian celananya agar terlihat lebih keren, katanya. Ini gaya teman saya Sudi yang sok keren . Tapi menurutku lebih keren aku dengan batikku, apalagi Almarhum Ki Hajar Dewantara, Insya allah aku adalah titisannya, seperti artis gitu, Jupe titisan Susanna. Ada juga pemandangan yang sangat menyedihkan saat malam hari, celananya sejengkal bahkan dua jengkal di atas lutut, bajunya hanya sampai satu atau dua senti diatas buah dada, katanya gaun malam, seksi, modern, ini tampilan dua orang temanku yang kutemui malam itu, Delfi dan Nita, ia terburu-buru katanya sih menuju ke club malam. tapi menurutku dia tidak punya uang lebih untuk membeli kain yang cukup menutupi tubuhnya. Katanya ingin tampil cantik, tapi menurutku R. A. Kartini lebih cantik dengan pakaiannya. Sepertinya aku juga mau jadi titisan Kartini.
***
Aku lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku  bangga berbahasa indonesia dan bahasa daerahku. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang indonesia. Ini ceritaku, cerita tentang temanku. Kali ini bukan tentang temanku saat SD, SMP, atau SMA, kali ini kisah tentang temanku di bangku perkuliahan. Aku kuliah di salah satu Universitas di kotaku, Universitas Cokroaminoto Palopo namanya. Di kampus ini aku punya banyak teman, teman yang sudah dewasa, dewasa dalam hal apapun, cinta, seksualitas, dan persahabatan. Dunia kampus memang beda. Kini aku juga dewasa, dewasa seperti teman-temanku. Bahasa mereka bahasa dewa, bibir mereka bibir yang menawarkan surga, mata mereka mata yang  begitu tajam, tajam hingga banyak hati yang terpukau karena matanya.
Ribuan langkah bolak-balik dihadapan ku hanya senyum yang mereka lemparkan padaku, ada juga sapaan yang lagi populer bagi mereka “apa kabar bro...?”, “lagi ngapain guys..?” jawabku hanya biasa saja, kalau bukan bahasa indonesia ya bahasa daerahku. Ada juga yang lebih unik, unik karena aku memang tidak tahu. Arahkan mata mu mengikuti huruf-huruf yang aku tulis ini, ini kisah bukan sembarang kisah, kisah antara kita berdua, antara aku dan merah putih. Perkuliahan baru saja usai, mata kuliah linguistik umum yang di ajarkan, ini tentang bahasa, dosennya seorang perempuan setengah baya dengan kerudung  warna orange dikepalanya. Semuanya bercakap menuju kedepan pintu menyambut sapaan manusia lain di luar sana namun masih banyak juga yang tiggal di dalam kelas, bercakap dengan bahasa aneh mereka
“cegepagat mi kogo, lepar mi ka.....rempong mu da” 1 panggil Nurul pada teman-teman satu genknya.
“wiehhhhh....ojo ko buru-buru, melos ku” 2 jawab tika dengan wajah sangarnya. Mereka memang tim yang selalu kompak, nama timnya Katirrack, entahlah apa artinya, yang jelas mereka tetap temanku, temanku yang mengerti aku, mengerti dikala aku ada masalah dan apapun itu, mereka memang temanku.
“yuahhhh.....mlomong bro...?” 3 harma datang mendorong belakangku seraya mengagetkan aku yang sedang sibuk memperbaiki catatanku yang masih tidak karuan saat kuliah tadi, mereka sih acuh dengan catatan mereka, bahkan ada juga yang tidak menulis, macam adi, ari dan juga restu yang ujung-ujungnya aku yang repot. Bukuku kesana kemari mereka copy. Giliran ujian akhir semester mereka sibuk mengibaskan pandangannya kesana-kemari, aku takut jangan samapi leher mereka tidak balik lagi. Bisikan demi bisikan terdengar lirih di telingaku, mereka seperti setan yang mempengaruhi mangsanya.
“Tanya ayam...!!!” 4 jawabku atas panggilan lirih mereka, aku jadi kesal, konsentrasiku buyar akibat suara-suara sumbang yang tidak pernah aku harapkan. Mungkin aku egois atau angkuh, tapi hal ini sering mereka lakukan, belum satupun soal mereka kerjakan tapi panggilannya sejuta mengibas kupingku. Mereka hanya mau menyontek dan menyontek.
***
Aku lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku  bangga berbudaya indonesia dan budaya daerahku. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang indonesia. Kini kembali aki ingin berkisah. Kisah ini bukan sembarang kisah, bukan kisah saat aku SD, SMP, SMA, atau aku Mahasiswa, tapi ini kisahku saat aku menjadi seorang warga baru, aku sarjana muda. Pagi-pagi aku bangun dan mencari angin segar. Dijalan tergelatk 3 batang tubuh, perutnya masih kembang kempis, aku menhela nafas panjang aku takut aku tersangka akibat aku adalah orang pertama yang melihatnya. Ternyata mereka adalah 3 orang pemudah kampung yang semalam berteriak akibat ketidaksadaranya setelah minum minuman keras. Baunya menyengat, di bibirnya keluar busa putih kekuning-kuningan. Sepertinya orang-orang jijik alan hal itu, termasuk aku. Masyaraat hanya menyiram mereka dengan seember air. Bagi mereka ini adalah hal yang biasa. Sore hari aku dan nenek serta tiga orang temanku arlan, asrijal, dan amrul menuju kebun di kampung seberang untuk memetik sayur dan mengambil buah langsat, saat itu musim langsat merebak di berbagai penjuru di kotaku, salah satunya adalah kampungku, kampung Pada’ namanya. Kali ini aku bangga, bangga karena masyarakat mau bermusyawarah. Aku melihat sekumpulan lelaki setengah baya, laki-laki seusiaku duduk melingkar dan berbincang di tengah kebun, aku tdak mendengar perbincangan mereka karena jauh dari posisiku yang ada di bawah pohon langsat milik nenek. Tapi aku sedikit bertanya pada diri sendiri, ada keanehan yang aku lihat. Selama ini musyawarah di kampus tidak pernah memegang kertas seperti kartu remi atau menyerupai kartu domino. Asrijal, amrul dan arlan dengan asyik memetik buah langsat yang kekuning-kuningan di atas pohon. Aku berlari kearah nenek yang tengah memetik sayur untuk menjari jawab atas segala pertanyaan ku kali ini.
“nek....” panggilku pada nenek.
“opo....” jawab nenek dengan bahasa jawa seraya membalikkan kepala dan badanya yang kini rentah dimakan usia.
“nenek lihat laki-laki yang berkumpul di bawah pohon besar itu, mereka sedang apa nek ?” tanyaku balik kepada nenek.
“akh...jangan diurus, pergi sana sama teman mu” pintah nenek padaku.
“aku mau lihat nek, mengapa mereka musyawarah di dalam hutan, kan ada aula kantor desa” desakku dengan penasaran.
“jangan mereka lagi berjudi....biar tidak ketangkap sama polisi mereka sembunyi di hutan seperti ini” jelas nenek meyakinkanku. Aku jadi tahu banyak hal, nenekku pahlawanku. Jadi mirip lirik lagu wali band. Kini aku tahu banya lagu band, tapi lagu kebangsaanku adalah yang utama. Kini aku tahu sedikit bahasa gaul seperti kata mereka, tapi bahasa indonesia dan bahasa daerahku adalah yang utama. Nenek telah usai memetik sayur, teman-temanku ngos-ngosan memetik buah. Aku jadi seperti lampu yang bersinar di siang bolong. Hari sudah semakin sore, kami bergegas kembali kerumah dengan membawa buah dan sayuran. Sesekali aku membalikkan kepalaku kebelakang, memandang tepat kearah kumpulan laki-laki yang sedang berjudi kata nenek. Mereka belum juga kembali kerumah, justru mereka semakin asyik dengan kartu mereka. Malam pun tiba, baju putih lengan panjang berkerah menempel rapih di badanku dipadu dengan celana jeans hitam, kini aku mengenakan celana itu, namun celanaku yang dulu, masih sering aku kenakan. Tubuh ku segar setelah mandi dan beribadah. Kini seperti biasa, aku jalan-jalan kerumah tetangga untuk bersilaturahim, bercanda dan berbagi pengalaman. Anak kecil berlarian kesana kemari, kadang kakiku terinjak oleh kakinya sampai-sampai sesekali aku sengaja mengganjal kakiku agar anak itu terjatuh, orang tua mereka biasa saja, tak ada teguran untuk anaknya. Atau orang tua mereka tidak mendidi anaknya dengan etika yang baik. Atau bahkan aku tidak terlihat di mata anak itu karena baju putih yang aku kenakan sehingga badanku tembus pandang....akhhhh....aku jadi ngelintur. Mana mungkin ada manusia yang tidak nampak tapi bisa becakap dengan ibunya, bapaknya, neneknya.
 ***
Aku lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku  bangga dengan lagu, baju, berbahasa dan budaya indonesia. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang indonesia. Kini kembali aku ingin berkisah untuk yang terakhir kalinya. Kisah ini bukan tentang teman-temanku. Tapi kisah ini tentang anak kecil yang ada di bangku sekolah SD. Dulu aku juga duduk dibangku sekolah SD. Banyak kisah tentang diriku dan teman-temanku di SD, kisah saat kami bernyanyi dan lain sebagainya. Aku pikir dugaanku salah kalau beberapa tahun setelah aku anak-anak tidak tahu lagi lagu kebangsaan mereka. Ternyata  benar, mereka hilang bentuk, remuk dan tak berwajah. Di belakang sekolah kulihat 3 orang anak kecil memegang benda putih kecil agak panjang dan di hisabnya dengan asyik, asapnya membumbung ke angkasa membawa kenikmatan yang mereka rasakan, di samping toilet dua pasang manusia berbincang tentang cinta dan persaan mereka. Diruang kelas, wanita dan laki-laki muda berlarian dan berteriak, sesekali anak kecil laki-laki itu menggenggam payudara mudah yang belum berkembang, namun ada juga yang payudara mereka hampir sama dengan payudara gadis dewasa yang kutemui di pasar kemarin siang. Aku juga menyaksikan seorang wanita muda duduk sambil memegang Handfhone, ia tidak bergerak kesana kemari. Kutanya pada temannya ihwal apa yang aku saksikan, katanya palang merah sedang membatasi geraknya. Aku melihat diatas pintu tertulis dengan jelas kelas V dimna anak itu duduk dan tersenyum sendiri. Masih banyak yang aku saksikan, mereka dengan murahnya bicara tentang kelamin, usianya tidak lebih dari 12 tahun. Ini kisahku yang buruk. Kisah dimana ku akhiri cerita ini.
Aziz Thaba, Lahir di Bone-Bone 11 Sepetember 1991, Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Cokroaminoto Palopo. Nomor Hp. 081354829956.

1 “Cegepagat mi kogo, lepar mi ka.....rempong mu da” (bahasa slang, cepetlah, saya sudah lapar, kamu repot sekali)
2 “wiehhhhh....ojo ko buru-buru, melos ku” (bahasa jawa dipadu dengan bahasa slang, wihhh...kamu jangan buru-buru, saya jadi malas)
3 yuahhhh.....mlomong bro...” (bahasa slang, yuahhhh,,,,lagi melamun teman)
4  tanya ayam” (bahasa slang, bahasa ini digunakan untuk mencela pertanyaan atau mengejek pernyataan orang lain)

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...