Sebuah
Cerpen
PATIH PATUH
Karya
Aziz Thaba
Ku
tatap barisan foto di dinding-dinding kamarku, terkisah mereka yang pernah ada
di sekitarku, canda dan tawa bersama, makan bersama, sedih bersama, bahkan kami
saling ejek-mengejek namun kita tetap teman, teman di kala sedih, teman di kala
tidak punya uang, teman di kala kita senang, semua hal kita selalu berteman.
Ini cerita tentang teman-temanku, temanku yang entah dimana mereka berada.
Namun mereka tetap temanku. 21 tahun yang lalu, Aku lahir di indonesia, orang
tuaku orang indonesia, dan aku tahu lagu kebangsaan indonesia. Kata
teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Mereka selalu mengejekku dengan
hal itu, sejak SD, teman-teman punya lagu yang katanya modern, lagu anak band.
Mereka hafal dengan jelas lagunya. Aku tahu lagu itu tentang wanita yang jatuh
cinta, putus cinta, dan masih banyak lagi tentang cinta, cinta, dan cinta. Aku
tahu karena sering ku dengarkan saat mereka bernyanyi diruang kelas. Ada juga
kaki di kepala kepala di kaki. Ini lagu kesukaan Bambang saat duduk di bangku
SD dulu. Ahhh...lagunya membalikkan pikiran ku, padahal hanya kudengar,
bagaimana dengan mereka yang menghafal dan menyanyikannya setiap hari. Kaki
mereka adalah kepala, kepala mereka adalah kaki. Aku bangga dengan lagu kebangsaanku,
Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Halo-halo Bandung, Ibu Kita Kartini,
Indonesia Pusaka dan masih banyak lagi, inilah lagu yang selalu aku dendangkan
saat di rumah, disekolah terutama saat hari upacara bendera . Ada pemandangan
lucu yang selalu aku saksikan saat upacara bendera di hari Senin, Lagunya Indonesia
Raya, aku selalu menjadi tim paduan suara di sekolah. Saat kita mulai bernyanyi
banyak siswa yang hanya menggoyangkan bibirnya tanpa bersuara misalnya, safar,
anna, uhra, dan raoda. Itulah sebabnya suaraku yang paling cempreng saat
bernyanyi di upacara bendera. Anehnya lagi, ketika lirik lagu hampir selesai
kita nyanyikan, masih banyak yang salah menyanyikannya. Ditambah lagi Marsuki,
jelas-jelas ia sudah salah, masih saja ketawa dengan lantangnya. Tidak heran,
setipa hari senin lapangan bulu tangkis di halaman sekolah penuh dengan manusia
yang dijemur hingga kadar tujuh. Kalau aku sendiri tidak, maklum siswa teladan.
Mungkin nyanyian di upacara berikutnya kita ganti saja dengan nyanyian anak
band.
***
Aku
lahir di indonesia, orang tuaku orang indonesia, dan aku tahu baju adat
kebangsaan indonesia. Banyak macamnya, baju bodo, kebaya, dan lain sebagainya.
Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang indonesia,
aku senang berpakaian batik, aku senang menggunakan blangkon, karena itu adalah
identitas ku, banyak kisah yang ingin aku ceritakan, kemarin aku hadir dalam
reuni Akbar sekolahku saat SMU, aku gunakan baju batik, celana hitam, aku tidak
menggunakan blangkon, mungkin karena aku lupa. Semua mata tertuju padaku,
mereka tertawa cengengesan melihat tampilanku yang indonesia banget, aku
bangga, indonesia adalah jati diriku. Katanya kostumku bukan zamannya lagi,
sekarang zaman modern, baju kaos buatan eropa, celana jeans dan topi
warna-warni, bergaya sih boleh tapi jati diri jangan sampai dilupakan. Ada lagi
yang lebih parah, mereka merobek beberapa bagian celananya agar terlihat lebih
keren, katanya. Ini gaya teman saya Sudi yang sok keren . Tapi menurutku lebih
keren aku dengan batikku, apalagi Almarhum Ki Hajar Dewantara, Insya allah aku
adalah titisannya, seperti artis gitu, Jupe titisan Susanna. Ada juga
pemandangan yang sangat menyedihkan saat malam hari, celananya sejengkal bahkan
dua jengkal di atas lutut, bajunya hanya sampai satu atau dua senti diatas buah
dada, katanya gaun malam, seksi, modern, ini tampilan dua orang temanku yang
kutemui malam itu, Delfi dan Nita, ia terburu-buru katanya sih menuju ke club
malam. tapi menurutku dia tidak punya uang lebih untuk membeli kain yang cukup
menutupi tubuhnya. Katanya ingin tampil cantik, tapi menurutku R. A. Kartini
lebih cantik dengan pakaiannya. Sepertinya aku juga mau jadi titisan Kartini.
***
Aku
lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku bangga berbahasa indonesia dan bahasa
daerahku. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga
jadi orang indonesia. Ini ceritaku, cerita tentang temanku. Kali ini bukan
tentang temanku saat SD, SMP, atau SMA, kali ini kisah tentang temanku di
bangku perkuliahan. Aku kuliah di salah satu Universitas di kotaku, Universitas
Cokroaminoto Palopo namanya. Di kampus ini aku punya banyak teman, teman yang
sudah dewasa, dewasa dalam hal apapun, cinta, seksualitas, dan persahabatan.
Dunia kampus memang beda. Kini aku juga dewasa, dewasa seperti teman-temanku.
Bahasa mereka bahasa dewa, bibir mereka bibir yang menawarkan surga, mata
mereka mata yang begitu tajam, tajam
hingga banyak hati yang terpukau karena matanya.
Ribuan
langkah bolak-balik dihadapan ku hanya senyum yang mereka lemparkan padaku, ada
juga sapaan yang lagi populer bagi mereka “apa kabar bro...?”, “lagi ngapain
guys..?” jawabku hanya biasa saja, kalau bukan bahasa indonesia ya bahasa
daerahku. Ada juga yang lebih unik, unik karena aku memang tidak tahu. Arahkan
mata mu mengikuti huruf-huruf yang aku tulis ini, ini kisah bukan sembarang
kisah, kisah antara kita berdua, antara aku dan merah putih. Perkuliahan baru
saja usai, mata kuliah linguistik umum yang di ajarkan, ini tentang bahasa,
dosennya seorang perempuan setengah baya dengan kerudung warna orange dikepalanya. Semuanya bercakap
menuju kedepan pintu menyambut sapaan manusia lain di luar sana namun masih
banyak juga yang tiggal di dalam kelas, bercakap dengan bahasa aneh mereka
“cegepagat
mi kogo, lepar mi ka.....rempong mu da” 1 panggil Nurul pada
teman-teman satu genknya.
“wiehhhhh....ojo
ko buru-buru, melos ku” 2 jawab tika dengan wajah sangarnya. Mereka
memang tim yang selalu kompak, nama timnya Katirrack, entahlah apa artinya,
yang jelas mereka tetap temanku, temanku yang mengerti aku, mengerti dikala aku
ada masalah dan apapun itu, mereka memang temanku.
“yuahhhh.....mlomong
bro...?” 3 harma datang mendorong belakangku seraya mengagetkan aku
yang sedang sibuk memperbaiki catatanku yang masih tidak karuan saat kuliah
tadi, mereka sih acuh dengan catatan mereka, bahkan ada juga yang tidak
menulis, macam adi, ari dan juga restu yang ujung-ujungnya aku yang repot.
Bukuku kesana kemari mereka copy. Giliran ujian akhir semester mereka sibuk
mengibaskan pandangannya kesana-kemari, aku takut jangan samapi leher mereka
tidak balik lagi. Bisikan demi bisikan terdengar lirih di telingaku, mereka
seperti setan yang mempengaruhi mangsanya.
“Tanya
ayam...!!!” 4 jawabku atas panggilan lirih mereka, aku jadi kesal,
konsentrasiku buyar akibat suara-suara sumbang yang tidak pernah aku harapkan.
Mungkin aku egois atau angkuh, tapi hal ini sering mereka lakukan, belum satupun
soal mereka kerjakan tapi panggilannya sejuta mengibas kupingku. Mereka hanya
mau menyontek dan menyontek.
***
Aku
lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku bangga berbudaya indonesia dan budaya daerahku.
Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku bangga jadi orang
indonesia. Kini kembali aki ingin berkisah. Kisah ini bukan sembarang kisah,
bukan kisah saat aku SD, SMP, SMA, atau aku Mahasiswa, tapi ini kisahku saat
aku menjadi seorang warga baru, aku sarjana muda. Pagi-pagi aku bangun dan
mencari angin segar. Dijalan tergelatk 3 batang tubuh, perutnya masih kembang
kempis, aku menhela nafas panjang aku takut aku tersangka akibat aku adalah
orang pertama yang melihatnya. Ternyata mereka adalah 3 orang pemudah kampung
yang semalam berteriak akibat ketidaksadaranya setelah minum minuman keras.
Baunya menyengat, di bibirnya keluar busa putih kekuning-kuningan. Sepertinya
orang-orang jijik alan hal itu, termasuk aku. Masyaraat hanya menyiram mereka
dengan seember air. Bagi mereka ini adalah hal yang biasa. Sore hari aku dan
nenek serta tiga orang temanku arlan, asrijal, dan amrul menuju kebun di
kampung seberang untuk memetik sayur dan mengambil buah langsat, saat itu musim
langsat merebak di berbagai penjuru di kotaku, salah satunya adalah kampungku,
kampung Pada’ namanya. Kali ini aku bangga, bangga karena masyarakat mau
bermusyawarah. Aku melihat sekumpulan lelaki setengah baya, laki-laki seusiaku
duduk melingkar dan berbincang di tengah kebun, aku tdak mendengar perbincangan
mereka karena jauh dari posisiku yang ada di bawah pohon langsat milik nenek.
Tapi aku sedikit bertanya pada diri sendiri, ada keanehan yang aku lihat.
Selama ini musyawarah di kampus tidak pernah memegang kertas seperti kartu remi
atau menyerupai kartu domino. Asrijal, amrul dan arlan dengan asyik memetik
buah langsat yang kekuning-kuningan di atas pohon. Aku berlari kearah nenek
yang tengah memetik sayur untuk menjari jawab atas segala pertanyaan ku kali
ini.
“nek....”
panggilku pada nenek.
“opo....”
jawab nenek dengan bahasa jawa seraya membalikkan kepala dan badanya yang kini
rentah dimakan usia.
“nenek
lihat laki-laki yang berkumpul di bawah pohon besar itu, mereka sedang apa nek
?” tanyaku balik kepada nenek.
“akh...jangan
diurus, pergi sana sama teman mu” pintah nenek padaku.
“aku
mau lihat nek, mengapa mereka musyawarah di dalam hutan, kan ada aula kantor
desa” desakku dengan penasaran.
“jangan
mereka lagi berjudi....biar tidak ketangkap sama polisi mereka sembunyi di
hutan seperti ini” jelas nenek meyakinkanku. Aku jadi tahu banyak hal, nenekku
pahlawanku. Jadi mirip lirik lagu wali band. Kini aku tahu banya lagu band,
tapi lagu kebangsaanku adalah yang utama. Kini aku tahu sedikit bahasa gaul
seperti kata mereka, tapi bahasa indonesia dan bahasa daerahku adalah yang
utama. Nenek telah usai memetik sayur, teman-temanku ngos-ngosan memetik buah.
Aku jadi seperti lampu yang bersinar di siang bolong. Hari sudah semakin sore,
kami bergegas kembali kerumah dengan membawa buah dan sayuran. Sesekali aku
membalikkan kepalaku kebelakang, memandang tepat kearah kumpulan laki-laki yang
sedang berjudi kata nenek. Mereka belum juga kembali kerumah, justru mereka
semakin asyik dengan kartu mereka. Malam pun tiba, baju putih lengan panjang
berkerah menempel rapih di badanku dipadu dengan celana jeans hitam, kini aku
mengenakan celana itu, namun celanaku yang dulu, masih sering aku kenakan.
Tubuh ku segar setelah mandi dan beribadah. Kini seperti biasa, aku jalan-jalan
kerumah tetangga untuk bersilaturahim, bercanda dan berbagi pengalaman. Anak
kecil berlarian kesana kemari, kadang kakiku terinjak oleh kakinya
sampai-sampai sesekali aku sengaja mengganjal kakiku agar anak itu terjatuh,
orang tua mereka biasa saja, tak ada teguran untuk anaknya. Atau orang tua
mereka tidak mendidi anaknya dengan etika yang baik. Atau bahkan aku tidak
terlihat di mata anak itu karena baju putih yang aku kenakan sehingga badanku
tembus pandang....akhhhh....aku jadi ngelintur. Mana mungkin ada manusia yang
tidak nampak tapi bisa becakap dengan ibunya, bapaknya, neneknya.
***
Aku
lahir di Indonesia, orang tuaku orang Indonesia, dan aku bangga dengan lagu, baju, berbahasa dan
budaya indonesia. Kata teman-temanku, aku jadul, norak, tidak gaul. Tapi aku
bangga jadi orang indonesia. Kini kembali aku ingin berkisah untuk yang
terakhir kalinya. Kisah ini bukan tentang teman-temanku. Tapi kisah ini tentang
anak kecil yang ada di bangku sekolah SD. Dulu aku juga duduk dibangku sekolah
SD. Banyak kisah tentang diriku dan teman-temanku di SD, kisah saat kami
bernyanyi dan lain sebagainya. Aku pikir dugaanku salah kalau beberapa tahun
setelah aku anak-anak tidak tahu lagi lagu kebangsaan mereka. Ternyata benar, mereka hilang bentuk, remuk dan tak
berwajah. Di belakang sekolah kulihat 3 orang anak kecil memegang benda putih
kecil agak panjang dan di hisabnya dengan asyik, asapnya membumbung ke angkasa
membawa kenikmatan yang mereka rasakan, di samping toilet dua pasang manusia
berbincang tentang cinta dan persaan mereka. Diruang kelas, wanita dan
laki-laki muda berlarian dan berteriak, sesekali anak kecil laki-laki itu
menggenggam payudara mudah yang belum berkembang, namun ada juga yang payudara
mereka hampir sama dengan payudara gadis dewasa yang kutemui di pasar kemarin
siang. Aku juga menyaksikan seorang wanita muda duduk sambil memegang
Handfhone, ia tidak bergerak kesana kemari. Kutanya pada temannya ihwal apa
yang aku saksikan, katanya palang merah sedang membatasi geraknya. Aku melihat
diatas pintu tertulis dengan jelas kelas V dimna anak itu duduk dan tersenyum
sendiri. Masih banyak yang aku saksikan, mereka dengan murahnya bicara tentang
kelamin, usianya tidak lebih dari 12 tahun. Ini kisahku yang buruk. Kisah
dimana ku akhiri cerita ini.
Aziz
Thaba, Lahir di Bone-Bone 11 Sepetember 1991, Mahasiswa jurusan bahasa dan
sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas
Cokroaminoto Palopo. Nomor Hp. 081354829956.
1
“Cegepagat
mi kogo, lepar mi ka.....rempong mu da” (bahasa
slang, cepetlah, saya sudah lapar, kamu
repot sekali)
2
“wiehhhhh....ojo
ko buru-buru, melos ku” (bahasa jawa
dipadu dengan bahasa slang, wihhh...kamu
jangan buru-buru, saya jadi malas)
3 “yuahhhh.....mlomong
bro...” (bahasa slang, yuahhhh,,,,lagi
melamun teman)
4 “tanya ayam” (bahasa slang, bahasa ini
digunakan untuk mencela pertanyaan atau mengejek pernyataan orang lain)