MENANTANG
PRESIDEN
Karya
Aziz Thaba
Tua,
74 tahun. Duduk diatas kursi goyang, memangku sebuah buku yang ditulis oleh
seorang motivator muda, Mario Teguh. Rambutnya menipis, warnanya memutih. Kini
tak lagi hitam dan lurus, ia menyanggulnya dengan sebuah tusukan konde besi
berwarna hijau tua. Itu memang warna kesukaannya. Sejak dulu, aku sadar ia
senang dengan warna itu. Bahkan saat ia kesekolah untuk memberi sedikit ilmu
untuk siswanya. Kini aku kembali, kembali
untuk menengok ibuku yang sudah tua, kulitnya keriput, namun masih saja
bersahaja. Kali ini, aku menengok ibu bukan sekedar menengok, menengok atas
segala pertanyaan yang tersimpan dalam memori ingatanku. Aku datang dengan berbagai pribadi, anaknya,
siswanya dan sebagai seorang calon pemimpin. Kali ini kedatanganku tidak jauh
berbeda dengan kedatanganku yang lalu. Posisi kursi goyangnya masih saja di
hadapan jendela kayu yang menyajikan suasana alam yang indah, ibu senang duduk
di depan jendela tersebut karena terpaan angin sepoi-sepoi sore hari. Mungkin karena
terpaan angin sepoi-sepoi itu, setiap ibu berkata, perkataannya bijak bak angin
yang meraba kulit, lembut. “Apa gerangan
yang membawamu datang kerumah kelahiranmu anak muda?” sambutnya setelah menjawab
salamku. Aku belum sempat mencium tangannya. Ia memang seperti itu. Perlahan tapi pasti, kuhampiri dia dan kutarik
tangannya yang dingin dan kuberikan ciuman itu tepat di atas punggung tangannya.
Kini pribadiku sebagai seorang anak. Ia melihatku dengan samar, penglihatannya
tak lagi secerah saat aku masih menagis karena tidak diberi isin bermain
disiang bolong. Sikapnya pun berbeda, kini ia menganggapku dewasa, padahal aku
masih ingin tidur di pangkuannya dengan nyanyian nina bobo yang membesarkan
aku. “Ibu, ini adalah surgaku, surga di
rumah kelahiranku, surga dimana rahim aku dikandung” jawabku. Ia tersipu
dan tersenyum atas jawabku. “benarkah apa yang kau katakan, bukankah engkau
datang karena engkau terluka, terluka karena jiwamu tergadai” jawabnya dengan
tanya yang begitu rumit. Tapi aku memahami kerumitan itu, dia memang ibuku, dia
mengerti akan diriku. Dia tahu jikalau aku sedih, dia tahu jikalau aku bahagia,
bahkan dia tahu segala kerisauhanku. Kali ini hanya senyum kebanggaan yang
hadir di wajahku, senyum dan bangga karena dia ibuku. Ibu nomor satu bagiku. “Ada kerisauhan dibenakku bu” jawabku
sambil mendekati ibu dan berdiri disampingnya. “kerisauhan apa gerangan nak” tanya ibu. “biar kubuatkan segelas teh hangat buat ibu” tawaranku bernada
merayu sebelum menjawab pertanyaannya. Segelas teh hangat kusuguhkan buat ibu
tercinta, segelas atas sejuta kasih dan sayangnya. “ibu, mereka membicarakan tentang kejelekanku”.“Kejelekan apa? Kalau
kejelekan itu kau yang perbuat, maka itu adalah konsekuensi yang harus kau
terima, aku ibumu, kalau kau bersalah tetap kau salah, aku tidak akan memberi
pembelaan atas kesalahanmu, tapi meminta maaf atas kesalahanmu terhadap orang
yang kau sakiti” ibuku memberi nasihat yang selalu ia berikan, aku pikir
nasihat itu sudah ia lupakan, ternyata tidak. “mereka
mengatakan kalau aku bahadur, nekat, takabur, dan sok ksatria” jelasku pada
ibu. Ibu menggelengkan kepalanya, mungkin ia kecewa padaku, kecewa atas
penilaian orang-orang yang kusampaikan padanya. “sekarang kau menganggap aku sebagai siapa? Apakah kau menganggapku ibumu, atau kau menganggap aku sebagai gurumu”
tanya ibu ingin tahu. “hanya ibu yang tau
posisiku, kapan aku bertanya sebagai anak dan kapan aku bertanya sebagai
seorang siswa, tapi ibu harus tahu, aku sudah dewasa, sudah mampu menilai baik
buruk”. Jelasku berusaha meyakinkan dirinya bahwa kini aku datang sebagai
seorang pemimpin. “kini aku berbicara dengan seorang yang dewasa, seorang pemimpin,
katakan apa kejelekanmu anak muda?”
“aku ingin menantang”
“siapa yang ingin kau tantang anak
muda?”
“presiden....”
“Presiden... atas dasar apa?”
“entahlah, mungkin ia lalai,
curang, atau dia adalah presiden yang angkuh”
“anak muda, jaga perkataanmu, dia
adalah pemimpin, aku baru tahu, mengapa engkau bahadur, nekat, takabur dan sok
ksatria”
“aku bukan anak kecil lagi, aku
tahu arti pemimpin, aku tahu arti penderitaan, keadilan bahkan banyak arti yang
aku tahu”
“apa yang kau tahu tentang arti
pemimpin”
“pemimpin itu adalah ayah, tentu
ibu tahu maksudku”. Ibu menganggukkan kepalanya mendengar
perkataanku, mungkin ia mengerti apa yang aku utarakan.
“apa yang kau lihat diluar sana
sehingga kau berkata demikian” tanyanya lagi.
“aku melihat pemimpin yang acuh,
tiada kepedulian padanya”. Aku adalah orang miskin, tapi masih banyak lagi
orang miskin yang mempertarukan hidupnya di tong-tong sampah. Padahal presiden
dengan asyiknya makan dengan makanan yang lezat, menghamburkan uang bermilyar
hanya untuk hal yang sepele. Fenomena ini banyak kita jumpai diperkotaan, masih
banyak anak kecil, ibu-ibu, yang mengais makanan di tong sampah, mereka adalah
jiwa perkasa, makanan mereka lebih berharga dari makanan presiden, ia tidak
menikamati uang orang lain, presiden yang angkuh karena makan makanan orang-orang
yang tertindas. Gedung-gedung dibagun dengan harga yang begitu besar, toilet
dengan biaya ratusan milyar sedangkan masih banyak manusia yang kelaparan. Aku
menantang presiden akan hal ini.
“lalu apa yang kau pertantangkan
dengan presiden”
“aku menantang presiden, kalau
hanya itu yang dapat ia lakukan aku juga bisa, namun bisaku bukanlah bisa yang
bisa membuat orang lain menderita”. Ia hanya pandai
berpidato dengan silatan lidahnya yang tajam. Ibu tertegun mendengarkan
penjelasanku, aku belum mampu menafsirkan makna dibalik tegunannya itu. Ia
hanya diam, diam dan terus terdiam. Ibu kembali bertanya
“lalu apa lagi yang engkau pahami
tentang arti penderitaan?”
“dulu
ibu mengandungku, aku tahu kalau ibu ada derita”. Menurut mereka aku bahadur,
nekat, takabur dan sok ksatria. Aku lahir tanpa tahu apa-apa, di dalam rahimmu
tak sedikitpun kurasakan kenikmatan, hanya sedih dan penderitaan yang kurasa.
Rasaku itu hanya rasa saat aku ada dalam rahim ibu. Aku yakin, ketika bumi
kupijak nanti, luka itu sudah tidak kurasa lagi. Namun kini rasa itu semakin
nyata. Air susu ibu yang kuhisab setiap hari rasanya pahit. Sepahit hidup yang
kami lalui. Suatu ketika aku ingin bertanya,
“Presiden....apakah air susu ibumu sepahit air susu ibuku?” Bermimpi, ya
aku bermimpi untuk dikandung dalam rahim ibumu
dan menyusu di puting susu ibumu, presiden. Aku ingin rasakan manisnya
susu ibumu. Kali ini mari kita kembali menjadi janin dan meminta kepada tuhan
untuk menukar janin itu, biarkan aku di rahim ibumu, dan kau presiden berada di
rahim ibuku, rasakan apa yang aku rasa. Aku pun ingin merasakan apa yang engkau
rasa. Ini bukan soal penyesalan dimana aku dikandung, tapi ini adalah belajar,
belajar untuk saling memahami. Setelah kau lahir nanti, ceritakanlah pada dunia
apa yang kamu rasakan, karena semua itu adalah pahit yang aku rasakan.
Presiden, jabat tanganku. Akan ku antar kau pada samudera derita yang ombaknya
menerpa hidup kami.
Ibu
meneteskan air matanya, “lalu apa lagi yang kau pahami tentang keadilan” tanyanya
lagi.
“keadilan, aku mengerti namun aku
bingung, kadang aku bertanya, Dimana presiden itu?, apakah presiden ada? Ia
saksikan anak kecil diderah hukum karena mengambil sepasang sandal, ia biarkan
lelaki paruh baya dalam kerangkeng besi para penegak hukum hanya karena
mengambil buah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Itu hanya soal yang
kecil. Namun mengapa mereka yang berkantong tebal, mereka yang ada di DPR, KPK
dan partai politik ia biarkan bebas tersenyum dengan segala kebusukannya”.
Dosa yang sangat besar. Hanya kematian yang dapat menjawabnya. Kau lemah, kau
curang, kau lalai, aku menantangmu bukan untuk kelemahan, kecurangan dan
kelalaianmu, tapi untuk menunjukkan kesanngupanku menimbang keadilan. Beri aku
sebersit harapan dan kesempatan untuk menghukum mati para pembesarmu yang
durjana atas kami. Sekali lagi, aku menantangmu presiden, kutunggu kau digaris
pembenaran.
Biodata Pengarang
Aziz
Thaba, lahir di bone-bone pada tanggal 11 september 1991, anak kelima dari
sembilan bersaudara. Saat ini menjajaki jenjang pendidikan S1 di Universitas
Cokroaminoto Palopo, Sulawesi Selatan, semester VI Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
No comments:
Post a Comment