Monday, May 19, 2014

Menantang Presiden (Cerpen)




Sebuah Cerpen
MENANTANG PRESIDEN
Karya Aziz Thaba

Tua, 74 tahun. Duduk diatas kursi goyang, memangku sebuah buku yang ditulis oleh seorang motivator muda, Mario Teguh. Rambutnya menipis, warnanya memutih. Kini tak lagi hitam dan lurus, ia menyanggulnya dengan sebuah tusukan konde besi berwarna hijau tua. Itu memang warna kesukaannya. Sejak dulu, aku sadar ia senang dengan warna itu. Bahkan saat ia kesekolah untuk memberi sedikit ilmu untuk siswanya.  Kini aku kembali, kembali untuk menengok ibuku yang sudah tua, kulitnya keriput, namun masih saja bersahaja. Kali ini, aku menengok ibu bukan sekedar menengok, menengok atas segala pertanyaan yang tersimpan dalam memori ingatanku.  Aku datang dengan berbagai pribadi, anaknya, siswanya dan sebagai seorang calon pemimpin. Kali ini kedatanganku tidak jauh berbeda dengan kedatanganku yang lalu. Posisi kursi goyangnya masih saja di hadapan jendela kayu yang menyajikan suasana alam yang indah, ibu senang duduk di depan jendela tersebut karena terpaan angin sepoi-sepoi sore hari. Mungkin karena terpaan angin sepoi-sepoi itu, setiap ibu berkata, perkataannya bijak bak angin yang meraba kulit, lembut. “Apa gerangan yang membawamu datang kerumah kelahiranmu anak muda?” sambutnya setelah menjawab salamku. Aku belum sempat mencium tangannya. Ia memang seperti itu. Perlahan  tapi pasti, kuhampiri dia dan kutarik tangannya yang dingin dan kuberikan ciuman itu tepat di atas punggung tangannya. Kini pribadiku sebagai seorang anak. Ia melihatku dengan samar, penglihatannya tak lagi secerah saat aku masih menagis karena tidak diberi isin bermain disiang bolong. Sikapnya pun berbeda, kini ia menganggapku dewasa, padahal aku masih ingin tidur di pangkuannya dengan nyanyian nina bobo yang membesarkan aku. “Ibu, ini adalah surgaku, surga di rumah kelahiranku, surga dimana rahim aku dikandung” jawabku. Ia tersipu dan tersenyum atas jawabku. “benarkah apa yang kau katakan, bukankah engkau datang karena engkau terluka, terluka karena jiwamu tergadai” jawabnya dengan tanya yang begitu rumit. Tapi aku memahami kerumitan itu, dia memang ibuku, dia mengerti akan diriku. Dia tahu jikalau aku sedih, dia tahu jikalau aku bahagia, bahkan dia tahu segala kerisauhanku. Kali ini hanya senyum kebanggaan yang hadir di wajahku, senyum dan bangga karena dia ibuku. Ibu nomor satu bagiku. “Ada kerisauhan dibenakku bu” jawabku sambil mendekati ibu dan berdiri disampingnya. “kerisauhan apa gerangan nak” tanya ibu. “biar kubuatkan segelas teh hangat buat ibu” tawaranku bernada merayu sebelum menjawab pertanyaannya. Segelas teh hangat kusuguhkan buat ibu tercinta, segelas atas sejuta kasih dan sayangnya. “ibu, mereka membicarakan tentang kejelekanku”.“Kejelekan apa? Kalau kejelekan itu kau yang perbuat, maka itu adalah konsekuensi yang harus kau terima, aku ibumu, kalau kau bersalah tetap kau salah, aku tidak akan memberi pembelaan atas kesalahanmu, tapi meminta maaf atas kesalahanmu terhadap orang yang kau sakiti” ibuku memberi nasihat yang selalu ia berikan, aku pikir nasihat itu sudah ia lupakan, ternyata tidak.  “mereka mengatakan kalau aku bahadur, nekat, takabur, dan sok ksatria” jelasku pada ibu. Ibu menggelengkan kepalanya, mungkin ia kecewa padaku, kecewa atas penilaian orang-orang yang kusampaikan padanya. “sekarang kau menganggap aku sebagai siapa? Apakah kau menganggapku ibumu, atau kau menganggap aku sebagai gurumu” tanya ibu ingin tahu. “hanya ibu yang tau posisiku, kapan aku bertanya sebagai anak dan kapan aku bertanya sebagai seorang siswa, tapi ibu harus tahu, aku sudah dewasa, sudah mampu menilai baik buruk”. Jelasku berusaha meyakinkan dirinya bahwa kini aku datang sebagai seorang pemimpin.  “kini aku berbicara dengan seorang yang dewasa, seorang pemimpin, katakan apa kejelekanmu anak muda?”
“aku ingin menantang”
“siapa yang ingin kau tantang anak muda?”
“presiden....”
“Presiden... atas dasar apa?”
“entahlah, mungkin ia lalai, curang, atau dia adalah presiden yang angkuh”
“anak muda, jaga perkataanmu, dia adalah pemimpin, aku baru tahu, mengapa engkau bahadur, nekat, takabur dan sok ksatria”
“aku bukan anak kecil lagi, aku tahu arti pemimpin, aku tahu arti penderitaan, keadilan bahkan banyak arti yang aku tahu”
“apa yang kau tahu tentang arti pemimpin”
“pemimpin itu adalah ayah, tentu ibu tahu maksudku”. Ibu menganggukkan kepalanya mendengar perkataanku, mungkin ia mengerti apa yang aku utarakan.
“apa yang kau lihat diluar sana sehingga kau berkata demikian” tanyanya lagi.
“aku melihat pemimpin yang acuh, tiada kepedulian padanya”. Aku  adalah orang miskin, tapi masih banyak lagi orang miskin yang mempertarukan hidupnya di tong-tong sampah. Padahal presiden dengan asyiknya makan dengan makanan yang lezat, menghamburkan uang bermilyar hanya untuk hal yang sepele. Fenomena ini banyak kita jumpai diperkotaan, masih banyak anak kecil, ibu-ibu, yang mengais makanan di tong sampah, mereka adalah jiwa perkasa, makanan mereka lebih berharga dari makanan presiden, ia tidak menikamati uang orang lain, presiden yang angkuh karena makan makanan orang-orang yang tertindas. Gedung-gedung dibagun dengan harga yang begitu besar, toilet dengan biaya ratusan milyar sedangkan masih banyak manusia yang kelaparan. Aku menantang presiden akan hal ini.
“lalu apa yang kau pertantangkan dengan presiden”
“aku menantang presiden, kalau hanya itu yang dapat ia lakukan aku juga bisa, namun bisaku bukanlah bisa yang bisa membuat orang lain menderita”. Ia hanya pandai berpidato dengan silatan lidahnya yang tajam. Ibu tertegun mendengarkan penjelasanku, aku belum mampu menafsirkan makna dibalik tegunannya itu. Ia hanya diam, diam dan terus terdiam. Ibu kembali bertanya
“lalu apa lagi yang engkau pahami tentang arti penderitaan?”
“dulu ibu mengandungku, aku tahu kalau ibu ada derita”. Menurut mereka aku bahadur, nekat, takabur dan sok ksatria. Aku lahir tanpa tahu apa-apa, di dalam rahimmu tak sedikitpun kurasakan kenikmatan, hanya sedih dan penderitaan yang kurasa. Rasaku itu hanya rasa saat aku ada dalam rahim ibu. Aku yakin, ketika bumi kupijak nanti, luka itu sudah tidak kurasa lagi. Namun kini rasa itu semakin nyata. Air susu ibu yang kuhisab setiap hari rasanya pahit. Sepahit hidup yang kami lalui. Suatu ketika aku ingin bertanya, “Presiden....apakah air susu ibumu sepahit air susu ibuku?” Bermimpi, ya aku bermimpi untuk dikandung dalam rahim ibumu  dan menyusu di puting susu ibumu, presiden. Aku ingin rasakan manisnya susu ibumu. Kali ini mari kita kembali menjadi janin dan meminta kepada tuhan untuk menukar janin itu, biarkan aku di rahim ibumu, dan kau presiden berada di rahim ibuku, rasakan apa yang aku rasa. Aku pun ingin merasakan apa yang engkau rasa. Ini bukan soal penyesalan dimana aku dikandung, tapi ini adalah belajar, belajar untuk saling memahami. Setelah kau lahir nanti, ceritakanlah pada dunia apa yang kamu rasakan, karena semua itu adalah pahit yang aku rasakan. Presiden, jabat tanganku. Akan ku antar kau pada samudera derita yang ombaknya menerpa hidup kami.
Ibu meneteskan air matanya, “lalu apa lagi yang kau pahami tentang keadilan” tanyanya lagi.
“keadilan, aku mengerti namun aku bingung, kadang aku bertanya, Dimana presiden itu?, apakah presiden ada? Ia saksikan anak kecil diderah hukum karena mengambil sepasang sandal, ia biarkan lelaki paruh baya dalam kerangkeng besi para penegak hukum hanya karena mengambil buah untuk mengganjal perut yang kelaparan. Itu hanya soal yang kecil. Namun mengapa mereka yang berkantong tebal, mereka yang ada di DPR, KPK dan partai politik ia biarkan bebas tersenyum dengan segala kebusukannya”. Dosa yang sangat besar. Hanya kematian yang dapat menjawabnya. Kau lemah, kau curang, kau lalai, aku menantangmu bukan untuk kelemahan, kecurangan dan kelalaianmu, tapi untuk menunjukkan kesanngupanku menimbang keadilan. Beri aku sebersit harapan dan kesempatan untuk menghukum mati para pembesarmu yang durjana atas kami. Sekali lagi, aku menantangmu presiden, kutunggu kau digaris pembenaran.
Biodata Pengarang
Aziz Thaba, lahir di bone-bone pada tanggal 11 september 1991, anak kelima dari sembilan bersaudara. Saat ini menjajaki jenjang pendidikan S1 di Universitas Cokroaminoto Palopo, Sulawesi Selatan, semester VI Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.




No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...