Tuesday, October 14, 2014

SHIRA “IBU MASA LALU”



SHIRA “IBU MASA LALU”
Karya: Aziz Thaba

Senyum, mendekapku dalam-dalam dengan rintihan yang sesekali terdengar ditelingaku. Badannya dingin gemetar dengan wajah senduh memudarkan cahaya kemerahan matahari senja. Semakin dalam, semakin erat pula dekapan itu hingga terasa sesak. Tubuhnya serupa merontah mengeja sisa-sisa nafas diujung tenggorakan yang jauh dari kebahagian. Kata-kata terdengar sayup, sebuah pesan. Pekikan-pekikan tidak terbalaskan, semuanya hanya bertebaran tanpa pandang sapa dan kepeduliaan. Lepas, hilang, sirna. Seketika tubuh itu tak bertuan, tidak adalagi dekapan. Tangannya jatuh pada lantai kardus usang diiringi tubuh yang kurus kerempeng. Rintihan telah hilang, sunyi menyesakkan. Dinginnya menggila, putihnya semakin memutih. Ibuku terkasih telah mati, karena dikhianati. Sebuah memoar penuh derita yang masih menggelayut sangat riang dalam hatiku. Sesekali menyesakkan dengan penuh rasa sakit namun redah karena sabda diujung nafas dari gubuk reyot bertahtakan kardus.
Badai pun belum berlalu, buritan kapal hampir saja berhamburan karena kisah masa lalu. Kini aku hanya seorang diri, perempuan tanpa nama tanpa ibu. Jiwa dan amarahku telah tergadai. Demi ibu yang mati karena derita. Inilah diriku, ibu muda dari masa sekarang. Namun luka itu tetap abadi. Hadir menata dan menghiasi perahu tua serta belabuh menghancurkan samudera manusia berkulit kenistaan.
Pagi buta, mengingatkan akan luka. Mempersiapkan diri mengayuh perahu tua. Ibuku memang cantik, wajahnya tirus, hidungnnya mancung, rambut ikal melambai, tinggi semampai, mata penuh pesona bagai lingkaran bulan purnama di malam satu suroh. Satu lagi, ini adalah ibu yang abadi dalam diriku, kulitnya kuning langsat. Usiaku seperdua dari usia ibu di ujung nafasnya, 16 tahun. Merajut usia itu kini aku 26 tahun. Seorang gadis mapan dengan uang berlimpah. Hasil dari menjajah kantong-kantong manusia berdasi yang mengatas namakan aspirasi rakyat. Tahukah dia...? Bahwa aku adalah korban kemunafikannya.
“Tidak ada luka yang meninggalkan bekas” adalah slogan yang selalu kujunjung tinggi sampai saat ini, bukan Pancasila yang berBhineka Tunggal Ika. Semboyan itu ibarat pukat harimau yang mematikan ibu dengan derahan derita yang tajam. Aku, awak kapal tanpa nama, lelaki hidung belang mengenalku dengan nama Shira, perempuan cantik dan teman tidur yang baik. tapi ada harga selangit yang harus tersita dari itu. Aku ibu, perempuan penuh luka tempo lalu.
“Ibu Neni....apa kabar?” sapaku pada perempuan setengan baya, istri dari seorang anggota DPR Provinsi Sulawesi Selatan asal Kota Palopo. “Eh....Ibu, baik” jawabnya dengan penuh hangat. Segera ia merajut keakraban diantara kami. Aku rindu pada suaminya, tubuhnya masih terasa hangat, sapaan manjanya masih menderu derah di hati dan berniang ditelingaku. “Bapak apa kabar? Tanyaku lagi. Kali ini mungkin Ibu Neni tidak terlalu paham dengan tanyaku. “Maksud Ibu?” dengan nada mengharapkan penjelasan. “E...maksud saya suami Ibu, apa kabar?” kali ini pertanyaannya sangat jelas. Ibu Neni gelagapan karena nafsu akan kebanggan terhadap suaminya segera terkisah pada orang lain, padaku. Kasihan, padahal suaminya lebih dulu berkisah tentang dirinya yang sudah reyot dan tidak menggairahkan. Tapi, wajah simpatik ini masih terobral dengan meriah seperti bagi istri-istri hidung belang lainnya. Sesekali senyum pahit juga muncul diwajahku buah dari reinkarnasi kesedihan akibat kebanggan orang-orang yang telah terbohongi. Seperti Ibu yang ditinggal pergi oleh lelaki yang darahnya ada dalam diriku. Berjuang mati-matian melawan hidup yang kejam dan kebal terhadap ocehan dan hinaan.
Kini, aku si perempaun cantik ibu muda. Berbaring di atas ranjang empuk dengan baju tipis setengah tubuh. Menunggu dengan segala siap memuntahkan kenikmatan dengan rupiah yang menjuta. Kini lelaki tak terbalut oleh kain sedikit pun siap menghujam di atasku. Tapi hujamannya ku awali dengan hujaman sebilah pisau diperutnya, darah bertebaran mengingatkanku pada pantai berpasir hitam dalam mimpiku. Dia ayahku, sebab kelahiranku,  ibu yang terhina. Kini dia tergeletak tanpa daya seperti ibu kala itu di gubuk reyot. Mungkin ini adalah maksud pesan terakhir ibu “cari ayahmu, Drs. Gunawan, M.Hum”

Monday, October 13, 2014

Hipotesis Sapir Whorf, Masyarakat Aneka Bahasa, Bahasa dan Usia

TELAAH KEBERTERIMAAN HIPOTESIS SAPIR-WHORF
By: Wahyu Widhiarso

A.   Pendahuluan
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya, yaitu segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek faktual ditarnsformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa.
Seorang filosof kenamaan, H.G. Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993).
Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian sosiolingustik maupun psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik.
Hipotesis Whorf dan Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).
B.   Tinjauan Hipotesis Sapir-Whorf
Beberapa ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut antara lain Von Humboldt, Edward Saphir, Benyamin Whorf dan Ernst Cassier. Dari keempat tokoh tersebut hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti. Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1.      Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.      Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut.
Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :
“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh wajah tiap observer. Secara kontras, duniamempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting… (Whorf dalam Chandler, 2000)
Untuk memperkuat hipotesisnya, Whorf dan Sapir memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang eskimo memberi label yang berbeda pada objek salju tersebut. Uraian tersebut kemudian disanggah oleh Pinker (dalam Schlenker, 2004) yang mengatakan bahwa orang pikiran eskimo tidak berbeda dengan pikiran orang.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang  dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).
C.   Beberapa Dukungan terhadap Teori Sapir-Whorf
Hipotesis Sapir dan Worf didukung oleh beberapa temuan dalam bidang terutama dalam bidang antropologi. Seorang antropologis bernama Lucy menulis mengenai perbedaan bahasa yang berkaitan dengan aktifitas perseptual. Sebagai contoh, dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktifitas mental, seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran yang diakibatkan sistem tersebut. Di samping bahasa merefleksikan perkembangan kognitif, bahasa mempengaruhi akuisisi bahasa dan juga memiliki memberikan potensi pada transformasi kognitif. Lucy mencoba menengahi pertentangan yang ada dengan memberikan beberapa petunjuk apabila seorang peneliti hendak mengkaji relativitas bahasa.
Peneliti harus mengidentifikasi performansi kognitif individu yang beriringan dengan konteks verbal secara eksplisit (explicitly verbal contexts) dan menekankan pada struktur kognitif individu yang dideteksi yang ditunjukkan dalam perilaku keseharian. Melalui pandangan ini secara tidak langsung, Lucy telah melihat bahwa kognisi adalah sekumpulan konsep dan prosedur yang hadir dalam aktifitas individu yang berkaitan dengan perilaku verbal seperti berkata, mendengar dan berpikir secara verbal.
Penggunaan konteks dalam pengkajian bahasa ini mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson, yang melalui tulisannya dengan judul rethinking linguistic relativity mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal yang berkaitan dengan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan gricean theories. Hipotesis Whorf juga didukung oleh Olson (1983) yang melihat bahwa kategori perseptual dan struktur kognitif individu merefleksikan dunia pengalaman. Sebuah peristiwa selalu dipersepsi dan dikategorisasi secara relatif tergantung pada konteksnya. Berkaitan dengan kata-kata emosi, Levi (1973, dalam Wierzbicka, 1995) melalui studinya di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk (bad feelings) dalam pemahaman orang Tahiti dengan kata sedih (sad) dalam kosa kata Bahasa Inggris. Orang Tahiti lebih menonjolkan perasaan mo’emo’e (sebuah perasaan kesepian dan kesendirian) daripada rasa sedih yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad. Levi menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat merasakan mo’emo’e dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai status yang berbeda sehingga tidak dapat diparalelkan. Jika perasaan buruk (bad feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka bagi orang Tahiti adalah mo’emo’e.
Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
D.  Beberapa Bukti Keberatan terhadap Teori Sapir-Whorf
Konsep Sapir dan Whorf mengundang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel.
Gambar 1. Eksperimen Penguasaan Aritmatika dasar pada anak
Salah satu fakta yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua objek tersebut disembunyikan (lihat gambar 1).
Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak mampu memahami struktur simbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka.
Bukti ketiga adalah kasus penggunaan mental image yang diperagakan oleh beberapa individu. Seniman dalam bidang visual memiliki kemampuan menalar yang dapat disejajarkan dengan penulis ataupun ilmuwan. Francis Cricks dengan berpikir secara visual mampu menemukan struktur double helix DNA, Albert Einstein yang terkenal dengan penalar visual (visual thinker) mampu menelurkan rumus-rumus fisika yang spektakuler.
Kontroversi tentang pendapat Whorf juga diarahkan pada contoh yang dikemukakan, misalnya salju. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju sehingga mereka memiliki banyak kata tentang salju. Unta sangat penting bagi orang Arab sehingga mereka memiliki banyak cadangan kosa kata dalam menggambarkan unta. Bahasa dikembangkan sesuai dengan tantangan kultural dan tidak benar bahwa manusia tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata yang mampu menggambarkannya. Walaupun dalam bahasa ada hanya menggunakan kata ‘dia’ akan tetapi orang Indonesia juga memahami arti ‘he’ dan ’she’ dalam Bahasa Inggris (Rakhmat, 1999). Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Sementara sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa bahasa adalah objek sosial yang berdiri di atas kesepakatan untuk memudahkan adanya komunikasi, Chomsky (dalam Ludlow, 2000) memiliki konsep yang berbeda. Menurutnya bahasa “a natural object that is part of human biological endowment”. Bahasa adalah objek natural yang merupakan bagian dari kelebihan yang dimiliki manusia. Bahasa bagi Chomsky adalah cerminan dari pikiran dan produk dari kecerdasan manusia. Dengan memahami properti bahasa alami seperti struktur, organisasi, dan tata cara penggunaannya peneliti akan dapat memahami karakteristik manusia secara alami (human nature).
Pandangan Chomsky ini selain bertentangan dengan pandangan Skiner mengenai proses akuisisi bahasa pada anak, juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dengan adanya hal-hal yang bersifat bawaan maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak memiliki keterkaitan dengan pikiran.
Konsep Paul Kay mengenai bahasa secara tidak langsung juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dikatakan olehnya bahwa perbedaan mengekspresikan fenomena dan objek dalam bahasa yang berbeda tidak berarti menunjukkan perbedaan dalam konsep. Untuk memahami relatifitas bahasa, individu menyadari layaknya menterjemahkan bahasa bahwa ada beberapa skema alternatif yang ada di dalam bahasa dan individu pemakai bahasa tersebut. (Jaszczolt, 2001).
Beberapa ahli melihat bahwa language relativistics kurang memiliki dukungan secara ilmiah, karena belum ada penelitian yang membuktikan keterkaitan tersebut (Schlenker, 2004). Menurut Schlenker (2004), manusia tidak secara eksak menggunakan kata-kata dalam berpikir (think in world), karena jika menggunakan manusia berpikir dengan menggunakan kata-kata maka pasien yang memiliki keterbatasan bahasa (language deficits) otomatis akan mengalami hambatan dalam berpikir. Bahasa verbal dan pikiran memiliki perbedaan secara prinsip. Namun demikian ini tidak berarti bahwa pikiran bukan sistem yang memanipulasi simbol dalam bahasa. Sebagai contoh, konsep computational model of the mind memperlihatkan bahwa pikiran dapat dianalogikan dengan komputer yang mampu memanipulasi simbol abstrak.
E.   Kesimpulan
Wacana yang dilontarkan oleh Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut. Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada pandangan yang menentangnya.
Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1.      Determinasi bahasa dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensi dalam menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2.      Proses satu arah tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga sebaliknya.
3.      Studi komparasi antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.
 
DAFTAR PUSTAKA

Albrecht, K. 1986. Brain Power. London: John Willey & Sons.
Forrester, M.A., 1996. Psychology of Language : A Critical Introduction. London: Sage Publication
Gleitman, L & Papafragou, A. 2000. Language and thought. To appear in K.
Holyoak and B. Morrison (eds.), Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press.
Jaszczolt, K. 2000. Language and Thought. www.cam.ac.uk
Ludlow, P. 2000. Language and Thought. Martinich and D. Sosa (eds.) A Companion to Analytic Philosophy, Oxford: Basil Blackwell
Olson D R, 1970 Language and thought: aspects of a cognitive theory of semantics. Psycho! Review. 77:257-73, 1970.
Rakhmat, J. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2000. Catatan Kang Jalal. Bandung: Rosda Karya.
Slobin, l. Language and thought online: Cognitive consequences of linguistic relativity Published in d. Gentner & s. Goldin-meadow (eds.), (2003). Language in mind: advances in the study of Language and thought. Cambridge Press.
Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258. London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Culture. Cambridge : Cambridge University Press



MAKALAH II
DIMENSI HITAM-PUTIH DALAM MASYARAKAT ANEKA BAHASA

A.   Nasionalitas dan Nasion
Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara “bangsa” dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah konsepsi Fishman (1968 a:1972) tentang nasionalitas (nationality) dan nasion (nation). Kita tidak bisa menerjemahkan kedua istilah itu denagn kebangsaan dan bangsa, sebab keduanya mempunyai makna yang tidak selaras bahkan mungkin bisa dianggap bertentangan.
Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai suatu satuan sosial (social unit) yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran lokal (wilayah). Kelompok etnik merupakan organisasi sosiokultural yang “lebih sederhana”, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”. Menurut Fishman, nasion adalah “suatu satuan politik teritorial yang sebagian besar menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol (kendali) nasionalitas tertentu. Fishman tidak menjelaskan seberapa jauh kontrol nasionalitas atas wilayah itu sehingga suatu kelompok bisa disebut nasion
Batasan Fishman itu dapat dipakai untuk berbicara tentang negara multinasional atau negara anekabangsa (multinational) atau “bangsa yang terdiri dari berbagai bangsa” Negara multinasinal itu lebih kurang stabil dibandingkan nasion-multietnik. Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionisme
a.    Nasionalisme adalah perasaan yang berkembang dari dan mendukung nasionalitas. Nasionisme lebih mengacu kepada masalah-masalah kekuasaan yang pragmatic
b.    Menurut Fishman, peranan bahasa dalam nasionisme sangat gamblang. Bahasa akan menjadi masalah bagi nasionisme dalam dua bidang, yaitu bidang administras pemerintahan dan pendidikan
c.     Proses memerintah itu memerluakn komunikasi, baik komunikasi antar lembaga maupun komunikasi antara pemerintah dengan rakyat
d.    Sepanjang menyangkut nasionisme, bahas apa pun asalkan bisa menjalankan fungsi dengan baik akan menjadi pilihan terbaik
e.    Pendidikan mememrlukan bahasa pengantar yang mampu mengalihkan pengetahuan secara efisien kepada anak
f.      Peranan bahasa dalam nasionalisme di lain pihak lebih tidak kentara. Bahasa, bersama dengan kebudayaan, agama, dan sejarah merupakan komponen nasionalisme
g.    Bahasa bertindak sebagai rantai penghubung dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan
h.    Bahasa bukan hanya wahana bagi sejarah nasionalitas saja, melainkan juga merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Sepanjang menyangkut “keotentikan”, besarlah keuntungan nasionalitas itu jika ia mempunyai bahasa sendiri
i.      Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme adalah “contrastiveself-identification” (identifikasi-diri yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot (1956) disebut “unifying and separating function” (fungsi yang menyatukan dan sekaligus memisahkan)
j.      Istilah-istilah ini mengacu kepada perasaan warga nasionalitas yang menyatukan dan mengidentifikasikan diri dengan orang-orang lain yang berbicara dalam bahasa yang serupa, dan sekaligus mengontraskan (menghadapkan) dengan dan terpisahkan dari mereka yang tidak berbicara dalam bahasa serupa.
k.    Nasionalisme secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam regional atau ragam sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh
l.      Sikap orang Paraguay terhadap bahasa ternyata mendua (ambivalen). Bahasa Guarani dipakai untuk memenuhi fungsi “menyatukan dan memisahkan”
m.  Paraguay memilih bahasa Guarani sebagai bahasa pendidikan, karena jelas bahasa itu dapat memperkuat nlai simbolik bahasa nasional dan karena itu juga menjalankan tujuan-tujuan nasionalisme
B.   Keanekabahasaan sebagai Masalah
Keanekabahasaan bekerja berlawanan dengan arah nasinalisme. Negara-bangsa (nation-state) itu tampak lebih stabil daripada negara anekabahasa, dan berdasarkan pentingnay bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa daripada negara ekabahasa
Masalah bahasa bagi nasionalisme lebih bersifat pragmatik daripada simbolik, maka pemecahan masalah yang bersifat nasionis sering menimbulkan masalah yang bersifat nasionalis
Bagi suatu nasionalitas yang baru saja memperoleh wilayah, bahasa yang diinginkan sebagai lambang nasional adalah bahasa dari negara yang menolak campur tangan dari luar
Masalah konflik antara nasionalisme dengan nasionisme, dalam dunia pendidikan, agak berbeda, Strategi bahasa terbaik bahasa dalam pendidikan ialah memakai berbagai bahasa etnik.
C.   Efek Keanekabahasaan Kemasyarakatan
Kalau benar bangsa yang anekabahasa itu mempunyai masalah-masalah yang tidak ada dalam bangsa ekabahasa tentu ada kemungkinan untuk menunjukkan bahwa negara-negara anekabahasa itu tidak beruntung, dan efek semacam itu harus dapat diukur dengan cara tertentu.
Pool (1972) mencoba meneliti masalh in dengan menganalisis 133 negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domestik Bruto (GDP). Ia menemukan Suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi negara tidak berkembang (miskin) Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin
Suatu negara yang secara linguistik sangat heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin)
Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik
D.  Bagaimana Bangsa Anekabahasa Berkembang
Dalam sejarah terbentuknya bangsa yang anekabahasa kita melihat setidak-tidaknya ada empat pola, yaitu:
1.      Migrasi: Migrasi atau perpindahan penduduk yang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Kedua, sejumlah anggota etnik memasuki wilayah yang sudah di bawah kontrol nasionalitas lain.
2.      Penjajahan: Proses penjajahan (politik, budaya, atau ekonomi) kontrol itu dipegang olehsejumlah orang yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol yang tinggal di wilayah baru itu. Bahasa asing meluncur masuk ke suatu negara tetapi nasionalitas pemilik bahasa asing itu tidak memegang kontrol politik. Ragam-ragam penajajahan itu mempunyai pengaruh dalam pengenalan bahasa penjajah ke masyarakat lain. Kadang-kadang orang penjajah itu pada akhirnya mungkin hanya sedikit sekali yang tinggal; tetapi bahasanya itulah yang justru memegang peranan penting. Dalam hal penjajahan politik atau aneksasi, bahasa penjajah dipakai di bidang pemerintahan dan pendidikan
3.      Federasi: Yang dimaksud dengan federasi ialah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah kontrol politik satu negara. Ini bisa karena sukarela atau paksaan. Federasi paksaan terjadi karena pengaruh kolonialisasi di Asia dan Afrika. Berbagai negara anekabahasa digabungkan dengan paksa, sehingga pengaruh sosiolinguistiknya terasa sampai sekarang
4.      Wilayah Tapal Batas: Asal mual keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan. Setiap negara harus memiliki tapal batas yang jelas. Komplikasi di wilayah perbatasan biasanya bisa dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah perang biasanya dipaksa untuk menyerahkan (sebagian) wilayahnya kepada yang menang. Kemerdekaan Indonesia, 1945, sedikit banyak menumbuhkan “federasi” berbagai kelompok sosiokultural
E.   Contoh Negera Multi Bahasa (Paraguay, India, dan Indonesia)
Paraguay sangat dekat dengan multietnik. Ia memiliki bahasa nasional (Guarani) yang dipakai oleh sebagian warganya. Bahasa Guarani mengisi fungsi simbolik bahasa nasional itu, terutama dalam fungsi menyatukan dan memisahkan
India adalah “raksasa sosiolinguistik”. Khubchandani menyebut adanya 200 kelompok bahasa dan Grimes menyebut jumlah 312 bahasa di India. Fasold juga mengutip Le Page yang menyebut 844 bahasa, termasuk 63 bahasa “non-India”
India lebih banyak mengarah ke titik nasion multietnik daripada yang kita perkirakan sebelum in. Ukuran nasionalisme yang didasarkan atas pendukungan dan pemakaian bahasa tidaklah berlaku dengan baik di India  Tidak seperti Paraguay dan Idia, yang mengenal bahasa bekas penjajahnya. Indonesia tetap stabil dari situasi sosiolinguistik yang meraksasa, dan karena itu Indonesia lebih mengarah ke negara multietnik. Masalahnya bagi Indonesia ialah bagaimana mengembangkan bahasa Indonesia itu bagi semua warga negara dan warga etnik tetapi tidak secara drastis mematikan bahasa etnik itu. Ini menyangkut masalah seperti diglosia, sikap bahasa, pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dll.
F.   Kesimpulan
Kemultibahasaan dalam sebuah masyarakat dapat diibaratkan sebuah senjata Bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Di satu sisi, senjata tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya dan di sisi lainnya dapat pula menjadi ancaman bagi masyarakat multibahasa tersebut. Sebagai contoh, kemultibahasaan dalam sebuah masyarakat adalah sebuah sumber untuk saling memperkaya antar bahasa itu sendiri. Kemultibahasaan itu juga merupakan sebuah kekayaan budaya. Sebaliknya, kemultibahasaan mampu merongrong persatuan dan kesatuan akibat adanya kesalahan komunikasi (miscommunication), dan yang paling parah adalah bahasa yang satu mampu meredupkan eksistensi bahasa lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Enog, 2009. Masyarakat Aneka Bahasa. [online] http://ee-nokmoetz86.blogspot.com. Diakses pada 12 Juli 2014.

MAKALAH III
BAHASA DAN USIA

Usia dapat dikatakan sebagai ukuran pokok dari identitas personal atau sosial sebagai gender dan etnis yang kita miliki. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa usia dapat memengaruhi apa yang kita harus lakukan dan apa yang tidak harus kita lakukan. Usia juga menentukan kapan kita bisa sekolah, menikah, bekerja, menaiki kendaraan, dan lain sebagainya. Bahkan, kita mampu memperkirakan usia seseorang dari kualitas suara dan perilaku linguistiknya. Misalnya, suara laki-laki akan bertambah berat seiring bertambahnya usia.
Perhatian utama usia dalam sosiolinguistik adalah variasi bahasa atau perubahan bahasa. Usia dapat juga sebagai perangkat metodologi yang dapat digunakan untuk mengukur perbedaan sosiolinguistik di tiap kelompok usia, seperti dialek atau aksen yang dapat berubah di masyarakat. Hubungan usia pembicara di masyarakat akan selalu berubah tergantung tahap kehidupan. Holmes (2008) membagi tahap kehidupan dibagi menjadi empat tahap, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia tua. Pada masa kanak-kanak ada kecenderungan masih kurang memahami dengan baik akuisisi dari kompetensi sosiolinguistik. Hal tersebut disebabkan anak masih memperoleh pola dengan kontruksi fonologi dan tata bahasa. Pada saat pola kontruksi fonologi dan tata bahasa sudah diperoleh barulah pada tahap selanjutnya memperoleh pola konstruksi pragmatis dan sosiolinguistik. Paynes’s (1980) menyebutkan bahwa sebelum usia 8 atau 9, anak mampu memperoleh pergeseran vokal tertentu, tetapi bukan yang diperlukan untuk mengetahui leksikal. Sama dengan Payne’s, Chambers (1992) juga menemukan bahwa anak usia 9 tahun yang pindah dari Kanada ke Inggris akan mampu mengetahui pertentangan antara vokal tertentu, sedangkan anak usia di atas 13 tahun akan sulit memahami pertentangan vokal tertentu tersebut.
Menurut Chambers (2003: 194), masa remaja adalah masa berinovasi dalam perubahan secara linguistik. Contoh dari pendapat Chambers ini penulis hubungkan dengan bahasa gaul dan bahasa alay di Indonesia. Bahasa gaul dan bahasa alay berkembang dan dipakai di kalangan remaja. Perbedaan bahasa gaul dan bahasa alay adalah anggapan sosial dan kelas sosial pemakai bahasa tersebut. Bahasa gaul lebih diidentikan dipakai oleh kalangan menengah atas, sedangkan bahasa alay sering diidentikan dipakai oleh kalangan menengah bawah. Contoh bahasa gaul yang sering digunakan adalah pengucapan gue, elo, bokap, dan nyokap. Berbeda dengan bahasa gaul, perbedaan bahasa alay dengan bahasa Indonesia adalah bahasa alay menggabungkan huruf dan angka pada bentuk tulisan dan mengubah huruf pada kata-kata dalam bentuk lisan. Misalnya, kata apa diganti menjadi 4p4 dalam bentuk tulisan dan mengubah kata semangat menjadi cemungut dalam bentuk lisan.
Selanjutnya, masa dewasa adalah tahap yang mewakili kehidupan krusial selama meningkatkan standardisasi dan jangkauan linguistik setelah remaja. Selain itu, masa dewasa juga dapat dikatakan sebagai tahap kehidupan yang paling dieksplorasi dan masa yang memperlihatkan perbedaan dengan orang yang lain. Biasanya hal ini terlihat dari jenis perkerjaan yang dipakai oleh orang tersebut. Pada masa ini juga orang akan beralih dari bahasa gaul atau alay ke dalam bahasa baku karena adanya tuntutan pekerjaan untuk menyambung hidup. Pada masa tua, pendekatan bahasa sering dikaitkan dengan perspektif klinik. Hal tersebut disebabkan efek kehilangan pendengaran dan lain sebagainya. Tentu saja, kemampuan berbahasanya juga tidak akan sama dengan masa dewasa. Terlebih lagi, pada masa tua ada perpindahan kegiatan sebagai individu dan kelompok usia.

Sebagai salah satu variabel sosial, usia (mestinya) menjadi topik yang menarik dan penting bagi para pemerhati masalah-masalah sosial, mengingat kedudukannya yang sangat sentral baik dalam kaitan dengan pengalaman seseorang sebagai individu maupun dalam kaitannya dengan perubahan yang mungkin ditimbulkannya dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan. Dalam masyarakat kita, misalnya, kita dapat dengan cepat menganggap seseorang sudah ‘dewasa’ hanya karena sudah mencapai usia tertentu, misalnya 17 tahun (yang kita sebut dengan usia biologis), yang diyakini oleh anggota masyarakat lainnya sebagai awal dari proses menjadi dewasa. Padahal, seringkali kita juga mendapat kenyataan bahwa banyak dari anggota masyarakat yang belum mencapai usia ‘dewasa’ tadi tetapi keterlibatan sosialnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat sudah melampaui kelompok pertama tadi (yang dalam hal ini kita sebut dengan usia sosial). Sebaliknya, kita juga tak jarang menemukan kasus-kasus yang menunjukkan prilaku seseorang yang ‘tak pernah dewasa’, padahal usianya (secara biologis) sudah dapat digolongkan kepada kelompok usia dewasa.
Kajian tentang hubungan antara bahasa dan usia, terutama yang berkait dengan keragaman berbahasa, nampaknya bertujuan untuk mengungkap fenomena perubahan prilaku berbahasa seseorang seiring, terutama, dengan berubahnya usia sosial yang bersangkutan. Eckert (1997) menyatakan bahwa “the study of age as a sociolinguistic variable … requires that we focus on the nature and social status of age and aging” (1997: 152). Dengan demikian, kajian prilaku berbahasa seseorang tidak terlalu banyak dikaitkan dengan usia biologisnya melainkan lebih menekankan pada usia sosial yang dimainkan oleh usia. Hal ini tentu saja dikecualikan pada kajian yang berkaitan dengan perkembangan pemerolehan bahasa, khususnya bahasa pertama).
Sejumlah studi longitudinal (trend studies) tentang prilaku berbahasa seseorang dikaitkan dengan berubahnya usia sosialnya menunjukkan bahwa semakin dewasa seseorang, maka semakin konservatiflah dia (Labov 1966; Wolfram 1969; Trudgill 1974; Macaulay 1977, Horvath 1985). Hal ini ditunjukkan dengan semakin pedulinya mereka terhadap penggunaan ragam standar dan kosa kata yang formal. Kekonservatifan mereka, menurut hasil studi di atas, ternyata berkembang sebagai akibat dari tekanan (atau tuntutan) yang mereka dapatkan di tempat bekerja. Akan tetapi, ketika mereka memasuki (usia) pensiun, prilaku berbahasa mereka kembali ke ragam santai, yang menurut Labov (1972) berkaitan dengan menurunnya hasrat untuk bersaing dalam perolehan kekuasaan. Sementara itu, kelompok usia belia (adolescents) cenderung berada pada posisi yang sebaliknya, yakni selalu ingin memberontak terhadap aturan-aturan kebahasaan yang ‘dianjurkan’ oleh atau seperti yang diperlihatkan dalam bahasa para orang tua. Masa belia dapat dipandang sebagai masa perubahan berbahasa yang sangat cepat, yang berpotensi besar untuk memunculkan terjadinya perubahan dari bawah (change from below) yang umumnya penuh dengan inovasi.
 
DAFTAR PUSTAKA

Alo, Liliweri. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bernie, Michael. 1997. How to Do Your Own Advertising, terj Anna W. Bangun. Jakarta:PT Elex Media Komputerindo.
Boyle, MA and SL Roth. 2010. Personal Nutrition. Cengage Learning: Wadsworth.
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing.
Cook, Guy. 1992. The Discourse of Advertising. London: Routledge.
Farbey, AD. 1997. How to Produce Successful Advertising. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
George E. Belch & Michael A. Belch. 2001. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Communication Perspectives. New York: Graw Hill.
Harimurti Kridalaksana. 2007. Bahasa dan Linguistik. Dalam Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa: Langkah awal memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...