TELAAH KEBERTERIMAAN HIPOTESIS SAPIR-WHORF
By: Wahyu Widhiarso
By: Wahyu Widhiarso
A. Pendahuluan
Bahasa adalah
medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya, yaitu segala
sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. oleh karena itu
memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman
manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek
faktual ditarnsformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan
adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah
objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan
olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal
symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini
lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia
sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan
terletak pada kemampuannnya berbahasa.
Seorang filosof
kenamaan, H.G. Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan
apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal,
secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan
bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993).
Sebuah uraian yang
cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh
Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh
sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker,
2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia
mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Hubungan
antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia
kajian sosiolingustik maupun psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari
psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik.
Hipotesis Whorf dan
Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa
aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut,
misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning
spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain
(reasoning about other minds).
B. Tinjauan
Hipotesis Sapir-Whorf
Beberapa ahli
mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan
lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut antara lain Von
Humboldt, Edward Saphir, Benyamin Whorf dan Ernst Cassier. Dari keempat tokoh
tersebut hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh
berbagai peneliti. Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang
memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama.
Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan
pikiran.
1.
Hipotesis
pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa
perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non
bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan
pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.
Hipotesis
kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur
bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.
Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan
struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa
terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal
bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and
lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual
representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam
sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna
bahasa tersebut.
Selain habituasi
dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan
Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia
yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf
berikut ini :
“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native
kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat
kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh wajah tiap observer.
Secara kontras, duniamempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh
impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang
ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep,
memilah unsur-unsur yang penting… (Whorf dalam Chandler, 2000)
Untuk memperkuat
hipotesisnya, Whorf dan Sapir memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh
yang diambil adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar
manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja
turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua
objek salju tersebut tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan
masyarakat, orang eskimo memberi label yang berbeda pada objek salju tersebut.
Uraian tersebut kemudian disanggah oleh Pinker (dalam Schlenker, 2004) yang
mengatakan bahwa orang pikiran eskimo tidak berbeda dengan pikiran orang.
Bahasa bagi Whorf
pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan
sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah
masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak
hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat
ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya.
Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia
tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama
akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan
bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena
bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia
pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang
diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang
menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat,
1999).
C. Beberapa
Dukungan terhadap Teori Sapir-Whorf
Hipotesis Sapir
dan Worf didukung oleh beberapa temuan dalam bidang terutama dalam bidang
antropologi. Seorang antropologis bernama Lucy menulis mengenai perbedaan
bahasa yang berkaitan dengan aktifitas perseptual. Sebagai contoh, dua individu
yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda,
akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Language
relativistics melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar
dari aktifitas mental, seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan.
Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran
yang diakibatkan sistem tersebut. Di samping bahasa merefleksikan perkembangan
kognitif, bahasa mempengaruhi akuisisi bahasa dan juga memiliki memberikan
potensi pada transformasi kognitif. Lucy mencoba menengahi pertentangan yang
ada dengan memberikan beberapa petunjuk apabila seorang peneliti hendak
mengkaji relativitas bahasa.
Peneliti harus
mengidentifikasi performansi kognitif individu yang beriringan dengan konteks
verbal secara eksplisit (explicitly verbal contexts) dan menekankan pada
struktur kognitif individu yang dideteksi yang ditunjukkan dalam perilaku
keseharian. Melalui pandangan ini secara tidak langsung, Lucy telah melihat
bahwa kognisi adalah sekumpulan konsep dan prosedur yang hadir dalam aktifitas
individu yang berkaitan dengan perilaku verbal seperti berkata, mendengar dan
berpikir secara verbal.
Penggunaan konteks
dalam pengkajian bahasa ini mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson, yang
melalui tulisannya dengan judul rethinking linguistic relativity mencatat
pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik
formal yang berkaitan dengan situasi semantik, discourse representation
theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan gricean
theories. Hipotesis Whorf juga didukung oleh Olson (1983) yang melihat bahwa
kategori perseptual dan struktur kognitif individu merefleksikan dunia pengalaman.
Sebuah peristiwa selalu dipersepsi dan dikategorisasi secara relatif tergantung
pada konteksnya. Berkaitan dengan kata-kata emosi, Levi (1973, dalam
Wierzbicka, 1995) melalui studinya di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada
kesamaan antara perasaan buruk (bad feelings) dalam pemahaman orang
Tahiti dengan kata sedih (sad) dalam kosa kata Bahasa Inggris. Orang
Tahiti lebih menonjolkan perasaan mo’emo’e (sebuah perasaan kesepian dan
kesendirian) daripada rasa sedih yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad.
Levi menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat
merasakan mo’emo’e dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa
merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai
status yang berbeda sehingga tidak dapat diparalelkan. Jika perasaan
buruk (bad feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka
bagi orang Tahiti adalah mo’emo’e.
Manusia hanya akan
dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang
terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa
yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi
yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi
inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
D. Beberapa Bukti
Keberatan terhadap Teori Sapir-Whorf
Konsep Sapir dan
Whorf mengundang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti
psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah
bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat
mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu
bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel.
Gambar 1. Eksperimen Penguasaan Aritmatika dasar
pada anak
Salah satu fakta
yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang
perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi
yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari
hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami
jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi
sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan
dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua
objek tersebut disembunyikan (lihat gambar 1).
Bukti kedua yang
menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah
kasus anak-anak tuna rungu yang tidak mampu memahami struktur simbol bahasa.
Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk
mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka.
Bukti ketiga
adalah kasus penggunaan mental image yang diperagakan oleh beberapa individu.
Seniman dalam bidang visual memiliki kemampuan menalar yang dapat disejajarkan
dengan penulis ataupun ilmuwan. Francis Cricks dengan berpikir secara visual
mampu menemukan struktur double helix DNA, Albert Einstein yang terkenal
dengan penalar visual (visual thinker) mampu menelurkan rumus-rumus
fisika yang spektakuler.
Kontroversi
tentang pendapat Whorf juga diarahkan pada contoh yang dikemukakan, misalnya
salju. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju sehingga mereka memiliki
banyak kata tentang salju. Unta sangat penting bagi orang Arab sehingga mereka
memiliki banyak cadangan kosa kata dalam menggambarkan unta. Bahasa
dikembangkan sesuai dengan tantangan kultural dan tidak benar bahwa manusia
tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata yang mampu
menggambarkannya. Walaupun dalam bahasa ada hanya menggunakan kata ‘dia’ akan
tetapi orang Indonesia juga memahami arti ‘he’ dan ’she’ dalam Bahasa Inggris
(Rakhmat, 1999). Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa
mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik
kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam
bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya
dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang
yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Sementara sebagian
besar ilmuwan berpendapat bahwa bahasa adalah objek sosial yang berdiri di atas
kesepakatan untuk memudahkan adanya komunikasi, Chomsky (dalam Ludlow, 2000)
memiliki konsep yang berbeda. Menurutnya bahasa “a natural object that is
part of human biological endowment”. Bahasa adalah objek natural yang
merupakan bagian dari kelebihan yang dimiliki manusia. Bahasa bagi Chomsky
adalah cerminan dari pikiran dan produk dari kecerdasan manusia. Dengan
memahami properti bahasa alami seperti struktur, organisasi, dan tata cara
penggunaannya peneliti akan dapat memahami karakteristik manusia secara alami (human
nature).
Pandangan Chomsky
ini selain bertentangan dengan pandangan Skiner mengenai proses akuisisi bahasa
pada anak, juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dengan adanya hal-hal
yang bersifat bawaan maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa bahasa
tidak memiliki keterkaitan dengan pikiran.
Konsep Paul Kay
mengenai bahasa secara tidak langsung juga berseberangan dengan konsep Sapir
dan Whorf. Dikatakan olehnya bahwa perbedaan mengekspresikan fenomena dan objek
dalam bahasa yang berbeda tidak berarti menunjukkan perbedaan dalam konsep.
Untuk memahami relatifitas bahasa, individu menyadari layaknya menterjemahkan
bahasa bahwa ada beberapa skema alternatif yang ada di dalam bahasa dan
individu pemakai bahasa tersebut. (Jaszczolt, 2001).
Beberapa ahli
melihat bahwa language relativistics kurang memiliki dukungan secara
ilmiah, karena belum ada penelitian yang membuktikan keterkaitan tersebut
(Schlenker, 2004). Menurut Schlenker (2004), manusia tidak secara eksak
menggunakan kata-kata dalam berpikir (think in world), karena jika
menggunakan manusia berpikir dengan menggunakan kata-kata maka pasien yang memiliki
keterbatasan bahasa (language deficits) otomatis akan mengalami hambatan
dalam berpikir. Bahasa verbal dan pikiran memiliki perbedaan secara prinsip.
Namun demikian ini tidak berarti bahwa pikiran bukan sistem yang memanipulasi
simbol dalam bahasa. Sebagai contoh, konsep computational model of
the mind memperlihatkan bahwa pikiran dapat dianalogikan dengan komputer yang
mampu memanipulasi simbol abstrak.
E. Kesimpulan
Wacana yang dilontarkan oleh
Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut.
Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan
daripada pandangan yang menentangnya.
Beberapa pertimbangan yang
dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1.
Determinasi bahasa
dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensi dalam
menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2.
Proses satu arah
tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam
bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang
dunia dan juga sebaliknya.
3.
Studi komparasi
antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih
diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada
perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Albrecht, K. 1986. Brain Power.
London: John Willey & Sons.
Forrester, M.A., 1996. Psychology of Language : A
Critical Introduction. London: Sage Publication
Gleitman, L & Papafragou, A. 2000. Language and
thought. To appear in K.
Holyoak and B. Morrison (eds.), Cambridge Handbook of
Thinking and Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press.
Jaszczolt, K. 2000. Language and Thought. www.cam.ac.uk
Ludlow, P. 2000. Language and Thought. Martinich and D.
Sosa (eds.) A Companion to Analytic Philosophy, Oxford: Basil
Blackwell
Olson D R, 1970 Language and thought: aspects of a
cognitive theory of semantics. Psycho! Review. 77:257-73, 1970.
Rakhmat, J. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung :
Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2000. Catatan Kang Jalal. Bandung:
Rosda Karya.
Slobin, l. Language and thought online: Cognitive consequences
of linguistic relativity Published in d. Gentner & s. Goldin-meadow (eds.),
(2003). Language in mind: advances in the study of Language and thought.
Cambridge Press.
Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta :
Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A
Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258.
London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Culture.
Cambridge : Cambridge University Press
MAKALAH
II
DIMENSI
HITAM-PUTIH DALAM MASYARAKAT ANEKA BAHASA
A.
Nasionalitas
dan Nasion
Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara
“bangsa” dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah
konsepsi Fishman (1968 a:1972) tentang nasionalitas (nationality) dan nasion
(nation). Kita tidak bisa menerjemahkan kedua istilah itu denagn kebangsaan dan
bangsa, sebab keduanya mempunyai makna yang tidak selaras bahkan mungkin bisa
dianggap bertentangan.
Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa
sebagai suatu satuan sosial (social unit) yang berbeda dari kelompok lain,
tetapi tidak didasarkan atas ukuran lokal (wilayah). Kelompok etnik merupakan organisasi sosiokultural yang “lebih
sederhana”, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”. Menurut Fishman, nasion adalah “suatu satuan politik teritorial
yang sebagian besar menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol (kendali)
nasionalitas tertentu. Fishman tidak menjelaskan seberapa jauh kontrol
nasionalitas atas wilayah itu sehingga suatu kelompok bisa disebut nasion
Batasan Fishman itu dapat dipakai untuk berbicara tentang negara
multinasional atau negara anekabangsa (multinational) atau “bangsa yang terdiri
dari berbagai bangsa” Negara
multinasinal itu lebih kurang stabil dibandingkan nasion-multietnik. Peranan Bahasa dalam Nasionalisme dan Nasionisme
a. Nasionalisme
adalah perasaan yang berkembang dari dan mendukung nasionalitas. Nasionisme
lebih mengacu kepada masalah-masalah kekuasaan yang pragmatic
b. Menurut
Fishman, peranan bahasa dalam nasionisme sangat gamblang. Bahasa akan menjadi
masalah bagi nasionisme dalam dua bidang, yaitu bidang administras pemerintahan
dan pendidikan
c. Proses
memerintah itu memerluakn komunikasi, baik komunikasi antar lembaga maupun
komunikasi antara pemerintah dengan rakyat
d. Sepanjang
menyangkut nasionisme, bahas apa pun asalkan bisa menjalankan fungsi dengan
baik akan menjadi pilihan terbaik
e. Pendidikan
mememrlukan bahasa pengantar yang mampu mengalihkan pengetahuan secara efisien
kepada anak
f.
Peranan bahasa dalam nasionalisme di lain
pihak lebih tidak kentara. Bahasa, bersama dengan kebudayaan, agama, dan
sejarah merupakan komponen nasionalisme
g. Bahasa
bertindak sebagai rantai penghubung dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan
h. Bahasa bukan
hanya wahana bagi sejarah nasionalitas saja, melainkan juga merupakan bagian
dari sejarah itu sendiri. Sepanjang menyangkut “keotentikan”, besarlah
keuntungan nasionalitas itu jika ia mempunyai bahasa sendiri
i.
Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa
dalam nasionalisme adalah “contrastiveself-identification” (identifikasi-diri
yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot (1956) disebut “unifying
and separating function” (fungsi yang menyatukan dan sekaligus memisahkan)
j.
Istilah-istilah ini mengacu kepada perasaan
warga nasionalitas yang menyatukan dan mengidentifikasikan diri dengan
orang-orang lain yang berbicara dalam bahasa yang serupa, dan sekaligus
mengontraskan (menghadapkan) dengan dan terpisahkan dari mereka yang tidak berbicara
dalam bahasa serupa.
k. Nasionalisme
secara sadar berusaha membangun bahasa yang semula merupakan ragam regional
atau ragam sosial yang dipakai tanpa kesadaran dan tidak secara emosional
mengikat para penuturnya, menjadi bahasa yang lebih baku dan modern, yang
otentik, dan menyatukan, yang harus dipergunakan secara sadar pula dan
diperjuangkan secara sungguh-sungguh
l.
Sikap orang Paraguay terhadap bahasa ternyata
mendua (ambivalen). Bahasa Guarani dipakai untuk memenuhi fungsi “menyatukan
dan memisahkan”
m. Paraguay
memilih bahasa Guarani sebagai bahasa pendidikan, karena jelas bahasa itu dapat
memperkuat nlai simbolik bahasa nasional dan karena itu juga menjalankan
tujuan-tujuan nasionalisme
B.
Keanekabahasaan
sebagai Masalah
Keanekabahasaan bekerja berlawanan dengan arah nasinalisme.
Negara-bangsa (nation-state) itu tampak lebih stabil daripada negara
anekabahasa, dan berdasarkan pentingnay bagi nasionalisme, maka perkembangan
rasa nasion terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa daripada negara
ekabahasa
Masalah bahasa bagi nasionalisme lebih bersifat pragmatik daripada
simbolik, maka pemecahan masalah yang bersifat nasionis sering menimbulkan
masalah yang bersifat nasionalis
Bagi suatu nasionalitas yang baru saja memperoleh wilayah, bahasa yang diinginkan sebagai lambang nasional adalah bahasa dari negara yang menolak campur tangan dari luar
Bagi suatu nasionalitas yang baru saja memperoleh wilayah, bahasa yang diinginkan sebagai lambang nasional adalah bahasa dari negara yang menolak campur tangan dari luar
Masalah konflik antara nasionalisme dengan nasionisme, dalam dunia
pendidikan, agak berbeda, Strategi bahasa terbaik bahasa dalam pendidikan ialah
memakai berbagai bahasa etnik.
C.
Efek
Keanekabahasaan Kemasyarakatan
Kalau benar bangsa yang anekabahasa itu mempunyai masalah-masalah
yang tidak ada dalam bangsa ekabahasa tentu ada kemungkinan untuk menunjukkan
bahwa negara-negara anekabahasa itu tidak beruntung, dan efek semacam itu harus
dapat diukur dengan cara tertentu.
Pool (1972) mencoba meneliti masalh in dengan menganalisis 133
negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domestik Bruto (GDP). Ia
menemukan Suatu negara dapat saja mempunyai derajat
keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi negara tidak berkembang (miskin) Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit banyak berbicara
bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin
Suatu negara yang secara linguistik sangat heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin) Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik
Suatu negara yang secara linguistik sangat heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin) Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik
D.
Bagaimana
Bangsa Anekabahasa Berkembang
Dalam sejarah terbentuknya bangsa yang anekabahasa kita melihat
setidak-tidaknya ada empat pola, yaitu:
1.
Migrasi: Migrasi atau perpindahan penduduk
yang menimbulkan masalah kebahasaan hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis.
Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah
lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain. Kedua, sejumlah anggota
etnik memasuki wilayah yang sudah di bawah kontrol nasionalitas lain.
2.
Penjajahan: Proses penjajahan (politik,
budaya, atau ekonomi) kontrol itu dipegang olehsejumlah orang yang relatif
sedikit dari nasionalitas pengontrol yang tinggal di wilayah baru itu. Bahasa
asing meluncur masuk ke suatu negara tetapi nasionalitas pemilik bahasa asing
itu tidak memegang kontrol politik. Ragam-ragam penajajahan itu mempunyai
pengaruh dalam pengenalan bahasa penjajah ke masyarakat lain. Kadang-kadang
orang penjajah itu pada akhirnya mungkin hanya sedikit sekali yang tinggal;
tetapi bahasanya itulah yang justru memegang peranan penting. Dalam hal
penjajahan politik atau aneksasi, bahasa penjajah dipakai di bidang
pemerintahan dan pendidikan
3.
Federasi: Yang dimaksud dengan federasi ialah
penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas di bawah kontrol politik satu
negara. Ini bisa karena sukarela atau paksaan. Federasi paksaan terjadi karena
pengaruh kolonialisasi di Asia dan Afrika. Berbagai negara anekabahasa
digabungkan dengan paksa, sehingga pengaruh sosiolinguistiknya terasa sampai
sekarang
4.
Wilayah Tapal Batas: Asal mual
keanekabahasaan bisa terjadi di wilayah perbatasan. Setiap negara harus
memiliki tapal batas yang jelas. Komplikasi di wilayah perbatasan biasanya bisa
dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah perang biasanya dipaksa untuk
menyerahkan (sebagian) wilayahnya kepada yang menang. Kemerdekaan Indonesia, 1945, sedikit banyak menumbuhkan “federasi”
berbagai kelompok sosiokultural
E.
Contoh Negera Multi Bahasa (Paraguay,
India, dan Indonesia)
Paraguay sangat dekat dengan multietnik. Ia memiliki bahasa
nasional (Guarani) yang dipakai oleh sebagian warganya. Bahasa Guarani mengisi
fungsi simbolik bahasa nasional itu, terutama dalam fungsi menyatukan dan
memisahkan
India adalah “raksasa sosiolinguistik”. Khubchandani menyebut
adanya 200 kelompok bahasa dan Grimes menyebut jumlah 312 bahasa di India.
Fasold juga mengutip Le Page yang menyebut 844 bahasa, termasuk 63 bahasa
“non-India”
India lebih banyak mengarah ke titik nasion multietnik daripada
yang kita perkirakan sebelum in. Ukuran nasionalisme yang didasarkan atas
pendukungan dan pemakaian bahasa tidaklah berlaku dengan baik di India Tidak
seperti Paraguay dan Idia, yang mengenal bahasa bekas penjajahnya. Indonesia
tetap stabil dari situasi sosiolinguistik yang meraksasa, dan karena itu
Indonesia lebih mengarah ke negara multietnik. Masalahnya bagi Indonesia ialah bagaimana mengembangkan bahasa Indonesia itu bagi semua warga negara dan
warga etnik tetapi tidak secara drastis mematikan bahasa etnik itu. Ini
menyangkut masalah seperti diglosia, sikap bahasa, pergeseran bahasa,
pemertahanan bahasa, dll.
F.
Kesimpulan
Kemultibahasaan dalam sebuah masyarakat dapat diibaratkan
sebuah senjata Bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Di satu sisi, senjata
tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya dan di sisi lainnya dapat pula menjadi
ancaman bagi masyarakat multibahasa tersebut. Sebagai contoh, kemultibahasaan
dalam sebuah masyarakat adalah sebuah sumber untuk saling memperkaya antar
bahasa itu sendiri. Kemultibahasaan itu juga merupakan sebuah kekayaan budaya.
Sebaliknya, kemultibahasaan mampu merongrong persatuan dan kesatuan akibat
adanya kesalahan komunikasi (miscommunication),
dan yang paling parah adalah bahasa yang satu mampu meredupkan eksistensi
bahasa lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Enog, 2009.
Masyarakat Aneka Bahasa. [online] http://ee-nokmoetz86.blogspot.com. Diakses
pada 12 Juli 2014.
MAKALAH III
BAHASA DAN USIA
Usia dapat dikatakan sebagai
ukuran pokok dari identitas personal atau sosial sebagai gender dan etnis yang
kita miliki. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa usia dapat memengaruhi
apa yang kita harus lakukan dan apa yang tidak harus kita lakukan. Usia juga
menentukan kapan kita bisa sekolah, menikah, bekerja, menaiki kendaraan, dan
lain sebagainya. Bahkan, kita mampu memperkirakan usia seseorang dari kualitas
suara dan perilaku linguistiknya. Misalnya, suara laki-laki akan bertambah
berat seiring bertambahnya usia.
Perhatian utama usia dalam
sosiolinguistik adalah variasi bahasa atau perubahan bahasa. Usia dapat juga
sebagai perangkat metodologi yang dapat digunakan untuk mengukur perbedaan sosiolinguistik
di tiap kelompok usia, seperti dialek atau aksen yang dapat berubah di
masyarakat. Hubungan usia pembicara di masyarakat akan selalu berubah
tergantung tahap kehidupan. Holmes (2008) membagi tahap kehidupan dibagi
menjadi empat tahap, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia tua. Pada
masa kanak-kanak ada kecenderungan masih kurang memahami dengan baik akuisisi
dari kompetensi sosiolinguistik. Hal tersebut disebabkan anak masih memperoleh
pola dengan kontruksi fonologi dan tata bahasa. Pada saat pola kontruksi
fonologi dan tata bahasa sudah diperoleh barulah pada tahap selanjutnya
memperoleh pola konstruksi pragmatis dan sosiolinguistik. Paynes’s (1980)
menyebutkan bahwa sebelum usia 8 atau 9, anak mampu memperoleh pergeseran vokal
tertentu, tetapi bukan yang diperlukan untuk mengetahui leksikal. Sama dengan
Payne’s, Chambers (1992) juga menemukan bahwa anak usia 9 tahun yang pindah
dari Kanada ke Inggris akan mampu mengetahui pertentangan antara vokal
tertentu, sedangkan anak usia di atas 13 tahun akan sulit memahami pertentangan
vokal tertentu tersebut.
Menurut
Chambers (2003: 194), masa remaja adalah masa berinovasi dalam perubahan secara
linguistik. Contoh dari pendapat Chambers ini penulis hubungkan dengan bahasa
gaul dan bahasa alay di Indonesia. Bahasa gaul dan bahasa alay berkembang dan
dipakai di kalangan remaja. Perbedaan bahasa gaul dan bahasa alay adalah
anggapan sosial dan kelas sosial pemakai bahasa tersebut. Bahasa gaul lebih
diidentikan dipakai oleh kalangan menengah atas, sedangkan bahasa alay sering
diidentikan dipakai oleh kalangan menengah bawah. Contoh bahasa gaul yang
sering digunakan adalah pengucapan gue, elo, bokap, dan nyokap.
Berbeda dengan bahasa gaul, perbedaan bahasa alay dengan bahasa Indonesia
adalah bahasa alay menggabungkan huruf dan angka pada bentuk tulisan dan
mengubah huruf pada kata-kata dalam bentuk lisan. Misalnya, kata apa
diganti menjadi 4p4 dalam bentuk tulisan dan mengubah kata semangat
menjadi cemungut dalam bentuk lisan.
Selanjutnya, masa dewasa adalah
tahap yang mewakili kehidupan krusial selama meningkatkan standardisasi dan
jangkauan linguistik setelah remaja. Selain itu, masa dewasa juga dapat
dikatakan sebagai tahap kehidupan yang paling dieksplorasi dan masa yang
memperlihatkan perbedaan dengan orang yang lain. Biasanya hal ini terlihat dari
jenis perkerjaan yang dipakai oleh orang tersebut. Pada masa ini juga orang
akan beralih dari bahasa gaul atau alay ke dalam bahasa baku karena adanya
tuntutan pekerjaan untuk menyambung hidup. Pada masa tua, pendekatan bahasa
sering dikaitkan dengan perspektif klinik. Hal tersebut disebabkan efek
kehilangan pendengaran dan lain sebagainya. Tentu saja, kemampuan berbahasanya
juga tidak akan sama dengan masa dewasa. Terlebih lagi, pada masa tua ada
perpindahan kegiatan sebagai individu dan kelompok usia.
Sebagai salah satu variabel sosial, usia (mestinya) menjadi
topik yang menarik dan penting bagi para pemerhati masalah-masalah sosial,
mengingat kedudukannya yang sangat sentral baik dalam kaitan dengan pengalaman
seseorang sebagai individu maupun dalam kaitannya dengan perubahan yang mungkin
ditimbulkannya dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan. Dalam masyarakat kita,
misalnya, kita dapat dengan cepat menganggap seseorang sudah ‘dewasa’ hanya
karena sudah mencapai usia tertentu, misalnya 17 tahun (yang kita sebut dengan
usia biologis), yang diyakini oleh anggota masyarakat lainnya sebagai awal dari
proses menjadi dewasa. Padahal, seringkali kita juga mendapat kenyataan bahwa
banyak dari anggota masyarakat yang belum mencapai usia ‘dewasa’ tadi tetapi
keterlibatan sosialnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat sudah melampaui
kelompok pertama tadi (yang dalam hal ini kita sebut dengan usia sosial).
Sebaliknya, kita juga tak jarang menemukan kasus-kasus yang menunjukkan prilaku
seseorang yang ‘tak pernah dewasa’, padahal usianya (secara biologis) sudah
dapat digolongkan kepada kelompok usia dewasa.
Kajian tentang hubungan antara bahasa dan usia, terutama yang
berkait dengan keragaman berbahasa, nampaknya bertujuan untuk mengungkap
fenomena perubahan prilaku berbahasa seseorang seiring, terutama, dengan
berubahnya usia sosial yang bersangkutan. Eckert (1997) menyatakan bahwa “the
study of age as a sociolinguistic variable … requires that we focus on the
nature and social status of age and aging” (1997: 152). Dengan demikian, kajian
prilaku berbahasa seseorang tidak terlalu banyak dikaitkan dengan usia
biologisnya melainkan lebih menekankan pada usia sosial yang dimainkan oleh
usia. Hal ini tentu saja dikecualikan pada kajian yang berkaitan dengan
perkembangan pemerolehan bahasa, khususnya bahasa pertama).
Sejumlah studi longitudinal (trend studies) tentang
prilaku berbahasa seseorang dikaitkan dengan berubahnya usia sosialnya
menunjukkan bahwa semakin dewasa seseorang, maka semakin konservatiflah dia
(Labov 1966; Wolfram 1969; Trudgill 1974; Macaulay 1977, Horvath 1985). Hal ini
ditunjukkan dengan semakin pedulinya mereka terhadap penggunaan ragam standar
dan kosa kata yang formal. Kekonservatifan mereka, menurut hasil studi di atas,
ternyata berkembang sebagai akibat dari tekanan (atau tuntutan) yang mereka
dapatkan di tempat bekerja. Akan tetapi, ketika mereka memasuki (usia) pensiun,
prilaku berbahasa mereka kembali ke ragam santai, yang menurut Labov (1972)
berkaitan dengan menurunnya hasrat untuk bersaing dalam perolehan kekuasaan.
Sementara itu, kelompok usia belia (adolescents) cenderung berada pada posisi
yang sebaliknya, yakni selalu ingin memberontak terhadap aturan-aturan
kebahasaan yang ‘dianjurkan’ oleh atau seperti yang diperlihatkan dalam bahasa
para orang tua. Masa belia dapat dipandang sebagai masa perubahan berbahasa
yang sangat cepat, yang berpotensi besar untuk memunculkan terjadinya perubahan
dari bawah (change from below) yang umumnya penuh dengan inovasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alo, Liliweri. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bernie, Michael. 1997. How
to Do Your Own Advertising, terj Anna W. Bangun. Jakarta:PT Elex Media
Komputerindo.
Boyle, MA and SL Roth. 2010. Personal
Nutrition. Cengage Learning: Wadsworth.
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic
Theory. Oxford: Blackwell Publishing.
Cook, Guy. 1992. The
Discourse of Advertising. London: Routledge.
Farbey, AD. 1997. How to
Produce Successful Advertising. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
George E. Belch & Michael
A. Belch. 2001. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing
Communication Perspectives. New York: Graw Hill.
Harimurti Kridalaksana. 2007.
Bahasa dan Linguistik. Dalam Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa: Langkah
awal memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.