PERIHAL
TUBUH YANG TAK MENYATU DENGAN ROH
Kritik Penghakiman Sastra pada Ontologi
Cerita Pendek “Menetak Sunyi”
Aziz Thaba, S.Pd.
Mahasiswa
Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas
Muhammadiyah Makassar
Dan
ketika sesuatu (yang menghidupkan) telah hilang dalam satu wujud yang sempurna,
maka hilang pula rasa dan keyakinan
(-- Aziz Thaba --)
Sastra adalah karya yang hidup dan
menghidupkan. Hidup karena ada rasa, ada nilai, dan bertujuan. Karya sastra
menghidupkan karena ada ajaran dan hakikat di dalamnya, dengan sastra manusia
akan belajar untuk memaknai realitas atas diri sendiri dan lingkungannya.
Karena sastra adalah karya yang hidup, maka ada roh yang menghidupkannya.
Ibarat manusia, roh dalam karya sastra adalah unsur yang ditanamkan oleh si
empunya karya sehingga karya itu bermakna dan luhung bagi diri pengarang dan pembaca.
Apa
itu “Menetak Sunyi”
“Menetak sunyi” adalah sebuah ontologi
cerpen yang lahir dari goresan penah pengarang-pengarang muda produktif yaitu
Dipta 354, Irhil R. Makkatutu, dan Damang Averroes Al-Khawarizmi. Buku ini
diterbitkan pada tahun 2014 oleh Arus Media yang bekerjasama dengan Buku Litera
Yogyakarta. Ontologi ini memuat 20 judul cerpen diantaranya “Amalia” karya
Dipta 354, “Hati dan Imaji Menyatu” Karya Dipta 354, dan “Tepian Sepi” karya
Dipta 354 yang akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.
Apa
dan bagaimana roh dan tubuh dalam karya sastra?
Roh dalam karya sastra adalah isi
menyeluruh yang terkandung dalam cerita. Roh termanifestasi dalam tema yang
diusung oleh seorang pengarang. Kemudian manifestasi dari tema itu sendiri
tertuang dalam judul. Judul merupakan siratan masalah yang terurai dalam cerita
(Djafar, 2010). Melalui judul, seorang pembaca dapat menginterpretasi cerita
sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis peristiwa yang mungkin ada dalam
cerita. Dengan interpretasi tersebut, seorang pembaca akan tertarik untuk
mengurai kata demi kata dalam cerita sehingga mengisahkan peristiwa yang
nantinya akan menjadi jawaban atas hipotesis-hipotesis tersebut. Tubuh dalam
karya sastra adalah rangkaian cerita yang membentuk sebuah peristiwa. Antara
roh dan tubuh, keduanya tidak dapat terpisahkan. Seperti halnya manusia, tanpa
roh tubuh atau jasad tidak berarti karena roh adalah inti kehidupan. Lalu, apa
jadinya ketika tubuh sastra tidak lagi menyatu dengan rohnya? Pertanyaan inilah
yang akan diuraikan dalam tulisan ini melalui pembacaan dan kritik sastra
penghakiman. Karya sastra sebagai hasil produktif pengarang memiliki kekuasaan
penuh atas ide, gagasan, serta pemaknaan atas karyanya sendiri. Tetapi, karya
sastra sebagai bacaan bagi pembaca menjadi sebuah hak atau otonomi pembaca
untuk memberikan nilai, rasa, atau kritikan-kritikan atas karya tersebut
sehingga akan muncul dipermukaan mutu dari karya itu sendiri.
Apa
itu kritik sastra penghakiman?
Hakim. Pernahkah Anda menjadi seorang hakim? Jika pernah,
tentu Anda akan lebih mudah memahami apa itu kritik sastra penghakiman. Hakim adalah
orang (individu atau kelompok) yang mengadili atau memberikan penilaian baik
buruk (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Kritik sastra penghakiman adalah
kritik sastra yang menganalisis dengan cara berpegang teguh pada
ukuran atau aturan tertentu untuk menentukan apakah sebuah karya sastra baik
atau buruk (H.B. Yassin, 1962). Lalu, apakah ukuran baik buruknya karya sastra?
Ukuran baik buruk sebuah karya sastra terbagi menjadi dua yaitu ukuran dari
segi isi dan dan strukturnya.
Dari segi
isi, karya sastra yang baik memiliki berbagai macam aspek di dalamnya yaitu:
a. Hakikat
Apakah
sesungguhnya karya sastra itu? Karya sastra adalah karya yang bersifat
imajinatif. Karya sastra bersifat fiktif (rekaan). Meskipun karya sastra
memiliki bahan (inspirasi) dari dunia nyata namun telah diolah oleh pengarang
melalui imajinasinya. Realitas dalam dunia sastra telah ditambah “sesuatu” oleh
pengarang sehingga kebenaran karya sastra adalah kebenaran yang dianggap ideal
oleh pengarang. Menurut Luxemburg, karya sastra adalah pencerminan masyarakat.
Dalam hal ini penggamabaran kenyataan. Akan tetapi karya sastra menciptakan
dunianya sendiri yaitu dunia yang lepas dari kenyataan (1984). Menurut Redyanto
Noor, hakikat karya sastra ada tiga, yaitu:
1) Karya sastra
merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah
realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata.
2) Sebagai
pencerminan kehidupan tidak berarti karya sastra merupakan gambaran tentang
kehidupan, akan tetapi pendapat pengarang tentang keseluruhan kehidupan.
3) Karya sastra
meskipun bersifat rekaan, tetapi tetap mengacu kepada realitas dalam dunia
nyata.
b. Fungsi
Secara
keseluruhan, karya sastra mempunyai fungsi seperti yang diungkapkan oleh filsuf
Yunani, Horatius, yaitu dulce et utile (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan
karena karya sastra memberikan kenikmatan, tidak memaksa siapapun; berguna
karena mengisyaratkan pada suatu yang pantas diperhatikan secara
sungguh-sungguh.
Aristoteles menyatakan bahwa sastra berfungsi catharsis (pencucian emosi), yaitu membebaskan pembaca sekaligus pengarang dari tekanan emosi, batin dan perasaan. Sastra tidak terlepas dari ilmu-ilmu lain. Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Sebuah karya seni yang baik adalah seni yang sebesar-besarnya bermanfaat untuk masyarakat. Karya seni diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat agar dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat-syarat sesuatu menjadi karya seni yaitu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat; membangun, bukan malah merusak (1998:22) Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa jika kekuasaan bengkok maka puisilah yang harus meluruskan. Hal ini menyatakan bahwa puisi sebagai salah satu karya sastra mempunyai peran dalam mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakatnya.
Aristoteles menyatakan bahwa sastra berfungsi catharsis (pencucian emosi), yaitu membebaskan pembaca sekaligus pengarang dari tekanan emosi, batin dan perasaan. Sastra tidak terlepas dari ilmu-ilmu lain. Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Sebuah karya seni yang baik adalah seni yang sebesar-besarnya bermanfaat untuk masyarakat. Karya seni diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat agar dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat-syarat sesuatu menjadi karya seni yaitu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat; membangun, bukan malah merusak (1998:22) Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa jika kekuasaan bengkok maka puisilah yang harus meluruskan. Hal ini menyatakan bahwa puisi sebagai salah satu karya sastra mempunyai peran dalam mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakatnya.
c. Estetika
Estetika
adalah bagian dari filsafat seni. Yakni filsafat yang menkaji nilai-nilai
berkaitan dengan keindahan. Selain unsur imajinatif, unsure keindahan memiliki
peran penting dalam penciptaan karya sastra. Karya sastra yang baik mempunyai
nilai estetika yang tinggi. Menurut Thomas Aquinas, keindahan memiliki syarat
yaitu:
1) Memiliki
keutuhan (kesempurnaan).
2) Memilki
keselarasan (keseimbangan) bentuk.
3) Memiliki
sinar kejelasan.
Berdasar
tiga syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa apapun yang memberi kita rasa puas
itu indah. Hal ini menjadi fitrah manusia yaitu menyukai hal-hal yang indah
(Qardhawi 1998:10).
Keindahan dalam karya sastra dapat dilihat dari segi-segi intrinsik yang terkandung dalam karya tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik itu mempunyai unsur hakikat, fungsi dan estetika. Apabila dalam sebuah karya sastra tidak ada salah satu atau semua dari unsur tersebut, maka karya saatra tersebut tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang baik.
Keindahan dalam karya sastra dapat dilihat dari segi-segi intrinsik yang terkandung dalam karya tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik itu mempunyai unsur hakikat, fungsi dan estetika. Apabila dalam sebuah karya sastra tidak ada salah satu atau semua dari unsur tersebut, maka karya saatra tersebut tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang baik.
Dari segi struktur, karya sastra yang
baik harus memperhatikan unsur-unsur dari karya sastra itu sendiri yaitu unsur
yang membangun dari dalam karya sastra (intrinsik) dan unsur yang membangun
dari luar karya sastra (ekstrinsik).
Cerpen
1 “Amalia”
Sinopsis: cerita ini berkisah tentang tokoh “Aku” yang jatuh hati
terhadap seorang wanita yang bernama Amalia. Tokoh “Aku” memberikan perhatian yang besar kepada
Amalia untuk menunjukkan rasa cintanya. Tetapi Amalia merasa berat hati dengan pemberian
tersebut meskipun ada rasa sayang di dalam hatinya. Tetapi tokoh Anti hadir
sebagai tokoh ketiga yang juga memiliki perasaan suka terhadap tokoh Aku.
Analisis: cerpen ini memiliki dua sisi yang tidak saling melengkapi
yaitu judul dan isi cerita. Jika kita menelaah judul sebagai siratan cerita
atau intisari cerita, maka tokoh Amaliah adalah fokus kisahan yang melahirkan
hipotesis-hipotesis dari pertanyaan: Apa dan siapa Amaliah? Bagaimana Amaliah?
Mengapa Amalia? Namun, yang menjadi fokus penceritaan dalam peristiwa cerita
adalah tokoh “Aku” (pengarang) yang melukiskan tentang hati dan perasaannya
terhadap dua tokoh lainnya yaitu Amalia dan Anti. Amaliah digambarkan sebagai
tokoh pujaan atau tokoh yang dikasihhi oleh tokoh “Aku” dengan pengorbanan dan
pemberian untuk membuktikan rasa sayang tersebut. Amaliah memiliki sikap
pendiam serta berat hati dengan pemberian orang lain. Sedangkan tokoh Anti
dikisahkan sebagai seorang sahabat yang telah lama mencintai tokoh “Aku”, namun
apa dikata, cinta telah bertepuk sebelah tangan. Jika dilihat dari segi
judulnya, tokoh Amalia adalah tokoh yang seharusnya dominan dalam cerita,
tetapi pada kenyataannya kehadiran tokoh Anti lebih dominan daripada tokoh
Amalia yang notabenenya dijadikan sebagai judul cerita. Dengan demikian,
hipotesis-hipotesis pembaca terhadap isi cerita tidak terjawab sama sekali,
tidak ada kesesuaian antara judul sebagai citraan, siratan, atau inti sari
cerita terhadap isi cerita itu sendiri.
Judul sebagai roh dalam cerita ini
telah melenceng. Pembaca akan merasa adanya ketidak sesuaian antara cerita yang
diharapkan dari judul yang dibaca dengan cerita yang sebenarnya (tubuh sastra)
sehingga memunculkan perasaan bingung, kecewa, atau bahkan penilaian terhadap
cerpen ini sebagai karya yang tidak menarik untuk dibaca. Sebagai kesimpulan,
cerpen ini mengalami ketimpangan antara judul dan isi cerita. Judul sebagai
landasan utama pembaca untuk memberikan tafsiran terhadap karya sastra cerpen
tidak tersampaikan akibat adanya kisahan yang tidak sesuai. Cerpen ini pada
hakikatnya bercerita tentang perasaan si “Aku” yang penuh asa dan dilema. Pada
satu sisi “Aku” menginginkan Amalia, disisi lain ada Anti yang mencintainya.
Cerpen
2 “Hati dan Imaji Menyatu”
Sinopsis:
cerpen ini bercerita tentang tokoh “Aku”
yang mengalami dilema antara hati atau perasaanya dengan imaji yang ada dalam
dirinya. Tokoh “Aku” mengagumi dan menyukai sesesorang, tetapi kekaguman dan
rasa suka itu sendiri penuh dengan imaji yang penuh tanya. Apakah orang yang
dikaguminya tersebut juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Pada satu
sisi orang yang dikaguminya menunjukkan sikap yang menurut si “Aku” menyukai
dirinya, tetapi di sisi yang lain orang yang dikaguminya tersebut menunjukkan
sikap dan sifat yang bertentangan.
Analisis: dalam cerpen ini, hati
merupakan perlambangan dari perasaan suka pengarang yang termanifestasi dalam
tokoh “Aku”. Imaji merupakan
perlambangan dari keraguan pengarang yang termanifestasi dalam tokoh “Aku” akan
kebenaran sikap dari tokoh yang dikaguminya. Menyatu diartikan sebagai terjawabnya
cinta dari tokoh “Aku” yang bersumber dari imajinasinya.
Tokoh “Aku” mengagumi dan menyukai seorang lelaki.
“aku wanita yang
mengagumi senyum dan ketegasannya”.
“puisi
itu membuatku semakin yakin bahwa ia peduli padaku karena iya
menyayangiku.....”
“Aku
mengaguminya”
Imaji tokoh “Aku” dalam cerita ini adalah
pertanyaan-pertanyaan akan kebenaran hati dan perasaannya
“dan
yang buat kau penasaran kenapa tidak seutuhnya ia tidak peduli?”
“....tapi
hanya harapanku saja dan hanya keinginanku saja. Mungkin”
“...tapi
yang buat aku berpikir dua kali, betulkah dia menyayangiku ketika ia
menghadapkanku pada pilihan disayangi atau menyayangi? Aku pun memilih keduanya
karena keduanya adalah hal terindah”
Arti menyatu dalam cerpen ini tidak
dijumpai. Tidak ada kisahan yang menyatakan adanya ketercapaian hati dari
seorang tokoh “Aku” yang berangkat dari imajinasinya. Atau dengan kata lain,
tidak ada bukti yang mengatakan bahwa imajinasinya benar jika hati atau
perasaan cintanya terhadap tokoh yang dikaguminya berbalasan. Sampai pada akhir
cerita, pengarang tetap memusatkan pada imaji semata. Dengan kata lain judul
yang digunakan oleh pengarang tidak tertuang dalam cerita. Penceritaannya tidak
linear sehingga akan menimbulkan kesan ganda. Kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi dengan keadaan tersebut adalah karya sastra dinilai tidak menarik untuk
dibaca, akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan keraguan bagi pembaca ketika
apa yang diharapkan dari judul tidak sesuai dengan cerita. Disamping itu, gaya
penceritaan yang digunakan oleh pengarang dalam cerpennya kurang menarik, ia
mengisahkan peristiwa secara datar-datar saja. Pengantar terhadap pengenalan
suasana kurang menarik sehingga kesan awal tidak terlalu memikat minat pembaca,
pemaparan konflik cerita juga tidak sistematis, konflik yang ditampilkan flat atau datar-datar saja. Tidak ada
konflik yang berarti atau konflik yang memuncak serta tidak adanya peleraian
konflik dan kongklusi atau koda cerita. Kongklusi atau koda cerita adalah
gambaran akhir yang menjawab keseluruhan judul yang merupakan intisari cerita.
Namun, koda dalam cerita ini tidak didesain secara menarik karena menggunakan close ending atau ending tertutup.
Cerpen
3 “Tepian Sunyi”
Sinopsis: cerita ini mengisahkan tentang tokoh “Aku” yang hidup
dengan kesepian. Tidak ada orang yang mengerti akan diri dan kehidupannya.
Suatu ketika ia bertemua dengan seorang gadis yang bernama Vani dan memberikan
ajaran-ajaran tentang kehidupan. Dari peristiwa itu, ia mulai tersadar bahwa
tokoh Vani adalah tokoh yang mampu membuat kehidupannya yang sunyi berubah
menjadi bahagia. Namun, suatu ketika informasi buruk datang yang menyatakan
bahwa Vani telah meninggal dunia akibat kecelakang maut yaitu motor yang
dikendarainya jatuh kejurang. Peristiwa itu membuat dirinya sangat terpukul
sehingga luka dan sepi itu kembali menggerogoti hati dan kehidupannya.
Analisis: judul “Tepian Sunyi” ini tepat untuk melukiskan kisah
sebagian dari kisah yang dilukiskan oleh pengarang dalam ceritanya. Kata Tepian
Sunyi diartikan sebagai berakhirnya masalah kesunyian yang dihadapi oleh tokoh
“Aku” dalam cerpen. Hanya saja, kisahan akhir kesunyian itu hanya pada sebagian
cerita saja. Pada bagian-bagian akhir cerita, pengarang melukiskan peristiwa
hidup tokoh aku kembali pada masa-masa yang telah ia lalui yaitu sepi yang
semakin mendalam karena orang yang dinilai mengerti akan diri ternyata pergi
dalam keadaan yang kurang menyenangkan yaitu kecelakaan maut. Hal ini berarti
tidak ada tepian sunyi yang tergambar dalam cerita melainkan hanya kesunyian
yang terulang dan menjadi semakin parah.
Ada kekeliruan yang dilakukan pengarang pada wal ceritanya.
Kekeliruan itu tergambar dari kesalahan pengungkapan ide atau gagasan dengan
pemakaian bahasa yang mewakili ide atau gagasan tersebut. Sebagai bukti,
pengarang ingin melukiskan keadaan sepinya dengan cara membandingkan cahaya
lampu yang menyala terang tetapi dirinya tak kunjung terang seperti lampu itu.
Tetapi pengunggkapannya sebaliknya seperti pada kutipan berikut ini:
“Lampu menyala terang
tapi tidak seterang hatiku”
Artinya, pengarang mengisahkan kebahagiaan yang dirasakan
amat besar dengan diwakili kata terang dimana hatinya lebih terang daripada
cahaya lampu. Artinya, pesan yang ingin disampaikan pengarang menjadi terbalik
tidak sesuai dengan harapan karena proses pengungkapan yang tidak sesuai.
Disamping itu, pengarang seringkali membawa pembaca pada
suasana cerita yang seolah-olah tidak ada relevansi (kohesi dan koherensi)
kalimat-kalimat yang digunakan dalam sebuah peristiwa terkadang meberikan kesan
rancu antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain sehingga penafriran
ceritanya menjadi ambigu. Sebagai contoh
“Semenjek diberi
pelajaran hidup olehnya, aku merasa sepi itu mulai menepi Mungkin sepi itu
sudah menemui penwarnya” kedua kalimat diatas masih relevan. Selanjutnya
“aku tersenyum
karenanya. Mulanya aku membencinya, saat ini benci itu berubah jadi kerinduan
dengan lelucon dan petuah-petuahnya yang selalu dimuntahkan kepadaku”.
Kutipan ini merupakan lanjutan dari kalimat di atas. Kedua bagian ini
menunjukkan ketidakpaduan antara keduanya. Keadaan ini menimbulkan berkurangnya
nilai-nilai estetika dari karya sastra ini sendiri.
No comments:
Post a Comment