Monday, October 13, 2014

PERIHAL TUBUH YANG TAK MENYATU DENGAN ROH Kritik Penghakiman Sastra pada Ontologi Cerita Pendek “Menetak Sunyi”


PERIHAL TUBUH YANG TAK MENYATU DENGAN ROH
Kritik Penghakiman Sastra pada Ontologi Cerita Pendek “Menetak Sunyi”
Aziz Thaba, S.Pd.
Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Makassar

Dan ketika sesuatu (yang menghidupkan) telah hilang dalam satu wujud yang sempurna, maka hilang pula rasa dan keyakinan
 (-- Aziz Thaba --)
Sastra adalah karya yang hidup dan menghidupkan. Hidup karena ada rasa, ada nilai, dan bertujuan. Karya sastra menghidupkan karena ada ajaran dan hakikat di dalamnya, dengan sastra manusia akan belajar untuk memaknai realitas atas diri sendiri dan lingkungannya. Karena sastra adalah karya yang hidup, maka ada roh yang menghidupkannya. Ibarat manusia, roh dalam karya sastra adalah unsur yang ditanamkan oleh si empunya karya sehingga karya itu bermakna dan luhung bagi diri pengarang dan pembaca.

Apa itu “Menetak Sunyi”
“Menetak sunyi” adalah sebuah ontologi cerpen yang lahir dari goresan penah pengarang-pengarang muda produktif yaitu Dipta 354, Irhil R. Makkatutu, dan Damang Averroes Al-Khawarizmi. Buku ini diterbitkan pada tahun 2014 oleh Arus Media yang bekerjasama dengan Buku Litera Yogyakarta. Ontologi ini memuat 20 judul cerpen diantaranya “Amalia” karya Dipta 354, “Hati dan Imaji Menyatu” Karya Dipta 354, dan “Tepian Sepi” karya Dipta 354 yang akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.
Apa dan bagaimana roh dan tubuh dalam karya sastra?
Roh dalam karya sastra adalah isi menyeluruh yang terkandung dalam cerita. Roh termanifestasi dalam tema yang diusung oleh seorang pengarang. Kemudian manifestasi dari tema itu sendiri tertuang dalam judul. Judul merupakan siratan masalah yang terurai dalam cerita (Djafar, 2010). Melalui judul, seorang pembaca dapat menginterpretasi cerita sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis peristiwa yang mungkin ada dalam cerita. Dengan interpretasi tersebut, seorang pembaca akan tertarik untuk mengurai kata demi kata dalam cerita sehingga mengisahkan peristiwa yang nantinya akan menjadi jawaban atas hipotesis-hipotesis tersebut. Tubuh dalam karya sastra adalah rangkaian cerita yang membentuk sebuah peristiwa. Antara roh dan tubuh, keduanya tidak dapat terpisahkan. Seperti halnya manusia, tanpa roh tubuh atau jasad tidak berarti karena roh adalah inti kehidupan. Lalu, apa jadinya ketika tubuh sastra tidak lagi menyatu dengan rohnya? Pertanyaan inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini melalui pembacaan dan kritik sastra penghakiman. Karya sastra sebagai hasil produktif pengarang memiliki kekuasaan penuh atas ide, gagasan, serta pemaknaan atas karyanya sendiri. Tetapi, karya sastra sebagai bacaan bagi pembaca menjadi sebuah hak atau otonomi pembaca untuk memberikan nilai, rasa, atau kritikan-kritikan atas karya tersebut sehingga akan muncul dipermukaan mutu dari karya itu sendiri.
Apa itu kritik sastra penghakiman?
Hakim. Pernahkah Anda menjadi seorang hakim? Jika pernah, tentu Anda akan lebih mudah memahami apa itu kritik sastra penghakiman. Hakim adalah orang (individu atau kelompok) yang mengadili atau memberikan penilaian baik buruk (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Kritik sastra penghakiman adalah kritik sastra yang menganalisis dengan cara berpegang teguh pada ukuran atau aturan tertentu untuk menentukan apakah sebuah karya sastra baik atau buruk (H.B. Yassin, 1962). Lalu, apakah ukuran baik buruknya karya sastra? Ukuran baik buruk sebuah karya sastra terbagi menjadi dua yaitu ukuran dari segi isi dan dan strukturnya.
Dari segi isi, karya sastra yang baik memiliki berbagai macam aspek di dalamnya yaitu:
a.    Hakikat
Apakah sesungguhnya karya sastra itu? Karya sastra adalah karya yang bersifat imajinatif. Karya sastra bersifat fiktif (rekaan). Meskipun karya sastra memiliki bahan (inspirasi) dari dunia nyata namun telah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya. Realitas dalam dunia sastra telah ditambah “sesuatu” oleh pengarang sehingga kebenaran karya sastra adalah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarang. Menurut Luxemburg, karya sastra adalah pencerminan masyarakat. Dalam hal ini penggamabaran kenyataan. Akan tetapi karya sastra menciptakan dunianya sendiri yaitu dunia yang lepas dari kenyataan (1984). Menurut Redyanto Noor, hakikat karya sastra ada tiga, yaitu:
1)  Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata.
2)  Sebagai pencerminan kehidupan tidak berarti karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan, akan tetapi pendapat pengarang tentang keseluruhan kehidupan.
3)  Karya sastra meskipun bersifat rekaan, tetapi tetap mengacu kepada realitas dalam dunia nyata.
b.    Fungsi
Secara keseluruhan, karya sastra mempunyai fungsi seperti yang diungkapkan oleh filsuf Yunani, Horatius, yaitu dulce et utile (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena karya sastra memberikan kenikmatan, tidak memaksa siapapun; berguna karena mengisyaratkan pada suatu yang pantas diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Aristoteles menyatakan bahwa sastra berfungsi catharsis (pencucian emosi), yaitu membebaskan pembaca sekaligus pengarang dari tekanan emosi, batin dan perasaan. Sastra tidak terlepas dari ilmu-ilmu lain. Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Sebuah karya seni yang baik adalah seni yang sebesar-besarnya bermanfaat untuk masyarakat. Karya seni diciptakan untuk tujuan kepentingan masyarakat agar dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat-syarat sesuatu menjadi karya seni yaitu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat; membangun, bukan malah merusak (1998:22) Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa jika kekuasaan bengkok maka puisilah yang harus meluruskan. Hal ini menyatakan bahwa puisi sebagai salah satu karya sastra mempunyai peran dalam mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakatnya.
c.     Estetika
Estetika adalah bagian dari filsafat seni. Yakni filsafat yang menkaji nilai-nilai berkaitan dengan keindahan. Selain unsur imajinatif, unsure keindahan memiliki peran penting dalam penciptaan karya sastra. Karya sastra yang baik mempunyai nilai estetika yang tinggi. Menurut Thomas Aquinas, keindahan memiliki syarat yaitu:
1)  Memiliki keutuhan (kesempurnaan).
2)  Memilki keselarasan (keseimbangan) bentuk.
3)  Memiliki sinar kejelasan.
Berdasar tiga syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa apapun yang memberi kita rasa puas itu indah. Hal ini menjadi fitrah manusia yaitu menyukai hal-hal yang indah (Qardhawi 1998:10).
Keindahan dalam karya sastra dapat dilihat dari segi-segi intrinsik yang terkandung dalam karya tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang baik itu mempunyai unsur hakikat, fungsi dan estetika. Apabila dalam sebuah karya sastra tidak ada salah satu atau semua dari unsur tersebut, maka karya saatra tersebut tidak dapat disebut sebagai karya sastra yang baik.
Dari segi struktur, karya sastra yang baik harus memperhatikan unsur-unsur dari karya sastra itu sendiri yaitu unsur yang membangun dari dalam karya sastra (intrinsik) dan unsur yang membangun dari luar karya sastra (ekstrinsik).
Cerpen 1Amalia
Sinopsis: cerita ini berkisah tentang tokoh “Aku” yang jatuh hati terhadap seorang wanita yang bernama Amalia. Tokoh  “Aku” memberikan perhatian yang besar kepada Amalia untuk menunjukkan rasa cintanya. Tetapi Amalia merasa berat hati dengan pemberian tersebut meskipun ada rasa sayang di dalam hatinya. Tetapi tokoh Anti hadir sebagai tokoh ketiga yang juga memiliki perasaan suka terhadap tokoh Aku.
Analisis: cerpen ini memiliki dua sisi yang tidak saling melengkapi yaitu judul dan isi cerita. Jika kita menelaah judul sebagai siratan cerita atau intisari cerita, maka tokoh Amaliah adalah fokus kisahan yang melahirkan hipotesis-hipotesis dari pertanyaan: Apa dan siapa Amaliah? Bagaimana Amaliah? Mengapa Amalia? Namun, yang menjadi fokus penceritaan dalam peristiwa cerita adalah tokoh “Aku” (pengarang) yang melukiskan tentang hati dan perasaannya terhadap dua tokoh lainnya yaitu Amalia dan Anti. Amaliah digambarkan sebagai tokoh pujaan atau tokoh yang dikasihhi oleh tokoh “Aku” dengan pengorbanan dan pemberian untuk membuktikan rasa sayang tersebut. Amaliah memiliki sikap pendiam serta berat hati dengan pemberian orang lain. Sedangkan tokoh Anti dikisahkan sebagai seorang sahabat yang telah lama mencintai tokoh “Aku”, namun apa dikata, cinta telah bertepuk sebelah tangan. Jika dilihat dari segi judulnya, tokoh Amalia adalah tokoh yang seharusnya dominan dalam cerita, tetapi pada kenyataannya kehadiran tokoh Anti lebih dominan daripada tokoh Amalia yang notabenenya dijadikan sebagai judul cerita. Dengan demikian, hipotesis-hipotesis pembaca terhadap isi cerita tidak terjawab sama sekali, tidak ada kesesuaian antara judul sebagai citraan, siratan, atau inti sari cerita terhadap isi cerita itu sendiri.
Judul sebagai roh dalam cerita ini telah melenceng. Pembaca akan merasa adanya ketidak sesuaian antara cerita yang diharapkan dari judul yang dibaca dengan cerita yang sebenarnya (tubuh sastra) sehingga memunculkan perasaan bingung, kecewa, atau bahkan penilaian terhadap cerpen ini sebagai karya yang tidak menarik untuk dibaca. Sebagai kesimpulan, cerpen ini mengalami ketimpangan antara judul dan isi cerita. Judul sebagai landasan utama pembaca untuk memberikan tafsiran terhadap karya sastra cerpen tidak tersampaikan akibat adanya kisahan yang tidak sesuai. Cerpen ini pada hakikatnya bercerita tentang perasaan si “Aku” yang penuh asa dan dilema. Pada satu sisi “Aku” menginginkan Amalia, disisi lain ada Anti yang mencintainya.
Cerpen 2 “Hati dan Imaji Menyatu”
Sinopsis: cerpen ini bercerita tentang tokoh “Aku” yang mengalami dilema antara hati atau perasaanya dengan imaji yang ada dalam dirinya. Tokoh “Aku” mengagumi dan menyukai sesesorang, tetapi kekaguman dan rasa suka itu sendiri penuh dengan imaji yang penuh tanya. Apakah orang yang dikaguminya tersebut juga merasakan hal yang sama dengan dirinya. Pada satu sisi orang yang dikaguminya menunjukkan sikap yang menurut si “Aku” menyukai dirinya, tetapi di sisi yang lain orang yang dikaguminya tersebut menunjukkan sikap dan sifat yang bertentangan.
Analisis: dalam cerpen ini, hati merupakan perlambangan dari perasaan suka pengarang yang termanifestasi dalam tokoh “Aku”. Imaji merupakan perlambangan dari keraguan pengarang yang termanifestasi dalam tokoh “Aku” akan kebenaran sikap dari tokoh yang dikaguminya. Menyatu diartikan sebagai  terjawabnya cinta dari tokoh “Aku” yang bersumber dari imajinasinya.
Tokoh “Aku” mengagumi dan menyukai seorang lelaki.
aku wanita yang mengagumi senyum dan ketegasannya”.
“puisi itu membuatku semakin yakin bahwa ia peduli padaku karena iya menyayangiku.....”
“Aku mengaguminya”
Imaji tokoh “Aku” dalam cerita ini adalah pertanyaan-pertanyaan akan kebenaran hati dan perasaannya
“dan yang buat kau penasaran kenapa tidak seutuhnya ia tidak peduli?”
“....tapi hanya harapanku saja dan hanya keinginanku saja. Mungkin”
“...tapi yang buat aku berpikir dua kali, betulkah dia menyayangiku ketika ia menghadapkanku pada pilihan disayangi atau menyayangi? Aku pun memilih keduanya karena keduanya adalah hal terindah”
Arti menyatu dalam cerpen ini tidak dijumpai. Tidak ada kisahan yang menyatakan adanya ketercapaian hati dari seorang tokoh “Aku” yang berangkat dari imajinasinya. Atau dengan kata lain, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa imajinasinya benar jika hati atau perasaan cintanya terhadap tokoh yang dikaguminya berbalasan. Sampai pada akhir cerita, pengarang tetap memusatkan pada imaji semata. Dengan kata lain judul yang digunakan oleh pengarang tidak tertuang dalam cerita. Penceritaannya tidak linear sehingga akan menimbulkan kesan ganda. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan keadaan tersebut adalah karya sastra dinilai tidak menarik untuk dibaca, akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan keraguan bagi pembaca ketika apa yang diharapkan dari judul tidak sesuai dengan cerita. Disamping itu, gaya penceritaan yang digunakan oleh pengarang dalam cerpennya kurang menarik, ia mengisahkan peristiwa secara datar-datar saja. Pengantar terhadap pengenalan suasana kurang menarik sehingga kesan awal tidak terlalu memikat minat pembaca, pemaparan konflik cerita juga tidak sistematis, konflik yang ditampilkan flat atau datar-datar saja. Tidak ada konflik yang berarti atau konflik yang memuncak serta tidak adanya peleraian konflik dan kongklusi atau koda cerita. Kongklusi atau koda cerita adalah gambaran akhir yang menjawab keseluruhan judul yang merupakan intisari cerita. Namun, koda dalam cerita ini tidak didesain secara menarik karena menggunakan close ending atau ending tertutup.
Cerpen 3 “Tepian Sunyi”
Sinopsis: cerita ini mengisahkan tentang tokoh “Aku” yang hidup dengan kesepian. Tidak ada orang yang mengerti akan diri dan kehidupannya. Suatu ketika ia bertemua dengan seorang gadis yang bernama Vani dan memberikan ajaran-ajaran tentang kehidupan. Dari peristiwa itu, ia mulai tersadar bahwa tokoh Vani adalah tokoh yang mampu membuat kehidupannya yang sunyi berubah menjadi bahagia. Namun, suatu ketika informasi buruk datang yang menyatakan bahwa Vani telah meninggal dunia akibat kecelakang maut yaitu motor yang dikendarainya jatuh kejurang. Peristiwa itu membuat dirinya sangat terpukul sehingga luka dan sepi itu kembali menggerogoti hati dan kehidupannya.
Analisis: judul “Tepian Sunyi” ini tepat untuk melukiskan kisah sebagian dari kisah yang dilukiskan oleh pengarang dalam ceritanya. Kata Tepian Sunyi diartikan sebagai berakhirnya masalah kesunyian yang dihadapi oleh tokoh “Aku” dalam cerpen. Hanya saja, kisahan akhir kesunyian itu hanya pada sebagian cerita saja. Pada bagian-bagian akhir cerita, pengarang melukiskan peristiwa hidup tokoh aku kembali pada masa-masa yang telah ia lalui yaitu sepi yang semakin mendalam karena orang yang dinilai mengerti akan diri ternyata pergi dalam keadaan yang kurang menyenangkan yaitu kecelakaan maut. Hal ini berarti tidak ada tepian sunyi yang tergambar dalam cerita melainkan hanya kesunyian yang terulang dan menjadi semakin parah.
Ada kekeliruan yang dilakukan pengarang pada wal ceritanya. Kekeliruan itu tergambar dari kesalahan pengungkapan ide atau gagasan dengan pemakaian bahasa yang mewakili ide atau gagasan tersebut. Sebagai bukti, pengarang ingin melukiskan keadaan sepinya dengan cara membandingkan cahaya lampu yang menyala terang tetapi dirinya tak kunjung terang seperti lampu itu. Tetapi pengunggkapannya sebaliknya seperti pada kutipan berikut ini:
Lampu menyala terang tapi tidak seterang hatiku
Artinya, pengarang mengisahkan kebahagiaan yang dirasakan amat besar dengan diwakili kata terang dimana hatinya lebih terang daripada cahaya lampu. Artinya, pesan yang ingin disampaikan pengarang menjadi terbalik tidak sesuai dengan harapan karena proses pengungkapan yang tidak sesuai.
Disamping itu, pengarang seringkali membawa pembaca pada suasana cerita yang seolah-olah tidak ada relevansi (kohesi dan koherensi) kalimat-kalimat yang digunakan dalam sebuah peristiwa terkadang meberikan kesan rancu antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain sehingga penafriran ceritanya menjadi ambigu. Sebagai contoh
Semenjek diberi pelajaran hidup olehnya, aku merasa sepi itu mulai menepi Mungkin sepi itu sudah menemui penwarnya” kedua kalimat diatas masih relevan. Selanjutnya
aku tersenyum karenanya. Mulanya aku membencinya, saat ini benci itu berubah jadi kerinduan dengan lelucon dan petuah-petuahnya yang selalu dimuntahkan kepadaku”. Kutipan ini merupakan lanjutan dari kalimat di atas. Kedua bagian ini menunjukkan ketidakpaduan antara keduanya. Keadaan ini menimbulkan berkurangnya nilai-nilai estetika dari karya sastra ini sendiri.




No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...