Saturday, December 2, 2017

PEMBELAJARAN MULTILITERASI




PARADIGMA PEMBELAJARAN BERPENDEKATAN
MULTILITERASI DI ABAD 21


Aziz Thaba, S.Pd.,M.Pd.
Universitas Muhammadiyah Makassar
082195025536/azizthaba@yahoo.co.id


ABSTRAK
Pendekatan multiliterasi dalam pembelajaran merupakan paradigma pembelajaran yang telah lama digaungkan dalam dunia pendidikan. Namun, masih ada sebagian orang yang buram akan multiliterasi ini. Paradigma pengajaran berpendekatan multilitersi dalam tulisan ini didefinisikan sebagai konsep strategis pengajaran yang tidak hanya terbatas pada pengajaran keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, menulis, dan membaca) melainkan lebih kompleks pada praktik kulturasi sosial dan budaya dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran mengarah pada pemerkayaan kognitif, afektif, dan psikomotor melalui beragam konten-konten pembelajaran (bukan hanya aspek kebahasaan) yang terintegrasi dengan pemahaman sosial dan budaya pada pembelajar. Sebagai contoh, pembelajaran bahasa yang diintegrasikan dengan pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan lingkungan, pendidikan multikulutural, atau pendidikan budaya lokal. Dalam pembelajaran multiliterasi, memfokuskan pada pengembangan kemampuan peserta didik, bukan pada pencapaian kompetensi. Sehingga pendidik lebih dapat menghargai perbedaan setiap individu dan percaya bahwa setiap individu dilahirkan istimewa, yakni memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Perbedaan ini sebagai contohnya adalah dalam gaya belajar, bakat, minat, dan lain sebagainya. Penghargaan oleh pendidik ini wujudnya dapat berupa penerapan model maupun media yang dapat menunjang keseluruhan perbedaan setiap siswa ini. jadi tidak hanya berpatokan pada model, teknik, metode maupun media yang monoton atau tidak bervariasi. Karena kemonotonan ini dapat mengakibatkan beberapa siswa menjadi tidak dapat mengembangkan potensinya. Sejatinya, dengan adanya pembelajaran multiliterasi ini diyakini akan dapat memenuhi tuntutan jaman dan tantangan pendidikan. Sehingga setiap individu dapat mempertahankan eksistensinya dalam suatu masyarakat, bahkan dapat mempertahankan eksistensi negaranya. Selain itu, penerapan pembelajaran multiliterasi ini pula dapat membentuk individu yang multitasking/multitalent.
Kata Kunci: Paradigma,Pembelajaran, Multiliterasi




A.  PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha sadar yang terstruktur dan sistematis sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan menekankan suatu proses yang menuntut usaha yang terencana sesuai dengan aturan pelaksanaan yang sudah ditetapkan. Menyangkut hal tersebut, pendidikan yang dilakukan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dimaksud hendaknya dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Hal ini bertujuan agar dapat memberikan kontribusi yang lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan demi kemajuan bangsa ke depannya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan salah satu proses pendidikan.
Penggunaan model pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari sebuah proses pembelajaran. Model pembelajaran yang memenuhi kriteria baik akan melahirkan sebuah proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Namun sebaliknya, apabila model pembelajaran kurang sesuai dengan kriteria maka yang akan lahir adalah berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran merupakan sebuah pola yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Multiliterasi merupakan paradigma baru dalam pembelajaran literasi. Literasi sendiri sudah melebar artinya tidak terbatas pada kegiatan baca-tulis tetapi lebih kompleks pada praktik lakuturasi sosial dan budaya yang mengarahkan pembelajar untuk mengenal, memahami, mengpalikasikan, dan membudayakan nilai-nilai sosial budaya tersebut kearah yang lebih baik. Bahkan, sekarang ini, literasi memunculkan dimensi yang beragam seperti literasi lingkungan, literasi sastra, literasi media, literasi teknologi, bahkan literasi moral. Pembelajaran literasi berimplikasi pada munculnya konsep multiliterasi. Literasi menurut Tomskin (dalam Resmini, 2008, hlm.7) adalah kemampuan menggunakan membaca dan menulis dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Konsep multiliterasi muncul karena manusia tidak hanya membaca atau menulis, namun mereka membaca dan menulis dengan genre tertentu yang melibatkan tujuan sosial, kultural, dan politik yang menjadi tuntutan era globalisasi, maka hal ini menjadi dasar lahirnya multiliterasi dalam dunia pendidikan.
Menurut Morocco (2008, hlm. 10) keterampilan yang harus dikuasai agar tercipta pembelajaran multiliterasi adalah kemampuan membaca pemahaman yang tinggi, kemampuan menulis yang baik, keterampilan berbicara, dan keterampilan menguasai berbagai media digital. Keempat keterampilan itu tidak akan lepas dari penguasaan literasi dan integrasi bahasa dengan ilmu lain untuk memperoleh pengetahuan dan dapat mengkomunikasikan pengetahuan tersebut pada orang lain. Dengan pembelajaran multiliterasi, siswa dapat mengoptimalkan keterampilan berbahasa sehingga muncul kompetensi berpikir kritis, pemahaman konseptual, kolaboratif, dan komunikatif serta menghasilkan produk dalam mewujudkan situasi pembelajaran serta bermanfaat dalam menciptakan kondisi pembelajaran berbasis inkuiri dan pembelajaran tematik integratif.
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat penting bukan hanya untuk membina keterampilan komunikasi melainkan juga untuk kepentingan penguasaan ilmu pengetahuan. Menurut Ghazali (2013, hlm. 168) pembelajaran bahasa adalah “sebuah proses yang berjalan linear/ lurus, yaitu diawali dengan menguasai bahasa lisan (menyimak dan berbicara) dan baru kemudian beralih kebahasa tulis (membaca dan menulis). Jadi, keempat keterampilan tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pembelajaran berbahasa.
Akan tetapi, membaca dan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sangat penting, hal ini didasarkan karena membaca merupakan sarana untuk mempelajari suatu hal sehingga bisa memperluas pengetahuan dan menggali pesan-pesan tertulis dalam bahan bacaan yang akhirnya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan yaitu menulis. Walaupun demikian, membaca dan menulis bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan dan perlu bimbingan melalui proses pembelajaran yang tepat. Kemampuan membaca dan kemampuan menulis memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran multiliterasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang dimaksud dalam tulisan ini bukan hanya pada pembelajaran baca tulis tetapi terintegrasi pada kegiatan membaca dan menulis universal dengan segala aspek sosial budaya yang terlibat di dalamnya. Pembelajara akan tidak hanya dirahkan pada penguasan keterampilan berbahasa saja tetapi lebih kompleks dengan keterampilan sosial atau pengetahuan-pengetahuan lainnya. Model pembelajaran ini bisa juga dikatakan sebagai model pembelajaran terintegrasi sosial, budaya, nilai, moral, dan atau karakter.
B.  PEMBAHASAN
Dalam memenuhi tuntutan jaman dan tantangan pendidikan ini diperlukan pembelajaran multiliterasi untuk setiap individu sebagai penerus bangsa yang dapat membantunya dalam mempertahankan eksistensi dalam suatu masyarakat maupun dalam dunia internasional sekalipun. Sebelum membahas mengenai pentingnya pembelajaran multiliterasi dalam memenuhi tuntutan jaman dan tantangan pendidikan ini, harus diketahui terlebih dahulu mengenai akar dari pembelajaran dan multiliterasi itu sendiri. Pembelajaran secara umum dapat diuraikan sebagai upaya sengaja dan bertujuan yang berfokus pada kepentingan, karakteristik, dan kondisi orang lain agar peserta didik dapat dapat belajar dengan efektif dan efisien.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 17) mendefinisikan kata pembelajaran berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut, sedangkan pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahluk hidup belajar. Menurut Kimble dan Garmezy (Pringgawidagda, 2002 : 20), pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. Pembelajaran memiliki makna bahwa subjek belajar harus dibelajarkan bukan diajarkan. subjek belajar tersebut adalah siswa atau disebut juga pembelajar yang menjadi pusat kegiatan belajar. Siswa sebagai subjek belajar dituntut untuk aktif mencari, menemukan, menganalisis, merumuskan, memecahkan masalah, dan menyimpulkan suatu masalah. Brown (2007:8) memerinci karakteristik pembelajaran sebagai berikut.
a.    Belajar adalah menguasai atau memperoleh
b.    Belajar adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan
c.    Proses mengingat-ingat melibatkan sistem penyimpanan, memori, dan organisasi kognitif
d.   Belajar melibatkan perhatian aktif sadar dan bertindak menurut peristiwa – peristiwa di luar serta di dalam organisme
e.    Belajar itu bersifat permanen, tetapi tunduk pada lupa
f.     Belajar melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan imbalan dan hukum
g.    Belajar adalah suatu perubahan dalam perilaku.
Pembelajaran secara singkatnya sebagai suatu proses belajar yang berulang-ulang dan menyebabkan adanya perubahan perilaku yang didasari dan cenderung bersifat tetap. Sedangkan istilah multiliterasi  merupakan sebagai bagian akhir perkembangan konsep literasi (Bill Cope dan Mary Kalantzis, 2016). Istilah literasi sendiri pada dasarnya sering mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Freire (2005), literasi didefinisikan sebagai konstruksi sosial dan tidak pernah netral. Kemudian literasi dikatakan pula sebagai proses yang kompleks yang melibatkan pembangunan pengetahuan sebelumnya, budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam.  
Perubahan istilah dari literasi menjadi multiliterasi ini pada dasarnya memiliki beberapa alasan. Alasan pertama yang melandasi pengubahan istilah ini adalah bahwa literasi merupakan desain transformatif yang sangat penting. Literasi merupakan upaya pengungkapan makna yang terdapat dalam gambaran desain makna yang telah ada dan upaya menghasilkan makna dengan jalan menambah sesuatu sebagai hasil pemikiran kita sendiri pada desain yang telah ada tersebut sehingga desain transformatif yang dihasilkan mampu memberikan konstribusi terhadap perubahan dunia.
Oleh sebabitu, terhadap nosi pembelajaran literasi yang telah muncul sebelumnya harus ditambahkan agensi makna yang bersifat hibrid juga merupakan pertimbangan lain yang harus dipertimbangkan dalam menambah agensi atau desain pada konsep pembelajaran literasi tradisional. Alasan kedua, literasi dalam kondisi alamiahnya sudah bersifat multimodal, sifat kemultimodal ini menjadi sangat penting dalam konteks lingkungan komunikasi saat ini, sebab literasi terbentang dari layar komputer multimedia hingga supermarket, yang semakin menunjukkan bahwa teks telah disajikan secara beragam dan dinamis dalam bentuk suara, visual, spasial, maupun gestur. Di sisi lain, globalisasi dan keberagaman lokal secara seimbang dan progresif juga telah menstransfer makna jauh dari hanya aspek bahasa. Sejalan dengan kenyataan tersebut, pembelajaran literasi harus ditingkatkan menjadi pembelajaran yang bersifat interdisipliner sehingga batas – batas literasi dengan seni, drama, dan musik menjadi tidak jelas didefinisikan. Ketiga, desain membahasa telah melahirkan variasi bentuk makna dalam hubungannya dengan variasi fungsi makna. Tata bahasa telah digunakan dalam bentuk yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Tata bahasa sendiri tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai aturan bahasa tulis melainkan lebih luas sebagai aturan penggunaan bahasa dalam lingkup yang sangat luas dengan melibatkan media penyampai makna yang sangat bervariasi. Dengan demikian, hampir tidak ada tata bahasa yang dapat ditafsirkan secara jelas kebenaran dan kesalahannya. Penafsiran makna tata bahasa yang luas ini sangat bergantung pada usia, gender, wilayah, latar belakang etnis, kelas sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Inilah tiga argumentasi penggagas munculnya istilah multiliterasi.
Baguley, Pullen, dan Short (Wijayani, 2016) memandang multiliterasi sebagai cara untuk memahami secara luas kurikulum literasi yang dipelajari di sekolah formal yang mendorong siswa agar mampu berpartisipasi secara produktif di dalam komunitas masyarakat. Secara konseptual multiliterasi merupakan sebuah ancangan yang dapat digunakan untuk memahami beragam jenis teks dan beragam bentuk media yang dihasilkan sebagai teknologi baru melalui konsep paedagogik yang memberikan guru peluang untuk menyajikan informasi kepada siswa dengan menggunakan beragam bentuk teks dan media. The New London Group (Wijayani, 2016) menyatakan bahwa paedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen atau proses pengetahuan yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis dan transformasi praktis. Jika ditinjau dalam sebuah pembelajaran, pembelajaran multiliterasi dilaksanakan berdasarkan kondisi awal siswa, bukan berdasarkan apa yang harus dicapai oleh siswa. guru harus memahami bahwa setiap siswa memiliki kecepatan belajar yang berbeda, pengetahuan awal yang beragam, kelebihan dan minat yang beraneka, dan cara mendapatkan pengetahuan yang bervariasi. Berdasarkan pemahaman atas beberapa hal tersebut, guru harus menciptakan peluang bagi seluruh siswa untuk belajar, mendapatkan target belajar yang tinggi secara mandiri, dan bekerja secara cerdas untuk memecahkan tantangan, bekerja keras baik secara mandiri maupun berkelompok, mencapai prestasi melampaui apa yang siswa bisa, dan percaya bahwa belajar memerlukan tantangan, risiko, dan hambatan tersendiri (Tomlinson, 2000 : 2).
Pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang memang dikembangkan dengan berbasis ilmiah. Oleh sebab itu, salah satu komponen dalam pembelajaran multiliterasi adalah siklus belajar atau siklus pembentukan makna. Siklus ini merupakan perpaduan bagi keterlaksanaan pembelajaran multiliterasi di dalam kelas. Dengan kata lain, siklus inilah yang menggambarkan tahapan-tahapan pembelajaran multiliterasi secara umum yang dijiwai oleh pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Siklus pembelajaran multiliterasi tersebut secara umum diperinci sebagai berikut.
a.    Melibatkan
Pada tahap ini guru harus melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui pembangkitan skemata atau pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. kegiatan selanjutnya adalah siswa diajak untuk menghubungkan topik yang akan dibahas dengan diri siswa dengan tujuan agar siswa merasa mempelajari topik tersebut penting bagi dirinya. Kegiatan ketiga yang dilakukan pada tahap ini adalah siswa dibawah bimbingan guru membuat berbagai pertanyaan yang bersifat esensial yang akan dicari jawabannya melalui berbagai kerja inkuiri kritis pada tahap selanjutnya. Guna mempersiapkan siswa mengikuti langkah-langkah selanjutnya guru juga harus memaparkan aktivitas belajar yang akan siswa lakukan sekaligus memaparkan capaian aktivitas apa yang harus siswa hasilkan pada setiap tahapan aktivitas beajar tersebut.
b.    Merespon
Pada tahapan ini siswa secara individu merespon seluruh tantangan belajar yang diberikan guru. Siswa secara aktif mulai melakukan berbagai penyelidikan, observasi, ataupun kegiatan penelitian sederhana yang berhubungan dengan pertanyaan yang telah dibuatnya pada tahap pertama. Dalam tahapan ini, siswa bisa saja menggunakan perpustakaan, lingkungan sekolah, atau media pembelajaran yang telah disediakan guru dalam rangka membuat jawaban sementara terhadap pertanyaan yang dibuatnya.
c.    Elaborasi
Pada tahap ini siswa mengelaborasikan berbagai temuan individu dengan teman dalam kelompoknya. Bertemali dengan kegiatan elaborasi ini, pembelajaran multiliterasi bisa dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Proses elaborasi harus sampai menghasilkan ide – ide bersama yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Hasil kegiatan elaborasi ini dituangkan dalam laporan kelompok yang juga harus dimiliki oleh seluruh anggota kelompok.
d.   Meninjau Ulang
Pada tahap ini, draf laporan kelompok ditinjau ulang kebenarannya. Proses peninjauan ulang dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap data  individu, pengecekan keabsahan sumber, dan pengecekan keakuratan hasil. Jika seluruh isi telah diyakini ketepatannya, selanjutnya kelompok menunjuk perwakilan untuk memaparkan hasil kerja dan siswa lain dipersiapkan sebagai pencatat hasil diskusi kelas, perevisi hasil atas masukan kelas, dan juga tim yang bertugas mempertahankan atau mempertanggung jawabkan isi laporan.
e.    Mempresentasikan
Pada tahap ini perwakilan kelompok memaparkan hasil kerjanya di depan kelas. pemaparan ini dilanjutkan diskusi kelas dan diakhiri dengan kegiatan peninjauan, penguatan dan pengembangan materi dari guru.
Dari pemaparan mengenai langkah-langkah pembelajaran multiliterasi di atas, dapat diuraikan tujuannya adalah untuk mengembangkan kemampuan setiap individu secara menyeluruh dengan memaksimalkan segala situasi maupun media yang ada. Pembelajaran multiliterasi ini sejatinya memiliki keutamaan dalam hal mewujudkan individu yang multiliterasi/multitasking. Sehingga individu tersebut pada akhirnya akan dapat bersaing di kancah internasional dan tentunya dapat mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat. Karena dalam segala tuntutan jaman dan tantangan pendidikan saat ini sangat diperlukan pembelajaran yang tidak hanya bertujuan untuk mencapai suatu kompetensi saja, tetapi lebih memfokuskan pada pengembangan kemampuan setiap individunya. Hal ini tentunya sejalan dengan pandangan teori belajar humanistik yang berpandangan bahwa setiap individu adalah istimewa dan memiliki karakteristik masing-masing begitu pula dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Setiap individu tidak dapat disamaratakan kemampuannya. Dengan memandang bahwa setiap individu itu istimewa dan memiliki kemampuan masing-masing yang berbeda satu sama lain. Maka sudah pasti, hal ini dapat membangun rasa percaya diri individu terhadap kemampuannya.
Rasa percaya diri yang dimiliki oleh setiap individu ini dapat berdampak pada proses belajar yang akan berjalan lancar dan secara menyeluruh dapat memenuhi tuntutan jaman dan tantangan pendidikan yang saat ini semakin kompleks. Tantangan pendidikan saat ini lebih berfokus pada pendidikan di luar negeri yang dinilai cukup unggul dibanding dengan pendidikan di Indonesia. hal ini tentu saja dapat mempengaruhi suatu negara untuk menghasilkan generasi muda yang dapat bersaing di kancah internasional. Sedangkan untuk tuntutan jaman sendiri, tak lain berhubungan pula dengan pendidikan. dalam tuntutan jaman saat ini, karena banyaknya banyaknya pendidikan yang lebih unggul di luar negeri, maka di luar negeri pun akan lebih cepat dalam menemukan suatu teknologi terbaru dan segala hal penemuan terbaru yang sifatnya adalah untuk kemajuan negara. Hal ini tentunya dapat menjadikan Indonesia menjadi tertinggal dari negara-negara lainnya. ketertinggalan ini jika ditersukan pastinya akan berdampak pada mudahnya negara-negara asing yang menduduki Indonesia. Maka dari itu, pembelajaran multiliterasi ini dirasa sangat penting untuk diterapkan dalam memenuhi segala tuntutan jaman dan tantangan pendidikan.
1.    Dimensi-dimensi Literasi
Menurut UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori dimensi kebutuhan literasi khususnya di abad 21 yang terdiri dari:
a.    Basic Literacy, kadang-kadang disebut Literasi Fungsional (Functional Literacy), merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun sekolah.
b.    Computer literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC), laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi komputer biasanya dibagi menjadi hardware dan software literasi.
c.    Media Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.
d.   Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi, khususnya world wide web dan internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.
e.    Cultural Literacy merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional, penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern dan teknologi komunikasi
f.     Information literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa negara lebih sering menggunkan istilah information competencies atau information fluency atau bahkan istilah lain.
2.    Literasi Karakter dalam Pembelajaran
Pendidikan karakter tertuang dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyebutkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung. Sehingga pendidikan karakter sudah menjadi kewajiban yang harus diberikan pada peserta didik dalam segala satuan pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana  untuk mewujudkan suasana belajar dan  proses pembelajaran agar peserta didik  secara aktif mengembangkan potensi  dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual  keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,  kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter perlu diberikan sejak usia dini. Mengapa demikian? Karena hal ini akan mudah diterima dan tersimpan dalam memori anak,  dan akan membawa pengaruh pada perkembangan watak dan pribadi anak hingga dewasa.
Nilai-nilai karakter yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional tersebut dapat ditumbuhkembangkan melalui pendidikan yang salah satunya melalui kegiatan literasi, yang menitikberatkan pada membaca, menulis, dan arithmetic, selanjutnya  pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan tersebut dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan perkembangan masyarakatnya yang dilandasi oleh nilai-nilai karakter yang tercantum dalam pesan dan media literasi yang dimanfaaatkan.
Ada tiga prinsip  bimbingan dalam rangka membantu peserta didik untuk menjadi literat untuk mengembangkan nilai-nilai karakter, yaitu motivasi, pembelajaran membaca-menulis terpadu, dan membaca dan menulis mandiri (Cooper, 1993:30).
a.    Prinsip motivasi, prinsip ini bisa dibangun dengan lingkungan kelas literat (lingkungan yang kaya akan media kebahasaan), sikap positif guru, dan partisifasi orang tua.
b.    Prinsip Pembelajaran membaca-menulis terpadu, dilandasi oleh lima alasan penting (Cooper, 1993), yaitu: membaca dan menulis sama-sama merupakan proses membangun makna, sama-sama, meliputi pengetahuan proses yang  sama, meningkatkan prestasi, membantu perkembangan komunikasi, menggiring pada hasil yang bukan dihasilkan oleh salah satu prosesnya.
c.    Prinsip membaca dan menulis mandiri,  memperhalus membaca pemahaman, memperluas skemata, memperkaya kosa kata, menumbuhkan sikap membaca sebagai aktivitas belajar seumur hidup. Menulis mandiri juga penting untuk pengembangan kecakapan siswa dalam tata bahasa dan ejaan. Aktivitas membaca dan menulis mandiri menunjang proses perluasan pengalaman autentik sebagai konsep dalam belajar literasi secara menyeluruh
Dengan kegiatan literasi seperti membaca dan menulis dapat mengembangkan nilai-nilai karakter antara lain:
a.    Sikap religius: dapat diperoleh dari bacaan yang mengandung nilai-nilai keagamaan (kisah para nabi, ibadah dan amal sholeh, dan sebagainya),
b.    Jujur: mampu mengulas atau menerangkan kembali bacaan dengan benar.  
c.    Toleransi: mampu menghormati dan menghargai pembaca di sekelilingnya, membaca dengan suara lirih, atau membaca dalam hati.
d.   Disiplin dan Tanggung-jawab: rajin membaca dan mengembalikan buku tepat waktu.  
e.    Kerja Keras dan Rasa Ingin Tahu: Senantiasa mencari tahu fakta-fakta baru dengan berbagai sumber bacaan.   
f.     Kreatif dan Mandiri: kreatif dalam memecahkan persoalan yang muncul dengan banyak membaca pengalaman dan kisah seorang tokoh secara mandiri.
g.    Demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai: dapat diperoleh dengan membaca cerita kepahlawanan, bela Negara, cerita orang-orang sukses membangun bangsa, dan lain-lain.
h.    Menghargai prestasi: senantiasa merawat dan membaca buku karya seseorang yang bermanfaat.
i.      Bersahabat /komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial: sikap ini diperoleh dari isi materi/konten cerita yang berhubungan kemanusiaan, alam, dan saling bersahabat dalam tempat literasi (perpustakaan, taman bacaan, dan lain-lain).
j.      Rajin menulis: dapat dituangkan dengan cara memberikan komentar, rangkuman, catatan kecil, resume inti dari isi bacaan dengan maksud hasil dari membaca tersebut tetap melekat dalam waktu yang lama daan menjadi kebiasaan yang otomatis. dan masih banyak lagi manfaat dari kegiatan literasi dalam mengembangkan nilai-nilai karakter yang menjadi harapan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan literasi dapat mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik, dengan catatan adanya motivasi, sikap positif guru, dan peran serta orang tua, disamping itu juga materi/isi yang disajikan dalam literasi harus mengandung nilai-nilai agama, etika, adat dan budaya yang baik, pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai positif.
3.    Literasi SainTek (Science and Technology) dalam Pembelajaran
Pada tahun 1993 UNESCO mengadakan International Forum on Scentific and Technological Lietacy for All di Paris yang dihadiri oleh hampir 500 orang peserta sebagai perwakilan dari 48 negara termasuk Indonesia, melalui masukan dari peserta disepakati bahwa salah satu alternatif untuk membangun masyarakat yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah menggunakan STS dalam pembelajaran di sekolah dan penyuluhan di masyarakat. Juga disepakati agar guru/dosen mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melaksanakan ”far transfer of learning” yang berarti mampu mentrasfer pengalaman belajar ke dalam situasi di luar sekolah yakni situasi di masyarakat (Poedjiadi, 2005)
Bloch E (Poedjiadi, 2005) menyatakan bahwa literasi sains dan teknologi adalah suatu kebutuhan dan tantangan, karena keduanya memainkan peranan penting dalam kehidupan, terutama untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Dengan literasi sains dan teknologi dapat memberikan informasi dasar untuk mengembangkan pengambilan keputusan. Literasi sains dan teknologi ini berfokus pada implikasi dari problem dalam masyarakat yang bersifat lokal, regional, maupun nasional.
Selanjutnya, Poedjiadi (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah menggunakan konsep-konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai jenjangnya, mengenal produk teknologi yang ada disekitarnya beserta dampaknya, mampu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kreatif membuat hasil teknologi yang disederhanakan dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya masyarakat. Pada dasarnya pendekatan pembelajaran sains teknologi masyarakat merupakan pembelajaran dalam konteks masyarakat dan bermuatan nilai, dengan harapan agar peserta didik dapat meningkatkan kualitas hidupnya sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Sedangkan literasi teknologi yaitu: tahu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, sadar tentang proses teknologi dengan prinsipnya, sadar tentang akibat teknologi terhadap manusia dan masyarakat serta mampu membuat hasil teknologi alternatif yang sederhana.
Paul de Hart (dalam Poedjiadi, 2005) mengemukakan bahwa literasi sains berarti memahami sains dan aplikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian sebagai karateristik dari orang yang memiliki literasi sains yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang cukup tentang fakta, konsep, teori sains dan kemampuan untuk mengaplikasikannya. (2) mempunyai pemahaman tentang sains dan melek sains, mempunyai sikap positif terhadap sains dan teknologi. (3) apresiasi terhadap nilai sains dan teknologi dalam masyarakat serta memahami hubungan sains dan teknologi masyarakat. (4) menyelesaikan masalah-masalah dan mengambil keputusan dengan menggunakan ketrampilan proses sains. (5) mampu membuat keputusan berdasarkan nilai tentang masalah-masalah masyarakat.(6) mampu mengaplikasikan bekerja dan berperan dalam masyarakat. (7) mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap lingkungan. Sedangkan literasi teknologi adalah memiliki kemampuan melaksanakan teknologi dengan didasari kemampuan mengidentifikasi, menyadari efek hasil teknologi, memiliki sikap dan kemampuan fisik menggunakan alat dengan aman, tepat, efisien dan efektif.
Selanjutnya, Rubba (1993) menyatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi sains adalah sebagai berikut: (a) bersikap positif terhadap sains, (b) mampu menggunakan proses sains, (c) berpengetahuan luas tentang hasil-hasil riset, (d) memiliki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya dalam teknologi dan masyarakat, (e) memiliki pengertian hubungan antara sains, teknologi, masyarakat dan nilai-nilai manusia, (f) berkemampuan membuat keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk pemecahan masalah-masalah masyarakat yang berhubungan dengan sains tersebut.
Masih terdapat beragam literasi yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Namun, dalam tulisan ini, jenis literasi yang diuraikan hanya literasi karakter dan literasi saintek. Intinya, pembelajaran multiliterasi adalah pembelajaran yang mengarahkan pemahaman yang kompleks dan universal antara teori atau materi pelajaran ini sendiri dan berbagai aspek yang berkaitan dengan praktik kultural.
C.  KESIMPULAN
Tantangan pendidikan dan tuntutan jaman tersebut salah satunya dapat terpenuhi dengan penerapan pembelajaran berbasis multiliterasi. Pembelajaran multiliterasi ini merupakan suatu pembelajaran yang menitiberatkan pada keberagaman media, keberagaman budaya, keberagaman konteks keilmuan, keberagaman kecerdasan, keberagaman gaya belajar, dan keberagaman modal dan modus belajar. Jadi, dalam pembelajaran multiliterasi ini lebih memfokuskan pada pengoptimalan setiap aspek belajar. Maka dapat diartikan dalam pembelajaran multiliterasi ini bertujuan untuk mewujudkan produk yang multitasking. Selain itu, pembelajaran multiliterasi ini juga menitiberatkan pada penerimaan terhadap perbedaan setiap individunya. Setiap individu memiliki kecerdasan masing-masing yang pastinya tidak sama satu sama lain serta gaya belajar yang berbeda. Jadi setiap individu dapat diartikan sebagai sesuatu yang istimewa, tidak ada individu yang paling unggul karena sistem penilaian pun didasarkan atas beberapa aspek.
Penerapan pembelajaran multiliterasi ini dirasa dapat memenuhi tantangan pendidikan dan tuntutan jaman dewasa ini yang secara keseluruhan dapat membantu seorang individu dalam mempertahankan eksistensinya dalam suatu masyarakat. Maka dari itu, pembelajaran multiliterasi ini dirasa sangat penting untuk diterapkan dalam pembelajaran baik formal maupun informal.
D.  REFERENSI
Badan Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lembaga Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Bill Cope dan Mary Kalantzis. 2016. New Learning: Transformational Designs for Pedagogy and Assessment. Diakses di http://newlearningonline.com.
Brown, Douglas. 2007. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy, 3rd edition. New York: Pearson Education.
Cooper, J.D. 1993. Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston. Toronto: Hougton Miffin Company.
Freire, Paulo. 2005. Pendidikan Yang Membebaskan. Jakarta: MELIBAS.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Refika Aditama.
Morocco, C.C. 2008. Supported Literacy for Adolescents: Transforming Teaching and Content Learning for The Twenty-First Century. San Fransisco: Jossey-Bass Wiley Inprint.
Nasution, Laila Hadri. 2013. Analisis Literasi Informasi Pengguna Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Poedjiadi, A. 2005. Kumpulan Makalah Tentang Literasi Sains dan Teknologi. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.
Pringgawidagda, Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Bandung: Adicita.
Resmini, N. 2008. Membaca dan Menulis di Sekolah Dasar. Bandung: UPI Press.
Rubba, PA. 1993. “Examination of Preservice and Inservice Secondary Science Teachers Beliefs About Sciens-Technology-Society Interactions”. International Journal Science Education, 407-431.
Tomlison, Brian. 2000. Introduction: In Materials Development in Language Teaching. Ed. Brian Tomlinson 1-24. Cambridge: Cambridge University Press.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kementerian Pendidikan Nasional.
Wijayani, Wahyu Putri. 2016. Pentingnya Penerapan Pembelajaran Multiliterasi dalam Memenuhi Tuntutan Zaman dan Tantangan Pendidikan. Diakses di http//ichiryuchan.blogspot.co.id.


SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...