PARADIGMA
PEMBELAJARAN BERPENDEKATAN
MULTILITERASI
DI ABAD 21
Aziz
Thaba, S.Pd.,M.Pd.
Universitas Muhammadiyah Makassar
082195025536/azizthaba@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pendekatan
multiliterasi dalam pembelajaran merupakan paradigma pembelajaran yang telah
lama digaungkan dalam dunia pendidikan. Namun, masih ada sebagian orang yang buram
akan multiliterasi ini. Paradigma pengajaran berpendekatan multilitersi dalam
tulisan ini didefinisikan sebagai konsep strategis pengajaran yang tidak hanya
terbatas pada pengajaran keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, menulis,
dan membaca) melainkan lebih kompleks pada praktik kulturasi sosial dan budaya
dalam pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran mengarah pada pemerkayaan
kognitif, afektif, dan psikomotor melalui beragam konten-konten pembelajaran
(bukan hanya aspek kebahasaan) yang terintegrasi dengan pemahaman sosial dan
budaya pada pembelajar. Sebagai contoh, pembelajaran bahasa yang diintegrasikan
dengan pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan
lingkungan, pendidikan multikulutural, atau pendidikan budaya lokal. Dalam
pembelajaran multiliterasi, memfokuskan pada pengembangan kemampuan peserta
didik, bukan pada pencapaian kompetensi. Sehingga pendidik lebih dapat
menghargai perbedaan setiap individu dan percaya bahwa setiap individu
dilahirkan istimewa, yakni memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Perbedaan ini sebagai contohnya adalah dalam gaya belajar, bakat, minat, dan
lain sebagainya. Penghargaan oleh pendidik ini wujudnya dapat berupa penerapan
model maupun media yang dapat menunjang keseluruhan perbedaan setiap siswa ini.
jadi tidak hanya berpatokan pada model, teknik, metode maupun media yang
monoton atau tidak bervariasi. Karena kemonotonan ini dapat mengakibatkan
beberapa siswa menjadi tidak dapat mengembangkan potensinya. Sejatinya, dengan
adanya pembelajaran multiliterasi ini diyakini akan dapat memenuhi tuntutan
jaman dan tantangan pendidikan. Sehingga setiap individu dapat mempertahankan
eksistensinya dalam suatu masyarakat, bahkan dapat mempertahankan eksistensi
negaranya. Selain itu, penerapan pembelajaran multiliterasi ini pula dapat
membentuk individu yang multitasking/multitalent.
Kata Kunci:
Paradigma,Pembelajaran, Multiliterasi
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan usaha sadar yang terstruktur dan sistematis sebagai upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan. Oleh
sebab itu, pendidikan menekankan suatu proses yang menuntut usaha yang
terencana sesuai dengan aturan pelaksanaan yang sudah ditetapkan. Menyangkut
hal tersebut, pendidikan yang dilakukan dalam mengembangkan kualitas sumber
daya manusia yang dimaksud hendaknya dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Hal
ini bertujuan agar dapat memberikan kontribusi yang lebih baik sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diharapkan demi kemajuan bangsa ke depannya. Proses
pembelajaran di sekolah merupakan salah satu proses pendidikan.
Penggunaan model
pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari sebuah
proses pembelajaran. Model pembelajaran yang memenuhi kriteria baik akan
melahirkan sebuah proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Namun
sebaliknya, apabila model pembelajaran kurang sesuai dengan kriteria maka yang
akan lahir adalah berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran. Model
pembelajaran merupakan sebuah pola yang menggambarkan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pedoman dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Multiliterasi
merupakan paradigma baru dalam pembelajaran literasi. Literasi sendiri sudah
melebar artinya tidak terbatas pada kegiatan baca-tulis tetapi lebih kompleks
pada praktik lakuturasi sosial dan budaya yang mengarahkan pembelajar untuk
mengenal, memahami, mengpalikasikan, dan membudayakan nilai-nilai sosial budaya
tersebut kearah yang lebih baik. Bahkan, sekarang ini, literasi memunculkan
dimensi yang beragam seperti literasi lingkungan, literasi sastra, literasi
media, literasi teknologi, bahkan literasi moral. Pembelajaran literasi
berimplikasi pada munculnya konsep multiliterasi. Literasi menurut Tomskin
(dalam Resmini, 2008, hlm.7) adalah kemampuan menggunakan membaca dan menulis
dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran baik di sekolah maupun di luar
sekolah. Konsep multiliterasi muncul karena manusia tidak hanya membaca atau
menulis, namun mereka membaca dan menulis dengan genre tertentu yang melibatkan
tujuan sosial, kultural, dan politik yang menjadi tuntutan era globalisasi,
maka hal ini menjadi dasar lahirnya multiliterasi dalam dunia pendidikan.
Menurut Morocco
(2008, hlm. 10) keterampilan yang harus dikuasai agar tercipta pembelajaran
multiliterasi adalah kemampuan membaca pemahaman yang tinggi, kemampuan menulis
yang baik, keterampilan berbicara, dan keterampilan menguasai berbagai media
digital. Keempat keterampilan itu tidak akan lepas dari penguasaan literasi dan
integrasi bahasa dengan ilmu lain untuk memperoleh pengetahuan dan dapat
mengkomunikasikan pengetahuan tersebut pada orang lain. Dengan pembelajaran
multiliterasi, siswa dapat mengoptimalkan keterampilan berbahasa sehingga
muncul kompetensi berpikir kritis, pemahaman konseptual, kolaboratif, dan
komunikatif serta menghasilkan produk dalam mewujudkan situasi pembelajaran
serta bermanfaat dalam menciptakan kondisi pembelajaran berbasis inkuiri dan
pembelajaran tematik integratif.
Pembelajaran
bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat penting bukan hanya untuk membina
keterampilan komunikasi melainkan juga untuk kepentingan penguasaan ilmu
pengetahuan. Menurut Ghazali (2013, hlm. 168) pembelajaran bahasa adalah
“sebuah proses yang berjalan linear/ lurus, yaitu diawali dengan menguasai
bahasa lisan (menyimak dan berbicara) dan baru kemudian beralih kebahasa tulis
(membaca dan menulis). Jadi, keempat keterampilan tersebut saling berhubungan
dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pembelajaran berbahasa.
Akan tetapi,
membaca dan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sangat penting, hal
ini didasarkan karena membaca merupakan sarana untuk mempelajari suatu hal
sehingga bisa memperluas pengetahuan dan menggali pesan-pesan tertulis dalam
bahan bacaan yang akhirnya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan yaitu menulis.
Walaupun demikian, membaca dan menulis bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
untuk dilakukan dan perlu bimbingan melalui proses pembelajaran yang tepat.
Kemampuan membaca dan kemampuan menulis memiliki keterkaitan yang tidak dapat
dipisahkan.
Berdasarkan
uraian di atas, pembelajaran multiliterasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang dimaksud dalam tulisan ini bukan hanya pada pembelajaran baca tulis tetapi
terintegrasi pada kegiatan membaca dan menulis universal dengan segala aspek
sosial budaya yang terlibat di dalamnya. Pembelajara akan tidak hanya dirahkan
pada penguasan keterampilan berbahasa saja tetapi lebih kompleks dengan
keterampilan sosial atau pengetahuan-pengetahuan lainnya. Model pembelajaran
ini bisa juga dikatakan sebagai model pembelajaran terintegrasi sosial, budaya,
nilai, moral, dan atau karakter.
B.
PEMBAHASAN
Dalam memenuhi tuntutan jaman dan
tantangan pendidikan ini diperlukan pembelajaran multiliterasi untuk setiap
individu sebagai penerus bangsa yang dapat membantunya dalam mempertahankan
eksistensi dalam suatu masyarakat maupun dalam dunia internasional sekalipun.
Sebelum membahas mengenai pentingnya pembelajaran multiliterasi dalam memenuhi
tuntutan jaman dan tantangan pendidikan ini, harus diketahui terlebih dahulu
mengenai akar dari pembelajaran dan multiliterasi itu sendiri. Pembelajaran
secara umum dapat diuraikan sebagai upaya sengaja dan bertujuan yang berfokus
pada kepentingan, karakteristik, dan kondisi orang lain agar peserta didik
dapat dapat belajar dengan efektif dan efisien.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007 : 17) mendefinisikan kata pembelajaran berasal dari kata ajar yang
berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut,
sedangkan pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau
mahluk hidup belajar. Menurut Kimble dan Garmezy (Pringgawidagda, 2002 : 20),
pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan
hasil praktik yang diulang-ulang. Pembelajaran memiliki makna bahwa subjek
belajar harus dibelajarkan bukan diajarkan. subjek belajar tersebut adalah
siswa atau disebut juga pembelajar yang menjadi pusat kegiatan belajar. Siswa
sebagai subjek belajar dituntut untuk aktif mencari, menemukan, menganalisis,
merumuskan, memecahkan masalah, dan menyimpulkan suatu masalah. Brown (2007:8)
memerinci karakteristik pembelajaran sebagai berikut.
a. Belajar
adalah menguasai atau memperoleh
b. Belajar
adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan
c. Proses mengingat-ingat
melibatkan sistem penyimpanan, memori, dan organisasi kognitif
d. Belajar
melibatkan perhatian aktif sadar dan bertindak menurut peristiwa – peristiwa di
luar serta di dalam organisme
e. Belajar itu
bersifat permanen, tetapi tunduk pada lupa
f. Belajar
melibatkan berbagai bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan imbalan
dan hukum
g. Belajar
adalah suatu perubahan dalam perilaku.
Pembelajaran
secara singkatnya sebagai suatu proses belajar yang berulang-ulang dan
menyebabkan adanya perubahan perilaku yang didasari dan cenderung bersifat
tetap. Sedangkan istilah multiliterasi merupakan sebagai bagian akhir
perkembangan konsep literasi (Bill Cope dan Mary Kalantzis, 2016). Istilah
literasi sendiri pada dasarnya sering mengalami perkembangan dan perubahan
sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Freire (2005), literasi didefinisikan
sebagai konstruksi sosial dan tidak pernah netral. Kemudian literasi dikatakan
pula sebagai proses yang kompleks yang melibatkan pembangunan pengetahuan
sebelumnya, budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan baru dan
pemahaman yang lebih dalam.
Perubahan
istilah dari literasi menjadi multiliterasi ini pada dasarnya memiliki beberapa
alasan. Alasan pertama yang melandasi pengubahan istilah ini adalah bahwa
literasi merupakan desain transformatif yang sangat penting. Literasi merupakan
upaya pengungkapan makna yang terdapat dalam gambaran desain makna yang telah
ada dan upaya menghasilkan makna dengan jalan menambah sesuatu sebagai hasil
pemikiran kita sendiri pada desain yang telah ada tersebut sehingga desain
transformatif yang dihasilkan mampu memberikan konstribusi terhadap perubahan
dunia.
Oleh
sebabitu, terhadap nosi pembelajaran literasi yang telah muncul sebelumnya
harus ditambahkan agensi makna yang bersifat hibrid juga merupakan pertimbangan
lain yang harus dipertimbangkan dalam menambah agensi atau desain pada konsep
pembelajaran literasi tradisional. Alasan kedua, literasi dalam kondisi
alamiahnya sudah bersifat multimodal, sifat kemultimodal ini menjadi sangat
penting dalam konteks lingkungan komunikasi saat ini, sebab literasi terbentang
dari layar komputer multimedia hingga supermarket, yang semakin menunjukkan
bahwa teks telah disajikan secara beragam dan dinamis dalam bentuk suara,
visual, spasial, maupun gestur. Di sisi lain, globalisasi dan keberagaman lokal
secara seimbang dan progresif juga telah menstransfer makna jauh dari hanya
aspek bahasa. Sejalan dengan kenyataan tersebut, pembelajaran literasi harus
ditingkatkan menjadi pembelajaran yang bersifat interdisipliner sehingga batas
– batas literasi dengan seni, drama, dan musik menjadi tidak jelas
didefinisikan. Ketiga, desain membahasa telah melahirkan variasi bentuk makna
dalam hubungannya dengan variasi fungsi makna. Tata bahasa telah digunakan
dalam bentuk yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Tata bahasa sendiri tidak
dapat hanya ditafsirkan sebagai aturan bahasa tulis melainkan lebih luas
sebagai aturan penggunaan bahasa dalam lingkup yang sangat luas dengan
melibatkan media penyampai makna yang sangat bervariasi. Dengan demikian,
hampir tidak ada tata bahasa yang dapat ditafsirkan secara jelas kebenaran dan
kesalahannya. Penafsiran makna tata bahasa yang luas ini sangat bergantung pada
usia, gender, wilayah, latar belakang etnis, kelas sosial, pekerjaan, dan lain
sebagainya. Inilah tiga argumentasi penggagas munculnya istilah multiliterasi.
Baguley,
Pullen, dan Short (Wijayani, 2016) memandang multiliterasi sebagai cara untuk
memahami secara luas kurikulum literasi yang dipelajari di sekolah formal yang
mendorong siswa agar mampu berpartisipasi secara produktif di dalam komunitas
masyarakat. Secara konseptual multiliterasi merupakan sebuah ancangan yang
dapat digunakan untuk memahami beragam jenis teks dan beragam bentuk media yang
dihasilkan sebagai teknologi baru melalui konsep paedagogik yang memberikan
guru peluang untuk menyajikan informasi kepada siswa dengan menggunakan beragam
bentuk teks dan media. The New London Group (Wijayani, 2016) menyatakan bahwa
paedagogik multiliterasi dibangun oleh empat komponen atau proses pengetahuan
yakni situasi praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis dan transformasi
praktis. Jika ditinjau dalam sebuah pembelajaran, pembelajaran multiliterasi
dilaksanakan berdasarkan kondisi awal siswa, bukan berdasarkan apa yang harus
dicapai oleh siswa. guru harus memahami bahwa setiap siswa memiliki kecepatan
belajar yang berbeda, pengetahuan awal yang beragam, kelebihan dan minat yang
beraneka, dan cara mendapatkan pengetahuan yang bervariasi. Berdasarkan
pemahaman atas beberapa hal tersebut, guru harus menciptakan peluang bagi
seluruh siswa untuk belajar, mendapatkan target belajar yang tinggi secara
mandiri, dan bekerja secara cerdas untuk memecahkan tantangan, bekerja keras
baik secara mandiri maupun berkelompok, mencapai prestasi melampaui apa yang
siswa bisa, dan percaya bahwa belajar memerlukan tantangan, risiko, dan
hambatan tersendiri (Tomlinson, 2000 : 2).
Pembelajaran
multiliterasi merupakan pembelajaran yang memang dikembangkan dengan berbasis
ilmiah. Oleh sebab itu, salah satu komponen dalam pembelajaran multiliterasi
adalah siklus belajar atau siklus pembentukan makna. Siklus ini merupakan
perpaduan bagi keterlaksanaan pembelajaran multiliterasi di dalam kelas. Dengan
kata lain, siklus inilah yang menggambarkan tahapan-tahapan pembelajaran
multiliterasi secara umum yang dijiwai oleh pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran. Siklus pembelajaran multiliterasi tersebut secara umum diperinci
sebagai berikut.
a. Melibatkan
Pada tahap
ini guru harus melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui pembangkitan skemata
atau pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. kegiatan selanjutnya adalah
siswa diajak untuk menghubungkan topik yang akan dibahas dengan diri siswa
dengan tujuan agar siswa merasa mempelajari topik tersebut penting bagi
dirinya. Kegiatan ketiga yang dilakukan pada tahap ini adalah siswa dibawah
bimbingan guru membuat berbagai pertanyaan yang bersifat esensial yang akan
dicari jawabannya melalui berbagai kerja inkuiri kritis pada tahap selanjutnya.
Guna mempersiapkan siswa mengikuti langkah-langkah selanjutnya guru juga harus
memaparkan aktivitas belajar yang akan siswa lakukan sekaligus memaparkan
capaian aktivitas apa yang harus siswa hasilkan pada setiap tahapan aktivitas
beajar tersebut.
b. Merespon
Pada tahapan
ini siswa secara individu merespon seluruh tantangan belajar yang diberikan
guru. Siswa secara aktif mulai melakukan berbagai penyelidikan, observasi,
ataupun kegiatan penelitian sederhana yang berhubungan dengan pertanyaan yang
telah dibuatnya pada tahap pertama. Dalam tahapan ini, siswa bisa saja
menggunakan perpustakaan, lingkungan sekolah, atau media pembelajaran yang
telah disediakan guru dalam rangka membuat jawaban sementara terhadap
pertanyaan yang dibuatnya.
c. Elaborasi
Pada tahap
ini siswa mengelaborasikan berbagai temuan individu dengan teman dalam
kelompoknya. Bertemali dengan kegiatan elaborasi ini, pembelajaran
multiliterasi bisa dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Proses elaborasi harus sampai menghasilkan ide – ide bersama yang dapat
digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Hasil kegiatan elaborasi ini
dituangkan dalam laporan kelompok yang juga harus dimiliki oleh seluruh anggota
kelompok.
d. Meninjau
Ulang
Pada tahap
ini, draf laporan kelompok ditinjau ulang kebenarannya. Proses peninjauan ulang
dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap data individu,
pengecekan keabsahan sumber, dan pengecekan keakuratan hasil. Jika seluruh isi
telah diyakini ketepatannya, selanjutnya kelompok menunjuk perwakilan untuk
memaparkan hasil kerja dan siswa lain dipersiapkan sebagai pencatat hasil
diskusi kelas, perevisi hasil atas masukan kelas, dan juga tim yang bertugas
mempertahankan atau mempertanggung jawabkan isi laporan.
e. Mempresentasikan
Pada tahap
ini perwakilan kelompok memaparkan hasil kerjanya di depan kelas. pemaparan ini
dilanjutkan diskusi kelas dan diakhiri dengan kegiatan peninjauan, penguatan
dan pengembangan materi dari guru.
Dari pemaparan mengenai langkah-langkah pembelajaran
multiliterasi di atas, dapat diuraikan tujuannya adalah untuk mengembangkan
kemampuan setiap individu secara menyeluruh dengan memaksimalkan segala situasi
maupun media yang ada. Pembelajaran multiliterasi ini sejatinya memiliki
keutamaan dalam hal mewujudkan individu yang multiliterasi/multitasking.
Sehingga individu tersebut pada akhirnya akan dapat bersaing di kancah
internasional dan tentunya dapat mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat.
Karena dalam segala tuntutan jaman dan tantangan pendidikan saat ini sangat
diperlukan pembelajaran yang tidak hanya bertujuan untuk mencapai suatu
kompetensi saja, tetapi lebih memfokuskan pada pengembangan kemampuan setiap
individunya. Hal ini tentunya sejalan dengan pandangan teori belajar humanistik
yang berpandangan bahwa setiap individu adalah istimewa dan memiliki karakteristik
masing-masing begitu pula dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Setiap
individu tidak dapat disamaratakan kemampuannya. Dengan memandang bahwa setiap
individu itu istimewa dan memiliki kemampuan masing-masing yang berbeda satu
sama lain. Maka sudah pasti, hal ini dapat membangun rasa percaya diri individu
terhadap kemampuannya.
Rasa percaya diri yang dimiliki oleh setiap individu
ini dapat berdampak pada proses belajar yang akan berjalan lancar dan secara
menyeluruh dapat memenuhi tuntutan jaman dan tantangan pendidikan yang saat ini
semakin kompleks. Tantangan pendidikan saat ini lebih berfokus pada pendidikan
di luar negeri yang dinilai cukup unggul dibanding dengan pendidikan di
Indonesia. hal ini tentu saja dapat mempengaruhi suatu negara untuk
menghasilkan generasi muda yang dapat bersaing di kancah internasional.
Sedangkan untuk tuntutan jaman sendiri, tak lain berhubungan pula dengan
pendidikan. dalam tuntutan jaman saat ini, karena banyaknya banyaknya
pendidikan yang lebih unggul di luar negeri, maka di luar negeri pun akan lebih
cepat dalam menemukan suatu teknologi terbaru dan segala hal penemuan terbaru
yang sifatnya adalah untuk kemajuan negara. Hal ini tentunya dapat menjadikan
Indonesia menjadi tertinggal dari negara-negara lainnya. ketertinggalan ini
jika ditersukan pastinya akan berdampak pada mudahnya negara-negara asing yang
menduduki Indonesia. Maka dari itu, pembelajaran multiliterasi ini dirasa
sangat penting untuk diterapkan dalam memenuhi segala tuntutan jaman dan tantangan
pendidikan.
1.
Dimensi-dimensi
Literasi
Menurut UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013: 12-13),
memasukkan enam kategori dimensi kebutuhan
literasi khususnya di abad 21 yang terdiri dari:
a.
Basic Literacy, kadang-kadang disebut Literasi
Fungsional (Functional
Literacy),
merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti
bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan
mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh
kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun
sekolah.
b.
Computer literacy, merupakan seperangkat keterampilan,
sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi
dasar teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat
seperti komputer pribadi (PC), laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan
sebagainya, literasi komputer biasanya dibagi menjadi hardware dan software
literasi.
c.
Media Literacy, merupakan seperangkat keterampilan,
sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai
jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke
penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara
individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak
penerima, atau, sebaliknya.
d.
Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk pada
modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi,
khususnya world wide web dan internet, sebagai ruang kelas virtual bukan
ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik guru dan
siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan penelitian
dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat memperoleh akses
ke komputer dan saluran telepon.
e.
Cultural Literacy
merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan pemahaman, tentang
bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau suatu suku,
keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional, penciptaan, penyimpanan,
penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan data, informasi dan
pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting dari pemahaman
literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya berdampak
secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern dan
teknologi komunikasi
f.
Information literacy,
erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir kritis, yang
menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi ke dalam
kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa negara lebih
sering menggunkan istilah information competencies atau information
fluency atau bahkan istilah lain.
2.
Literasi Karakter
dalam Pembelajaran
Pendidikan
karakter tertuang dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 menyebutkan Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung.
Sehingga pendidikan karakter sudah menjadi kewajiban yang harus diberikan pada
peserta didik dalam segala satuan pendidikan.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Karakter adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter
adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli,
dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai
insan kamil. Pendidikan karakter perlu diberikan sejak usia dini. Mengapa
demikian? Karena hal ini akan mudah diterima dan tersimpan dalam memori
anak, dan akan membawa pengaruh pada perkembangan watak dan pribadi anak
hingga dewasa.
Nilai-nilai
karakter yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional tersebut dapat
ditumbuhkembangkan melalui pendidikan yang salah satunya melalui kegiatan
literasi, yang menitikberatkan pada membaca, menulis, dan arithmetic,
selanjutnya pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan tersebut dimanfaatkan
untuk dirinya sendiri dan perkembangan masyarakatnya yang dilandasi oleh
nilai-nilai karakter yang tercantum dalam pesan dan media literasi yang
dimanfaaatkan.
Ada tiga
prinsip bimbingan dalam rangka membantu peserta didik untuk menjadi
literat untuk mengembangkan nilai-nilai karakter, yaitu motivasi, pembelajaran
membaca-menulis terpadu, dan membaca dan menulis mandiri (Cooper, 1993:30).
a. Prinsip
motivasi, prinsip ini bisa dibangun dengan lingkungan kelas literat (lingkungan
yang kaya akan media kebahasaan), sikap positif guru, dan partisifasi orang
tua.
b.
Prinsip Pembelajaran
membaca-menulis terpadu, dilandasi oleh lima alasan penting (Cooper, 1993),
yaitu: membaca dan menulis sama-sama merupakan proses membangun makna,
sama-sama, meliputi pengetahuan proses yang sama, meningkatkan prestasi,
membantu perkembangan komunikasi, menggiring pada hasil yang bukan dihasilkan
oleh salah satu prosesnya.
c.
Prinsip membaca dan
menulis mandiri, memperhalus membaca pemahaman, memperluas skemata,
memperkaya kosa kata, menumbuhkan sikap membaca sebagai aktivitas belajar
seumur hidup. Menulis mandiri juga penting untuk pengembangan kecakapan siswa
dalam tata bahasa dan ejaan. Aktivitas membaca dan menulis mandiri menunjang
proses perluasan pengalaman autentik sebagai konsep dalam belajar literasi
secara menyeluruh
Dengan kegiatan
literasi seperti membaca dan menulis dapat mengembangkan nilai-nilai karakter
antara lain:
a.
Sikap religius: dapat
diperoleh dari bacaan yang mengandung nilai-nilai keagamaan (kisah para nabi,
ibadah dan amal sholeh, dan sebagainya),
b.
Jujur: mampu mengulas
atau menerangkan kembali bacaan dengan benar.
c.
Toleransi: mampu
menghormati dan menghargai pembaca di sekelilingnya, membaca dengan suara
lirih, atau membaca dalam hati.
d.
Disiplin dan
Tanggung-jawab: rajin membaca dan mengembalikan buku tepat waktu.
e.
Kerja Keras dan Rasa
Ingin Tahu: Senantiasa mencari tahu fakta-fakta baru dengan berbagai sumber
bacaan.
f.
Kreatif dan Mandiri:
kreatif dalam memecahkan persoalan yang muncul dengan banyak membaca pengalaman
dan kisah seorang tokoh secara mandiri.
g.
Demokratis, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai: dapat diperoleh dengan membaca cerita
kepahlawanan, bela Negara, cerita orang-orang sukses membangun bangsa, dan
lain-lain.
h.
Menghargai prestasi:
senantiasa merawat dan membaca buku karya seseorang yang bermanfaat.
i.
Bersahabat /komunikatif,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial: sikap ini diperoleh dari isi
materi/konten cerita yang berhubungan kemanusiaan, alam, dan saling bersahabat
dalam tempat literasi (perpustakaan, taman bacaan, dan lain-lain).
j.
Rajin menulis: dapat
dituangkan dengan cara memberikan komentar, rangkuman, catatan kecil, resume
inti dari isi bacaan dengan maksud hasil dari membaca tersebut tetap melekat
dalam waktu yang lama daan menjadi kebiasaan yang otomatis. dan masih banyak
lagi manfaat dari kegiatan literasi dalam mengembangkan nilai-nilai karakter yang
menjadi harapan bangsa Indonesia.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kegiatan literasi dapat mengembangkan nilai-nilai
karakter peserta didik, dengan catatan adanya motivasi, sikap positif guru, dan
peran serta orang tua, disamping itu juga materi/isi yang disajikan dalam
literasi harus mengandung nilai-nilai agama, etika, adat dan budaya yang baik,
pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai positif.
3. Literasi SainTek (Science and Technology) dalam
Pembelajaran
Pada tahun 1993 UNESCO mengadakan International Forum on Scentific and
Technological Lietacy for All di Paris yang dihadiri oleh hampir 500 orang
peserta sebagai perwakilan dari 48 negara termasuk Indonesia, melalui masukan
dari peserta disepakati bahwa salah satu alternatif untuk membangun masyarakat
yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah menggunakan STS dalam
pembelajaran di sekolah dan penyuluhan di masyarakat. Juga disepakati agar
guru/dosen mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melaksanakan ”far
transfer of learning” yang berarti mampu mentrasfer pengalaman belajar ke dalam
situasi di luar sekolah yakni situasi di masyarakat (Poedjiadi, 2005)
Bloch E (Poedjiadi, 2005) menyatakan
bahwa literasi sains dan teknologi adalah suatu kebutuhan dan tantangan, karena
keduanya memainkan peranan penting dalam kehidupan, terutama untuk meningkatkan
kualitas kehidupan. Dengan literasi sains dan teknologi dapat memberikan
informasi dasar untuk mengembangkan pengambilan keputusan. Literasi sains dan
teknologi ini berfokus pada implikasi dari problem dalam masyarakat yang
bersifat lokal, regional, maupun nasional.
Selanjutnya, Poedjiadi (2005)
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains dan teknologi adalah
yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah menggunakan konsep-konsep
sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai jenjangnya, mengenal produk
teknologi yang ada disekitarnya beserta dampaknya, mampu menggunakan produk
teknologi dan memeliharanya, kreatif membuat hasil teknologi yang
disederhanakan dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya
masyarakat. Pada dasarnya pendekatan pembelajaran sains teknologi masyarakat
merupakan pembelajaran dalam konteks masyarakat dan bermuatan nilai, dengan
harapan agar peserta didik dapat meningkatkan kualitas hidupnya sebagai
individu maupun sebagai mahluk sosial. Sedangkan literasi teknologi yaitu: tahu
menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, sadar tentang proses teknologi
dengan prinsipnya, sadar tentang akibat teknologi terhadap manusia dan
masyarakat serta mampu membuat hasil teknologi alternatif yang sederhana.
Paul de Hart (dalam Poedjiadi, 2005)
mengemukakan bahwa literasi sains berarti memahami sains dan aplikasinya bagi
kehidupan masyarakat. Kemudian sebagai karateristik dari orang yang memiliki
literasi sains yaitu: (1) mempunyai pengetahuan yang cukup tentang fakta,
konsep, teori sains dan kemampuan untuk mengaplikasikannya. (2) mempunyai
pemahaman tentang sains dan melek sains, mempunyai sikap positif terhadap sains
dan teknologi. (3) apresiasi terhadap nilai sains dan teknologi dalam
masyarakat serta memahami hubungan sains dan teknologi masyarakat. (4)
menyelesaikan masalah-masalah dan mengambil keputusan dengan menggunakan
ketrampilan proses sains. (5) mampu membuat keputusan berdasarkan nilai tentang
masalah-masalah masyarakat.(6) mampu mengaplikasikan bekerja dan berperan dalam
masyarakat. (7) mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap lingkungan.
Sedangkan literasi teknologi adalah memiliki kemampuan melaksanakan teknologi
dengan didasari kemampuan mengidentifikasi, menyadari efek hasil teknologi,
memiliki sikap dan kemampuan fisik menggunakan alat dengan aman, tepat, efisien
dan efektif.
Selanjutnya, Rubba (1993) menyatakan
bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi sains adalah sebagai
berikut: (a) bersikap positif terhadap sains, (b) mampu menggunakan proses
sains, (c) berpengetahuan luas tentang hasil-hasil riset, (d) memiliki
pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya dalam
teknologi dan masyarakat, (e) memiliki pengertian hubungan antara sains,
teknologi, masyarakat dan nilai-nilai manusia, (f) berkemampuan membuat
keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk pemecahan masalah-masalah
masyarakat yang berhubungan dengan sains tersebut.
Masih terdapat beragam literasi yang
dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Namun, dalam tulisan ini, jenis
literasi yang diuraikan hanya literasi karakter dan literasi saintek. Intinya,
pembelajaran multiliterasi adalah pembelajaran yang mengarahkan pemahaman yang kompleks
dan universal antara teori atau materi pelajaran ini sendiri dan berbagai aspek
yang berkaitan dengan praktik kultural.
C. KESIMPULAN
Tantangan pendidikan dan tuntutan
jaman tersebut salah satunya dapat terpenuhi dengan penerapan pembelajaran
berbasis multiliterasi. Pembelajaran multiliterasi ini merupakan suatu
pembelajaran yang menitiberatkan pada keberagaman media, keberagaman budaya,
keberagaman konteks keilmuan, keberagaman kecerdasan, keberagaman gaya belajar,
dan keberagaman modal dan modus belajar. Jadi, dalam pembelajaran multiliterasi
ini lebih memfokuskan pada pengoptimalan setiap aspek belajar. Maka dapat
diartikan dalam pembelajaran multiliterasi ini bertujuan untuk mewujudkan
produk yang multitasking. Selain itu, pembelajaran multiliterasi ini
juga menitiberatkan pada penerimaan terhadap perbedaan setiap individunya.
Setiap individu memiliki kecerdasan masing-masing yang pastinya tidak sama satu
sama lain serta gaya belajar yang berbeda. Jadi setiap individu dapat diartikan
sebagai sesuatu yang istimewa, tidak ada individu yang paling unggul karena
sistem penilaian pun didasarkan atas beberapa aspek.
Penerapan pembelajaran multiliterasi
ini dirasa dapat memenuhi tantangan pendidikan dan tuntutan jaman dewasa ini
yang secara keseluruhan dapat membantu seorang individu dalam mempertahankan
eksistensinya dalam suatu masyarakat. Maka dari itu, pembelajaran multiliterasi
ini dirasa sangat penting untuk diterapkan dalam pembelajaran baik formal
maupun informal.
D. REFERENSI
Badan Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Lembaga Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Bill Cope dan Mary Kalantzis. 2016. New Learning: Transformational Designs
for Pedagogy and Assessment. Diakses di http://newlearningonline.com.
Brown, Douglas. 2007.
Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy, 3rd
edition. New York: Pearson Education.
Cooper, J.D. 1993.
Literacy: Helping Children Construct Meaning. Boston. Toronto: Hougton Miffin
Company.
Freire, Paulo.
2005. Pendidikan
Yang Membebaskan. Jakarta:
MELIBAS.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Refika Aditama.
Morocco, C.C. 2008. Supported Literacy for Adolescents: Transforming
Teaching and Content Learning for The Twenty-First Century. San Fransisco:
Jossey-Bass Wiley Inprint.
Nasution,
Laila Hadri. 2013. Analisis Literasi Informasi Pengguna Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Poedjiadi, A. 2005. Kumpulan Makalah Tentang Literasi Sains dan Teknologi. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.
Pringgawidagda, Suwarna. 2002. Strategi
Penguasaan Berbahasa. Bandung: Adicita.
Resmini, N. 2008. Membaca dan Menulis di Sekolah Dasar. Bandung: UPI Press.
Rubba, PA. 1993. “Examination of Preservice and Inservice Secondary Science
Teachers Beliefs About Sciens-Technology-Society Interactions”. International
Journal Science Education, 407-431.
Tomlison, Brian. 2000. Introduction: In Materials Development in Language
Teaching. Ed. Brian Tomlinson 1-24. Cambridge: Cambridge University Press.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kementerian Pendidikan
Nasional.
Wijayani, Wahyu Putri. 2016. Pentingnya Penerapan
Pembelajaran Multiliterasi dalam Memenuhi Tuntutan Zaman dan Tantangan
Pendidikan. Diakses di http//ichiryuchan.blogspot.co.id.