Thursday, June 25, 2020

Perekaman dan Penciptaan Dunia Digital Sastra Dearah Indonesia Sebagai Upaya Pemodernan dan Pemertahanan


Cole (2003) dalam bukunya menjelaskan bahwa hakikat dasar manusia adalah tidak mengenal kepuasan dan selalu mencari sesuatu yang baru atau terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Dalam kondisi ini, hal-hal yang dianggap tidak bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman lambat laun akan ditinggalkan, lalu kemudian hilang atau punah. Demikian itu terjadi pada unsur kebudayaan sebagai produk manusia. Lalu, berdasarkan keadaan tersebut, Distin (2011) menjelaskan bahwa yang dapat membuat suatu kebudayaan bertahan atau sekadar memperlambat kepunahannya adalah indeks fungsional dan kemampuannya untuk bermanufer (beradaftasi dan memperbaiki mutu sesuai tuntutan zamannya). Konsep tabiat manusia terhadap kebudayaan di atas sejatinya benar-benar nyata sebagaimana tergambar dari fenomena eksistensi sastra daerah di Indonesia. Banyak karya sastra daerah yang tidak lagi dapat dijumpai keberadaannya, khususnya karya sastra lisan. Sebab, pewarisannya terjadi begitu saja, dituturkan dari masa ke masa, dan yang paling fatal generasi pewaris sastra daerah dari dari masa ke masa pun semakin terhipnotis dengan laju perkembangan zaman sehingga bersikap acuh atau bahkan lupa akan keberadaan produk budayanya sendiri seperti sastra daerah. Padahal ditangan generasi mudalah penentu kejayaan budaya suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa (Milner & Jeff, 2002). Dari realitas tersebut, jelas bahwa generasi pewaris budaya (sastra) daerah, khususnya di masa sekarang ini menganggap atau menilai sastra daerah sebagai produk budaya yang tidak bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman sehingga menjadi sangat memilukan ketika satu persatu sastra daerah punah karena tidak ada lagi generasi yang mau melestarikannya. Selanjutnya, sastra daerah ragam tulis pun dari masa ke masa semakin terdesak keberadaannya dengan kondisi perkembangan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern. Yang lebih fatal lagi, ditengah kondisi sastra daerah yang semakin terdesak dengan situasi dan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern, sastra daerah baik ragam lisan maupun tertulis masih saja berkutat pada bentuk aslinya. Jika hal ini terus berlangsung maka tidak membutuhkan waktu yang cukup lama sastra daerah di Indonesia akan sampai pada masa kepunahannya. Sehingga generasi bangsa ini ke depannya tidak akan pernah lagi mengenal atau bahkan mengetahui tentang keberadaan karya sastra daerah yang merupakan pengetahuan dan nilai lokal, serta bukti kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas seni berbahasa manusia terdahulu.
Dengan mengacu pada pandangan Distin (2011) di atas, maka upaya untuk mempertahankan eksistensi sastra daerah dapat dilakukan dengan cara mengembalikan aspek fungsi atau kebermanfaatan sastra daerah itu sendiri di kehidupan masayarakat masa kini dan masa yang akan datang, serta berupaya untuk bermanufer atas situasi dan kondisi sekarang ini. Manufer yang dimaksud adalah eksistensi sastra daerah senantiasa diupayakan untuk beradaptasi, meng-upgrade diri, atau berusaha menjadi setara dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin canggih dan modern sekarang ini. Mengembalikan aspek fungsi sastra daera di kehidupan masyarakat serta melakukan manufer tentu harus dilakukan oleh manusia pemiliki budaya itu sendiri, pihak yang memiliki perhatian terhadap sastra, atau lembaga tertentu yang memiliki wewenang untuk melestarikan budaya. Mengembalikan aspek fungsional sastra yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat pewaris budaya berusaha menggunakan kembali karya sastra daerah sebagai basis pemahaman nilai-nilai kehidupan sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pencipta sastra daerah terdahulu seperti sarana untuk pendidikan moral, etika, karakter, pengetahuan budaya, bahasa, seni untuk menghibur, dan lain-lain. Sedangkan bentuk manufer yang dapat dilakukan untuk mempertahankan eksistensi sastra daerah adalah berusaha untuk memodernkan sastra daerah itu sendiri. Cara untuk memodernkan sastra daerah itu sendiri dilakukan dengan perekaman dan digitalisasi. Perekaman sastra daerah dimaksudkan sebagai upaya pengumpulan semua data sastra daerah baik lisan maupun tulisan. Sedangkan digitalisasi sastra daerah merupakan upaya penciptaan dunia digital sastra daerah dengan cara mengubah bentuk atau wujud sastra daerah yang awalnya dalam bentuk lisan dan tulisan yang mudah rusak atau bahkan hilang menjadi bentuk digital yang abadi dan tidak gampang rusak ataupun hilang. Kemudian memantapkan kedudukannya sebagai karya sastra daerah digital melalui jaringan internet, seperti pembuatan portal atau website khusus, atau cara lainnya. Dengan kedua upaya tersebut, pemodernan dan pemertahanan sastra daerah dapat terwujud.
Upaya pemodernan dan pemertahanan sastra daerah di Indonesia memang menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan mengingat kondisi sastra daerah sekarang ini yang semakin terdesak oleh perkembangan peradaban manusia. Sebab kita tidak menghendaki sastra daerah yang merupakan kebudayaan monumental dan adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi sekarang ini punah. Langkah strategis yang harus segera dijalankan adalah melakukan dokumentasi atau perekaman seluruh karya sastra daerah baik ragam lisan maupun tulisan, kemudian mengubah wujud karya sastra daerah tersebut dalam bentuk digital dan memantapkan kedudukannya secara online. Poin terpenting yang harus dipahami dari upaya ini adalah kesuksesannya hanya dapat terwujud jika setiap pribadi memahami arti penting dari keberadaan sastra daerah sebagai produk budaya adiluhung masyarakat daerah itu sendiri maupun bangsa Indonesia, serta terjadi kerjasama dan keseriusan kerja yang bersinergi antarpihak.

Daftar Rujukan
Cole, R. J. (2003). Buildings , Culture and Environment Informing local and global practices. United State of America: Blackwell Publishing.
Distin, K. (2011). Cultural Evolution. United States of America: Cambridge University Press.
Milner, A., & Jeff, B. (2002). Contemporary Cultural Theory (Third Edit). Australia: Allen & Unwin.



Biografi Penulis
Aziz Thaba, lahir pada 11 September 1991 di Desa Tamuku, Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta pendidikan strata dua (S-2) pada program studi yang sama. Saat ini penulis aktif bekerja sebagai peneliti di Lembaga Swadaya Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LSP3) Matutu Sulawesi Selatan. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan menulis baik ilmiah maupun fiksi. Penulis aktif mengikuti berbagai seminar, konferensi, atau musyawarah yang membicarakan tentang pendidikan, bahasa, dan kebudayaan baik pada skala nasional maupun internasional. Berbagai karya telah dipublikasikan oleh penulis baik jurnal, prosiding, buku ilmiah, hingga buku fiksi seperti kumpulan puisi, cerpen, hingga esai.



SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...