Alam semesta tercipta dengan jutaan makhluk yang diketahui sebagai makhluk hidup ataupun bukan, yang kita tahu dan juga yang belum kita ketahui. Tuhan menciptakan alam semesta dengan kompleksitasnya yang terkait satu sama lain. Seperti contohnya manusia yang tak akan bisa bertahan hidup untuk waktu yang lama bila tak ada oksigen untuk sirkulasi pernafasan. Begitulah alam semesta tercipta saling terkait satu sama lain dan tak terpisahkan. Dalam keterkaitan itulah lalu munculah bahasa untuk saling berinteraksi.
Isyarat ataupun reaksi yang timbul antarmakhluk hidup sebagai wujud alamiah anugerahNya disebut komunikasi. Namun komunikasi atau reaksi-reaksi yang menggambarkan suatu interaksi antar obek-objek itu tak terbatas pada makhluk hidup saja yang memang sejak awal dibekali kemampuan berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal. Namun juga terdapat pada berbagai objek yang ada maupun yang tercipta yang selama ini kita anggap mati atau tak memiliki nyawa. Dan tentunya setiap makhluk dan juga objek-objek memiliki caranya masing-masing dalam berkomunikasi. Jika kita peka dan berendah hati untuk tak menyingkirkan kehadiran mereka dalam kehidupan kita (Harefa and Sarumaha 2020).
Sebagai makhluk yang dikatakan paling sempurna dari pada yang lain, manusia memiliki berbagai macam cara untuk berkomunikasi baik antar manusia sendiri maupun kepada makhluk yang lain (Devianty 2017). Dalam perjalanannya dalam berinteraksi, lewat bertambahnya kecerdasan dan perkembangan zaman manusia kemudian mengenal bahasa yang terbentuk atas kebiasaan-kebiasaan dalam berinteraksi yang kemudian disepakati secara bersama dan kemudian digunakan secara terus menerus. Seperti sampai saat ini kita mengenal beragam jutaan bahasa di dunia yang digunakan untuk berkomunikasi.
Mengandalkan berbagai unsur-unsur pembentuknya seperti huruf atau simbol, kata, kalimat dan seterusnya manusia semakin mudah untuk bisa saling berkomunikasi satu sama lain dalam kebutuhannya berinteraksi. Inilah yang sering kita sebut sebagai bahasa verbal, yakni bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral). Namun dalam ilmu komunikasi tersebut terdapat pula bahasa non verbal. Melalui komunikasi non verbal, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai suatu kesimpulan tentang berbagai macam persaan orang, baik rasa senang, benci, cinta, kangen dan berbagai macam perasaan lainnya (Kusumawati 2019).
Bahasa sangat penting untuk komunikasi manusia (L. Wicaksono 2016). Bahasa merupakan alat komunikasi yang vital dalam kehidupan manusia karena memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dan berbicara tentang apa saja (A. Wicaksono and Roza 2015). Manusia sebagai makhluk sosial tentu dan selalu berkomunikasi satu sama lain. Menurut infoplace.com, ada 6.500 bahasa di dunia. Dari bahasa etnis ke bahasa nasional suatu negara. Bahkan Indonesia memiliki 718 bahasa daerah dan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Ethnologue: Languages of the world, Indonesia menjadi negara kedua yang memiliki bahasa terbanyak. Di Indonesia, setiap daerah memiliki bahasa daerahnya masing-masing, yang berfungsi sebagai alat komunikasi penduduk setempat dalam kegiatan sehari-hari. Tentu hal ini menjadi kebanggaan tersendiri karena selain kaya akan sumber daya alam dan budaya, negara kita tercinta juga kaya akan bahasa.
Orang Indonesia sering mencampur unsur bahasa daerah (misalnya, Bugis, Makassar, Jawa, Sunda, dan Bali) dengan bahasa Indonesia. Hal ini menghasilkan keragaman dialek daerah Indonesia, jenis dialek yang paling mungkin didengar orang asing ketika mereka tiba di kota Indonesia. Masalah ini diperparah dengan maraknya bahasa gaul Indonesia, khususnya di wilayah metropolitan. Bahasa Indonesia daerah, berbeda dengan varian standar yang relatif konsisten, memiliki tingkat keragaman geografis yang besar, meskipun faktanya bahasa gaul Indonesia gaya Jakarta berfungsi sebagai norma de facto bahasa informal dan merupakan sumber pengaruh yang populer di seluruh Indonesia. Pemisahan bahasa Indonesia baku dan bahasa gaul Jakarta ini, oleh Benedict Anderson, disebut sebagai gejala kramanisasi.
No comments:
Post a Comment