MODUS
EKSPRESI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS
SUATU KAJIAN ELONG UGI DENGAN
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA
Abdul Kadir
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)
Cokroaminoto Pinrang
Hp:
081334000250 e-mail: akadir106@yahoo.co.id
Modus adalah tujuan atau fungsi tuturan
yang menjelaskan suatu realitas. Tuturan tidak tercipta dari sebuah imajinasi
belaka melainkan cerminan atau gambaran dari cara pandang, ideologi, sikap, dan
perilaku penuturnya. Modus tuturan sering tidak dijabarkan dalam wujudnya,
melainkan berupa bias makna dari pemakaian bahasa dalam tuturan itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk menemukan modus dalam sebuah tuturan, seringkali mitra
tutur atau peneliti wacana baik lisan maupun tulisan harus menginterpretasi
tuturan tersebut melalui pendalaman dan pengkajian.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang menggunakan ancangan hermeneutik. Data penelitian ini berupa
teks elong ugi dari berbagai buku.
Pengumpulan data berupa kajian dokumen (buku). Dalam pengumpulan data, peneliti
bertindak sebagai instrument kunci dibantu kawan/rekan sejawat yang memahami
tentang elong ugi. Analisis dilakukan
sejak awal pengumpuan data, klasifikasi data terpilih, penyajian data,
penarikan simpulan. Pun analisis data dikerjakan secara hermeneutik dengan
model intraktif-dialektis. Maksudnya pengumpulan data dan analisis data
dilakukan secara serentak, bolak balik dengan mengikuti mode hermeneutika
Recouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik, refleksif, dan
eksistensial. Untuk memverifikasi semua temuan penelitian, dilakukan
triangulasi temuan kepada pakar bahasa Bugis, ahli sastra Bugis, dan budayawan
Bugis.
Hasil
penelitian ditemukan bahwa modus
tuturan yang mengekspresikan Kearifan Lokal (KL) masyarakat Bugis dalam Elong
Ugi (EU) meliputi: (1) membangun
identitas sosial mansyarakat Bugis, (b)
membangun komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat.
Kata
kunci: modus, kearifan lokal, elong
ugi, hermenutika
A.
PENDAHULUAN
Bugis adalah
salah satu suku bangsa di Asia Tenggara
dengan populasi lebih dari empat juta orang, suku Bugis mendiami bagian Barat
Daya pulau Sulawesi. Mereka memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh
suku-suku lain di Indonesia. Misalnya, mereka mampu mendirikan kerajaan tanpa sebuah kota sebagai pusat aktivitas, serta menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan
esensial dari adat-istiadat dan budaya. Kendati demikian, berbagai kepercayaan
peninggalan pra-Islam tetap dilestarikan sampai akhir abad ke-20 dan sisa-sisa eksistensinya masih
tampak hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi para bissu, yaitu sekelompok pendeta-pendeta wadam, yang masih menjalankan
ritual perdukunan serta dianggap mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur. Ciri khas lainnya tampak pada
karakter umum orang-orang Bugis, yaitu dikenal sebagai
masyarakat yang berkarakter keras, tapi sangat menjunjung kehormatan. Demi
mempertahankan kehormatan, masyarakat Bugis bersedia melakukan tindak
kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis memiliki sikap ramah, sangat menghargai orang lain,
dan memiliki kesetiakawanan.
Kehidupan
masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari umumnya berdasarkan sistem
patron-klien, sistem kelompok kesetiakawanan antara seorang pemimpin dengan
pengikutnya yang saling mengait dan bersifat menyeluruh. Orang Bugis tetap
memiliki rasa kepribadian yang kuat, prestise dan hasrat berkompetisi
untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan. Hal itu merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan
roda kehidupan sosial kemasyarakatan.
Di sisi lain,
orang Bugis memiliki tradisi kesusastraan, baik lisan maupun tulisan. Berbagai
karya sastra tulis yang berkembang seiring dengan tradisi lisan, hingga kini
masih tetap dibaca dan ditulis ulang. Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra
tulis itu menghasilkan salah satu epos sastra terbesar di dunia, yakni La Galigo yang lebih panjang daripada
Mahabarata, berisi kronik sejarah, ikhtisar
perundang-undangan, almanak, risalah hal-hal praktis, kumpulan
kata-kata mutiara, teks ritual pra-Islam, karya-karya
Islami, dongeng dan cerita, serta berbagai
jenis sajak (Arsuka, 2006: 3-5; Mangemba, 2002).
Berbeda dari kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali, kebudayaan Bugis tradisional tidak mengenal seni
pertunjukan teatrikal, baik yang dilakonkan manusia maupun dalam bentuk wayang
kulit. Seni tari pun tidak berisi cerita (sendratari). Seni
musik berbeda dengan gamelan karena dominan menggunakan alat musik Austronesia
murni yang di antaranya berupa alat musik tak bernada. Sementara pertunjukan
seni suara, baik lagu-lagu bernada datar (untuk epos atau pembacaan doa)
maupun lagu-lagu bernada melodis (untuk menyampaikan cerita atau sajak) adalah
salah satu medium utama yang digunakan untuk menyajikan karya sastra, tidak
memperlihatkan adanya pengaruh India (Geddo, 2009: 46).
Kesusastraan
lisan Bugis lebih dahulu ada daripada sastra tulis dan tetap bertahan sebagai
satu-satunya bentuk kesusastraan
selama jangka waktu tertentu,
bahkan setelah orang Bugis mengenal tulisan. Ketika bilah-bilah daun lontar
diperkenalkan sebagai media tulisan,
sastra lisan yang ada kemudian disalin ke dalam bentuk tulisan. Hal tersebut
pun memungkinkan penulisan sesuatu secara langsung dan membuka jalan ke arah
perkembangan jenis tulisan catatan harian, kronik sejarah, catatan hal-hal
praktis sehari-hari. Kendati belum terlalu mengarah kepada pemilihan antara
sastra lisan dan sastra tulis, sebagaimana halnya puisi dengan prosa.
Kesusastraan
Bugis tidak memiliki istiah umum untuk kategori tersebut. Walau dalam kalimat
sastra tulis dibedakan antara lontarak (karya tulis
biasa) dengan surek (kitab). Lontarak pada umumnya merujuk karya
berbentuk prosa (tanpa metrum) dan bersifat informatif, seperti kronik sejarah,
hukum adat, dan catatan berisi petunjuk prakis. Sementara surek yang biasanya ditulis dengan metrum tertentu, terutama
dinilai berdasarkan kadar estetis yang dihasilkannya, walau sejumlah karya
didaktis dapat pula dimasukkan dalam kategori surek (Arsuka, 2006:234).
Dilihat dari
tradisi berkembangnya, sastra bugis menempuh dua cara, yaitu tradisi
lisan (oral tradision) dan tradisi
tulis (literary tradition). Keduanya
berkembang seiring sejalan dalam waktu yang bersamaan. Sebuah karya sastra terdapat
dalam dua tradisi, yaitu lisan dan tulisan. Khusus sastra Bugis, tradisi
tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra
tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan yang tertulis pada berbagai macam
bahan: daun lontar, kertas, dan bambu. Mengenai kepustakaan
bugis ini, dapat dinyatakan bahwa secara garis besar dapat
digolongkan ke dalam dua macam yaitu, pustaka yang tergolong karya
sastra dan pustaka yang bukan karya sastra. Pustaka yang tergolong karya
sastra terbagi ke dalam dua bentuk yaitu puisi dan prosa. Karya sastra
yang tergolong puisi (disebut surek)
terbagi lagi ke dalam empat kelompok atau empat jenis, yaitu galigo, pau-pau, tolok, dan elong. Jika ditinjau dari segi
bentuknya maka surek tersebut dapat
diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu (1) puisi naratif yang ceritanya
panjang, bisa puluhan atau ratusan halaman, mencakup galigo, pau-pau, dan tolok dan (2) puisi pendek yang hanya
memiliki satu atau beberapa bait saja, sebagaimana puisi-puisi pada umumnya,
disebut elong.
Berdasarkan
uraian tersebut, elong sebagai sastra
Bugis sarat dengan ekspresi kearifan lokal yang masih relevan dengan
perkembangan zaman. Contoh, ati mapaccing yang berarti 'bawaan hati yang baik'. Dalam bahasa
Bugis, ati mapaccing mengandung makna nia' madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran
yang baik) sebagai lawan dari kata nia'
maja' (niat jahat), nawa-nawa masala
(niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat
atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati, atau
angan-angan dan pikiran yang baik. Tindakan bawaan hati yang baik
dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk
melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia.
Bawaan hati
yang baik mengandung tiga makna, yaitu menyucikan hati, bermaksud lurus, dan
mengatur emosi-emosi. Manusia
menyucikan hati dengan cara memurnikan hatinya dari segala nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan.
Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang
dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Bagai permata
bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Bagai
air jernih yang belum tercemar oleh noda atau polusi. Segala macam hal yang
dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati sehingga baik perkataan
maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Contoh elong yang berisi ati mapaccing dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Dua
kuala sappo
Unganna
panasae
Belo
kanukue
Terjemahan:
Dua
kujadikan pagar
Bunga
nangka
Hiasan
kuku
Bunga nangka
disebut lempu yang berasosiasi dengan
kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci, dalam aksara lontara' dibaca paccing yang berarti suci atau bersih.
Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci
karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari
Allah SWT. Seseorang yang mempunyai bawaan
hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena
penilainnya jernih. Orang
tersebut akan sanggup menjalankan kewajiban
dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.
Selain itu,
orang-orang Bugis juga sanggup mengejar sesuatu yang telah direncanakannya, tanpa bisa dibelokkan ke kiri dan ke kanan oleh orang
lain. Hal ini tampak pada
kutipan elong
berikut ini.
Tutuiwi anngolona atimmu
aja' muammanasaianngi ri ja'e
padammu rupa tau
nasaba' mattentui iko matti'
nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau'
madecennge riati maja'e
nade'sa nariturungeng ati
madecennge ri gau' maja'e.
Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.
Terjemahan:
Jagalah arah hatimu
jangan menghajatkan yang buruk
kepada sesamamu manusia
sebab pasti engkau kelak akan
menerima akibatnya
karena perbuatan baik terpengaruh
oleh perbuatan buruk.
Orang yang beritikad buruk
akibatnya akan sampai pada keturunannya.
Pada kutipan tersebut ditunjukkan
pentingnya seseorang memelihara arah hatinya.
Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk
selalu bersih kepada sesama manusia akan menuntun orang yang mengamalkannya untuk
dapat memetik buah kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan
terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk
memikirkan hal-hal buruk bagi sesama manusia. Dengan kata lain, setiap
individu akan dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam
hidup sesuai dengan cita-citanya apabila terlebih dahulu dapat memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan atau pikiran-pikiran kotor. Jika ingin orang lain berbuat baik kepadanya, maka dirinya harus lebih dulu berbuat baik kepada orang lain.
Orang-orang Bugis tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu, emosi,
dan kecondongan sehingga mereka harus berpegang teguh pada sebuah pedoman (toddo)
yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Pengembangan
sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom, dan lebih
mampu menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara'
Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang baik pula, serta menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang
peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan
perbuatan yang benar sekaligus dapat
menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya. Hal tersebut tampak pada kutipan elong berikut ini.
Makkedatopi Arung Bila,
eppa tanrana tomadeceng kalawing
ati,
seuani, passu'i ada napatuju,
maduanna, matuoi ada nasitinaja,
matellunna duppai ada napasau,
maeppa'na, moloi ada napadapi.
Terjemahan:
Berkata pula Arung Bila
ada empat tanda orang baik bawaan
hatinya
pertama, mengucapkan kata yang
benar
kedua, menyebutkan kata yang
sewajarnya
ketiga, menjawab dengan kata yang
berwibawa
keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya (Said, 2007)
Elong Ugi adalah aset
kesusateraan regional Sulawesi Selatan yang dapat memperkaya khasanah
kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Karena itu, elong sangat penting untuk dikaji dan
disebarluaskan agar dikenal dan
dimengerti oleh generasi muda khususnya remaja Sulawesi Selatan yang hidup di
tengah-tengah
dinamika kehidupan dan pengaruh arus globalisasi.
Berkaitan dengan
penelitian elong Ugi ini, ada beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian mengenai sastra daerah Bugis dan Makassar. Pertama,
Ali (2009) yang
mengangkat judul penelitian
Kelong dalam Perspektif Hermenautika.
Ali menjelaskan tentang tiga
aspek, meliputi (1) struktur kelong
yang penggunaannya terdiri atas struktur makro, struktur super, dan struktur
mikro yang meliputi penggunaan diksi dan kalimat; (2) fungsi kelong yang meliputi fungsi emotif,
direktif, poetic, estetis, dan informasional; dan (3) nilai kelong yang meliputi nilai religius,
nilai filosofis, dan nilai estetis.
Dalam konteks nilai, kelong diyakini memiliki berbagai nilai yang agung. Mekipun nilai
tersebut digolongkan ke dalam pesan budaya lokal, namun nilai atau pesan yang bersifat lokal itu perlu
dipertahankan eksistensinya sebagai salah satu sumber budaya nasional yang
sifatnya lokal jenius. Bentuk kelong
mirip dengan pantun, sama-sama terdiri atas empat baris dalam satu baitnya,
namun ada perbedaannya, yakni (1) kelong tidak
mementingkan sajak, tetapi tidak berarti di dalam kelong tidak ada sajak sama
sekali, (2) kelong tidak
mempersyaratkan adanya sampiran, (3) kelong
memiliki persamaan bunyi (rima) yang terwujud dalam kesatuan sintaktis, bisa
pada kata atau kelompok kata dalam satu baris.
Kedua, Jufri
(2006) yang
mengangkat judul penelitian
Stuktur Wacana Lontara Lagaligo. Dalam penelitian tersebut Jufri (2006) mengkaji lontara lagaligo dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) pada aspek
struktur super, struktur makro, dan struktur mikro. Dari penelitian tersebut
berhasil ditemukan nilai-nilai ideologi kultural dalam wacana Lontara Lagaligo
sebagai salah satu epos terpanjang di dunia, yaitu (1) ideologi sianrebale (ideologi tertutup), (2)
Ideologi sipakatau (ideologi
terbuka), dan (3) ideologi manurungnge (ideologi
implisit) yang
menganut paham kekuasaan secara geneologi. Dengan demikian, semakin meyakinkan
bahwa sastra Bugis, baik sastra lisan maupun sastra tulis memiliki kandungan
nilai budaya yang sangat tinggi sebagai local
genius.
Ketiga, Anshari
(2007) yang mengangkat judul penelitian Nilai-Nilai
Kemanusiaan dalam Sinrilik.
Sinrilik adalah sebuah prosa liris milik masyarakat Makasar. Dalam penelitian
tersebut Anshari (2007) menganalisis pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang
dirinci, mencakup (1) tipe relasi nilai kemanusiaan dalam Sinrilik, meliputi (a) tipe relasi manusia dengan Tuhan, (b) tipe
relasi manusia dengan manusia, dan (c) tipe relasi manusia dengan diri sendiri;
(2) makna nilai kemanusiaan dalam Sinrilik,
meliputi (a) makna dalam konteks sistem kepercayaan dan religi, (b) makna dalam sistem
tradisi atau adat istiadat, dan (c) makna dalam konteks sistem norma; dan (3) konsepsi nilai kemanusiaan
dalam Sinrilik, meliputi (a) konsepsi
relegi, (b) konsepsi kultur, (c) konsepsi edukatif, dan (d) konsepsi filosofis.
Keempat, Amaluddin
(2009) yang mengangkat judul penelitian Nyanyian
Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Fungsi, Nilai, dan Strategi Pelestariannya).
Dalam penelitian tersebut Amaluddin (2009) menganalisis nyanyian rakyat Bugis
pada aspek bentuk, fungsi, nilai, dan strategi pelestariannya. Pada aspek
bentuk ada tiga fokus yang dianalisis, yakni (a) pemaknaan terhadap kategori
diksi pada nyanyian rakyat Bugis yang berhubungan dengan ruang persepsi
kehidupan masyarakat Bugis yang sangat substansial dan fundamental, (b)
pemaknaan terhadap bentuk kalimat pada nyanyian rakyat Bugis dalam kaitannya
dengan eksistensi siri dan pesse sebagai inti budaya Bugis, dan (c)
pemaknaan gaya bahasa pada nyanyian rakyat Bugis yang mendeskripsikan
sifat-sifat manusia Bugis. Pada aspek fungsi juga ada tiga fokus analisis,
yaitu (a) fungsinya sebagai sarana kritik sosial dalam masyarakat Bugis, (b)
fungsinya sebagai pengawas norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Bugis, dan
(c) fungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. Adapun,
pada aspek nilai juga ada tiga fokus analisis, yakni (a) nilai filosofis, (b)
nilai religious, dan (c) nilai sosiologis.
Kelima, Rimang
(2001) yang mengangkat judul penelitian Kearifan
Lokal Masyarakat Bontoramba dalam Sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka oleh
Syarifuddin Daeng Tutu. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada empat
hal, meliputi (1) struktur sinrilik Syeh
Yusuf Tuanta Salamaka yang dituturkan oleh Syarifuddin
Daen Tutu, (2) unsur-unsur kearifan lokal dalam sinrilik Syeh
Yusuf Tuanta Salamaka, (3) fungsi kearifan lokal dalam
sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka, dan (4) aktualisasi kearifan lokal masyarakat Bontoramba dalam
sinlirik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka.
Dalam penelitian tersebut juga berhasil ditemukan bahwa kearifan lokal dalam
sinrilik dapat
diklasifiksi menjadi delapan tema, meliputi (1) pelestarian lingkungan, (2)
resolusi konflik, (3) hubungan soial, (4) menutut ilmu, (5) mencari rezeki, (6)
kehidupan rumah tangga, (7) tuturan, dan (8) penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan uraian tersebut, ekspresi kearifan lokal dalam sastra Bugis sangat kaya
akan nilai-nilai yang patut untuk dijadikan teladan. Jika bentuk-bentuk ekspresi kearifan lokal tersebut
tidak dijaga dan dipelihara, maka dikhawatirkan secara berangsur akan terjadi
proses kepunahan karena desain besar kebudayaan seringkali tidak dapat
mengendalikan dinamika sosial. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik,
sebagai akibat dari globalisasi menjadikan budaya lokal sebagai pondasi
modernisasi menuju budaya Indonesia yang maju dan unggul
tampa mengalami hambatan-hambatan. Dengan begitu, ekspresi kearifan lokal yang
terrekam dalam kepustakaan Bugis
masih relevan dengan perkembangan zaman karena
kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi
generasi muda dalam percaturan global saat ini dan masa datang. Dengan demikian,
identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun nonfisik akan tetap terjaga
(Said, 2007).
B.
LANDASAN TEORI
1.
Pengertian
Kearifan Lokal
Pengertian
tentang kearifan lokal seringkali tumpang tindih dengan istilah pengetahuan
lokal (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local
genius). Oleh sebab itu, perbedaan dari ketiga istilah
tersebut perlu diperjelas lebih dulu. Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya berupa tradisi, pepatah-petitih, dan
semboyan hidup. Di samping itu, konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional
atau sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan khas milik suatu masyarakat
atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses
hubungan timbal-balik
antara masyarakat dan lingkungannya.
Dengan begitu, sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahun dan pengelolaan lokal atau tradisional.
Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat
lokal, tradisional, melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi di mana mereka
tinggal, yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta
meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell,
2003).
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan
kecerdasan lokal pada
dasarnya
memiliki pengertian
yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pemahaman bahwa kebudayaan itu
telah dimiliki dan diturunkan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan
ribuan tahun oleh masyarakat setempat. Kebudayaan yang telah berakar itu tidak
mudah goyah dan terkontaminasi dengan pengaruh dari kebudayaan luar. Perbedaan
dari ketiganya hanya terletak pada sudut pandangnya. Istilah pengetahuan lokal
mengacu pada sisi pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, kecerdasan lokal
mengacu pada sisi intelektualitas atau kualitas berpikir yang dimiliki
masyarakat, sedangkan kearifan lokal mengacu pada sisi sikap dan sifat
masyarakatnya.
2.
Kearifan Lokal Masyarakat Bugis
Kearifan budaya
adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup
di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup
damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asih, asah, dan asuh; hidup
dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertian; hidup toleran dan jembar
hati; hidup harmoni dengan lingkungan; hidup dengan orientasi nilai-nilai yang
membawa pada pencerahan; hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari
dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan
kultur lokal (Hamid, 1985).
Kayam (1998) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah
hasil upaya yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam
menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan
kehidupannya. Dari segi kognitif, kebudayaan tidak hanya mencakup hal-hal yang
telah dan sedang dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan juga hal-hal yang
masih merupakan cita-cita atau yang masih harus diwujudkan, termasuk norma,
pandangan hidup atau sistem nilai. Cita-cita itu dapat diwujudkan melalui
proses demokratisasi kebudayaan dan proses selektif terkontrol, yaitu suatu
proses yang memiliki substansi kebebasan dan otonomi sekaligus terkontrol
dengan nilai-nilai rujukan yang fundamental dan telah teruji dalam perjalanan
zaman.
Kearifan lokal itu merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal
dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga
kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal
untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang
dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan
melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad,
suluk, tembang, hikayat, lontarak, dan lain sebagainya.
Dalam konteks sirik-masirik, Mangemba mendifinisikan sirik sebagai penggerak secara spiritual
yang membimbing perilaku masyarakat Sulawesi Selatan dalam menghadapi dan
menyelesaikan berbagai persoalan seperti perkawinan, hubungan keluarga, dan hukum. Dalam lontarak digambarkan bahwa sirik bukan hanya mencakup akibat, tetapi juga mencerminkan
diri. Orang merasa malu (sirik)
ketika mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang. Sehingga kualitas sirik akan menurun jika seseorang
memunyai keinginan yang berlebihan atau serakah, sebagaimana
dalam kasus raja yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan tercela (kasirik-sirik).
Fungsi malu
dalam konteks sirik-masirik bisa
dilihat sebagai alat kontrol sosial. Sirik
hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan unsur-unsur adat lainnya. Salah
satu aspek penting adalah, manngalli
yang mencakup kualitas keagamaan, pengetahuan, kepribadian yang baik dan
kekayaan. Jadi, sirik akan mempunyai daya
dorong bagi pendukungnya untuk menghormati orang lain dan bekerja keras dengan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Bahkan sirik dianggap sebagai sumber keberhasilan rakyat Sulawesi Selatan
di luar tanah air mereka. Salah seorang yang berasal dari tradisi sirik dan mencapai prestasi besar adalah
Tun Abdul Razak, mantan Perdana Menteri Malaysia adalah putra Sulawesi Selatan.
Contoh lain adalah Sulaeman yang menjadi Sultan di Johor. Pada abad ke-18
orang-orang Makassar meninggalkan tanah airnya dan menjadi penguasa di Semenanjung Malayu.
Dalam tradisi sirik, laki-laki dianggap sebagai pembela kehormatan dan perempuan sebagai
wadah kehormatan. Unsur penting dalam tradisi sirik adalah kenyataan bahwa kehormatan perempuan mencakup kesucian,
keperawanan dan kemampuan merawat suami setelah
menikah. Masyarakat Bugis-Makassar percaya bahwa menjaga anak perempuan
bukanlah pekerjaan yang mudah. Maka muncul ungkapan ‘menggembala seratus kerbau lebih mudah daripada menjaga seorang anak
perempuan’. Perempuan yang belum menikah tidak hanya menjadi simbol
kehormatan keluarga, tetapi juga akses pada kekayaan. Jika seorang perempuan
Makassar melanggar aturan perkawinan, orang tuanya akan menanggung aib. Sesuai
kewajiban adat, keluarganya melakukan pembunuhan dan kekerasan untuk memperoleh
kembali
kehormatan mereka
yang hilang.
Dari perspektif
agama, sirik mengarahkan bagaimana
orang Bugis-Makassar mengabdi pada Tuhan dan memberikan aturan normatif yang
membimbing perilaku manusia. Orang disamakan dengan binatang jika tidak
mematuhi aturan agama. Sebagaimana digambarkan dalam pepatah yang artinya ‘jika tidak ada siri’, maka tidak akan ada
agama, jika tidak ada agama, maka tidak akan ada Allah, jika tidak ada Tuhan,
maka tidak akan ada surga”.
Dalam konteks
yang berbeda, sirik- nipakasirik
berfungsi sebagai serangan dan pembelaan orang Bugis dan Makassar terhadap rasa
malu yang diterimanya. Bahkan untuk mempertahankan rasa malunya, orang Bugis
lebih suka mati berperang daripada hidup dan menanggung ‘ripakasiri’. Dalam konteks inilah pada awal abad 18 ketika terjadi
kekalahan orang-orang Bugis-Makassar atas wilayahnya, mereka melakukan migrasi
besar-besaran ke daerah Semenanjung, Jawa, Kalimantan dan Jambi. Migrasi ini
nantinya melahirkan percampuran darah Bugis Makassar dengan daerah yang
dikuasainya. (Marzuki, 1995: 114; Pelras, 1997:169; Mattulada, 1998: 373;
Achmad, 2003: 1).
Menurut Rahim
(1985: 175) masalah sirik, selalu
menarik perhatian orang yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan Bugis,
karena konsep sirik selalu dihayati
orang-orang yang berpegang teguh pada ade
serta panngadereng. Seseorang yang tidak
memiliki rasa sirik adalah orang itu
lepas dari konteks moralitas ade
serta panngadereng, “orang yang
telanjang dari perasaan malu atau sirik
adalah telanjang dari moralitas, dalam lontarak orang itu disamakan dengan
binatang. Binatang yang paling menjijikan dan banyak merusak adalah tikus.
Menurut lontarak, tikus adalah binatang yang tidak dikarunia perasaan malu.
Dengan
demikian, sirik adalah sistem nilai
sosial kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri
dan martabat manusia sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Sama halnya dengan budaya malu, perasaan
malu merupakan salah satu pandangan nilai (volume) dalam kehidupan budaya
Bugis-Makassar, mengingat perasaan malu
menjadi bagian kompleks konsep, gagasan, ide, yang menempati sistem budaya
Bugis-Makassar. Nilai malu adalah bagian
dari sistem nilai budaya sirik.
Di sisi lain,
harga diri berarti kehormatan, disebut pula martabat. Nilai martabat merupakan
pranata pertahanan terhadap perbuatan tercela yang dilarang oleh kaidah adat (ade) yang menjadikan individu tidak mau
melakukan perbuatan yang dipandang tercela serta dilarang oleh kaidah hukum.
Karena hal yang dimaksud berkaitan dengan harkat kehormatan diri manusianya
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
3. Modus Filosofis
Falsafah hidup
secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio-kultural yang dijadikan
oleh masyarakat pendukungnya sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas
keseharian. Demikian penting dan berharga nilai normatif ini sehingga tidak
jarang melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernisasi senantiasa menderanya. Dalam
implementasinya, nilai-nilai
tersebut menjadi roh atau spirit untuk
menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi
motivasi usaha.
Mengenai
nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada dasarnya telah
dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman “ajaib” berlangsung yakni
lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul
orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup. Orang India
memiliki tokoh spiritual bernama Buddha Gautama, di Parsi bernama Zarasustra, di
Athena ada Socrates, serta dalam masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga
mengajar cara hidup di Tiongkok. Entah karena diilhami oleh petunjuk Yang Maha
Kuasa atau alam mitologi dan keadaan lingkungan tertentu (dominasi alam), tetapi yang pasti
bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat luar biasa di tengah
keterbatasan sumber literatur. Tak
terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet nama orang
bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini
tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak
dahulu merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomis
dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Pangaderrang dalam
konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus
bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang
membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat-kentalnya
nilai ini di kalangan orang Bugis sehingga dianggap berdosa jika tidak
melaksanakan.
Adat istiadat yang dalam
masyarakat Bugis dikenal dengan istilah ade’ (ada’, dalam bahasa Makassar) berfungsi
sebagai pandangan hidup dan pola pikir yang mengatur tingkah laku manusia dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial
masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari
(perbedaan strata), bicara (ucapan), dan sara’ (hukum
ber-landaskan ajaran agama).
Pengamalan pangaderrang sebagai
falsafah hidup orang Bugis didasari oleh empat asas. Pertama, asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’
bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya
dalam pangaderrang. Kedua, asas mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’
untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan
dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan
dengan konsekuen. Ketiga, asas mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi
kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang. Keempat, asas mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih
dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial,
agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini
dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis.
Berangkat dari
uraian tersebut, Amaluddin (2009:387) menguraikan bahwa filosofi masyarakat Bugis adalah nilai-nilai yang
merepresentasikan pandangan hidup (way of
life) untuk mengendalikan dan mengarahkan mereka dalam bersikap,
berperilaku, dan berbuat yang lebih baik. Untuk itu, masyarakat Bugis memiliki tiga macam modus filosofis, yaitu (1) memegang teguh prinsip hidup atau teguh dalam
pendirian, (2) memunyai pegangan hidup yang jelas, dan (3) bersikap bijaksana
dalam memandang dan menjalani kehidupan.
4. Modus Sosiologis
Sosiologi
mempelajari hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, dan kelompok dengan masyarakat. Objek kajian sosiologi adalah
masyarakat. Setiap orang dalam mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya
perlu melakukan interaksi dengan orang lain. Sosilogi mempelajari hal tersebut
dengan memberikan gambaran realitas sosial secara ilmiah untuk membantu meyelesaikan
masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Amaluddin (2009:441) mengemukakan
bahwa nilai sosiologi tradisi lisan masyarakat Bugis adalah nilai-nilai yang merepresentasikan hubungan atau interaksi
manusia dengan manusia dalam masyarakat Bugis yang direfleksikan dalam bentuk
perilaku, sifat, dan kebiasaan
untuk menciptakan hubungan timbal-balik
yang lebih harmois dalam hal (1)
menumbuhkan perilaku bergotong-royong dan tolong-menolong, (2) bermusyawarah
untuk menyatukan pendapat, (3) membangun persaudaraan dalam suka dan duka, (4)
berdedikasi tinggi untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara, dan (5)
menjaga dan memelihara kerukunan hidup.
5. Elong
Ugi
Menuut
Pelras (1996:234-243) dalam bukunya yang berjudul Ther Bugis, pada
dasarnya elong Ugi atau sajak Bugis
adalah karya sastra yang dilagukan. Berdasarkan bentuknya, sajak Bugis dapat
digolongkan ke dalam dua jenis: sajak
panjang (tolok dan pau-pau) dan sajak
pendek (elong). Sajak panjang
biasanya terdiri atas larik dengan
metrum sama panjang. Sajak panjang tolo’ada
yang setiap barisnya terdiri atas delapan suku kata dengan intonasi paroxytonal,
kadang-kadang proparoxytonal (ada
beberapa tolo’ bersuku kata tujuh
dengan intonasi oxytonal setiap
barisnya).
Sajak
pendek (elong) biasanya
terdiri atas tiga baris, ada pula empat atau enam baris, yang merupakan
bait-bait lepas, berisi ungkapan pendek atau beberapa bait yang saling
berkaitan. Bait-bait tersebut terdiri atas larik-larik yang panjang tidak sama.
Ambillah misanya bait yang terdiri atas tiga baris yang masing-masing terdiri
atas delapan, tujuh dan enam suku kata.
Kaidah metrum yang digunakan adalah irama suku kata karena didasarkan atas jumlah suku kata tertentu dan jumlah
tekanan tertentu untuk setiap segmen. Dengan begitu, ritme merupakan unsur
penting digunakannya partikel pengisi metrum yang terdiri atas satu, dua, atau tiga suku kata seperti le’, ala’
atau la bela, yang tidak memiliki
arti khusus untuk menjaga keutuhan irama suatu larik.
Baik
sajak panjang maupun sajak pendek, sama-sama tidak memiliki rima. Keduanya
banyak menggunakan aliterasi, sinonim, formula baku, pengulangan kata, dan kata
bermakna paralel. Hal ini merupakan ciri umum yang terdapat pada dominan sastra
Nusantara. Kendati demikian, sastra Sulawesi Selatan sama sekali tidak
ditemukan adanya pengaruh sastra jenis kekawin
(suatu bentuk sajak yang diserap dari India) dengan metrum bersajak berdasarkan
perbedaan panjang pendeknya suku kata yang merupakan karya sastra yang berkembang
priode Jawa Kuno dan kini masih dikenal oleh kalangan masyarakat Sunda, Jawa,
Bali, Sasak. Tidak terlihat pua adanya pengaruh bentuk macapat yang belakangan muncul di Jawa abad ke-14 dan 15, serta
masih tetap popular sampai sekarang. Macapat
adalah karya sastra yang terikat
suku kata dan perulangan vokal terakhir jumah larik tiap bait.
Salah
satu sajak panjang
Bugis yang
paling kuno adalah lagu-lagu ritual bissu
yang berupa sessukeng, doa yang
diucapkan kepada Penghu dewata orang
Bugis: memmang dan ranging-ranging, mantra yang diucapakan
pada ritual tertentu. Sabo adalah
mantra yang disertai tarian melingkar di sekeliling objek yang dikeramatkan (pohon,
atau tiang utama bengunan upacara). Maklawolo, dialog ritual yang dilakukan pada peristiwa
tertentu, seperti upacara penobatan raja, pesta perkawinan atau penguburan
putri-putri raja. Sastra bissu terdiri atas delapan suku kata dengan segmen metrum dan
larik tanpa rima, kadang diselang-selingi segmen bersuku kata lima, dengan suku
kata berirama. Sastra bissu sering
memiliki sepasang baris paralel.
6. Hermeneutika dalam Pandangan Paul Ricoeur
Ricoeur (2006:5) menggunakan metode fenomenologi
untuk menyingkap permasalahan hermeneutika yang merupakan lanjutan dari
pemikiran Heidegger dan muridnya, Gadamer.
Ricoeur (2006:5) mengemukakan bahwa pada
dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah
interpretasi terhadap interpretasi. Filsafat pada
dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang
tersembunyi di dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi
adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha
membuka lipatan-lipatan dari tingkatan makna (Ricoeur, 2006:6).
Kata-kata adalah simbol-simbol
karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu
penting, serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui
simbol-simbol tersebut. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan
konsep-konsep yang memunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam
simbol-simbol atau kata-kata. Ricoeur berpikir lebih jauh bahwa setiap kata
adalah simbol. Oleh karena itu, maka kata-kata penuh dengan makna dan intensitas yang tersembunyi (Sumaryono,
2005:105).
Sifat bahasawi dari simbol-simbol
yang memang tercantum dalam suatu sistem bahasa merupakan pendekatan
strukturalisme dalam hermeneutika. Ricoeur (2006:25) menganggap bahwa paham strukturalisme adalah paham yang terlalu berat sebelah terhadap bahasa. Sebuah teks sebagai
penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol,
dapat membatasi ruang lingkup hermeneutika, karena budaya oral dapat
dipersempit. Hermeneutika dalam hal ini berhubungan dengan kata-kata tertulis
sebagai pengganti kata-kata yang diucapkan (Ricoeur, 2006: 30).
Ada tiga langkah pemahaman, langkah pertama adalah langkah simbolik, atau
pemahaman dari simbol ke simbol; kedua
adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas
makna; ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah ini
berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yakni semantik,
refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman
pada tingkat ilmu bahasa yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada
tingkat yang lebih tinggi, yaitu mendekati tingkat ontologis; sedangkan langkah
pemahaman eksistensial adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu
sendiri.
Jika dicermati
pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan, bahwa
interpretasi itu pada dasarnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world
(Dasein) terungkap dalam, dan
melalui teks. Di samping itu,
pemahaman paling baik akan
terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi
Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia,
dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral,
filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan harus dijawab (Valdes, 1987:64). Dengan demikian, keberadaan hermeneutika sangat signifikan dalam interpretasi sastra karena
hermeneutika merupakan model pemahaman dan cara pemaknaan yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada
pemahaman substansial.
Sebuah
interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif,
melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu
sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra
senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan
interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau
reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran
subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh
karena itu, kiranya penting disadari, bahwa interpreter harus dapat membawa
aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan
oleh objek tersebut kepadanya.
C.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
metode yang digunakan adalah deskripsi. Orientasi teoretisnya menggunakan
ancangan hermeneutika sebagai teori utama (greand
theory) dalam memaknai elong Ugi sebagai
sebuah fenomena budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dalam
masyarakat Bugis. Penelitian ini memiliki sifat induktif yang meletakkan data penelitian
bukan sebagai pembuktian, melainkan sebagai modal untuk memahami dan
menyimpulkan fakta yang ada. Mengikuti desain penelitian
yang fleksibel sesuai dengan konteksnya. Desain yang dimaksud tidak kaku
sifatnya sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri
dengan konteks yang ada sehingga dapat disesuaikan dengan fokus, sifat, dan
kegunaan penelitian. Dengan pendekatan ini, peneliti berusaha untuk
menginterpretasi bentuk, makna, dan modus ekspresi kearifan lokal dalam larik-larik elong
Ugi.
Penggunaan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada beberapa alasan, pertama,
sumber data dan data elong Ugi bersifat naturalistik. Kedua, peneliti
sebagai instrumen kunci yang bersifat sebagai penafsir yang secara hermeneutis
dipandang kapabel. Ketiga, pemaparan atau pembahasan data bersifat
interpretatif. Keempat, analisis data dilakukan secara interaktif-induktif. Kelima, bentuk,
makna, dan modus menjadi perhatian utama.
Keenam, desain penelitian bersifat
sementara. Ketujuh, teori hanya digunakan sebagai pemandu analisis. Kedelapan, tidak
harus ada teori yang disusun terlebih dahulu, teori hanya digunakan sebagai
pemandu analisis (Mulyana, 2003:159; Bogdan dan Biklen, 1998: 4-7; Moleong,
1990; Ilyas, 2002; Maryaeni, 2005: 6-9).
Sumber data dalam
penelitian ini berupa dokumen, yakni teks-teks elong dalam kesusastraan Bugis, antara lain (1) Nyanyian
Rakyat Bugis terbitan tahun 2009 karangan Amaluddin, (2) Elong
dalam Sastra Ugi terbitan tahun 1998 karangan Jemmain, (3) Nilai Edukatif Elong Ugi terbitan tahun
1997 karangan Jemmain, (4) Puisi Bugis
(Bentuk, Jenis, Tema, dan Amanat) terbitan tahun 1996 karangan Jemmain.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kaji
dokumen, serta tetap memperhatikan
prosedur penelitian kualitatif yang bersifat hermeneutis. Oleh karena
itu, data dipilih sesuai keperluan, kecukupan, kemendalaman dan kemenyeluruhan.
Dengan demikian, data yang diperlukan untuk ditelaah cukup konprehensif,
berdasarkan fokus penelitian yaitu, modus ekspresi kearifan lokal.
Analisis
data dilaksanakan sejak awal
peneliti mengumpulkan data, dilanjutkan pada saat mereduksi data, menyajikan data, menafsirkan
data, dan menarik simpulan. Dengan melaksanakan analisis data sejak dini,
peneliti dapat segera mengetahui kecukupan data yang diambil. Jika ternyata
data dianggap
kurang, maka
peneliti akan melaksanakan penjaringan data ulang,
reduksi ulang, penafsiran ulang, dan penyimpulan ulang. Analisis
data dilaksanakan dengan
teknik pemahaman (verstehen) secara
mendalam menurut asas-asas lingkaran hermeneutik. Dengan kata lain, analisis
data dilakukan secara hermeneutik dengan model interaktif-dialektis. Maksudnya,
pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara serentak, bolak-balik, dan
berkali-kali sesuai prinsip lingkaran
hermeneutika Ricouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik,
level refleksif, dan level eksistensial.
D. PEMBAHASAN
Modus tuturan yang
mengekspresikan Kearifan Lokal (KL)
masyarakat Bugis dalam Elong Ugi (EU) meliputi: (1) membangun identitas
sosial mansyarakat Bugis, (b) membangun
komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat. Modus
tersebut seperti yang dijabarkan berikut ini:
1. Membangun Identitas Sosial
Bentuk-bentuk modus di
dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun identitas sosial masyarakat
bugis sebagai berikut:
a. Modus
malu atau sirik merupakan landasan filosofis yang mendasari identitas
masyarakat Bugis. Siri’ atau malu bersumber pada adat atau ade’ atau pangngadereng. Menghargai
dan melaksanakan adat atau ade’
berarti berusaha untuk mencapai siri’
atau haga diri yang lebih baik. Siri’ mengatur keseluruhan tatanan perilaku
masyarakat Bugis. Siri’ menjadi acuan penilaian baik atau buruk, wajar atau
tidak wajar, atau pantas atau tidak pantas. Masyarakat Bugis yang ideal adalah
masyarakat yang menghargai siri’.
b. Etos
kerja adalah jiwa atau semangat patriotis masyarakat Bugis dalam mengarungi
biduk kehidupan. Masyarakat Bugis sangat menghargai waktu dan pekerjaan. Kerja
keras, pantang menyerah, tekun, tanggung jawab, serta jujur adalah landasan
utama yang membangun etos kerja masyarakat Bugis. Salah satu bukti etos kerja
masyarakat Bugis adalah budaya sompe atau
merantau. Budaya ini menghendaki generasi muda laki-laki yang telah menginjak
usia dewasa. Filosofi rantau juga sebagai tanda kedewasaan dan tanggung jawab
seorang laki-laki.
c. Saling
mengingatkan pada kebaikan (sipakaingaq)
adalah landasan filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial. Hakikat
dasar landasan ini mengacu pada anggapan bahwa setiap manusia tidak ada yang
sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Tuhan YME. Sipakaingaq juga merupakan tanggung jawab moral bagi setiap pribadi
dalam masyarakat. Jika seseorang melakukan kesalahan baik dalam hal berperilaku
atau bertutur, maka orang yang lain memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk
memberikan teguran atau nasihat.
d. Saling
memanusiakan manusia (sipakatau)
landasan filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial yang kedua.
Menurut landasan ini, hakikat manusia adalah sama di mata Tuhan. Sehingga tidak
ada yang lebih baik dari manusia lainnya. Yang ada adalah manusia yang selalu
berusaha sehingga menemukan keadaan hidup yang lebih baik. Berdasarkan konsep
kesetaraan sosial ini, setiap manusia diwajibkan untuk menghargai, menghormati,
dan memberikan toleransi pada setiap manusia.
e. Saling
menghargai (sipakalebbi) landasan
filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial yang ketiga. Menurut
landasan ini, hakikat manusia adalah pribadi yang senang dengan sanjungan atau
pujian dan penghargaan. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial, manusia
dianjurkan untuk senantiasa memberikan rasa hormat, menghargai, dan selalu
memberikan sanjungan atau pujian terkait hal yang positif.
f. Ketaatan
beribadah bagi masyarakat Bugis adalah harapan mengenai kebaikan di hari akhir.
Masyarakat Bugis tidak menghendaki keburukan yang nantinya akan diganjar dengan
neraka. Oleh karena itu, taat beribadah yang tertuang di dalam rukun Islam
tersebut adalah kunci menuju kebaikan “Surga”. Ketaatan beribadah untuk meraih
surga bagi masyarakat Bugis dapat dikatakan sebagai bentuk rasa takut kepada
Allah. Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia direkam oleh Allah Swt.
Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang dapat terbebas dari ganjaran
setiap perbuatannya.
g. Bagi
masyarakat Bugis, kepercayaan terhadap hari akhir adalah kesempurnaan
pengetahuan keislaman terhadap hakikat manusia yang tidak akan kekal abadi di
dunia serta adanya hari pembalasan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa taat pada
aturan dan perintah Allah selama hidup di dunia adalah bekal hidup di hari
akhir yang akan diganjar dengan kebaikan surge. Sebaliknya, keburukan atau dosa
yang dilakukan selama hidup di dunia adalah sarana yang mengantarkan manusia di
hari akhir pada pedihnya siksaan dan panasnya api neraka. Dapat kita lihat
bahwa kecemasan akan terkabul atau tidaknya harapan di hari akhir yang lebih
baik mendorong manusia Bugis untuk senantiasa mengamalkan kebaikan dan
melaksanakan perintah Allah Swt.
2.
Membangun Komunitas Sosial
Bentuk-bentuk modus di
dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun komunitas sosial masyarakat
bugis sebagai berikut:
(1)
Tolong
menolong adalah modus sosilogis yang terkandung di dalam EU sebagai bentuk KL
masyarakat Bugis. Tolong menolong merupakan prinsip dan gaya hidp masyarakat
Bugis yang di dasari pada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial, bukan
makhluk individu. Sehingga, dalam berbagai hal, manusia harus melibatkan orang
lain sebagai penopang atau pembantu beban yang diembannya.
(2)
Bermusyawarah
atau tudang sipulung bagi masyarakat
Bugis adalah budaya bermajelis yang dilandasi pada pemahaman bahwa hidup
bermasyarakat memiliki aturan yang bermasyarakat pula. Artinya, segala sesuatu,
baik pemecahan masalah atau pengambilan suatu keputusan harus dikerjakan dengan
cara berembuk atau bermusyawarah sehingga tidak ada satu pihak yang dirugikan.
Pengambilan keputusan melalui budaya musyawarah tidak dapat diganggu gugat.
(3)
Hidup
rukun berarti hidup yang dilandasi pada prinsip persaudaraan, saling
menghargai, menghormati, dan saling toleransi. Masyarakt Bugis sangat menghargai
budaya hidup rukun. Hidup rukun bagi masyarakat Bugis berarti menjunjung tinggi
harkat dan martabat orang lain khususnya bagi mereka yang berbeda agama, suku
bangsa, dan budaya.
3.
Membangun Paradigma
atau Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
Bentuk-bentuk
modus di dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun paradigm atau konsep
pendidikan sepanjang hayat sebagai berikut:
(1)
Modus
moral yang tercermin dalam EU
menggambarkan sikap dan prinsip hidup masyarakat Bugis untuk selalu menjaga
harkat dan martabat di dalam bermasayarakat. Moral adalah kekayaan abstrak yang
sangat berpengaruh terhadap pemberian prestise. Tinggi rendahnya penghargaan
masyarakat terhadap sesorang tergantung dari intensitas nilai moral dalam
dirinya. Disamping itu, modus moral di dalam EU juga merupakan cerminan ketaatan masyarakat Bugis kepada Allah
Swt. karena moralitas sesorang merupakan cerminan ketaqwaannya kepada Tuhan.
(2)
Modus
pendidikan keluarga bagi masyarakat Bugis adalah penyempurnaan peran sosial
untuk mendapatkan identitas sosial baru dalam kehidupapn bermasayarakat yang
terjalin dengan harapan akan prestise sosial yang lebih baik. Disamping itu,
ketaatan terhadap tuntunan agama dan harapan akan kebaikan di hari akhir adalah
landasan bagi masyarakat Bugis untuk melaksanakan pendidikan keluarga.
(3)
Modus
pendidikan kemasyarakatan bagi masyarakat Bugis adalah bekal bagi setiap
generasi agar berhasil di dalam kehidupan sosialnya. Salah satu pendidikan
kemasyarakatan yang diajarkan kepada setiap generasi Bugis adalah keluarga.
Ketika seorang anak telah memenuhi syarat untuk menikah atau membentuk keluarga
baru, maka orang tua akan mencari jodoh untuk anaknya. Seorang anak yang telah siap membentuk sebuah
keluarga berarti juga telah siap untuk menentukan peran sosialnya di dalam
masyarakat itu sendiri. Jadi, pendidikan kemasyarakatn dimaksudkan sebagai
upaya pengenalan fungsi dan peran seorang anak dalam sebuah masyarakat. Nasihat
tentang kemasyarakat bagi masyarakat bugis sangatlah penting. Nenek moyang
masyarakat Bugis melalui EU tidak
menghendaki setiap generasinya gagal dalam keluarganya amupun gagal dalam
melaksanakan perannya di masyarakat. Oleh karena itu, kunci dari keberhasilan
tersebut adalah kesetiaan. Membentuk keluarga yang bahagia diawali dengan
kesetiaan, begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat.
(4)
Modus
pendidikan kepemimpinan bagi masyarakat Bugis bukanlah perkara biasa. Pemimpin
adalah orang yang dapat mengayomi, merangkul, dan menyatukan masyarakatnya dari
segala perselisihan, memahami inspirasi, adil serta bersikap jujur. Pentingnya
memilih pemimpin dengan syarat-syarat tersebut adalah menghindari terciptanya
kehancuran sosial karena sendi-sendi tata kehidupan tidak terabaikan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa gambaran tentang suatu masayarakat dapat
dilihat dari kondisi pemimpinnya. Jika seorang pemimpin bertindak tidak adil
dan tidak jujur, maka akan berdampak pada kondisi masyarakatnya seperti
kemiskinan, wabah penyakit, gagal panen, serta rusaknya moral generasi mudanya.
(5)
Modus
pendidikan agama masyarakat Bugis adalah pandangan mengenai keselamatan hari
akhir. Tidak ada satupun manusia yang menghendaki keburukan atau siksaan di
akhirat kelak. Begitu pula dengan masyarakat Bugis. Mereka saling
berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt
agar kelak di hari akhir menemukan kebahagiaan hakiki yaitu surga. Diamanatkan
dalam EU bahwa kunci dari kebahagian
dunia dan akhirat adalah melaksanakan segala perintah Allah Swt. dan menjauhi
segala larangannya. Perintah Allah tersebut tertuang di dalam rukun Islam dan
rukun iman.
E. KESIMPULAN
Modus
yang ditemukan di dalam tuturan EU
sebagai bentuk ekspresi KL masyarakat
Bugis meliputi (a) membangun identitas sosial masyarakat Bugis, (b) membangun
komunitas sosial, (c) membangun konsep pendidikan sepanjang hayat.
Modus
membangun identitas sosial masyarakat Bugis
dalam elong ugi sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Abdi Goncing
(2012) bahwa sebuah dasar filosofi hidup
(malu = sirik, etos kerja = reso temmangingi, saling mengingatkan
pada kebaikan = sipakaingaq,
memanusiakan manusia= sipakatau, dan
saling menghormati = sipakalebbi’
yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis untuk senantiasa hidup baik
di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa
dalam menjalani kehidupan. (Moein, 1990: 12).
Sebagai temuan pertama dalam modus membangun
identitas sosial masyarakat Bugis dalam elong
ugi adalah sirik (malu). Malu
atau sirik, adalah filosofis orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup
dan pola perilaku, sebagian dapat ditemukan melalui
Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung.
Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’
dalam implementasinya.
Ampe (tingkah laku; tempramen), memegang peranan
signifi-kan sebab hal menegakkan
sirik yang merupakan penentu lahirnya daya
pikat dan ketertarikan orang lain atas seseorang yang membutuhkan. Karena itu,
dalam kehidupan bermasyarakat di kalangan orang Bugis, mengenal konsep sipakatau
(memanusiakan sesama), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge
(saling mengingatkan). (Marzuki, 1995; Said, 2007: Oddang, 2010).
Temuan
kedua, yaitu adalah etos kerja (reso temmangingi). Etos kerja masyarakt
Bugis tergambar dari budaya merantau (massompe).
Sebagaimana yang diuraikan oleh Rukka (2010) yang diperjelas oleh Langi (2013)
bahwa masyarakat Bugis
sompe’ (merantau) bukan karena kelaparan, karena tidak adanya
pekerjaan atau karena daerah asalnya tidak subur, tetapi kebutuhan akan freedom
(kemerdekaan) serta kebebasan. Manusia bugis manusia merdeka mereka berharap
kebebasan dalam mencari nafkah, kebebasan dari gangguan keamanan, dan kebebasan
diri dari situasi yang mencekam. Dalam kemerdekaan dan kebebasan itu mereka
berharap tentang kehidupan yang lebih layak dan lebih sejahtera.
Manusia bugis dalam melekke dapureng
mempunyai sifat kepeloporan seperti kata pepatah “dimana bumi
dipijak disitu langit di junjung”. Disetiap kota di bumi passompe’ membangun pundi ekonomi mereka di
tanah rantau, mereka meyakini tanah yang mereka kelola adalah tanah yang dititipkan
Tuhan untuk dibangun. Hampir semua kota di mana para passompe’ ini
berdiam maka mereka mendedikasikan seluruh apa yang dipunya untuk membangun
kota seperti membangun tanah kelahiran mereka. Mereka tidak menumpuk
harta mereka di kampung tanah kelahiran mereka seperti suku perantau lainnya.
Mali’ siparappe tokkong siparebba’ diartikan
saling berpegangan ketika hanyut dan berdiri dan jatuh pun selalu bersama
merupakan satu prinsip hidup yang menjadikan para passompe (perantau) memunyai ikatan primordial yang kuat, Passompe (perantau) di perantauan mereka
saling menguatkan dan saling memberikan dukungan mereka mengajak para penduduk
tanah rantau untuk saling menguatkan. Pertemuan Saudagar Bugis Makassar yang
digagas oleh Jusuf Kalla menegaskan bahwa ekspansi sosial ekonomi harus
dibangun bersama dengan menjadikan kepeloporan passompe’ di mana tanah mereka pijak.
Sejalan
dengan temuan penelitian, dapat dipahami bahwa orang yang bekerja (reso) adalah orang yang lebih baik daripada orang yang menganggur (makuttu), sebelum akhirnya dilihat
seperti apa pekerjaan yang dilakukan seseorang. Hal ini membuat adanya sebuah
situasi di mana orang rela bekerja apa saja, yang penting tidak menganggur dan
pekerjaan itu halal.
Tujuan
bekerja yang lebih tinggi tingkatannya adalah untuk berkarier. Karier
mengandung pengertian pengembangan diri atau kemajuan diri. Dengan bekerja,
keahlian yang dimiliki digunakan setiap
hari sehingga keahlian itu makin baik dan makin berkembang. Dia (orang) akan makin maju dan posisinya dalam
pekerjaan pun makin meningkat. Itulah yang disebut dengan karier.
Karier
adalah kebutuhan yang tingkatannya sudah lebih tinggi dibanding kebutuhan
pokok. Orang-orang mengejar karier apabila kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi.
Selain itu, untuk berkarier setiap orang perlu memiliki keahlian tertentu. Bagi
banyak orang, keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan begitu,
salah satu syarat untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan adalah kerja keras (reso temangingi). Banyak fakta yang
membuktikan bahwa orang yang berhasil meraih kesuksesan dalam hidupnya adalah
mereka yang memiliki etos kerja yang tinggi (Maslow, 154: Siswoyo. 2014).
Temuan ketiga, yaitu mengingatkan pada kebaikan = sipakaingaq, memanusiakan manusia= sipakatau, dan saling menghormati = sipakalebbi’. Ketiga temaun di atas adalah landasan filosofis
masyarakat Bugis dalam segala aspek sosialnya. Sipakaingaq atau saling mengingatkan pada kebaikan adalah satu
bentuk KL masyarakat Bugis berupa
prinsip hidup. Prinsip ini memandang bahwa tidak ada satupun manusia yang
sempurna dan tanpa kesalahan. Oleh karena itu, kita diamanatkan untuk saling
menasihati, memberikan pendapat, atau sekedar memberikan teguran atau sanksi
dengan tujuan menghindari dampak akibat kesalahan tersebut. Tujuan akhirnya
adalah menuju pada kebaikan. Prinsip sipakatau
atau saling memanusiakan manusia adalah sikap dan cara pandang masyarakat Bugis
terhadap kodratnya sebagai makhluk sosial. Memanusiakan manusia berarti
memperlakukan manusia dengan selayak-layaknya. Tidak ada satu manusia pun yang
dipandang rendah dengan alasan tertentu seperti kondisi fisik, kekayaan, atau
status sosial sesorang. Pada hakikatnya, semua manusia sama sebagai makhluk
ciptaan Tuhan dan berujung pada kematian. Disamping lasan tersebut, pandangan
agama juga melandasi prinsip sipakatau.
Ketiga, sipakalebbi konsep yang
memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan
baik, diperlakukan dengan selayaknya. Karena itu, setiap pribadi masyarakat
Bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan seadanya, tapi mereka
cenderung memandang manusia lain dengan segala kelebihannya seperti pada
kutipan EU di atas [Rebba
sipatokkong, Mali siparappe: rebah saling membangkitkan, hanyut saling
mendamparkan]. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. Untuk
setiap kelebihan manusia lainnya itulah masyarakat Bugis akan
diperlakukan. Saling memuji akan menciptakan suasana yang
menyenangkan dan menggairahkan, hingga siapapun yang berada dalam kondisi
tersebut akan senang dan bersemangat. Sifat sipakalebbi akan membuat siapapun
akan menikmati hidup sebagai suatu keindahan.
Tiga sifat tersebut diatas, sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge
menjadi modal dasar dalam tata hubungan manusia bugis dengan manusia lainnya.
Siri’ yang merupakan kehormatan diri setiap manusia bugis akan selalu dijaga
dan dipertahankan dengan konsep sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge tersebut.
Temuan
keempat, yaitu modus ketaatan
beribadah adalah harapan mengenai kebaikan di hari akhir. Masyarakat Bugis
tidak menghendaki keburukan yang nantinya akan diganjar dengan neraka. Oleh
karena itu, taat beribadah yang tertuang di dalam rukun Islam tersebut adalah kunci
menuju kebaikan “Surga”. Ketaatan beribadah untuk meraih surga bagi masyarakat
Bugis dapat dikatakan sebagai bentuk rasa takut kepada Allah. Semua tindakan
yang dilakukan oleh manusia direkam oleh Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada
satu pun manusia yang dapat terbebas dari ganjaran setiap perbuatannya.
Temuan
kelima yaitu modus kepercayaan
terhadap hari akhir adalah kesempurnaan pengetahuan keislaman masyarakat Bugis
terhadap hakikat manusia yang tidak akan kekal abadi di dunia serta adanya hari
pembalasan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa taat pada aturan dan perintah Allah
selama hidup di dunia adalah bekal hidup di hari akhir yang akan diganjar
dengan kebaikan surge. Sebaliknya, keburukan atau dosa yang dilakukan selama
hidup di dunia adalah sarana yang mengantarkan manusia di hari akhir pada
pedihnya siksaan dan panasnya api neraka. Dapat kita lihat bahwa kecemasan akan
terkabul atau tidaknya harapan di hari akhir yang lebih baik mendorong manusia
Bugis untuk senantiasa mengamalkan kebaikan dan melaksanakan perintah Allah
Swt.
Pemahaman mengenai modus membangun
identitas sosial masyarakat
Bugis, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari konteks nilai nilai tradisional
yang masih dianut dan diakui oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan
sampai sekarang. Nilai nilai adat yang menjadi landasan hukum dan filosofis
kehidupan tersebut adalah ‘ade’ (adat). ‘Ade’, bagi sebagian besar masyarakat
Sulawesi Selatan, merupakan kepribadian kebudayaan (Rahim, 1985: 122), karena
adatlah yang menjadi penggerak kehidupan suatu masyarakat. Hal senada
disampaikan pula oleh Mattulada, bahwa adat itulah yang memberikan bentuknya dalam wujud
watak masyarakat dan kebudayaan serta orang- orang yang menjadi pendukungnya
(Mattulada, 1974: 315).
Oleh karena itu, ada lima perkara atau
pesan penting yang diperuntukkan bagi
generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya dan sangat diharapkan
untuk senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut,
sebagaimana yang dicatat oleh Moein MG
(1990: 17-18) adalah (a) manusia harus senantiasa berkata yang benar (ada’ tongeng), (b) harus senantiasa
menjaga kejujuran (lempu), (c) berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan
pendirian (getteng), (d) hormat-menghormati
sesama manusia (sipakatau), (e) pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae).
Sebagaimana
telah diwasiatkan dalam petuah-petuah tersebut bahwa senantiasa mengutamakan
kejujuran, tidak munafik, perkataan sesuai dengan apa yang dilakukan, tidak
menipu atau memperbodoh sesama manusia dan setia pada keyakinan yang
dimilikinya. Namun yang terpenting, utamanya dalam konteks kekinian dan masa
yang akan datang, adalah tidak tergiring oleh pengaruh-pengaruh negatif dari
situasi yang timbul kemudian seiring dengan perkembangan zaman, saling
menghormati dan menghargai sesama manusia atau masyarakat yang terdapat dalam
lingkungan di mana masyarakat hidup (Andaya,Leonard Y, 2004; Mattulada, 1982;
Moein, Andi MG, 1990).
Selanjutnya,
paparan modus membangun komunitas sosial sebagai ekspresi kearifan lokal yang
terdapat dalam elong ugi yang
ditemukan dalam penelitian ini meliputi: (a) tolong-menolong (assituruseng), (b) bermusyawarah (tudassipulung), dan (c) menjaga
kerukunan hidup (asalewangeng).
Temuan
pertama adalah tolong menolong (assituruseng).
Hal ini terkait secara heirarki bahwa,
manusia adalah makhluk sosial yang saling perlu dan memerlukan antara satu sama
lain. Sejak dilahirkan sehingga akhir hayat, memberi dan menerima pertolongan
merupakan dua hal yang biasa bagi seorang manusia yang normal. Semasa masih
bayi lagi, seseorang memerlukan pertolongan dari orang sekeliling, seperti
makan, minum dan lain seumpamanya. Manusia dan orang-orang sekitarnya dua
elemen yang tidak boleh dipisahkan dalam memastikan kesempurnaan dan
kelangsungan kehidupan. Jadi, menolong
dan ditolongi merupakan suatu tindakan mulia yang harus ada di dalam diri
manusia (Rozak, 2009).
Berkaitan
dengan sikap tolong-menolong dalam konteks masyarakat Bugis, diartikan mereka
(orang Bugis) sangat menjungjung tinggi dan memelihara persaudaraan. Bahkan
demi persaudaraan memicu ahirnya pesse
(belas kasih) antara sesama manusia. Pernyataan tentang pentingnya persaudaraan
dalam masyarakat Bugis, sering diungkapkan dengan kalimat “Idi massellessureng manenngi ri lino lettu esso ri monri”. Yang
terjemahnya, kita semua merupakan saudara di dunia dan di akhirat, sehingga
hidup ini harus diladasi rasa kasih sayang dan cinta antara satu dengan yang
lain tanpa membedakan suku, warna kulit, dan strata sosial. (Amaluddin, 2009;
Ambo Enre, 1992).
Temuan
kedua, adalah musyawarah (tudangsipulung), sebagai ekspresi
kearifan lokal dalam elong ugi,
seirama yang dikemukakan oleh Faizal (2014), tudang sipulung dalam bahasa Bugis, secara harfiah dapat diartikan
“duduk bersama”, yaitu “tudang”
(duduk) dan “sipulung” (berkumpul
atau bersama sama), namun jika dihubungkan dengan persoalan hubungan
ketatapemerintahan atau ketatakewarganegara-an, maka secara kultural politis
hal tersebut berhubungan masalah ruang publik atau ruang bagi publik (rakyat)
untuk menyuarakan kepentingan kepentingannya dalam rangka mencari solusi atas
permasalahan permasalahan yang tengah
dihadapi oleh masyarakat. Artinya bahwa tudang sipulung ini merupakan ruang yang dapat memediasi antara
kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa) karena berlangsung berdasarkan
prinsip prinsip demokratis.
Dalam konteks budaya politik, lontara’ La Toa menjelaskan bagaimana orang
seharusnya bertingkah laku, bagaimana seorang penguasa memperlakukan rakyatnya,
dan sebaliknya, serta bagaimana rakyat memperlakukan sesamanya, berdasarkan
prinsip-prinsip sistem adat istiadat atau sistem normatif panngadereng (Hamid, 1985: 17-18).
Pemaparan
tersebut mengindikasikan, bahwa tradisi tudang sipulung telah dilakukan sejak
lama oleh masyarakat Bugis sebagai ruang
bersama untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam rangka mencari solusi atas
persoalan yang tengah dihadapi masyarakat. Pelaksanaan suatu tudang sipulung dapat bersifat resmi
maupun tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil, dalam keluarga, antar
keluarga, dalam kampung/negeri (wanua),
antar kampung/negeri, dalam kerajaan, hingga antar kerajaan.
Tudang
Sipulung
yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau
antar- keluarga, yang membicarakan persoalan persoalan keluarga seperti
perkawinan, lamaran, dsb. Sedangkan hal yang menyangkut persoalan bermasyarakat
atau keputusan penting dalam suatu kampong,
antar- kampung, atau kerajaan, biasanya dilaksanakan secara resmi yang dipimpin
oleh seorang Matoa (yang dituakan
menurut adat) sebagai pemimpin (raja) suatu kampung/negeri (wanua) (Ibrahim, 2003; Mattulada 1974;
Rahim, 1985).
Temuan ketiga
dalam penelitian ini adalah kerukunan hidup (asalewangeng) sebagai modus sosiologis kearifan local daam elong ugi. Temuan ini sejalan apa yang
dikemukakan oleh Amaluddin (2009), bahwa salah satu ciri negeri yang damai
apabila masyarakatnya hidup rukun dan saling menyayangi. Apabila masyarakat
hidup rukun, maka kehidupan perekonomian dalam masyarakat berjalan harmonis,
karena masyarakat dapat beraktivitas secara leluasa dan aman. Pernyataan
Amaluddin yang dikutip dari Sutrisno
(2008) bahwa kualitas seseorangt dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari
aspek fungsionalnya sebagai anggota masyarakat yang tampak dari intensitasnya
membangun relasi-reasi yang harmonis dengan anggota masyarakat yang lain. Hal
tersebut menjadi pokok bagi manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan
begitu, kerendahan hati, toleransi serta kesabaran dalam hidup bermasyarakat
mutlak diperlukan. Tidak semua orang yang dilahirkan memiliki karakter yang
sama, jika sikap kerendahan hati, tolerensi dan kesabaran tidak dibina
sangatlah sulit untuk menciptakan kerukunan hidup dalam bermasyarakat.
Kerukunan
dalam kehidupan dapat mencakup, “kerukunan
dalam rumah tangga, kerukunan dalam beragama, kerukunan dalam mayarakat, dan
kerukunan dalam berbudaya”. Indonesia yang sangat luas ini terdiri dari berbagai macam suku,
ras, dan agama serta sangat rawan akan terjadinya konflik pertikaian jika
seandainya saja masing-masing pribadi tidak mau saling bertoleransi. Oleh
karena itu, marilah dimulai bersedia berkomitmen untuk mengusahakan kehidupan bermasayarakat yang
rukun dan damai. Ciptakanlah tri kerukunan umat beragama, yang mencakup:
“kerukunan internal umat beragama, kerukunan antar- umat beragama, dan
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah”. Jika kerukunan di antara
umat beragama dapat terjalin dengan baik tidak hanya masyarakat yang harmonis
tapi negara juga akan aman (Setiawan, 2013).
Selanjutnya,
modus membangun konsep pendidikan sepanjang hayat meliputi (a) modus pendidikan
moral, (b) modus pendidikan keluarga, (c) modus pendidikan kemasyarakatan, (d)
modus pendidikan kepemimpinan, dan (e) modus pendidikan agama.
Pertama, modus pendidikan moral yang
tercermin dalam EU menggambarkan
sikap dan prinsip hidup masyarakat Bugis untuk selalu menjaga harkat dan
martabat di dalam bermasayarakat. Moral adalah kekayaan abstrak yang sangat
berpengaruh terhadap pemberian prestise. Tinggi rendahnya penghargaan
masyarakat terhadap sesorang tergantung dari intensitas nilai moral dalam
dirinya. Disamping itu, modus moral di dalam EU juga merupakan cerminan ketaatan masyarakat Bugis kepada Allah
Swt. karena moralitas sesorang merupakan cerminan ketaqwaannya kepada Tuhan.
Kedua, modus pendidikan keluarga bagi
masyarakat Bugis adalah penyempurnaan peran sosial untuk mendapatkan identitas
sosial baru dalam kehidupapn bermasayarakat yang terjalin dengan harapan akan
prestise sosial yang lebih baik. Disamping itu, ketaatan terhadap tuntunan
agama dan harapan akan kebaikan di hari akhir adalah landasan bagi masyarakat
Bugis untuk melaksanakan pendidikan keluarga.
Ketiga, modus pendidikan kemasyarakatan,
bagi masyarakat Bugis adalah bekal bagi setiap generasi agar berhasil di dalam
kehidupan sosialnya. Salah satu pendidikan kemasyarakatan yang diajarkan kepada
setiap generasi Bugis adalah keluarga. Ketika seorang anak telah memenuhi
syarat untuk menikah atau membentuk keluarga baru, maka orang tua akan mencari
jodoh untuk anaknya. Seorang anak yang
telah siap membentuk sebuah keluarga berarti juga telah siap untuk menentukan
peran sosialnya di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, pendidikan kemasyarakatn
dimaksudkan sebagai upaya pengenalan fungsi dan peran seorang anak dalam sebuah
masyarakat. Nasihat tentang kemasyarakat bagi masyarakat bugis sangatlah
penting. Nenek moyang masyarakat Bugis melalui EU tidak menghendaki setiap generasinya gagal dalam keluarganya
amupun gagal dalam melaksanakan perannya di masyarakat. Oleh karena itu, kunci
dari keberhasilan tersebut adalah kesetiaan. Membentuk keluarga yang bahagia
diawali dengan kesetiaan, begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat.
Keempat, modus pendidikan kepemimpinan.
Pentingnya memilih pemimpin dengan syarat-syarat tersebut adalah menghindari
terciptanya kehancuran sosial karena sendi-sendi tata kehidupan tidak
terabaikan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa gambaran tentang suatu masayarakat
dapat dilihat dari kondisi pemimpinnya. Jika seorang pemimpin bertindak tidak
adil dan tidak jujur, maka akan berdampak pada kondisi masyarakatnya seperti
kemiskinan, wabah penyakit, gagal panen, serta rusaknya moral generasi mudanya.
Kelima, modus pendidikan agama yang
dapat kita jumpai di dalam EU adalah
pandangan mengenai keselamatan hari akhir. Tidak ada satupun manusia yang
menghendaki keburukan atau siksaan di akhirat kelak. Begitu pula dengan
masyarakat Bugis. Mereka saling berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah Swt agar kelak di hari akhir menemukan kebahagiaan
hakiki yaitu surga. Diamanatkan dalam EU bahwa
kunci dari kebahagian dunia dan akhirat adalah melaksanakan segala perintah
Allah Swt. dan menjauhi segala larangannya. Perintah Allah tersebut tertuang di
dalam rukun Islam dan rukun iman.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, Abdul Muin. 2003.
Siri’ Kearifan Budaya Sulawesi
Selatan. Jakarta: Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan DKI Jakarta.
Admin. 2012. Mutiara Quran. Diakses Tanggal 27
April 2012 dalam http//majalah
hidayatullah com.
Agus, B. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Aksara, Laodding. 2012. “Filsafat Rantau Orang
Bugis” Selasa 9 Deseber 2014 dalam http://www.suryadinlaoddang.co
Ali, Muhammad. 2009. “Kelong dalam Perspektif Hermenautika”. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Alwasillah,
A. Chaedar. 1993. Pengantar
Sosiolinguistik Bahasa. Bandung: Angkasa.
Amaluddin. 2009. “Nyanyian Rakyat Bugis
(Kajian Bentuk, Funsi, Nilai, dan Strategi Pelestariannya”. Disertasi. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Ambo Enre, Fachruddin. 1999. Ritumpaqnna
wélenrénngé. Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan
dan Sastra Bugis. Pidato Pengukuhan Guru Besar. (dalam Jurnal PINISI, Vol. 1).
FPBS IKIP Ujung Pandang.
Ancok, D. & Suroso, F. (2001). Psikologi Islami ; Solusi Islam
Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anshari . 2007 “Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik” Disertasi. Malang: Universitas
Negeri.
Arsuka , Nirwan Ahmad, dkk. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Austin, J.L. 1962. How to Do
Things with Words. New York : Oxford
University Press.
Avonina, Sthefanny. 2006. “Apa yang Dimaksud
dengan Pengetahuan Tradisional?”. Konvergensi.
Edisi IX.
Bodgan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp.
1998. Qualitative Research for Education:
an Intraction to Theory and Method. Boston: Allan & Bacon.
Bodgan, Robert & Taylor, Steven J: Penelitian Kualitatif:Dasar-dasar
Penelitian. Terjemahan A. Khozin Afandi. 1993. Surabaya: Usaha Nasional.
Brown,
H.D. (1980). Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Chaer, Abdul. 2003 Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer. Abd & Leonie, A.
2004. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Cinta
Allah. 2012. “Ridha terhadap Takdir dan Ketentuan Allah.” 19 November 2014
dalam .http://cintaallahswt.wordpress.com
Chomsky, Noam. 1965. Aspects
of The Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Crystal , D. 1987. The Cambridge
Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Departemen Agama RI. 2004.Al
Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit Jamanatul
Departemen Sosial Republik Indonesia.
2006. Memberdayakan Kearifan Lokal bagi
Komunitas Adat Terpencil. Ahad, 6 April 2014, dalam wwwdepsos.go.id.
De Saussure, Ferdinand. 1973.
Pengantar Linguistik Umum. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Emosda. 2013. “Penanaman Nilai-nilai
Kejujuran”. Selasa, 23 Desember 2014 dalam http://www.fkip.unja.ac.id
Endraswara. 2008. “Pemilihan
Bahan Pelajaran Kearifan Lokal Jawa”,
dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Daerah dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Faizal, Andi. 2014. “Tudang Sipulung”Tradisi
Musyawarah Masyarakat Bugi). Jumat, 26 Desember 2014 dalam http://ruslanabdullah61.wordpress.com/tag/culture/
Fishman,
J.A. 1972a. The Sociology of Language. Massachusetts: Newbury House Paublishers.
Gazdar,
Gerald. 1979. Pragmatics. Florida.
Academic Press Inc.
Gibran, Kahlil, 1988, Surat-Surat
Cinta Kepada May Ziyadah, Bandung ; Pustaka Jaya.
Hakim,
Zainuddin. 1992. Panngajak Tomatoa.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran
Sastra Daerah dalam Pewarisan Nilai-Nilai Budaya. Makalah disajikan dalam
Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as
Social Semiotic: The Social Interpretation of
Language and Meaning. London: Edward Arnold Publisher
Halliday, M.A.K. 2003. On Language
and Linguistics. Continuun. London: MPG Books
Hamid, Abdullah (1985) Manusia Bugis Makassar:
Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah laku dan Pandangan Hidup Manusia
Bugis Makassar. Jakarta: Inti Dayu.
Handayani,
Elni. 2013. “Cinta, Takut dan Berharap kepada Allah.” Ahad, 16 November 2014,
dalam http://edukasi.kompasiana.com.
Ibrahim,
Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur.
Surabaya: Usaha Nasional.
Ibrahim, Anwar (2003) Sulesana: Kumpulan Esai
tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lephas.
Ife,
Jim. 2002. Community Development :
Community – based alternatives in an age of globalization. Australia :
Pearson Education.
Jemmain. 1997. Puisi Bugis: Bentuk, Jenis, Tema, dan Amanat. Ujung Pandang: Balai
Penelitian Bahasa Ujung Pandang.
Jemmain. 1998. Elong dalam Sastra Bugis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa
Ujung Pandang.
Jufri .2006 .
“Stuktur wacana Lontara Lagaligo”Desertasi.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Kayam, U. 1988. Memahami Roman Indonesia
Modern sebagai Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia.
Bandung: Angkasa.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik: Edisi
Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Langi, Salam. 2013. “Filsafah Hidup Bugis
Rantau.” Selasa, 9 Desember 2014 dalam file:///C:/Documents/perantau.htm
Leech, Geofrey. 1993.
Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Levinson, Stephen. 1983. “Pragmatics”.
London. Cambridge University Press.
Machmud, Andi Hasan. 1976. Silasa. Ujung Pandang: Depdikbud
Provinsi Sulawesi Selatan.
Mahrif .
2012. “Pilih Pemimpin yang Jujur dan Amanah.” Jumat, 21 November 2014 dalam http://bupatimaju.blogspot.com
Mangemba, H.D. 2002. Takutlah pada Orang Jujur. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Manuba, Putera. 2001. “Hermeneutika dan
Interpretasi Sastra. Sabtu 10 Januari 2015 dalam http:/www.angelfire.com.
Marzuki, M. Laica. 1995. Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat
Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Makassar: Hasanuddin University
Press.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Maslow. 1954 A.
Motivation and Personality. New York: Harper & Row
Mattulada. H.A. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.
Maulidin, 2003. “Menafsirkan Hermeneutika”. Jurnal. Gerbang. No. 14 (V): 32-44.
Meloang, Lexy. J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mey, Jakob L. 2001. Pragmatics:
An Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publisheres.
Mitchel l, Brauce. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan.
Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Moein, Andi MG, 1990, Menggali Niali-nilai
Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru dan Ilmu Sosial
Lainnya. Bandung: Rosda.
Mundardjito. 1986.
“Hakikat Local Genius dan Hakikat
Data Arkeologi”. Dalam Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Nababan,
P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. (Teori dan
Penerapannya) Jakarta: Depikbud.
Nurkamto, Joko. 2002. Pragmatik.
Surakarta: FKIP Universitas Sebelas
Parti (2012). Pengaruh Bermain Game Online Terhadap Perilaku
Keberagamaan Siswa. Skripsi.Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang
Pelras, Cristian. 1996. The Bugis. Oxford:
Blackwell Publishers Ltd.
Pelras. Cristian 2002. Ancestors Blood: Genealogical Memory. Honolulu: Hawaii University
Press
Poerwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik
dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:Kanisius
Rahim, Rahman, 1985,Nilai-Nilai
Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang; Lephas.
Rakhmat,
Jalaludin. Psikologi komunikasi. 1992. Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya.
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika
Ilmu Sisial. Terjemahan oleh Muhammad Syukri. Yokyakarta: Kreasi Wacana.
Rimang, Siti Suwadah. 2011. “ Kearifan Lokal
Masyarakat Bontoramba dalam Sinrili Syeh Yusuf Tuanta Salamaka oleh Syarifuddin
Daeng Tutu”.Diserasi. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya,
Rozak, Abdul. 2009. Dahsyatnya Menyantuni Anak Yatim-Piatu. Jakarta:
Qultum Media
Rukka, Imansyah. 2010. “Keberanian Suku Bugis
Makassar”.Senin 1 Desember 2014 dalam http://filsafat.kompasiana.com/.
Said, Mashadi. 2007. Kearifan Lokal
dalam Sastra Bugis Kasik. Jakarta : Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma.
Said, Mashadi. 2007. “Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Kasik”. Senin, 13
Januari 2014 dalam http://buginese.blogspot.com.
Santrock, J. W. 2010. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.
Searle, John. 1969. Spech Acts: An
Essay in Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Sedyawati, Edi. 1986. Local Geniusdalam
Kesenian Indonesia”, dalam Kepribadian
Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Setiawan, Agung Candra. 2013. “Cara Menciptakan Kerukunan dalam Hidup
Bermasyarakat” Sabtu, 27 Desember 2014 dalam http://keluarga.com
Sikki, Muhammad & J.S Sande. 1987. “Telaah Elong dalam Perwujudannya
sebagai Sastra Bugis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Sikki, Muhammad & J.S Sande. 1987. “Nilai-nilai Budaya dalam Sastra
Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Sirk, Olo. 1975. On Old Buginese
and Basa Bisu.Moscow. Central Dept pf Oriental Literarure
Sirk, Olo. 1986. Buginese Metrics. A
Contribution to the Study of Buginese Metrics. BKI: La Gaigo Verse.
Siswoyo, Sri. 2014 “Pendidikan Nasiona Indonesia. Sebuah Tinjauan
Filosofis”. Kamis, 4 Desember 2014 dalam http://eprints.uny.ac.id/
Sudikan, Setya
Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra
Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan
Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu.
Sumaryono, E.2005. Hermeneutik.
Sebuah Metode Filsafat. Yokyakarta: Kanisius
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutarto. 2004. Menguak Pergumulan
antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda Jatim.
Sutrisno, Mudji. 2008. Filsafat
Kebudayaan: Ikhtiar sebuah Teks. Hujan Kabisat.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran
Bahasa. Makassar: UNM.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran
Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tol, Roger. 2004. Poetry. The
Poetry of Sureq Galigo. Milano: Change Performing Arts.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Prof. Dr. Abdul
Syukur Ibrahim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ulwan, Abdullah Nashih. 2005. Islam dan Cinta. Yogyakarta: Pilar
Media.
Umar,
Nasaruddin. 2014. “Pintu-pintu Syurga:
Harapan (Al-Raja”). Ahad, 16 November 2014 dalamhttp://nasional.inilah.com.
Valdes , M.J. 1987. Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of
Literature. London: University of Toronto Press.
Wahab, Abdul. 1991. Metafora
sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Surabaya Airlangga: University Press.
Wahono, Francis. 2004. Pangan, Kearifan Lokal & Keanekaragaman
Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan. Yogayakarta: Cendelaras Pustaka
Rakyat Cerdas.
Wardhaugh,
Ronald. 1987. An Introduction to
Sociolinguistics: Second Edition. Oxford: Basil Blackwell Publishers.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1985 Theory of Literature. London: Jonathan
Cape.
Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen
Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk
Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar
Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Wijaya, Albert Hendra.2008. Kejujuran dalam Pendidikan.
Webbset.
Yahya , Harun. 2011. Kesucian Jiwa. Senin, 13 Januari 2014 dalam www.wordpress.com.
Yardi,
Lidus. 2012. “Kenali Cara Allah SWT
Mewujudkan Harapan Kita” Ahad, 16
November 2014 dalam http://www.hidayatullah.com
Yule,
George.2006. Pragmatik. Diterjemahkan
oleh Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Zein , Harry Mulya . 2013. Mahalnya Nilai Kejujuran”. Senin, 13 Januari
2014 dalam http://www.republika.co.id.
No comments:
Post a Comment