Sunday, November 5, 2017

KEARIFAN LOKAL BUGIS

MODUS EKSPRESI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS
SUATU KAJIAN ELONG UGI DENGAN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA

Abdul Kadir
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Cokroaminoto Pinrang
Hp: 081334000250 e-mail: akadir106@yahoo.co.id

Modus adalah tujuan atau fungsi tuturan yang menjelaskan suatu realitas. Tuturan tidak tercipta dari sebuah imajinasi belaka melainkan cerminan atau gambaran dari cara pandang, ideologi, sikap, dan perilaku penuturnya. Modus tuturan sering tidak dijabarkan dalam wujudnya, melainkan berupa bias makna dari pemakaian bahasa dalam tuturan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menemukan modus dalam sebuah tuturan, seringkali mitra tutur atau peneliti wacana baik lisan maupun tulisan harus menginterpretasi tuturan tersebut melalui pendalaman dan pengkajian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan ancangan hermeneutik. Data penelitian ini berupa teks elong ugi dari berbagai buku. Pengumpulan data berupa kajian dokumen (buku). Dalam pengumpulan data, peneliti bertindak sebagai instrument kunci dibantu kawan/rekan sejawat yang memahami tentang elong ugi. Analisis dilakukan sejak awal pengumpuan data, klasifikasi data terpilih, penyajian data, penarikan simpulan. Pun analisis data dikerjakan secara hermeneutik dengan model intraktif-dialektis. Maksudnya pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara serentak, bolak balik dengan mengikuti mode hermeneutika Recouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik, refleksif, dan eksistensial. Untuk memverifikasi semua temuan penelitian, dilakukan triangulasi temuan kepada pakar bahasa Bugis, ahli sastra Bugis, dan budayawan Bugis.
Hasil penelitian ditemukan bahwa modus tuturan yang mengekspresikan Kearifan Lokal (KL) masyarakat Bugis dalam Elong Ugi (EU) meliputi: (1) membangun identitas sosial mansyarakat Bugis,  (b) membangun komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat.
Kata kunci: modus, kearifan lokal, elong ugi, hermenutika

A.    PENDAHULUAN
Bugis adalah salah satu  suku bangsa di Asia Tenggara dengan populasi lebih dari empat juta orang, suku Bugis mendiami bagian Barat Daya pulau Sulawesi. Mereka memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Misalnya, mereka mampu mendirikan kerajaan tanpa sebuah kota sebagai pusat aktivitas, serta menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya. Kendati demikian, berbagai kepercayaan peninggalan pra-Islam tetap dilestarikan sampai akhir abad ke-20 dan sisa-sisa eksistensinya masih tampak hingga sekarang. Salah satunya adalah tradisi para bissu, yaitu sekelompok pendeta-pendeta wadam,  yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur. Ciri khas lainnya tampak pada karakter umum orang-orang Bugis, yaitu dikenal sebagai masyarakat yang berkarakter keras, tapi sangat menjunjung kehormatan. Demi mempertahankan kehormatan, masyarakat Bugis bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis memiliki sikap ramah, sangat menghargai orang lain, dan memiliki kesetiakawanan. 

Kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari umumnya berdasarkan sistem patron-klien, sistem kelompok kesetiakawanan antara seorang pemimpin dengan pengikutnya yang saling mengait dan bersifat menyeluruh. Orang Bugis tetap memiliki rasa kepribadian yang kuat, prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan. Hal itu merupakan faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan.

Di sisi lain, orang Bugis memiliki tradisi kesusastraan, baik lisan maupun tulisan. Berbagai karya sastra tulis yang berkembang seiring dengan tradisi lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan ditulis ulang. Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra tulis itu menghasilkan salah satu epos sastra terbesar di dunia, yakni La Galigo yang lebih panjang daripada Mahabarata, berisi kronik sejarah, ikhtisar perundang-undangan, almanak, risalah hal-hal praktis, kumpulan kata-kata mutiara, teks ritual pra-Islam, karya-karya Islami, dongeng dan cerita, serta berbagai jenis sajak (Arsuka, 2006: 3-5; Mangemba, 2002). 

Berbeda dari kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali, kebudayaan Bugis tradisional tidak mengenal seni pertunjukan teatrikal, baik yang dilakonkan manusia maupun dalam bentuk wayang kulit. Seni tari pun tidak berisi cerita (sendratari). Seni musik berbeda dengan gamelan karena dominan menggunakan alat musik Austronesia murni yang di antaranya berupa alat musik tak bernada. Sementara pertunjukan seni suara, baik lagu-lagu bernada datar (untuk epos atau pembacaan doa) maupun lagu-lagu bernada melodis (untuk menyampaikan cerita atau sajak) adalah salah satu medium utama yang digunakan untuk menyajikan karya sastra, tidak memperlihatkan adanya pengaruh India (Geddo, 2009: 46).

Kesusastraan lisan Bugis lebih dahulu ada daripada sastra tulis dan tetap bertahan sebagai satu-satunya bentuk kesusastraan  selama  jangka waktu tertentu, bahkan setelah orang Bugis mengenal tulisan. Ketika bilah-bilah daun lontar diperkenalkan sebagai  media tulisan, sastra lisan yang ada kemudian disalin ke dalam bentuk tulisan. Hal tersebut pun memungkinkan penulisan sesuatu secara langsung dan membuka jalan ke arah perkembangan jenis tulisan catatan harian, kronik sejarah, catatan hal-hal praktis sehari-hari. Kendati belum terlalu mengarah kepada pemilihan antara sastra lisan dan sastra tulis, sebagaimana halnya puisi  dengan prosa.

Kesusastraan Bugis tidak memiliki istiah umum untuk kategori tersebut. Walau dalam kalimat sastra tulis dibedakan antara lontarak (karya tulis biasa) dengan surek (kitab). Lontarak pada umumnya merujuk karya berbentuk prosa (tanpa metrum) dan bersifat informatif, seperti kronik sejarah, hukum adat, dan catatan berisi petunjuk prakis. Sementara surek yang biasanya ditulis dengan metrum tertentu, terutama dinilai berdasarkan kadar estetis yang dihasilkannya, walau sejumlah karya didaktis dapat pula dimasukkan dalam kategori surek (Arsuka, 2006:234).

Dilihat dari tradisi berkembangnya, sastra bugis menempuh dua cara, yaitu tradisi lisan (oral tradision) dan tradisi tulis (literary tradition). Keduanya berkembang seiring sejalan dalam waktu yang bersamaan. Sebuah karya sastra terdapat dalam dua tradisi, yaitu lisan dan tulisan. Khusus sastra Bugis, tradisi tulis sebagian naskahnya masih dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra tersebut terekam dalam bentuk naskah tulisan tangan yang tertulis pada berbagai macam bahan: daun lontar, kertas, dan bambu. Mengenai kepustakaan bugis ini, dapat dinyatakan bahwa secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua macam yaitu, pustaka yang tergolong karya sastra dan pustaka yang bukan karya sastra. Pustaka yang tergolong karya sastra terbagi ke dalam dua bentuk yaitu puisi dan prosa. Karya sastra yang tergolong puisi (disebut surek) terbagi lagi ke dalam empat kelompok atau empat jenis, yaitu galigo, pau-pau, tolok, dan elong. Jika ditinjau dari segi bentuknya maka surek tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu (1) puisi naratif yang ceritanya panjang, bisa puluhan atau ratusan halaman, mencakup galigo, pau-pau, dan tolok dan (2) puisi pendek yang hanya memiliki satu atau beberapa bait saja, sebagaimana puisi-puisi pada umumnya, disebut elong

Berdasarkan uraian tersebut, elong sebagai sastra Bugis sarat dengan ekspresi kearifan lokal yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Contoh, ati mapaccing yang berarti 'bawaan hati yang baik'. Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing mengandung makna nia' madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia' maja' (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati, atau angan-angan dan pikiran yang baik. Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. 

Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu menyucikan hati, bermaksud lurus, dan mengatur emosi-emosi. Manusia menyucikan hati dengan cara memurnikan hatinya dari segala nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Contoh elong yang berisi ati mapaccing dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Dua kuala sappo
Unganna panasae
Belo kanukue

Terjemahan:
Dua kujadikan pagar
Bunga nangka
Hiasan kuku

Bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci, dalam aksara lontara' dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Allah SWT. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Orang tersebut akan sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Selain itu, orang-orang Bugis juga sanggup mengejar sesuatu yang telah direncanakannya, tanpa bisa dibelokkan ke kiri dan ke kanan oleh orang lain. Hal ini tampak pada kutipan elong berikut ini.

Tutuiwi anngolona atimmu
aja' muammanasaianngi ri ja'e padammu rupa tau
nasaba' mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau'
madecennge riati maja'e
nade'sa nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e.
Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.
Terjemahan:
Jagalah arah hatimu
jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia
sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya
karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk.
Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya.

Pada kutipan tersebut ditunjukkan pentingnya seseorang memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu bersih kepada sesama manusia akan menuntun orang yang mengamalkannya untuk dapat memetik buah kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk memikirkan hal-hal buruk bagi sesama manusia. Dengan kata lain, setiap individu akan dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya apabila terlebih dahulu dapat memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan atau pikiran-pikiran kotor. Jika ingin orang lain berbuat baik kepadanya, maka dirinya harus lebih dulu berbuat baik kepada orang lain.

Orang-orang Bugis tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu, emosi, dan kecondongan sehingga mereka harus berpegang teguh pada sebuah pedoman (toddo) yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom, dan lebih mampu menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara' Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, serta menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar  sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya. Hal tersebut tampak pada kutipan elong berikut ini. 

Makkedatopi Arung Bila,
eppa tanrana tomadeceng kalawing ati,
seuani, passu'i ada napatuju,
maduanna, matuoi ada nasitinaja,
matellunna duppai ada napasau,
maeppa'na, moloi ada napadapi.
Terjemahan:
Berkata pula Arung Bila
ada empat tanda orang baik bawaan hatinya
pertama, mengucapkan kata yang benar
kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya
ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa
keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya (Said, 2007)
Elong Ugi adalah aset kesusateraan regional Sulawesi Selatan yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Karena itu, elong  sangat penting untuk dikaji dan disebarluaskan agar  dikenal dan dimengerti oleh generasi muda khususnya remaja Sulawesi Selatan yang hidup di tengah-tengah dinamika kehidupan dan pengaruh arus globalisasi.

Berkaitan dengan penelitian elong Ugi ini, ada beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian mengenai sastra daerah Bugis dan Makassar. Pertama, Ali (2009) yang mengangkat judul penelitian Kelong dalam Perspektif Hermenautika. Ali menjelaskan tentang tiga aspek, meliputi (1) struktur kelong yang penggunaannya terdiri atas struktur makro, struktur super, dan struktur mikro yang meliputi penggunaan diksi dan kalimat; (2) fungsi kelong yang meliputi fungsi emotif, direktif, poetic, estetis, dan informasional; dan (3) nilai kelong yang meliputi nilai religius, nilai filosofis, dan nilai estetis.

Dalam konteks nilai, kelong diyakini memiliki berbagai nilai yang agung. Mekipun nilai tersebut digolongkan ke dalam pesan budaya lokal, namun nilai  atau pesan yang bersifat lokal itu perlu dipertahankan eksistensinya sebagai salah satu sumber budaya nasional yang sifatnya lokal jenius. Bentuk kelong mirip dengan pantun, sama-sama terdiri atas empat baris dalam satu baitnya, namun ada perbedaannya, yakni (1) kelong tidak mementingkan sajak, tetapi tidak berarti di dalam kelong tidak ada sajak sama sekali, (2) kelong tidak mempersyaratkan adanya sampiran, (3) kelong memiliki persamaan bunyi (rima) yang terwujud dalam kesatuan sintaktis, bisa pada kata atau kelompok kata dalam satu baris. 

Kedua, Jufri (2006) yang mengangkat judul penelitian Stuktur Wacana Lontara Lagaligo. Dalam penelitian tersebut Jufri (2006) mengkaji lontara lagaligo dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) pada aspek struktur super, struktur makro, dan struktur mikro. Dari penelitian tersebut berhasil ditemukan nilai-nilai ideologi kultural dalam wacana Lontara Lagaligo sebagai salah satu epos terpanjang di dunia, yaitu (1) ideologi sianrebale (ideologi tertutup), (2) Ideologi sipakatau (ideologi terbuka), dan (3) ideologi manurungnge (ideologi implisit) yang menganut paham kekuasaan secara geneologi. Dengan demikian, semakin meyakinkan bahwa sastra Bugis, baik sastra lisan maupun sastra tulis memiliki kandungan nilai budaya yang sangat tinggi sebagai local genius.

Ketiga, Anshari (2007) yang mengangkat judul penelitian Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik. Sinrilik adalah sebuah prosa liris milik masyarakat Makasar. Dalam penelitian tersebut Anshari (2007) menganalisis pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang dirinci, mencakup (1) tipe relasi nilai kemanusiaan dalam Sinrilik, meliputi (a) tipe relasi manusia dengan Tuhan, (b) tipe relasi manusia dengan manusia, dan (c) tipe relasi manusia dengan diri sendiri; (2) makna nilai kemanusiaan dalam Sinrilik, meliputi (a) makna dalam konteks sistem kepercayaan dan religi, (b) makna dalam sistem tradisi atau adat istiadat, dan (c) makna dalam konteks sistem norma; dan (3) konsepsi nilai kemanusiaan dalam Sinrilik, meliputi (a) konsepsi relegi, (b) konsepsi kultur, (c) konsepsi edukatif, dan (d) konsepsi filosofis.

Keempat, Amaluddin (2009) yang mengangkat judul penelitian Nyanyian Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Fungsi, Nilai, dan Strategi Pelestariannya). Dalam penelitian tersebut Amaluddin (2009) menganalisis nyanyian rakyat Bugis pada aspek bentuk, fungsi, nilai, dan strategi pelestariannya. Pada aspek bentuk ada tiga fokus yang dianalisis, yakni (a) pemaknaan terhadap kategori diksi pada nyanyian rakyat Bugis yang berhubungan dengan ruang persepsi kehidupan masyarakat Bugis yang sangat substansial dan fundamental, (b) pemaknaan terhadap bentuk kalimat pada nyanyian rakyat Bugis dalam kaitannya dengan eksistensi siri dan pesse sebagai inti budaya Bugis, dan (c) pemaknaan gaya bahasa pada nyanyian rakyat Bugis yang mendeskripsikan sifat-sifat manusia Bugis. Pada aspek fungsi juga ada tiga fokus analisis, yaitu (a) fungsinya sebagai sarana kritik sosial dalam masyarakat Bugis, (b) fungsinya sebagai pengawas norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Bugis, dan (c) fungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. Adapun, pada aspek nilai juga ada tiga fokus analisis, yakni (a) nilai filosofis, (b) nilai religious, dan (c) nilai sosiologis.

Kelima, Rimang (2001) yang mengangkat judul penelitian Kearifan Lokal Masyarakat Bontoramba dalam Sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka oleh Syarifuddin Daeng Tutu. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada empat hal, meliputi (1) struktur sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka yang dituturkan oleh Syarifuddin Daen Tutu, (2) unsur-unsur kearifan lokal dalam sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka, (3) fungsi kearifan lokal dalam sinrilik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka, dan (4) aktualisasi kearifan lokal masyarakat Bontoramba dalam sinlirik Syeh Yusuf Tuanta Salamaka. Dalam penelitian tersebut juga berhasil ditemukan bahwa kearifan lokal dalam sinrilik dapat diklasifiksi menjadi delapan tema, meliputi (1) pelestarian lingkungan, (2) resolusi konflik, (3) hubungan soial, (4) menutut ilmu, (5) mencari rezeki, (6) kehidupan rumah tangga, (7) tuturan, dan (8) penanggulangan kemiskinan.

Berdasarkan uraian  tersebut, ekspresi  kearifan lokal dalam sastra Bugis sangat kaya akan nilai-nilai yang patut untuk dijadikan teladan. Jika bentuk-bentuk ekspresi kearifan lokal tersebut tidak dijaga dan dipelihara, maka dikhawatirkan secara berangsur akan terjadi proses kepunahan karena desain besar kebudayaan seringkali tidak dapat mengendalikan dinamika sosial. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik, sebagai akibat dari globalisasi menjadikan budaya lokal sebagai pondasi modernisasi menuju budaya Indonesia yang maju dan unggul tampa mengalami hambatan-hambatan. Dengan begitu, ekspresi kearifan lokal yang terrekam dalam kepustakaan Bugis masih relevan dengan perkembangan zaman karena kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat ini dan masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun nonfisik akan tetap terjaga (Said, 2007).

B.     LANDASAN TEORI
1.      Pengertian Kearifan Lokal
Pengertian tentang kearifan lokal seringkali tumpang tindih dengan istilah pengetahuan lokal (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genius). Oleh sebab itu, perbedaan dari ketiga istilah tersebut perlu diperjelas lebih dulu. Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup. Di samping itu, konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dan lingkungannya. Dengan begitu, sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahun  dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman  terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal, yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan kecerdasan lokal pada dasarnya memiliki pengertian yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pemahaman bahwa kebudayaan itu telah dimiliki dan diturunkan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat. Kebudayaan yang telah berakar itu tidak mudah goyah dan terkontaminasi dengan pengaruh dari kebudayaan luar. Perbedaan dari ketiganya hanya terletak pada sudut pandangnya. Istilah pengetahuan lokal mengacu pada sisi pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, kecerdasan lokal mengacu pada sisi intelektualitas atau kualitas berpikir yang dimiliki masyarakat, sedangkan kearifan lokal mengacu pada sisi sikap dan sifat masyarakatnya.

2.      Kearifan Lokal Masyarakat Bugis
Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asih, asah, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertian; hidup toleran dan jembar hati; hidup harmoni dengan lingkungan; hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan; hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal (Hamid, 1985).

Kayam (1998) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Dari segi kognitif, kebudayaan tidak hanya mencakup hal-hal yang telah dan sedang dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan juga hal-hal yang masih merupakan cita-cita atau yang masih harus diwujudkan, termasuk norma, pandangan hidup atau sistem nilai. Cita-cita itu dapat diwujudkan melalui proses demokratisasi kebudayaan dan proses selektif terkontrol, yaitu suatu proses yang memiliki substansi kebebasan dan otonomi sekaligus terkontrol dengan nilai-nilai rujukan yang fundamental dan telah teruji dalam perjalanan zaman. 

Kearifan lokal itu merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak, dan lain sebagainya. 

Dalam konteks sirik-masirik, Mangemba mendifinisikan sirik sebagai penggerak secara spiritual yang membimbing perilaku masyarakat Sulawesi Selatan dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan seperti perkawinan, hubungan keluarga, dan hukum. Dalam lontarak digambarkan bahwa sirik bukan hanya mencakup akibat, tetapi juga mencerminkan diri. Orang merasa malu (sirik) ketika mereka melanggar nilai luhur yang mereka pegang. Sehingga kualitas sirik akan menurun jika seseorang memunyai keinginan yang berlebihan atau serakah, sebagaimana dalam kasus raja yang kehilangan kekuasaannya karena tindakan tercela (kasirik-sirik). 

Fungsi malu dalam konteks sirik-masirik bisa dilihat sebagai alat kontrol sosial. Sirik hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan unsur-unsur adat lainnya. Salah satu aspek penting adalah, manngalli yang mencakup kualitas keagamaan, pengetahuan, kepribadian yang baik dan kekayaan. Jadi, sirik akan mempunyai daya dorong bagi pendukungnya untuk menghormati orang lain dan bekerja keras dengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Bahkan sirik dianggap sebagai sumber keberhasilan rakyat Sulawesi Selatan di luar tanah air mereka. Salah seorang yang berasal dari tradisi sirik dan mencapai prestasi besar adalah Tun Abdul Razak, mantan Perdana Menteri Malaysia adalah putra Sulawesi Selatan. Contoh lain adalah Sulaeman yang menjadi Sultan di Johor. Pada abad ke-18 orang-orang Makassar meninggalkan tanah airnya dan menjadi penguasa di Semenanjung Malayu.

Dalam tradisi sirik, laki-laki dianggap sebagai pembela kehormatan dan perempuan sebagai wadah kehormatan. Unsur penting dalam tradisi sirik adalah kenyataan bahwa kehormatan perempuan mencakup kesucian, keperawanan dan kemampuan merawat suami setelah menikah. Masyarakat Bugis-Makassar percaya bahwa menjaga anak perempuan bukanlah pekerjaan yang mudah. Maka muncul ungkapan ‘menggembala seratus kerbau lebih mudah daripada menjaga seorang anak perempuan’. Perempuan yang belum menikah tidak hanya menjadi simbol kehormatan keluarga, tetapi juga akses pada kekayaan. Jika seorang perempuan Makassar melanggar aturan perkawinan, orang tuanya akan menanggung aib. Sesuai kewajiban adat, keluarganya melakukan pembunuhan dan kekerasan untuk memperoleh kembali kehormatan mereka yang hilang.

Dari perspektif agama, sirik mengarahkan bagaimana orang Bugis-Makassar mengabdi pada Tuhan dan memberikan aturan normatif yang membimbing perilaku manusia. Orang disamakan dengan binatang jika tidak mematuhi aturan agama. Sebagaimana digambarkan dalam pepatah yang artinya ‘jika tidak ada siri’, maka tidak akan ada agama, jika tidak ada agama, maka tidak akan ada Allah, jika tidak ada Tuhan, maka tidak akan ada surga”.

Dalam konteks yang berbeda, sirik- nipakasirik berfungsi sebagai serangan dan pembelaan orang Bugis dan Makassar terhadap rasa malu yang diterimanya. Bahkan untuk mempertahankan rasa malunya, orang Bugis lebih suka mati berperang daripada hidup dan menanggung ‘ripakasiri’. Dalam konteks inilah pada awal abad 18 ketika terjadi kekalahan orang-orang Bugis-Makassar atas wilayahnya, mereka melakukan migrasi besar-besaran ke daerah Semenanjung, Jawa, Kalimantan dan Jambi. Migrasi ini nantinya melahirkan percampuran darah Bugis Makassar dengan daerah yang dikuasainya. (Marzuki, 1995: 114; Pelras, 1997:169; Mattulada, 1998: 373; Achmad, 2003: 1).

Menurut Rahim (1985: 175) masalah sirik, selalu menarik perhatian orang yang hendak mengenal manusia dan kebudayaan Bugis, karena konsep sirik selalu dihayati orang-orang yang berpegang teguh pada ade serta panngadereng. Seseorang yang tidak memiliki rasa sirik adalah orang itu lepas dari konteks moralitas ade serta panngadereng, “orang yang telanjang dari perasaan malu atau sirik adalah telanjang dari moralitas, dalam lontarak orang itu disamakan dengan binatang. Binatang yang paling menjijikan dan banyak merusak adalah tikus. Menurut lontarak, tikus adalah binatang yang tidak dikarunia perasaan malu.

Dengan demikian, sirik adalah sistem nilai sosial kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat.  Sama halnya dengan budaya malu, perasaan malu merupakan salah satu pandangan nilai (volume) dalam kehidupan budaya Bugis-Makassar, mengingat  perasaan malu menjadi bagian kompleks konsep, gagasan, ide, yang menempati sistem budaya Bugis-Makassar. Nilai malu adalah bagian  dari sistem nilai budaya sirik.

Di sisi lain, harga diri berarti kehormatan, disebut pula martabat. Nilai martabat merupakan pranata pertahanan terhadap perbuatan tercela yang dilarang oleh kaidah adat (ade) yang menjadikan individu tidak mau melakukan perbuatan yang dipandang tercela serta dilarang oleh kaidah hukum. Karena hal yang dimaksud berkaitan dengan harkat kehormatan diri manusianya sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.

3.   Modus Filosofis

Falsafah hidup secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio-kultural yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharga nilai normatif ini sehingga tidak jarang melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernisasi senantiasa menderanya. Dalam implementasinya, nilai-nilai tersebut menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.

Mengenai nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman “ajaib” berlangsung yakni lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup. Orang India memiliki tokoh spiritual bernama Buddha Gautama, di Parsi bernama Zarasustra, di Athena ada Socrates, serta dalam masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga mengajar cara hidup di Tiongkok. Entah karena diilhami oleh petunjuk Yang Maha Kuasa atau alam mitologi dan keadaan lingkungan tertentu (dominasi alam), tetapi yang pasti bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat luar biasa di tengah keterbatasan sumber literatur. Tak terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomis dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Pangaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat-kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakan.

Adat istiadat yang dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah ade’ (ada’, dalam bahasa Makassar) berfungsi sebagai pandangan hidup dan pola pikir yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari (perbedaan strata), bicara (ucapan), dan sara’ (hukum ber-landaskan ajaran agama).

Pengamalan pangaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis didasari oleh empat asas. Pertama, asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya dalam pangaderrang. Kedua, asas mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen. Ketiga, asas mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang. Keempat, asas mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis.

Berangkat dari uraian tersebut, Amaluddin (2009:387) menguraikan bahwa filosofi masyarakat Bugis adalah nilai-nilai yang merepresentasikan pandangan hidup (way of life) untuk mengendalikan dan mengarahkan mereka dalam bersikap, berperilaku, dan berbuat yang lebih baik. Untuk itu, masyarakat Bugis memiliki tiga macam modus filosofis, yaitu (1) memegang teguh prinsip hidup atau teguh dalam pendirian, (2) memunyai pegangan hidup yang jelas, dan (3) bersikap bijaksana dalam memandang dan menjalani kehidupan.

4.   Modus Sosiologis  

Sosiologi mempelajari hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan masyarakat. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat. Setiap orang dalam mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidupnya perlu melakukan interaksi dengan orang lain. Sosilogi mempelajari hal tersebut dengan memberikan gambaran realitas sosial secara ilmiah untuk membantu meyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Amaluddin (2009:441) mengemukakan bahwa nilai sosiologi tradisi lisan masyarakat Bugis adalah nilai-nilai yang merepresentasikan hubungan atau interaksi manusia dengan manusia dalam masyarakat Bugis yang direfleksikan dalam bentuk perilaku, sifat, dan kebiasaan untuk menciptakan hubungan timbal-balik yang lebih harmois dalam hal  (1) menumbuhkan perilaku bergotong-royong dan tolong-menolong, (2) bermusyawarah untuk menyatukan pendapat, (3) membangun persaudaraan dalam suka dan duka, (4) berdedikasi tinggi untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara, dan (5) menjaga dan memelihara kerukunan hidup.
 5.   Elong Ugi
Menuut Pelras (1996:234-243) dalam bukunya yang berjudul Ther Bugis, pada dasarnya elong Ugi atau sajak Bugis adalah karya sastra yang dilagukan. Berdasarkan bentuknya, sajak Bugis dapat digolongkan  ke dalam dua jenis: sajak panjang (tolok dan pau-pau) dan sajak pendek (elong). Sajak panjang biasanya terdiri atas larik dengan metrum sama panjang. Sajak panjang tolo’ada yang setiap barisnya terdiri atas delapan suku kata dengan intonasi paroxytonal, kadang-kadang proparoxytonal (ada beberapa tolo’ bersuku kata tujuh dengan intonasi oxytonal setiap barisnya).

Sajak pendek (elong) biasanya terdiri atas tiga baris, ada pula empat atau enam baris, yang merupakan bait-bait lepas, berisi ungkapan pendek atau beberapa bait yang saling berkaitan. Bait-bait tersebut terdiri atas larik-larik yang panjang tidak sama. Ambillah misanya bait yang terdiri atas tiga baris yang masing-masing terdiri atas delapan, tujuh dan enam  suku kata. Kaidah metrum yang digunakan adalah irama suku kata karena didasarkan  atas jumlah suku kata tertentu dan jumlah tekanan tertentu untuk setiap segmen. Dengan begitu, ritme merupakan unsur penting digunakannya partikel pengisi metrum yang terdiri  atas satu, dua, atau tiga suku kata seperti le’, ala’ atau la bela, yang tidak memiliki arti khusus untuk menjaga keutuhan irama suatu larik.

Baik sajak panjang maupun sajak pendek, sama-sama tidak memiliki rima. Keduanya banyak menggunakan aliterasi, sinonim, formula baku, pengulangan kata, dan kata bermakna paralel. Hal ini merupakan ciri umum yang terdapat pada dominan sastra Nusantara. Kendati demikian, sastra Sulawesi Selatan sama sekali tidak ditemukan adanya pengaruh sastra jenis kekawin (suatu bentuk sajak yang diserap dari India) dengan metrum bersajak berdasarkan perbedaan panjang pendeknya suku kata yang merupakan karya sastra yang berkembang priode Jawa Kuno dan kini masih dikenal oleh kalangan masyarakat Sunda, Jawa, Bali, Sasak. Tidak terlihat pua adanya pengaruh bentuk macapat yang belakangan muncul di Jawa abad ke-14 dan 15, serta masih tetap popular sampai sekarang. Macapat adalah karya sastra yang terikat  suku kata dan perulangan vokal terakhir jumah larik tiap bait.

Salah satu sajak panjang Bugis yang paling kuno adalah lagu-lagu ritual bissu yang berupa sessukeng, doa yang diucapkan kepada Penghu dewata orang Bugis: memmang dan ranging-ranging, mantra yang diucapakan pada ritual tertentu. Sabo adalah mantra yang disertai tarian melingkar di sekeliling objek yang dikeramatkan (pohon, atau tiang utama bengunan upacara). Maklawolo, dialog ritual yang dilakukan pada peristiwa tertentu, seperti upacara penobatan raja, pesta perkawinan atau penguburan putri-putri raja. Sastra bissu terdiri atas delapan suku kata dengan segmen metrum dan larik tanpa rima, kadang diselang-selingi segmen bersuku kata lima, dengan suku kata berirama. Sastra bissu sering memiliki sepasang baris paralel.

6.      Hermeneutika dalam Pandangan Paul Ricoeur

Ricoeur (2006:5) menggunakan metode fenomenologi untuk menyingkap permasalahan hermeneutika yang merupakan lanjutan dari pemikiran Heidegger dan muridnya, Gadamer. Ricoeur (2006:5) mengemukakan bahwa pada dasarnya  keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi di dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkatan makna (Ricoeur, 2006:6).

Kata-kata adalah simbol-simbol karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting, serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang memunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata. Ricoeur berpikir lebih jauh bahwa setiap kata adalah simbol. Oleh karena itu, maka kata-kata penuh dengan makna dan intensitas yang tersembunyi (Sumaryono, 2005:105).

Sifat bahasawi dari simbol-simbol yang memang tercantum dalam suatu sistem bahasa merupakan pendekatan strukturalisme dalam hermeneutika. Ricoeur (2006:25) menganggap bahwa paham strukturalisme adalah paham yang terlalu berat sebelah terhadap bahasa. Sebuah teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol,  dapat membatasi ruang lingkup hermeneutika, karena budaya oral dapat dipersempit. Hermeneutika dalam hal ini berhubungan dengan kata-kata tertulis sebagai pengganti kata-kata yang diucapkan (Ricoeur, 2006: 30).

Ada  tiga langkah pemahaman, langkah pertama adalah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol; kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna;  ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah ini berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yakni semantik, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu mendekati tingkat ontologis; sedangkan langkah pemahaman eksistensial adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri.

Jika dicermati pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan, bahwa interpretasi itu pada dasarnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein)  terungkap dalam, dan melalui teks. Di samping itu,  pemahaman  paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan  harus dijawab (Valdes, 1987:64). Dengan demikian, keberadaan hermeneutika sangat signifikan dalam interpretasi sastra karena hermeneutika merupakan model pemahaman dan cara pemaknaan yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman  substansial.

Sebuah interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting disadari, bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
C.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode yang digunakan adalah deskripsi. Orientasi teoretisnya menggunakan ancangan hermeneutika sebagai teori utama (greand theory) dalam memaknai elong Ugi sebagai sebuah fenomena budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat Bugis. Penelitian ini memiliki sifat induktif yang meletakkan data penelitian bukan sebagai pembuktian, melainkan sebagai modal untuk memahami dan menyimpulkan fakta yang ada. Mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan konteksnya. Desain yang dimaksud tidak kaku sifatnya sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada sehingga dapat disesuaikan dengan fokus, sifat, dan kegunaan penelitian. Dengan pendekatan ini, peneliti berusaha untuk menginterpretasi bentuk, makna, dan modus ekspresi kearifan lokal dalam larik-larik elong Ugi.

Penggunaan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada beberapa alasan, pertama, sumber data dan data elong Ugi bersifat naturalistik. Kedua, peneliti sebagai instrumen kunci yang bersifat sebagai penafsir yang secara hermeneutis dipandang kapabel. Ketiga, pemaparan atau pembahasan data bersifat interpretatif. Keempat, analisis data dilakukan secara interaktif-induktif. Kelima, bentuk, makna, dan modus menjadi perhatian utama. Keenam, desain penelitian bersifat sementara. Ketujuh, teori hanya digunakan sebagai pemandu analisis. Kedelapan, tidak harus ada teori yang disusun terlebih dahulu, teori hanya digunakan sebagai pemandu analisis (Mulyana, 2003:159; Bogdan dan Biklen, 1998: 4-7; Moleong, 1990; Ilyas, 2002; Maryaeni, 2005: 6-9).

Sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen, yakni teks-teks elong dalam kesusastraan Bugis, antara lain (1) Nyanyian Rakyat Bugis terbitan tahun 2009 karangan Amaluddin, (2) Elong dalam Sastra Ugi terbitan tahun 1998 karangan Jemmain, (3) Nilai Edukatif Elong Ugi terbitan tahun 1997 karangan Jemmain, (4) Puisi Bugis (Bentuk, Jenis, Tema, dan Amanat) terbitan tahun 1996 karangan Jemmain.

Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kaji dokumen, serta tetap memperhatikan  prosedur penelitian kualitatif yang bersifat hermeneutis. Oleh karena itu, data dipilih sesuai keperluan, kecukupan, kemendalaman dan kemenyeluruhan. Dengan demikian, data yang diperlukan untuk ditelaah cukup konprehensif, berdasarkan fokus penelitian yaitu, modus ekspresi kearifan lokal.

Analisis data dilaksanakan sejak awal peneliti mengumpulkan data, dilanjutkan pada saat mereduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan. Dengan melaksanakan analisis data sejak dini, peneliti dapat segera mengetahui kecukupan data yang diambil. Jika ternyata data dianggap kurang, maka peneliti akan melaksanakan penjaringan data ulang, reduksi ulang, penafsiran ulang, dan penyimpulan ulang. Analisis data dilaksanakan dengan teknik pemahaman (verstehen) secara mendalam menurut asas-asas lingkaran hermeneutik. Dengan kata lain, analisis data dilakukan secara hermeneutik dengan model interaktif-dialektis. Maksudnya, pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara serentak, bolak-balik, dan berkali-kali sesuai  prinsip lingkaran hermeneutika Ricouer, yakni pemahaman secara cermat melalui level semantik, level refleksif, dan level eksistensial.

D.    PEMBAHASAN
Modus tuturan yang mengekspresikan Kearifan Lokal (KL) masyarakat Bugis dalam Elong Ugi (EU) meliputi: (1) membangun identitas sosial mansyarakat Bugis,  (b) membangun komunitas sosial, dan (c) membangun konsep pendidikan sepanjat hayat. Modus tersebut seperti yang dijabarkan berikut ini:

1.      Membangun Identitas Sosial
Bentuk-bentuk modus di dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun identitas sosial masyarakat bugis sebagai berikut:

a.     Modus malu atau sirik merupakan landasan filosofis yang mendasari identitas masyarakat Bugis. Siri’ atau malu bersumber pada adat atau ade’ atau pangngadereng. Menghargai dan melaksanakan adat atau ade’ berarti berusaha untuk mencapai siri’ atau haga diri yang lebih baik. Siri’ mengatur keseluruhan tatanan perilaku masyarakat Bugis. Siri’ menjadi acuan penilaian baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau pantas atau tidak pantas. Masyarakat Bugis yang ideal adalah masyarakat yang menghargai siri’.

b.  Etos kerja adalah jiwa atau semangat patriotis masyarakat Bugis dalam mengarungi biduk kehidupan. Masyarakat Bugis sangat menghargai waktu dan pekerjaan. Kerja keras, pantang menyerah, tekun, tanggung jawab, serta jujur adalah landasan utama yang membangun etos kerja masyarakat Bugis. Salah satu bukti etos kerja masyarakat Bugis adalah budaya sompe atau merantau. Budaya ini menghendaki generasi muda laki-laki yang telah menginjak usia dewasa. Filosofi rantau juga sebagai tanda kedewasaan dan tanggung jawab seorang laki-laki.

c.    Saling mengingatkan pada kebaikan (sipakaingaq) adalah landasan filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial. Hakikat dasar landasan ini mengacu pada anggapan bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan adalah milik Tuhan YME. Sipakaingaq juga merupakan tanggung jawab moral bagi setiap pribadi dalam masyarakat. Jika seseorang melakukan kesalahan baik dalam hal berperilaku atau bertutur, maka orang yang lain memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk memberikan teguran atau nasihat.

d.   Saling memanusiakan manusia (sipakatau) landasan filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial yang kedua. Menurut landasan ini, hakikat manusia adalah sama di mata Tuhan. Sehingga tidak ada yang lebih baik dari manusia lainnya. Yang ada adalah manusia yang selalu berusaha sehingga menemukan keadaan hidup yang lebih baik. Berdasarkan konsep kesetaraan sosial ini, setiap manusia diwajibkan untuk menghargai, menghormati, dan memberikan toleransi pada setiap manusia.

e.     Saling menghargai (sipakalebbi) landasan filosofi masyarakat Bugis yang menjiwai tatanan sosial yang ketiga. Menurut landasan ini, hakikat manusia adalah pribadi yang senang dengan sanjungan atau pujian dan penghargaan. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial, manusia dianjurkan untuk senantiasa memberikan rasa hormat, menghargai, dan selalu memberikan sanjungan atau pujian terkait hal yang positif.

f.    Ketaatan beribadah bagi masyarakat Bugis adalah harapan mengenai kebaikan di hari akhir. Masyarakat Bugis tidak menghendaki keburukan yang nantinya akan diganjar dengan neraka. Oleh karena itu, taat beribadah yang tertuang di dalam rukun Islam tersebut adalah kunci menuju kebaikan “Surga”. Ketaatan beribadah untuk meraih surga bagi masyarakat Bugis dapat dikatakan sebagai bentuk rasa takut kepada Allah. Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia direkam oleh Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang dapat terbebas dari ganjaran setiap perbuatannya.

g.   Bagi masyarakat Bugis, kepercayaan terhadap hari akhir adalah kesempurnaan pengetahuan keislaman terhadap hakikat manusia yang tidak akan kekal abadi di dunia serta adanya hari pembalasan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa taat pada aturan dan perintah Allah selama hidup di dunia adalah bekal hidup di hari akhir yang akan diganjar dengan kebaikan surge. Sebaliknya, keburukan atau dosa yang dilakukan selama hidup di dunia adalah sarana yang mengantarkan manusia di hari akhir pada pedihnya siksaan dan panasnya api neraka. Dapat kita lihat bahwa kecemasan akan terkabul atau tidaknya harapan di hari akhir yang lebih baik mendorong manusia Bugis untuk senantiasa mengamalkan kebaikan dan melaksanakan perintah Allah Swt.

2.      Membangun Komunitas Sosial
Bentuk-bentuk modus di dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun komunitas sosial masyarakat bugis sebagai berikut:

(1)   Tolong menolong adalah modus sosilogis yang terkandung di dalam EU sebagai bentuk KL masyarakat Bugis. Tolong menolong merupakan prinsip dan gaya hidp masyarakat Bugis yang di dasari pada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individu. Sehingga, dalam berbagai hal, manusia harus melibatkan orang lain sebagai penopang atau pembantu beban yang diembannya. 

(2)   Bermusyawarah atau tudang sipulung bagi masyarakat Bugis adalah budaya bermajelis yang dilandasi pada pemahaman bahwa hidup bermasyarakat memiliki aturan yang bermasyarakat pula. Artinya, segala sesuatu, baik pemecahan masalah atau pengambilan suatu keputusan harus dikerjakan dengan cara berembuk atau bermusyawarah sehingga tidak ada satu pihak yang dirugikan. Pengambilan keputusan melalui budaya musyawarah tidak dapat diganggu gugat.

(3)   Hidup rukun berarti hidup yang dilandasi pada prinsip persaudaraan, saling menghargai, menghormati, dan saling toleransi. Masyarakt Bugis sangat menghargai budaya hidup rukun. Hidup rukun bagi masyarakat Bugis berarti menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain khususnya bagi mereka yang berbeda agama, suku bangsa, dan budaya.

3.      Membangun Paradigma atau Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat
Bentuk-bentuk modus di dalam elong ugi yang berfungsi untuk membangun paradigm atau konsep pendidikan sepanjang hayat sebagai berikut:

(1)   Modus moral yang tercermin dalam EU menggambarkan sikap dan prinsip hidup masyarakat Bugis untuk selalu menjaga harkat dan martabat di dalam bermasayarakat. Moral adalah kekayaan abstrak yang sangat berpengaruh terhadap pemberian prestise. Tinggi rendahnya penghargaan masyarakat terhadap sesorang tergantung dari intensitas nilai moral dalam dirinya. Disamping itu, modus moral di dalam EU juga merupakan cerminan ketaatan masyarakat Bugis kepada Allah Swt. karena moralitas sesorang merupakan cerminan ketaqwaannya kepada Tuhan.

(2)   Modus pendidikan keluarga bagi masyarakat Bugis adalah penyempurnaan peran sosial untuk mendapatkan identitas sosial baru dalam kehidupapn bermasayarakat yang terjalin dengan harapan akan prestise sosial yang lebih baik. Disamping itu, ketaatan terhadap tuntunan agama dan harapan akan kebaikan di hari akhir adalah landasan bagi masyarakat Bugis untuk melaksanakan pendidikan keluarga.

(3)   Modus pendidikan kemasyarakatan bagi masyarakat Bugis adalah bekal bagi setiap generasi agar berhasil di dalam kehidupan sosialnya. Salah satu pendidikan kemasyarakatan yang diajarkan kepada setiap generasi Bugis adalah keluarga. Ketika seorang anak telah memenuhi syarat untuk menikah atau membentuk keluarga baru, maka orang tua akan mencari jodoh untuk anaknya.  Seorang anak yang telah siap membentuk sebuah keluarga berarti juga telah siap untuk menentukan peran sosialnya di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, pendidikan kemasyarakatn dimaksudkan sebagai upaya pengenalan fungsi dan peran seorang anak dalam sebuah masyarakat. Nasihat tentang kemasyarakat bagi masyarakat bugis sangatlah penting. Nenek moyang masyarakat Bugis melalui EU tidak menghendaki setiap generasinya gagal dalam keluarganya amupun gagal dalam melaksanakan perannya di masyarakat. Oleh karena itu, kunci dari keberhasilan tersebut adalah kesetiaan. Membentuk keluarga yang bahagia diawali dengan kesetiaan, begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat.

(4)   Modus pendidikan kepemimpinan bagi masyarakat Bugis bukanlah perkara biasa. Pemimpin adalah orang yang dapat mengayomi, merangkul, dan menyatukan masyarakatnya dari segala perselisihan, memahami inspirasi, adil serta bersikap jujur. Pentingnya memilih pemimpin dengan syarat-syarat tersebut adalah menghindari terciptanya kehancuran sosial karena sendi-sendi tata kehidupan tidak terabaikan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa gambaran tentang suatu masayarakat dapat dilihat dari kondisi pemimpinnya. Jika seorang pemimpin bertindak tidak adil dan tidak jujur, maka akan berdampak pada kondisi masyarakatnya seperti kemiskinan, wabah penyakit, gagal panen, serta rusaknya moral generasi mudanya.

(5)   Modus pendidikan agama masyarakat Bugis adalah pandangan mengenai keselamatan hari akhir. Tidak ada satupun manusia yang menghendaki keburukan atau siksaan di akhirat kelak. Begitu pula dengan masyarakat Bugis. Mereka saling berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt agar kelak di hari akhir menemukan kebahagiaan hakiki yaitu surga. Diamanatkan dalam EU bahwa kunci dari kebahagian dunia dan akhirat adalah melaksanakan segala perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangannya. Perintah Allah tersebut tertuang di dalam rukun Islam dan rukun iman.


E.  KESIMPULAN
Modus yang ditemukan di dalam tuturan EU sebagai bentuk ekspresi KL masyarakat Bugis meliputi (a) membangun identitas sosial masyarakat Bugis, (b) membangun komunitas sosial, (c) membangun konsep pendidikan sepanjang hayat.

Modus membangun identitas sosial masyarakat Bugis  dalam elong ugi sejalan dengan yang  dikemukakan oleh Abdi Goncing (2012) bahwa sebuah dasar filosofi hidup  (malu = sirik, etos kerja = reso temmangingi, saling mengingatkan pada kebaikan = sipakaingaq, memanusiakan manusia= sipakatau, dan saling menghormati = sipakalebbi’ yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. (Moein, 1990: 12). 

Sebagai temuan pertama dalam modus membangun identitas sosial masyarakat Bugis  dalam elong ugi adalah sirik (malu). Malu atau sirik, adalah filosofis orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat ditemukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam implementasinya.

 Ampe  (tingkah laku; tempramen), memegang peranan signifi-kan sebab hal menegakkan sirik yang  merupakan penentu lahirnya daya pikat dan ketertarikan orang lain atas seseorang yang membutuhkan. Karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat di kalangan orang Bugis, mengenal konsep sipakatau (memanusiakan sesama), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling mengingatkan). (Marzuki, 1995; Said, 2007: Oddang, 2010).

Temuan kedua, yaitu adalah etos kerja (reso temmangingi). Etos kerja masyarakt Bugis tergambar dari budaya merantau (massompe). Sebagaimana yang diuraikan oleh Rukka (2010) yang diperjelas oleh Langi (2013) bahwa masyarakat   Bugis sompe’ (merantau)  bukan karena kelaparan, karena tidak adanya pekerjaan atau karena daerah asalnya tidak subur, tetapi kebutuhan akan freedom (kemerdekaan) serta kebebasan. Manusia bugis manusia merdeka mereka berharap kebebasan dalam mencari nafkah, kebebasan dari gangguan keamanan, dan kebebasan diri dari situasi yang mencekam. Dalam kemerdekaan dan kebebasan itu mereka berharap tentang kehidupan yang lebih layak dan lebih sejahtera.

Manusia bugis dalam melekke dapureng  mempunyai sifat kepeloporan seperti kata pepatah “dimana bumi dipijak disitu langit di junjung”. Disetiap kota di bumi  passompe’ membangun pundi ekonomi mereka di tanah rantau, mereka meyakini tanah yang mereka kelola adalah tanah yang dititipkan Tuhan untuk dibangun. Hampir semua kota di mana para passompe’ ini berdiam maka mereka mendedikasikan seluruh apa yang dipunya untuk membangun kota seperti membangun tanah kelahiran mereka.  Mereka tidak menumpuk harta mereka di kampung tanah kelahiran mereka seperti suku perantau lainnya.

Mali’ siparappe tokkong siparebba’  diartikan saling berpegangan ketika hanyut dan berdiri dan jatuh pun selalu bersama merupakan satu prinsip hidup yang menjadikan para passompe (perantau) memunyai ikatan primordial yang kuat, Passompe (perantau) di perantauan mereka saling menguatkan dan saling memberikan dukungan mereka mengajak para penduduk tanah rantau untuk saling menguatkan. Pertemuan Saudagar Bugis Makassar yang digagas oleh Jusuf Kalla menegaskan bahwa ekspansi sosial ekonomi harus dibangun bersama dengan menjadikan kepeloporan passompe’ di mana tanah mereka pijak.

Sejalan dengan temuan penelitian, dapat dipahami bahwa  orang yang bekerja (reso) adalah orang yang lebih baik daripada orang yang menganggur (makuttu), sebelum akhirnya dilihat seperti apa pekerjaan yang dilakukan seseorang. Hal ini membuat adanya sebuah situasi di mana orang rela bekerja apa saja, yang penting tidak menganggur dan pekerjaan itu halal.

Tujuan bekerja yang lebih tinggi tingkatannya adalah untuk berkarier. Karier mengandung pengertian pengembangan diri atau kemajuan diri. Dengan bekerja, keahlian yang dimiliki  digunakan setiap hari sehingga keahlian itu makin baik dan makin berkembang. Dia  (orang) akan makin maju dan posisinya dalam pekerjaan pun makin meningkat. Itulah yang disebut dengan karier.

Karier adalah kebutuhan yang tingkatannya sudah lebih tinggi dibanding kebutuhan pokok. Orang-orang mengejar karier apabila kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi. Selain itu, untuk berkarier setiap orang perlu memiliki keahlian tertentu. Bagi banyak orang, keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan begitu, salah satu syarat untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan adalah kerja keras (reso temangingi). Banyak fakta yang membuktikan bahwa orang yang berhasil meraih kesuksesan dalam hidupnya adalah mereka yang memiliki etos kerja yang tinggi (Maslow, 154: Siswoyo. 2014).

Temuan ketiga, yaitu mengingatkan pada kebaikan = sipakaingaq, memanusiakan manusia= sipakatau, dan saling menghormati = sipakalebbi’. Ketiga temaun di atas adalah landasan filosofis masyarakat Bugis dalam segala aspek sosialnya. Sipakaingaq atau saling mengingatkan pada kebaikan adalah satu bentuk KL masyarakat Bugis berupa prinsip hidup. Prinsip ini memandang bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna dan tanpa kesalahan. Oleh karena itu, kita diamanatkan untuk saling menasihati, memberikan pendapat, atau sekedar memberikan teguran atau sanksi dengan tujuan menghindari dampak akibat kesalahan tersebut. Tujuan akhirnya adalah menuju pada kebaikan. Prinsip sipakatau atau saling memanusiakan manusia adalah sikap dan cara pandang masyarakat Bugis terhadap kodratnya sebagai makhluk sosial. Memanusiakan manusia berarti memperlakukan manusia dengan selayak-layaknya. Tidak ada satu manusia pun yang dipandang rendah dengan alasan tertentu seperti kondisi fisik, kekayaan, atau status sosial sesorang. Pada hakikatnya, semua manusia sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan berujung pada kematian. Disamping lasan tersebut, pandangan agama juga melandasi prinsip sipakatau. Ketiga, sipakalebbi konsep yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya. Karena itu, setiap pribadi masyarakat Bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan seadanya, tapi mereka cenderung memandang manusia lain dengan segala kelebihannya seperti pada kutipan EU di atas [Rebba sipatokkong, Mali siparappe: rebah saling membangkitkan, hanyut saling mendamparkan]. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. Untuk setiap kelebihan manusia lainnya itulah masyarakat Bugis akan diperlakukan. Saling memuji akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, hingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut akan senang dan bersemangat. Sifat sipakalebbi akan membuat siapapun akan menikmati hidup sebagai suatu keindahan.

Tiga sifat tersebut diatas, sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge menjadi modal dasar dalam tata hubungan manusia bugis dengan manusia lainnya. Siri’ yang merupakan kehormatan diri setiap manusia bugis akan selalu dijaga dan dipertahankan dengan konsep sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge tersebut.

Temuan keempat, yaitu modus ketaatan beribadah adalah harapan mengenai kebaikan di hari akhir. Masyarakat Bugis tidak menghendaki keburukan yang nantinya akan diganjar dengan neraka. Oleh karena itu, taat beribadah yang tertuang di dalam rukun Islam tersebut adalah kunci menuju kebaikan “Surga”. Ketaatan beribadah untuk meraih surga bagi masyarakat Bugis dapat dikatakan sebagai bentuk rasa takut kepada Allah. Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia direkam oleh Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang dapat terbebas dari ganjaran setiap perbuatannya.

Temuan kelima yaitu modus kepercayaan terhadap hari akhir adalah kesempurnaan pengetahuan keislaman masyarakat Bugis terhadap hakikat manusia yang tidak akan kekal abadi di dunia serta adanya hari pembalasan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa taat pada aturan dan perintah Allah selama hidup di dunia adalah bekal hidup di hari akhir yang akan diganjar dengan kebaikan surge. Sebaliknya, keburukan atau dosa yang dilakukan selama hidup di dunia adalah sarana yang mengantarkan manusia di hari akhir pada pedihnya siksaan dan panasnya api neraka. Dapat kita lihat bahwa kecemasan akan terkabul atau tidaknya harapan di hari akhir yang lebih baik mendorong manusia Bugis untuk senantiasa mengamalkan kebaikan dan melaksanakan perintah Allah Swt.

Pemahaman mengenai modus membangun identitas sosial masyarakat Bugis, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari konteks nilai nilai tradisional yang masih dianut dan diakui oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan sampai sekarang. Nilai nilai adat yang menjadi landasan hukum dan filosofis kehidupan tersebut adalah ‘ade’ (adat). ‘Ade’, bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan, merupakan kepribadian kebudayaan (Rahim, 1985: 122), karena adatlah yang menjadi penggerak kehidupan suatu masyarakat. Hal senada disampaikan pula oleh Mattulada, bahwa adat  itulah yang memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang- orang yang menjadi pendukungnya (Mattulada, 1974: 315).

Oleh karena itu, ada lima perkara atau pesan penting yang  diperuntukkan bagi generasi pada saat itu dan generasi yang selanjutnya dan sangat diharapkan untuk senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut, sebagaimana yang dicatat oleh  Moein MG (1990: 17-18) adalah (a) manusia harus senantiasa berkata yang benar (ada’ tongeng), (b) harus senantiasa menjaga kejujuran (lempu), (c)  berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian (getteng), (d) hormat-menghormati sesama manusia (sipakatau), (e)  pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae).

Sebagaimana telah diwasiatkan dalam petuah-petuah tersebut bahwa senantiasa mengutamakan kejujuran, tidak munafik, perkataan sesuai dengan apa yang dilakukan, tidak menipu atau memperbodoh sesama manusia dan setia pada keyakinan yang dimilikinya. Namun yang terpenting, utamanya dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang, adalah tidak tergiring oleh pengaruh-pengaruh negatif dari situasi yang timbul kemudian seiring dengan perkembangan zaman, saling menghormati dan menghargai sesama manusia atau masyarakat yang terdapat dalam lingkungan di mana masyarakat hidup (Andaya,Leonard Y, 2004; Mattulada, 1982; Moein, Andi MG, 1990).

Selanjutnya, paparan modus membangun komunitas sosial sebagai ekspresi kearifan lokal yang terdapat dalam elong ugi yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi: (a) tolong-menolong (assituruseng), (b) bermusyawarah (tudassipulung), dan (c) menjaga kerukunan hidup (asalewangeng). 

Temuan pertama adalah tolong menolong (assituruseng). Hal  ini terkait secara heirarki bahwa, manusia adalah makhluk sosial yang saling perlu dan memerlukan antara satu sama lain. Sejak dilahirkan sehingga akhir hayat, memberi dan menerima pertolongan merupakan dua hal yang biasa bagi seorang manusia yang normal. Semasa masih bayi lagi, seseorang memerlukan pertolongan dari orang sekeliling, seperti makan, minum dan lain seumpamanya. Manusia dan orang-orang sekitarnya dua elemen yang tidak boleh dipisahkan dalam memastikan kesempurnaan dan kelangsungan kehidupan. Jadi,  menolong dan ditolongi merupakan suatu tindakan mulia yang harus ada di dalam diri manusia (Rozak, 2009).

Berkaitan dengan sikap tolong-menolong dalam konteks masyarakat Bugis, diartikan mereka (orang Bugis) sangat menjungjung tinggi dan memelihara persaudaraan. Bahkan demi persaudaraan memicu ahirnya pesse (belas kasih) antara sesama manusia. Pernyataan tentang pentingnya persaudaraan dalam masyarakat Bugis, sering diungkapkan dengan kalimat “Idi massellessureng manenngi ri lino lettu esso ri monri”. Yang terjemahnya, kita semua merupakan saudara di dunia dan di akhirat, sehingga hidup ini harus diladasi rasa kasih sayang dan cinta antara satu dengan yang lain tanpa membedakan suku, warna kulit, dan strata sosial. (Amaluddin, 2009; Ambo Enre, 1992).

Temuan kedua, adalah musyawarah (tudangsipulung), sebagai ekspresi kearifan lokal dalam elong ugi, seirama yang dikemukakan oleh Faizal (2014), tudang sipulung dalam bahasa Bugis, secara harfiah dapat diartikan “duduk bersama”, yaitu “tudang” (duduk) dan “sipulung” (berkumpul atau bersama sama), namun jika dihubungkan dengan persoalan hubungan ketatapemerintahan atau ketatakewarganegara-an, maka secara kultural politis hal tersebut berhubungan masalah ruang publik atau ruang bagi publik (rakyat) untuk menyuarakan kepentingan kepentingannya dalam rangka mencari solusi atas permasalahan permasalahan yang tengah  dihadapi oleh masyarakat. Artinya bahwa tudang sipulung ini merupakan ruang yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa) karena berlangsung berdasarkan prinsip prinsip demokratis.

            Dalam  konteks budaya politik, lontara’ La Toa menjelaskan bagaimana orang seharusnya bertingkah laku, bagaimana seorang penguasa memperlakukan rakyatnya, dan sebaliknya, serta bagaimana rakyat memperlakukan sesamanya, berdasarkan prinsip-prinsip sistem adat istiadat atau sistem normatif panngadereng (Hamid, 1985: 17-18).

 Pemaparan tersebut mengindikasikan, bahwa tradisi tudang sipulung telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Bugis  sebagai ruang bersama untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam rangka mencari solusi atas persoalan yang tengah dihadapi masyarakat. Pelaksanaan suatu tudang sipulung dapat bersifat resmi maupun tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil, dalam keluarga, antar keluarga, dalam kampung/negeri (wanua), antar kampung/negeri, dalam kerajaan, hingga antar kerajaan. 

Tudang Sipulung yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau antar- keluarga, yang membicarakan persoalan persoalan keluarga seperti perkawinan, lamaran, dsb. Sedangkan hal yang menyangkut persoalan bermasyarakat atau keputusan  penting dalam suatu kampong, antar- kampung, atau kerajaan, biasanya dilaksanakan secara resmi yang dipimpin oleh seorang Matoa (yang dituakan menurut adat) sebagai pemimpin (raja) suatu kampung/negeri (wanua) (Ibrahim, 2003; Mattulada 1974; Rahim, 1985).

 Temuan ketiga dalam penelitian ini adalah kerukunan hidup (asalewangeng) sebagai modus sosiologis kearifan local daam elong ugi. Temuan ini sejalan apa yang dikemukakan oleh Amaluddin (2009), bahwa salah satu ciri negeri yang damai apabila masyarakatnya hidup rukun dan saling menyayangi. Apabila masyarakat hidup rukun, maka kehidupan perekonomian dalam masyarakat berjalan harmonis, karena masyarakat dapat beraktivitas secara leluasa dan aman. Pernyataan Amaluddin yang dikutip dari  Sutrisno (2008) bahwa kualitas seseorangt dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari aspek fungsionalnya sebagai anggota masyarakat yang tampak dari intensitasnya membangun relasi-reasi yang harmonis dengan anggota masyarakat yang lain. Hal tersebut menjadi pokok bagi manusia sebagai anggota masyarakat.

Dengan begitu, kerendahan hati, toleransi serta kesabaran dalam hidup bermasyarakat mutlak diperlukan. Tidak semua orang yang dilahirkan memiliki karakter yang sama, jika sikap kerendahan hati, tolerensi dan kesabaran tidak dibina sangatlah sulit untuk menciptakan kerukunan hidup dalam bermasyarakat.

Kerukunan dalam kehidupan dapat mencakup, “kerukunan dalam rumah tangga, kerukunan dalam beragama, kerukunan dalam mayarakat, dan kerukunan dalam berbudaya”. Indonesia yang sangat luas ini terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama serta sangat rawan akan terjadinya konflik pertikaian jika seandainya saja masing-masing pribadi tidak mau saling bertoleransi. Oleh karena itu, marilah dimulai bersedia berkomitmen untuk  mengusahakan kehidupan bermasayarakat yang rukun dan damai. Ciptakanlah tri kerukunan umat beragama, yang mencakup: “kerukunan internal umat beragama, kerukunan antar- umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah”. Jika kerukunan di antara umat beragama dapat terjalin dengan baik tidak hanya masyarakat yang harmonis tapi negara juga akan aman (Setiawan, 2013).
Selanjutnya, modus membangun konsep pendidikan sepanjang hayat meliputi (a) modus pendidikan moral, (b) modus pendidikan keluarga, (c) modus pendidikan kemasyarakatan, (d) modus pendidikan kepemimpinan, dan (e) modus pendidikan agama.

Pertama, modus pendidikan moral yang tercermin dalam EU menggambarkan sikap dan prinsip hidup masyarakat Bugis untuk selalu menjaga harkat dan martabat di dalam bermasayarakat. Moral adalah kekayaan abstrak yang sangat berpengaruh terhadap pemberian prestise. Tinggi rendahnya penghargaan masyarakat terhadap sesorang tergantung dari intensitas nilai moral dalam dirinya. Disamping itu, modus moral di dalam EU juga merupakan cerminan ketaatan masyarakat Bugis kepada Allah Swt. karena moralitas sesorang merupakan cerminan ketaqwaannya kepada Tuhan.

Kedua, modus pendidikan keluarga bagi masyarakat Bugis adalah penyempurnaan peran sosial untuk mendapatkan identitas sosial baru dalam kehidupapn bermasayarakat yang terjalin dengan harapan akan prestise sosial yang lebih baik. Disamping itu, ketaatan terhadap tuntunan agama dan harapan akan kebaikan di hari akhir adalah landasan bagi masyarakat Bugis untuk melaksanakan pendidikan keluarga.

Ketiga, modus pendidikan kemasyarakatan, bagi masyarakat Bugis adalah bekal bagi setiap generasi agar berhasil di dalam kehidupan sosialnya. Salah satu pendidikan kemasyarakatan yang diajarkan kepada setiap generasi Bugis adalah keluarga. Ketika seorang anak telah memenuhi syarat untuk menikah atau membentuk keluarga baru, maka orang tua akan mencari jodoh untuk anaknya.  Seorang anak yang telah siap membentuk sebuah keluarga berarti juga telah siap untuk menentukan peran sosialnya di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, pendidikan kemasyarakatn dimaksudkan sebagai upaya pengenalan fungsi dan peran seorang anak dalam sebuah masyarakat. Nasihat tentang kemasyarakat bagi masyarakat bugis sangatlah penting. Nenek moyang masyarakat Bugis melalui EU tidak menghendaki setiap generasinya gagal dalam keluarganya amupun gagal dalam melaksanakan perannya di masyarakat. Oleh karena itu, kunci dari keberhasilan tersebut adalah kesetiaan. Membentuk keluarga yang bahagia diawali dengan kesetiaan, begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat.

Keempat, modus pendidikan kepemimpinan. Pentingnya memilih pemimpin dengan syarat-syarat tersebut adalah menghindari terciptanya kehancuran sosial karena sendi-sendi tata kehidupan tidak terabaikan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa gambaran tentang suatu masayarakat dapat dilihat dari kondisi pemimpinnya. Jika seorang pemimpin bertindak tidak adil dan tidak jujur, maka akan berdampak pada kondisi masyarakatnya seperti kemiskinan, wabah penyakit, gagal panen, serta rusaknya moral generasi mudanya. 

Kelima, modus pendidikan agama yang dapat kita jumpai di dalam EU adalah pandangan mengenai keselamatan hari akhir. Tidak ada satupun manusia yang menghendaki keburukan atau siksaan di akhirat kelak. Begitu pula dengan masyarakat Bugis. Mereka saling berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt agar kelak di hari akhir menemukan kebahagiaan hakiki yaitu surga. Diamanatkan dalam EU bahwa kunci dari kebahagian dunia dan akhirat adalah melaksanakan segala perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangannya. Perintah Allah tersebut tertuang di dalam rukun Islam dan rukun iman.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Abdul Muin. 2003. Siri’ Kearifan Budaya Sulawesi Selatan. Jakarta: Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan DKI Jakarta.
Admin. 2012. Mutiara Quran. Diakses Tanggal 27 April 2012 dalam  http//majalah hidayatullah com.
Agus, B. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Aksara, Laodding. 2012. “Filsafat Rantau Orang Bugis” Selasa 9 Deseber 2014 dalam http://www.suryadinlaoddang.co
Ali, Muhammad. 2009. “Kelong dalam Perspektif  Hermenautika”. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Alwasillah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiolinguistik Bahasa. Bandung: Angkasa.
Amaluddin. 2009. “Nyanyian Rakyat Bugis (Kajian Bentuk, Funsi, Nilai, dan Strategi Pelestariannya”. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Ambo Enre, Fachruddin. 1999. Ritumpaqnna wélenrénngé. Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Pidato Pengukuhan Guru Besar. (dalam Jurnal PINISI, Vol. 1). FPBS IKIP Ujung Pandang.
Ancok, D. & Suroso, F. (2001). Psikologi Islami ; Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anshari . 2007 “Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik” Disertasi. Malang: Universitas Negeri.
Arsuka , Nirwan Ahmad, dkk. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. New York : Oxford  University Press.
Avonina, Sthefanny. 2006. “Apa yang Dimaksud dengan Pengetahuan Tradisional?”. Konvergensi. Edisi IX.
Bodgan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. 1998. Qualitative Research for Education: an Intraction to Theory and Method. Boston: Allan & Bacon.
Bodgan, Robert & Taylor, Steven J: Penelitian Kualitatif:Dasar-dasar Penelitian. Terjemahan A. Khozin Afandi. 1993. Surabaya: Usaha Nasional.
Brown, H.D. (1980). Principles of Language Learning and Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Chaer, Abdul. 2003 Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer. Abd & Leonie, A. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Cinta Allah. 2012. “Ridha terhadap Takdir dan Ketentuan Allah.” 19 November 2014 dalam .http://cintaallahswt.wordpress.com
Chomsky, Noam. 1965. Aspects of The Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Crystal , D. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Departemen Agama RI. 2004.Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit Jamanatul
Departemen Sosial Republik Indonesia. 2006.  Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil. Ahad, 6 April 2014, dalam wwwdepsos.go.id.
De Saussure, Ferdinand. 1973. Pengantar Linguistik Umum. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Emosda. 2013. “Penanaman Nilai-nilai Kejujuran”. Selasa, 23 Desember 2014 dalam http://www.fkip.unja.ac.id
Endraswara. 2008. “Pemilihan Bahan Pelajaran  Kearifan Lokal Jawa”, dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Faizal, Andi. 2014. “Tudang Sipulung”Tradisi Musyawarah Masyarakat Bugi). Jumat, 26 Desember 2014 dalam  http://ruslanabdullah61.wordpress.com/tag/culture/
Farras, Abu. 2013. “Arti Makna Ikhas.” Jumat 20 November 2014 dalam http://abufarras.blogspot.com.
Fishman, J.A. 1972a. The Sociology of Language.  Massachusetts: Newbury House Paublishers.
Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics. Florida. Academic Press Inc.
Gibran, Kahlil, 1988, Surat-Surat Cinta Kepada May Ziyadah, Bandung ; Pustaka Jaya.
Hakim, Zainuddin. 1992. Panngajak Tomatoa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran Sastra Daerah dalam Pewarisan Nilai-Nilai Budaya. Makalah disajikan dalam Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of  Language and Meaning. London: Edward Arnold Publisher
Halliday, M.A.K. 2003. On Language and Linguistics. Continuun. London: MPG Books
Hamid, Abdullah (1985) Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Dayu.
Handayani, Elni. 2013. “Cinta, Takut dan Berharap kepada Allah.” Ahad, 16 November 2014, dalam http://edukasi.kompasiana.com.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Ibrahim, Anwar (2003) Sulesana: Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal. Makassar: Lephas.
Ife, Jim. 2002. Community Development : Community – based alternatives in an age of globalization. Australia : Pearson Education.
Jemmain. 1997. Puisi Bugis: Bentuk, Jenis, Tema, dan Amanat. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang.
Jemmain. 1998. Elong dalam Sastra Bugis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang.
Jufri .2006 .  “Stuktur wacana Lontara Lagaligo”Desertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Kayam, U. 1988. Memahami Roman Indonesia Modern sebagai Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia. Bandung: Angkasa.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Langi, Salam. 2013. “Filsafah Hidup Bugis Rantau.” Selasa, 9 Desember 2014 dalam file:///C:/Documents/perantau.htm
Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Levinson, Stephen. 1983. “Pragmatics”. London. Cambridge University Press.
Machmud, Andi Hasan. 1976. Silasa. Ujung Pandang: Depdikbud Provinsi Sulawesi Selatan.
Mahrif . 2012. “Pilih Pemimpin yang Jujur dan Amanah.” Jumat, 21 November 2014 dalam http://bupatimaju.blogspot.com
Mangemba, H.D. 2002. Takutlah pada Orang Jujur. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Manuba, Putera. 2001. “Hermeneutika dan Interpretasi Sastra. Sabtu 10 Januari 2015 dalam http:/www.angelfire.com.  
Marzuki, M. Laica. 1995. Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Makassar: Hasanuddin University Press.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Maslow. 1954 A. Motivation and Personality. New York: Harper & Row
Mattulada. H.A. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.
Maulidin, 2003. “Menafsirkan Hermeneutika”. Jurnal. Gerbang. No. 14 (V): 32-44.
Meloang, Lexy. J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mey, Jakob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publisheres.
Mitchel l, Brauce. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Moein, Andi MG, 1990, Menggali Niali-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce, Yayasan Mapress, Makassar.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda.
Mundardjito. 1986. “Hakikat Local Genius dan Hakikat Data Arkeologi”. Dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. (Teori dan Penerapannya) Jakarta: Depikbud.
Nurkamto, Joko. 2002. Pragmatik. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas
Parti (2012). Pengaruh Bermain Game Online Terhadap Perilaku Keberagamaan Siswa. Skripsi.Magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang
Pelras, Cristian. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Pelras. Cristian 2002. Ancestors Blood: Genealogical Memory. Honolulu: Hawaii University Press
Poerwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:Kanisius
Rahim, Rahman, 1985,Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang; Lephas.
Rakhmat, Jalaludin. Psikologi komunikasi. 1992. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sisial. Terjemahan oleh Muhammad Syukri. Yokyakarta: Kreasi Wacana.
Rimang, Siti Suwadah. 2011. “ Kearifan Lokal Masyarakat Bontoramba dalam Sinrili Syeh Yusuf Tuanta Salamaka oleh Syarifuddin Daeng Tutu”.Diserasi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya,
Rozak, Abdul. 2009. Dahsyatnya Menyantuni Anak Yatim-Piatu. Jakarta: Qultum Media
Rukka, Imansyah. 2010. “Keberanian Suku Bugis Makassar”.Senin 1 Desember 2014 dalam http://filsafat.kompasiana.com/.
Said, Mashadi. 2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Kasik. Jakarta : Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma.
Said, Mashadi. 2007. “Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Kasik”. Senin, 13 Januari 2014 dalam http://buginese.blogspot.com.
Santrock, J. W. 2010. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.
Searle, John. 1969. Spech Acts: An Essay in Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Sedyawati, Edi. 1986. Local Geniusdalam Kesenian Indonesia”, dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Setiawan, Agung Candra. 2013. “Cara Menciptakan Kerukunan dalam Hidup Bermasyarakat” Sabtu, 27 Desember 2014 dalam http://keluarga.com
Sikki, Muhammad & J.S Sande. 1987. “Telaah Elong dalam Perwujudannya sebagai Sastra Bugis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Sikki, Muhammad & J.S Sande. 1987. “Nilai-nilai Budaya dalam Sastra Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Sirk, Olo. 1975. On Old Buginese and Basa Bisu.Moscow. Central Dept pf Oriental Literarure
Sirk, Olo. 1986. Buginese Metrics. A Contribution to the Study of Buginese Metrics. BKI: La Gaigo Verse.
Siswoyo, Sri. 2014 “Pendidikan Nasiona Indonesia. Sebuah Tinjauan Filosofis”. Kamis, 4 Desember 2014 dalam http://eprints.uny.ac.id/
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu.
Sumaryono, E.2005. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yokyakarta: Kanisius
Sumarsono.  2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutarto. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda Jatim.
Sutrisno, Mudji. 2008. Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar sebuah Teks. Hujan Kabisat.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: UNM.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tol, Roger. 2004. Poetry. The Poetry of Sureq Galigo. Milano: Change Performing Arts.  
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Terjemahan oleh Prof. Dr. Abdul Syukur Ibrahim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ulwan, Abdullah Nashih. 2005. Islam dan Cinta. Yogyakarta: Pilar Media.
Umar, Nasaruddin. 2014. “Pintu-pintu  Syurga: Harapan (Al-Raja”). Ahad, 16 November 2014 dalamhttp://nasional.inilah.com.
Valdes , M.J. 1987. Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature. London: University of Toronto Press.
Wahab, Abdul. 1991. Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Surabaya Airlangga: University Press.
Wahono, Francis. 2004. Pangan, Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan. Yogayakarta: Cendelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Wardhaugh, Ronald. 1987. An Introduction to Sociolinguistics: Second Edition. Oxford: Basil Blackwell Publishers.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1985 Theory of Literature. London: Jonathan Cape.
Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Wijaya, Albert Hendra.2008. Kejujuran dalam Pendidikan. Webbset.
Yahya , Harun. 2011. Kesucian Jiwa.  Senin, 13 Januari 2014 dalam www.wordpress.com.
Yardi, Lidus. 2012. “Kenali Cara  Allah SWT Mewujudkan Harapan Kita” Ahad, 16 November 2014 dalam http://www.hidayatullah.com
Yule, George.2006. Pragmatik. Diterjemahkan oleh Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Zein , Harry Mulya . 2013. Mahalnya Nilai Kejujuran”. Senin, 13 Januari 2014 dalam http://www.republika.co.id.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...