Tuesday, November 7, 2017

SOSIOLOGI SASTRA



Hakikat Kajian Sosiologi Sastra
a.    Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah hasil curahan pikiran, perasaan manusia yang memiliki relasi dengan masyarakat dengan segala proses sosialnya. Bertemali dengan uraianuraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah yang mengaitkan antara soiologi dan sastra. Endraswara (2011: 78) mengungkap bahwa sastra merupkan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya. Dalam pernyataan di atas Endaswara mencoba menyiratkan bahwa sosiologi dan sastra sama-sama membahas mengenai situasi dan lingkungan sosial masyarakat. Damono (dalam Kurniawan, 2012: 6) menjelaskan beberapa hal yang menunjukkan relasi antara sosiologi dan sastra antara lain: (1) hubungan masyarakat dengan sastra dimediasi oleh pengarangnya, (2) hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh fakta sastra, (3) hubungan sosiologi dan sastra yang dimediasi oleh pembaca, (4) hubungan sosiologi dan sastra dimediasi oleh kenyataan, dan (5) relasi antara sosiologi dan sastra dimediasi oleh bahasa sebagai media sastra. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan mengenai keterkaitan antara sosiologi dan sastra. aspek-aspek yang mengaitkan antara sosilogi dan sastra melibatkan berbagai unsur pembangun sastra, yaitu pengarang, sastra, pembaca, dunia yang diacu (kenyataan), dan bahasa.
Kata “kajian” dapat berarti (1) pelajaran, (2) penyelidikan. Mengacu dari pengertian tersebut, kata kajian mempunyai makna meluas, yaitu proses: cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam) dan penelaahan. Kemudian dalam arti pelajaran yang mendalam (penyelidikan), kata kajian bisa memiliki kaitan makana dengan kata penenlitian, dalam arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memcahkan suatu persoalan atau menguji suatu teori untuk mengembangkan prinsip umum. Kata kajian bersinonim dengan kata telaah. Kata telaah berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian. Penelaahan berarti proses, cara, perbuatan menelaah.
Dalam menganalisis sebuah karya sastra (novel) Kenny memberikan perincian yang lengkap. Kenny (1966: 6-7) mengatakan bahwa:
“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that’s makes it up (this correspondsrougly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole.”

Menganalisis sebuah karya sastra adalah mengidentifikasi bagian-bagian, menentukan hubungan antara bagian-bagian, dan menemukan hubungan bagianbagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu bermuara pada pemahaman tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan kompleks.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Dengan pertimbngan dapat melihat sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan social (Endraswara, 2008: 77). Kajian sosiologi sastra terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yang memaslahkan karya sastra itu sendiri; sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra menurut Damono (dalam Faruk, 2010: 5)
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1971:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra (Damono, 1978:3).
Endraswara (2011:79) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Karya sastra ditelaah dari hal-hal yang berada di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatiannya pada latar belakang social budaya. Pendekatan ini disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang berada di sekitar karya sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang diceritakannya itu, dan pembacanya.
Ratna (2013:7) menyatakan bahwa istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang dituju. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Selanjutnya, menurut Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut; (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat; (2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adatistiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai yang menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi (merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi (sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang berlaku, (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk social budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
 Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejala baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut (Ratna, 2011: 8). Jadi, sosiologi sangat erat hubungannya dengan apa yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, sosiologi tumbuh tidak dengan kekosongan sosial.
Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya, Hal ini dapat dipahami karena pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu. Latar belakang budayanya menjadi sumber penciptaan, yang mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya (Tuloli, 2000: 62). Kajian sosiologi sastra harus mampu mengungkapkan pesan sosial. Subjek kajian sosiologi sastra adalah pada aspek sastra sebagai cerminan atau ciptaan social yang berfungsi sebagai pengungkapan kembali pengalaman manusia dengan khayalan yang memberikan ajaran, menggerakkan pembaca, berguna, indah dan sebagai cermin masyarakat. Sosiologi sastra harus memperhatikan kekhasan fakta sastra. Dengan memberi keuntungan kepada para professional (home de metier), ia harus menguntungkan pembaca dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional sejarah atau kritik dalam tugas-tugas khusus yang harus menjadi cakupannya (Escarpit, 2005: 14). Sasaran kajian sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967: 517):

“The expression 'sociology of literature' covers two very different types of research, bearing respectively on literature as a consumer product and literature as an integral part of social reality, or, considered from another bearing on society as the place of literary consumption and society as the subject of literary creation.”

Sosiologi sastra tidak bisa mengenyampingkan peran ilmu lain dalam analisisnya meskipun fokus kajian berbeda-beda, misalnya dalam menganalisis social budaya masyarakat, pasti diperlukan ilmu-ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya.
Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikontruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2011: 11). Sedangkan menurut Pradopo (2001: 159) menyatakan tujuan sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbale balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Senada dengan pendapat di atas, Jobrohim (2003: 159) mendefinisikan tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbale balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.
Lebih lanjut, Sangidu (2004: 28-29) menjelaskan bahwa teknik yang diperlukan untuk menjalankan metode dialektik (hubungan timbal balik) antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu (1) analisis faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra yang akan atau sedang diteliti, (2) analisis faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat atau literaturliteratur yang menjelaskan kondisi masyarakat tempat karya yang akan atau sedang diteliti itu lahir, dan (3) kedua hal tersebut dihubungkan untuk melihat ada kesesuaian antara faktor-faktor sosial yang terdapat dalam karya sastra dengan faktor-faktor social yang ada dalam masyarakat. Artinya, peneliti menguraikan latar belakang social budaya tempat pengarang tinggal dan hidup dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, yaitu: (a) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi; (b) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika; (c) Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai kedua (Ratna, 2011:339-340)
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah yang dianggap lebih relevan. Dibandingkan dengan model penelitian yang pertama dan ketiga, dalam penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan. Selanjutnya dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra bukan sebaliknya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi masyarakat tersebut. Kajian utama sosiologi sastra adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun membaca dalam relasi dialektikanya dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat.
b.   Sasaran Kajian Penelitian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.
Goldmann (dalam Endraswara, 2008: 79) mengemukakan tiga ciri dasar sosiologi sastra, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
Menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2008: 79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkam bahwa ada tiga perspektif sosiologi sastra, yakni penelitian yang memandang karya sastra sebagai cermin suatu masa tertentu, cermin kehidupan situasi sosial pengarang, dan sastra mengandung peristiwa sejarah dan sosial budaya suatu masyarakat.
Untuk kajiannya sendiri, sosiologi sastra dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok, sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Ian Watt (dalam Endraswara, 2011: 109) diantarannya sebagai berikut:
1)   Konteks Sosial Sastrawan
Konteks sosial sastrawan atau pengarang. Konteks sosial pengarang dapat dimaknai sebagai salah satu kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian pada
pengarang sebagai pencipta karya sastra. Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya dalamnmasyarakat, juga hubungannya dengan pembaca.
Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuasa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut merangkum berbagai macam kondisi di mana pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung sifat evolusi sosial (Noor, 2011: 26)
Wellek dan Warren (1995: 111) mengemukakan konteks sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideology pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial dan sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Dengan fokus agak berbeda, Ian Watt (dalam Damono, 1984: 25), merumuskan wilayah kajian sosiologi sastra yang berorientasi pada pengarang, yaitu pada posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
Inti dari sosiologi pengarang adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra (Wellek dan Warren, 1995: 112). Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat tempat pengarang bermasyarakat, dengan memahami budaya tempat hidup pengarang akan memudahkan kita untuk memahami kajian dari sosiologi pengarang. Pengarang menjadi pusat perhatian, nilai sastra dikembalikan kepada emosi dan keadaan jiwa pengarang. Pandangan hidup pengarang diperlukan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pola dasar pemikiran dengan hasil ciptaanya, antara proses penciptaan dengan karya-karyanya (Sugihastuti, 2002: 3).
2)   Sastra sebagai Cermin Masyarakat
Sastra mencerminkan keadaan masyarakatnya dalam hal ini, sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan masyarakat. Konsep cermin di sini menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalah tafsirkan dan disalah gunakan, karena masyarakat yang sebenarnya tidak sama dengan masyarakat yang digambarkan dalam sastra karena adanya intervensi pandangan dunia pengarang (Kurniawan, 2011: 11).
Sastra sebagai cermin masyarakat harus mendapat perhatian adalah: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat lain dari yang lain‖ seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermatcermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat (Faruk, 2012: 5). Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan social sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
Hubungan sastra dengan masyarakat juga disampaikan oleh Wellek dan Warren (1995: 109), “Sastra adalah instituisi sosial yang memakai medim bahasa. Teknikteknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajukan kehidupan‖, dan kehidupan‖sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.”
Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam sastra, dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: (a) konsep stabilitas sosial, (b) konsep kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya, (d) bagaimana proses masyarakat dapat berubah secara bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar masyarakat. Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya masih dapat diperluas lagi menjadi berbagai refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) bagaimana cita-cita untuk mengubahdunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e) konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
3)   Fungsi Sosial Sastra
Dalam hal ini, kita terlibat dalam sejumlah pertayaan-pertayaan seperti (1) sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, (2) seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial, (3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan antara (1) dan (2) di atas (Faruk, 2012: 7). Dalam hal ini, sastra dipersepsi sebagai karya kanonik yang berfungsi sebagai pembaharu dan perombak atau sastra harus mengajarkan suatu nilai dengan cara menghibur. Muaranya adalah sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, sastra juga mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat, sehingga sastra memiliki fungsi sosial, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan sosial (Kurniawan, 2011: 11).
Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkan. Sastra harus dipelajari dengan konteks seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri sebagai objek budaya yang rumit.
Setiap karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah menumental, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun hubungannya dengan orang-orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam konsep yang sempit, melainkan dalam pengertian yang yang melibatkan kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah gambaran system moral masyarakat (Endraswara, 2011: 110). 
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa sasaran sosiologi sastra adalah meneliti teks sastra dengan kondisi pengaran, sosial budaya masyarakat dan tanggapan pembaca. Kondisi pengarang mengkaji latar belakang pengarang, baik pendidikan, cara pandang hidup, dan lingkungannya. Latar sosial mengenai cermin masyarakat dalam teks sastra. tanggapan pembaca membahas timbal balik dari pembaca terhadap karya sastra. karya sastra lahir mau tidak mau akan dibaca dan ditangapi eksistensinya sebagai wujud apresiasi pembaca.

1 comment:

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...