Hakikat
Kajian Sosiologi Sastra
a.
Pengertian
Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah hasil curahan
pikiran, perasaan manusia yang memiliki relasi dengan masyarakat dengan segala
proses sosialnya. Bertemali dengan uraianuraian sebelumnya, dapat ditarik
benang merah yang mengaitkan antara soiologi dan sastra. Endraswara (2011: 78)
mengungkap bahwa sastra merupkan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang
merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang
membentuknya. Dalam pernyataan di atas Endaswara mencoba menyiratkan bahwa
sosiologi dan sastra sama-sama membahas mengenai situasi dan lingkungan sosial
masyarakat. Damono (dalam Kurniawan, 2012: 6) menjelaskan beberapa hal yang
menunjukkan relasi antara sosiologi dan sastra antara lain: (1) hubungan
masyarakat dengan sastra dimediasi oleh pengarangnya, (2) hubungan sosiologi
dengan sastra dimediasi oleh fakta sastra, (3) hubungan sosiologi dan sastra yang
dimediasi oleh pembaca, (4) hubungan sosiologi dan sastra dimediasi oleh kenyataan,
dan (5) relasi antara sosiologi dan sastra dimediasi oleh bahasa sebagai media
sastra. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan mengenai keterkaitan antara sosiologi
dan sastra. aspek-aspek yang mengaitkan antara sosilogi dan sastra melibatkan berbagai
unsur pembangun sastra, yaitu pengarang, sastra, pembaca, dunia yang diacu (kenyataan),
dan bahasa.
Kata “kajian” dapat berarti (1)
pelajaran, (2) penyelidikan. Mengacu dari pengertian tersebut, kata kajian
mempunyai makna meluas, yaitu proses: cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan
(pelajaran yang mendalam) dan penelaahan. Kemudian dalam arti pelajaran yang
mendalam (penyelidikan), kata kajian bisa memiliki kaitan makana dengan kata
penenlitian, dalam arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian
data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memcahkan suatu persoalan
atau menguji suatu teori untuk mengembangkan prinsip umum. Kata kajian bersinonim
dengan kata telaah. Kata telaah berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian.
Penelaahan berarti proses, cara, perbuatan menelaah.
Dalam menganalisis sebuah karya sastra
(novel) Kenny memberikan perincian yang lengkap. Kenny (1966: 6-7) mengatakan
bahwa:
“To
analyze a literary work is to identify the sparate parts that’s makes it up
(this correspondsrougly to the notion of tearing it to pieces), to determine
the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts,
to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the
literary work as a unified and complex whole.”
Menganalisis sebuah karya sastra adalah
mengidentifikasi bagian-bagian, menentukan hubungan antara bagian-bagian, dan
menemukan hubungan bagianbagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu
bermuara pada pemahaman tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh
dan kompleks.
Sosiologi sastra adalah cabang
penelitian sastra yang bersifat reflektif. Dengan pertimbngan dapat melihat
sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sastra
adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan social (Endraswara, 2008: 77).
Kajian sosiologi sastra terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam
sosiologi sastra yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya
sastra; sosiologi karya sastra yang memaslahkan karya sastra itu sendiri; sosiologi
sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh karya sastra menurut Damono
(dalam Faruk, 2010: 5)
Istilah "sosiologi sastra"
dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah
sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas
sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan
model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek
isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1971:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah
diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori
sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda
berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan
alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori
sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra (Damono, 1978:3).
Endraswara (2011:79) memberi pengertian
bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia
karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan
masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Karya sastra
ditelaah dari hal-hal yang berada di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik)
dengan memfokuskan perhatiannya pada latar belakang social budaya. Pendekatan
ini disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat
yang berada di sekitar karya sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat
yang diceritakannya itu, dan pembacanya.
Ratna (2013:7) menyatakan bahwa istilah
"sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi
ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang dituju. Mereka memandang bahwa
karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Sekalipun teori
sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam
disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang
tergolong masih cukup muda berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini
dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil
dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Selanjutnya, menurut Ratna (2011: 332)
ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat
dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan
masyarakat, sebagai berikut; (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan
oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;
(2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat;
(3) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi
masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4)
Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adatistiadat dan tradisi yang lain,
dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; (5) Sama dengan
masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan
citra dirinya dalam suatu karya.
Berkaitan dengan sosiologi sastra
sebagai yang menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa
sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra
karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks
dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan
penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono,
Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi
terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah
cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya.
Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga
dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan
keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya.
Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin
dilalui, yaitu (a) afirmasi (merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi
(sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan
mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang berlaku, (d) inovasi
(dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi
dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu
jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena
di samping sebagai makhluk social budaya akan sangat sarat termuat dalam karya
sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
Sosiologi
sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara
masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejala baru yang
timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut (Ratna, 2011: 8). Jadi, sosiologi sangat
erat hubungannya dengan apa yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, sosiologi
tumbuh tidak dengan kekosongan sosial.
Sastra tidak dapat dilepaskan dari
lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan atau sosial
budaya, Hal ini dapat dipahami karena pengarang mempunyai latar belakang sosial
budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu. Latar belakang budayanya
menjadi sumber penciptaan, yang mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya
(Tuloli, 2000: 62). Kajian sosiologi sastra harus mampu mengungkapkan pesan
sosial. Subjek kajian sosiologi sastra adalah pada aspek sastra sebagai
cerminan atau ciptaan social yang berfungsi sebagai pengungkapan kembali
pengalaman manusia dengan khayalan yang memberikan ajaran, menggerakkan
pembaca, berguna, indah dan sebagai cermin masyarakat. Sosiologi sastra harus
memperhatikan kekhasan fakta sastra. Dengan memberi keuntungan kepada para
professional (home de metier), ia harus menguntungkan pembaca dengan
jalan membantu ilmu sastra tradisional sejarah atau kritik dalam tugas-tugas
khusus yang harus menjadi cakupannya (Escarpit, 2005: 14). Sasaran kajian
sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967: 517):
“The
expression 'sociology of literature' covers two very different types of
research, bearing respectively on literature as a consumer product and
literature as an integral part of social reality, or, considered from another
bearing on society as the place of literary consumption and society as the
subject of literary creation.”
Sosiologi sastra tidak bisa
mengenyampingkan peran ilmu lain dalam analisisnya meskipun fokus kajian
berbeda-beda, misalnya dalam menganalisis social budaya masyarakat, pasti
diperlukan ilmu-ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya.
Tujuan sosiologi sastra adalah
meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat,
menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas
dikontruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa
dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala
individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2011: 11). Sedangkan menurut
Pradopo (2001: 159) menyatakan tujuan sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan
gambaran yang lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbale balik
antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Senada dengan pendapat di atas,
Jobrohim (2003: 159) mendefinisikan tujuan penelitian sosiologi sastra adalah
untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbale
balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.
Lebih lanjut, Sangidu (2004: 28-29)
menjelaskan bahwa teknik yang diperlukan untuk menjalankan metode dialektik
(hubungan timbal balik) antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya
sastra dengan faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan
faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat, yaitu (1) analisis
faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra yang akan atau sedang diteliti,
(2) analisis faktor-faktor sosial yang ada dalam masyarakat atau
literaturliteratur yang menjelaskan kondisi masyarakat tempat karya yang akan
atau sedang diteliti itu lahir, dan (3) kedua hal tersebut dihubungkan untuk
melihat ada kesesuaian antara faktor-faktor sosial yang terdapat dalam karya
sastra dengan faktor-faktor social yang ada dalam masyarakat. Artinya, peneliti
menguraikan latar belakang social budaya tempat pengarang tinggal dan hidup
dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi
sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka
model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, yaitu: (a)
Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu
sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada
umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut
refleksi; (b) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika; (c) Menganalisis
karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian
karya sastra sebagai kedua (Ratna, 2011:339-340)
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian
karya sastra, penelitian yang kedualah yang dianggap lebih relevan.
Dibandingkan dengan model penelitian yang pertama dan ketiga, dalam penelitian
yang kedua karya sastra bersifat aktif dan dinamis sebab keseluruhan aspek
karya sastra benar-benar berperanan. Selanjutnya dikaitkan dengan ciri-ciri
sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang mengkondisikan karya
sastra bukan sebaliknya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang berpusat
pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu
pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan
segi-segi sosial yang melatarbelakangi masyarakat tersebut. Kajian utama
sosiologi sastra adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi
berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik
penulis, fakta sastra, maupun membaca dalam relasi dialektikanya dengan kondisi
masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan dan pembaca
sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat.
b.
Sasaran
Kajian Penelitian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah penelitian yang
terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat
manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan
intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan
selalu mewarnai teks sastra.
Goldmann (dalam Endraswara, 2008: 79)
mengemukakan tiga ciri dasar sosiologi sastra, yaitu: (1) kecenderungan manusia
untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat
berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2)
kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3)
dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah
struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
Menurut Laurenson dan Swingewood (dalam
Endraswara, 2008: 79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi
sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen
sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial
penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa
sejarah dan keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkam bahwa ada tiga perspektif sosiologi sastra, yakni penelitian yang
memandang karya sastra sebagai cermin suatu masa tertentu, cermin kehidupan
situasi sosial pengarang, dan sastra mengandung peristiwa sejarah dan sosial
budaya suatu masyarakat.
Untuk kajiannya sendiri, sosiologi
sastra dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok, sebagaimana yang
diklasifikasikan oleh Ian Watt (dalam Endraswara, 2011: 109) diantarannya
sebagai berikut:
1) Konteks
Sosial Sastrawan
Konteks sosial sastrawan atau pengarang.
Konteks sosial pengarang dapat dimaknai sebagai salah satu kajian sosiologi sastra
yang memfokuskan perhatian pada
pengarang sebagai pencipta karya sastra.
Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap
merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam
masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya dalamnmasyarakat, juga
hubungannya dengan pembaca.
Karya sastra sebagai lembaga masyarakat
yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi
pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam
memberikan nuasa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang
tersebut merangkum berbagai macam kondisi di mana pengarang memijakkan kaki,
entah itu kondisi politik, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena
itu, bahasa yang digunakan dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan
sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung
sifat evolusi sosial (Noor, 2011: 26)
Wellek dan Warren (1995: 111)
mengemukakan konteks sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang
dan institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi
sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideology pengarang yang
terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra sosiologi karya
sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat
dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial dan
sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial,
perubahan dan perkembangan sosial. Dengan fokus agak berbeda, Ian Watt (dalam
Damono, 1984: 25), merumuskan wilayah kajian sosiologi sastra yang berorientasi
pada pengarang, yaitu pada posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca.
Inti dari sosiologi pengarang adalah
memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya
sastra (Wellek dan Warren, 1995: 112). Oleh karena itu, pemahaman terhadap
pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial karya sastra
dengan masyarakat tempat pengarang bermasyarakat, dengan memahami budaya tempat
hidup pengarang akan memudahkan kita untuk memahami kajian dari sosiologi
pengarang. Pengarang menjadi pusat perhatian, nilai sastra dikembalikan kepada
emosi dan keadaan jiwa pengarang. Pandangan hidup pengarang diperlukan untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara pola dasar pemikiran dengan hasil
ciptaanya, antara proses penciptaan dengan karya-karyanya (Sugihastuti, 2002:
3).
2) Sastra
sebagai Cermin Masyarakat
Sastra mencerminkan keadaan
masyarakatnya dalam hal ini, sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan
masyarakat. Konsep cermin di sini menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya
sering disalah tafsirkan dan disalah gunakan, karena masyarakat yang sebenarnya
tidak sama dengan masyarakat yang digambarkan dalam sastra karena adanya
intervensi pandangan dunia pengarang (Kurniawan, 2011: 11).
Sastra sebagai cermin masyarakat harus
mendapat perhatian adalah: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat lain dari yang lain‖
seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering merupakan
sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat,
(4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermatcermatnya mungkin
saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat (Faruk, 2012:
5). Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya
sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan social sastrawan
harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
Hubungan sastra dengan masyarakat juga
disampaikan oleh Wellek dan Warren (1995: 109), “Sastra adalah instituisi
sosial yang memakai medim bahasa. Teknikteknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra merupakan konvensi
dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajukan kehidupan‖, dan
kehidupan‖sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.”
Aspek-aspek sosiologis yang terpantul
dalam sastra, dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: (a) konsep stabilitas
sosial, (b) konsep kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana seorang
individu menerima individu lain dalam kolektifnya, (d) bagaimana proses
masyarakat dapat berubah secara bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar
masyarakat. Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya masih dapat diperluas lagi
menjadi berbagai refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia
dan seluk beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c)
bagaimana cita-cita untuk mengubahdunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan
politik, (e) konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
3) Fungsi
Sosial Sastra
Dalam hal ini, kita terlibat dalam sejumlah
pertayaan-pertayaan seperti (1) sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial, (2) seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial,
(3) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan antara (1) dan (2) di atas
(Faruk, 2012: 7). Dalam hal ini, sastra dipersepsi sebagai karya kanonik yang
berfungsi sebagai pembaharu dan perombak atau sastra harus mengajarkan suatu
nilai dengan cara menghibur. Muaranya adalah sastra dipengaruhi oleh nilai
sosial, sastra juga mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat, sehingga
sastra memiliki fungsi sosial, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan
sosial (Kurniawan, 2011: 11).
Karya sastra tidak dapat dipahami secara
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang
telah menghasilkan. Sastra harus dipelajari dengan konteks seluas-luasnya dan
tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh
timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya
sastra itu sendiri sebagai objek budaya yang rumit.
Setiap karya sastra bisa bertahan lama
pada hakikatnya adalah menumental, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan
sumbernya maupun hubungannya dengan orang-orang. Karya sastra bukan merupakan
moral dalam konsep yang sempit, melainkan dalam pengertian yang yang melibatkan
kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian
sastra adalah gambaran system moral masyarakat (Endraswara, 2011: 110).
Berdasarkan
penjelasan di atas, disimpulkan bahwa sasaran sosiologi sastra adalah meneliti
teks sastra dengan kondisi pengaran, sosial budaya masyarakat dan tanggapan
pembaca. Kondisi pengarang mengkaji latar belakang pengarang, baik pendidikan,
cara pandang hidup, dan lingkungannya. Latar sosial mengenai cermin masyarakat
dalam teks sastra. tanggapan pembaca membahas timbal balik dari pembaca terhadap
karya sastra. karya sastra lahir mau tidak mau akan dibaca dan ditangapi eksistensinya
sebagai wujud apresiasi pembaca.
Kak boleh minta referensi buku nya?
ReplyDelete