a.
Keterampilan
Menulis
Keterampilan yaitu kecakapan untuk
menyelesaikan tugas (KBBI, 93: 935). Jadi, keterampilan menulis yaitu kecakapan
dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas menulis. Keterampilan menulis ialah
suatu kepandaian seseorang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang
disampaikan melalui bahasa tulis, yang realisasinya berupa simbol-simbol grafis
sehingga orang lain yaitu pembaca, mampu memahami pesan yang terkandung di dalamnya.
Agar bisa terampil dalam menulis,
seorang penulis harus menguasai aspekaspek kebahasaan khususnya aspek bahasa
tulis. Bahasa tulis harus memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam bahasa
baku. Demi kejelasan makna, susunan kalimat dapat menjadi panjang. Sifatnya
terikat, terutama oleh tata bahasa dan diksi dengan tidak menimbulkan keraguan
dalam memahami isi
dan menarik kesimpulan.
Bahasa tulis harus lebih
memperhatikan peraturanperaturan mengenai sistematika penyusunan kalimat dan
penempatan paragrafparagraf yang mendukung gagasan pokok, gagasan penunjang,
dan pelengkap maupun gagasan tambahan-tambahan yang lain (Hastuti, 2003: 84).
Terampil menggunakan bahasa merupakan
tujuan terpenting dalam kegiatan bahasa. Keterampilan berbahasa meliputi
keterampilan menyimak, keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan
keterampilan menulis. Penelitian ini berupaya menganalisis bidang keterampilan
menulis karangan. Kegiatan menulis merupakan bentuk atau wujud kemampuan dari
keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah menyimak,
berbicara, dan membaca (Nurgiyantoro dalam Supraba, 2008: 10).
Kemampuan menulis lebih sulit
dikuasai dibandingkan dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain, bahkan oleh
penutur ahli bahasa yang bersangkutan. Hal ini karena dalam kemampuan menulis
perlu menguasai berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri
yang menjadi isi karangan Menulis atau bahasa tulis semakin lama semakin terasa
penting. Dalam dunia modern ini, kita tidak dapat mengikuti arus kehidupan
sehari-hari tanpa adanya tulisan atau bahasa tulis. Dalam dunia pendidikan,
perdagangan, bisnis perusahaan, dan profesi yang lain, keberhasilannya
berhubungan dengan keterampilan menulis sebagai syarat untuk masuk dalam bidang
tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa menulis adalah
suatu alat yang sangat efektif dalam belajar dan penting dalam dunia
pendidikan.
b.
Pengertian
Karangan
Dalam pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di sekolah-sekolah baik sekolah negeri maupun swasta, siswa
seringkali mendapatkan tugas mengarang. Dalam menulis sebuah karangan tentu
saja siswa harus mengetahui pengertian karangan dan bagaimana cara menulis
sebuah karangan yang baik. Karangan merupakan media bagi ekspresi diri setiap
orang. Mengarang merupakan salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan menulis.
Selain itu, mengarang juga sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang
sangat penting dalam mendukung komunikasi karena merupakan perwujudan bentuk komunikasi
secara tidak langsung atau komunikasi tertulis.
Perkembangan media dalam komunikasi
masa (radio, televisi, kaset), menjadikan tulisan atau karangan bukannya
semakin mundur tetapi justru semakin bertambah maju. Oleh karena itu, studi dan
praktik menulis atau mengarang tetap merupakan bagian penting dalam kurikulum
sekolah dan menjadi bagian utama dalam pendidikan dan pengajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Seperti yang telah dibahas di atas,
mengarang adalah suatu proses kegiatan pikiran manusia yang hendak
mengungkapkan kandungan jiwanya kepada orang lain atau kepada diri sendiri
dalam bentuk tulisan. Mengarang dapat dipahami sebagai keseluruhan rangkaian
kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui
bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami dengan tepat seperti yang
dimaksudkan oleh pengarang; sedangkan hasil dari kegiatan mengarang biasa
disebut dengan karangan (Widyamartaya dalam Musrifah, 1999: 3).
Karangan merupakan rangkaian
kata-kata atau kalimat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1993:
390), karangan adalah hasil mengarang: tulisan, cerita, artikel, buah pena.
Karangan yaitu setiap tulisan yang diorganisasikan yang mengandung isi dan
ditulis untuk suatu tujuan tertentu biasanya berupa tugas di kelas. Istilah
tersebut sering dipakai untuk tugas menulis dalam pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai suatu proses sadar diri yang menuntut kita membuat keputusan
tentang apa yang akan dikatakan, bagaimana mengorganisasi ide, dan bagaimana
mengembangkan ide serta kata-kata yang akan kita pakai. Karangan adalah hasil
perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat dibaca dan dimengerti
oleh pembaca (Gie dalam Musrifah,1999: 14). Selain pengertian itu, karangan
adalah bahasa tulis yang merupakan rangkaian kata demi kata sehingga menjadi
sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi sebuah wacana yang dapat dibaca
dan dipahami (Keraf, 2010: 19-22).
Jadi, karangan yaitu hasil
perwujudan ide, gagasan dan pikiran manusia yang tersusun dari rangkaian kata
demi kata yang membentuk sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi wacana
yang mempunyai tujuan tertentu sehingga dapat dibaca dan dipahami maksudnya
oleh pembaca. Dengan demikian untuk membuat karangan yang baik, tentu saja
seseorang dituntut memiliki dan menguasai perbendaharaan kata dengan baik.
c.
Fungsi,
Tujuan, dan Manfaat Karangan
Fungsi utama karangan yaitu sebagai
sarana komunikasi secara tidak langsung. Bagi seorang siswa, kegiatan mengarang
berfungsi sebagai sarana untuk berfikir dan belajar. Dengan mengarang siswa
dapat mengungkapkan gagasan, ide, dan perasaannya kepada orang lain sehingga
kemampuan berpikirnya pun berkembang.
Mengarang mempunyai tujuan yaitu
dapat digunakan untuk meyakinkan, melaporkan, mencatat, dan mempengaruhi orang
lain. Tujuan mengarang yaitu: tujuan penugasan, tujuan altruistik, tujuan
persuasif, tujuan informasi, tujuan pernyataan diri, tujuan kreatif, dan tujuan
pemecahan masalah (Hugo dan Hartig dalam Supraba, 2008: 12). Semua tujuan itu
dapat diraih apabila seseorang dapat menyusun pikirannya dan mengutarakannya
dengan jelas. Mengarang sangat penting karena sebagai sarana untuk memunculkan sesuatu,
memunculkan ide baru, melatih mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep
atau ide yang dimiliki, melatih sikap objektif yang ada pada diri seseorang,
membantu untuk menyerap dan memproses informasi, memungkinkan seseorang untuk
berlatih memecahkan beberapa masalah sekaligus, dan memungkinkan diri untuk
menjadi aktif dan tidak hanya sebagai penerima informasi (Haigston dalam
Supraba, 2008: 12).
Keuntungan lain yang dapat dipetik dari
mengarang antara lain (1) dapat mengenali kemampuan dan potensi diri, (2) mengembangkan
beberapa gagasan, (3) memperluas wawasan, (4) mengorganisasikan gagasan secara
sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat, (5) dapat meninjau serta
menilai gagasan sendiri secara lebih objektif, (6) lebih mudah memecahkan
permasalahan, (7) mendorong diri belajar secara aktif, (8) membiasakan diri
berpikir dan berbahasa secara tertib (Akhadiah dalam Supraba, 2008 : 13).
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan dalam
kegiatan mengarang sangatlah banyak. Kegiatan mengarang perlu dilatihkan secara
terus-menerus agar seseorang lancar dan benar dalam membuat karangan. Oleh
karena itu, mengembangkan latihan mengarang merupakan pengalaman produktif yang
berharga bagi siswa.
d.
Ciri-ciri
Karangan yang Baik
Menulis sebuah karangan bukan suatu
pekerjaan yang mudah, melainkan suatu pekerjaan yang memerlukan waktu untuk
latihan secara kontinyu atau terus-menerus. Sebuah tulisan yang baik apabila
tulisan yang dikomunikasikan sesuai dengan tujuan dan situasi berbahasa,
sedangkan tulisan dikatakan benar apabila sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Menulis sebuah karangan yang baik memerlukan penguasaan beberapa keterampilan
dalam menyusun kalimat dan memilih kata-kata yang tepat sehingga hubungan antar
kata jelas, hubungan antar penulis dan pembaca menjadi lebih mudah terjalin.
Dalam mengarang diperlukan pula kemahiran dalam memakai mekanisme karangan
seperti tanda-tanda baca, huruf kapital, ejaan dan catatan kaki.
Karangan yang baik adalah karangan
yang dapat dikomunikasikan secara efektif dengan pembaca yang ditujukan oleh
karangan itu. Karangan yang baik memiliki ciri-ciri bermakna jelas, merupakan
kesatuan yang bulat, singkat dan padat, mempunyai kaidah kebahasaan dan
komunikatif. Darmadi (dalam Supraba, 2008: 11) menyatakan bahwa ciri-ciri
karangan yang baik adalah signifikan, jelas, mempunyai kesatuan dan
mengorganisasikan yang baik, ekonomis, mempunyai pengembangan yang memadai,
menggunakan bahasa yang dapat diterima dan mempunyai kekuatan. Dengan demikian,
fungsi dan tujuan karangan dapat terlaksana.
e.
Jenis-jenis
Karangan
Berdasarkan tujuan penulisan secara
tradisional dikenal empat jenis karangan, yaitu: eksposisi (paparan), deskripsi
(lukisan), narasi (cerita), dan argumentasi (Sirait, dkk dalam Supraba, 2008:
12). Menurut Keraf (2010: 19), bentuk karangan dibedakan menjadi empat, yaitu:
eksposisi, argumentasi, deskripsi, dan narasi.
Menurut Hastuti, dkk (1993: 107)
karangan dibedakan menjadi lima jenis yaitu (1) narasi, (2) deskripsi, (3)
eksposisi, (4) argumentasi, (5) persuasi. Berikut penjelasan jenis-jenis
karangan yang telah disebutkan.
1) Narasi
adalah uraian yang menceritakan atau mengisahkan sesuatu atau serangkaian
kejadian, tindakan, keadaan secara berurutan dari permulaan sampai akhir dan
terlihat rangkaian hubungan satu sama lain sehingga pembaca merasakan
seolah-olah ia sendirilah yang mengalami peristiwa tersebut. Bahasanya berupa
paparan dan gayanya bersifat naratif. Contoh jenis karangan ini adalah
biografi, kisah, roman, cerpen, dan novel.
2) Deskripsi
yaitu sebuah karangan atau uraian yang berusaha menggambarkan suatu masalah
yang seolah-olah masalah tersebut berada di depan mata pembaca secara konkret.
Contoh karangan ini antara lain seperti karangan tentang peristiwa runtuhnya
suatu gedung yang dilengkapi dengan gambaran lahiriah gedung itu, letak gedung,
sebab-sebab keruntuhan gedung, arsitektur gedung, bagian gedung yang runtuh,
dan sebagainya.
3) Eksposisi
yaitu suatu karangan yang menjelaskan pokok masalah yang disertai dengan
fakta-fakta dan penjelasannya. Tujuannya agar pembaca memperluas pamahaman dan
pengetahuan pembaca terhadap masalah yang diungkapkan. Contoh karangan jenis
ini adalah artikel-artikel dalam surat kabar, majalah, dan tulisan-tulisan
ilmiah.
4) Argumentasi
adalah karangan yang berisi pendapat atau gagasan mengenai suatu hal yang
disertai dengan pembuktian-pembuktian sehingga pendapat itu dapat diterima
kebenarannya (masuk akal) oleh pembaca. Argumentasi berusaha mengubah dan
mempengaruhi sikap pembaca. Ciri-ciri karangan argumentasi yaitu mengandung
kebenaran dan fakta yang kuat, menggunakan bahasa denotatif, analisis rasional,
alasan kuat, dan bertujuan supaya pembaca menerima pendapat penulis. Contoh
jenis karangan ini antara lain kampanye pemilihan umum, tulisan tentang alasan
pengangkatan atau pemberhentian seseorang, dan lain-lain.
5) Persuasi
yaitu jenis karangan yang berisi tujuan untuk membujuk, merayu, atau mengajak
pembaca agar mengikuti hal-hal yang dikehendaki penulis. Contoh karangan ini
adalah tulisan tentang penawaran produk obat, kosmetik, alat-alat elektronik,
dan sebagainya.
f.
Tinjauan
Umum Narasi
Penelitian ini memilih karangan
narasi karena peneliti ingin mengetahui apakah dalam karangan ini banyak
memunculkan data bentuk kesalahan sintaksis ataukah sebaliknya. Selain itu,
jenis karangan ini menuntut penulis menceritakan serangkaian kejadian secara
berurutan dari awal sampai akhir sehingga terlihat rangkaian hubungan satu sama
lain. Sasaran utama karangan narasi adalah tindakan-tindakan yang dijalin dan
dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu waktu. Dalam
karangan narasi, digambarkan dengan sejelas-jelasnya sebuah peristiwa yang
terjadi kepada pembaca. Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha
mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa seolah-olah pembaca melihat atau
mengalami sendiri peristiwa itu (Keraf, 2003: 135- 136).
Oleh karena itu, unsur yang paling
penting pada sebuah karangan narasi yaitu unsur rangkaian waktu. Narasi
mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu. Narasi
adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya
kepada pembaca mengenai suatu peristiwa yang telah terjadi. Pengertian tersebut
menegaskan bahwa narasi berusaha untuk menjawab apa yang telah terjadi.
Narasi merupakan bentuk karya tulis
yang umum dijumpai. Menarasikan berarti menceritakan atau mengisahkan (Dawud,
dkk, 2004: 185). Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi.
Namun, narasi juga bisa ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis,
pengamatan, dan wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa
yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan
narasi selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa
yang diceritakan.
Dengan kata lain, narasi adalah
bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, merangkaikan tindak-tanduk
perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau yang
berlangsung urut dalam suatu kesatuan waktu.
Melalui narasi, penulis memberitahu
orang lain dengan sebuah cerita. Narasi sering diartikan juga dengan cerita.
Sebuah cerita adalah sebuah penulisan yang mempunyai karakter, setting, waktu,
masalah, dan mencoba untuk memecahkan masalah serta memberikan solusi dari
masalah itu. Unsur yang paling penting dalam sebuah narasi adalah unsur
perbuatan atau tindakan. Cerita atau
kisah yang diketengahkan dalam narasi bisa berupa kisah fiktif atau kisah
imajinatif (novel, cerpen, cerbung), dan kisah faktual atau kisah nyata (teks
berita dalam koran atau majalah tentang suatu peristiwa faktual).
Narasi dibagi menjadi dua yaitu
narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris bertujuan untuk
memberikan informasi kepada pembaca agar pengetahuannya bertambah luas. Narasi
sugestif disusun dan disajikan dengan berbagai macam bentuk sehingga
menimbulkan daya khayal bagi pembaca dengan tujuan menyampaikan sebuah makna
kepada pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Contoh narasi ekspositoris
adalah biografi, autobiografi, atau kisah pengalaman sedangkan contoh narasi
sugestif adalah novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam. Adapun perbedaan antara
narasi ekspositoris dan narasi sugestif dapat dilihat dalam tabel 1 berikut
ini.
Tabel
1. Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif
Narasi
Ekspositoris
|
Narasi
Sugestif
|
1.
Memperluas
pengetahuan
2.
Menyampaikan
informasi suatu kejadian
3.
Didasarkan pada
penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional
4.
Bahasa yang digunakan
adalah bahasa informatif dengan kata-kata yang bermakna denotatif
|
1.
Bahasa yang digunakan
adalah bahasa informatif dengan kata-kata yang bermakna denotatif
2.
Menyampaikan suatu
makna atau amanat yang tersirat
3.
Menimbulkan daya
khayal
4.
Penalaran hanya
berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu
penalaran dapat dilanggar
5.
Bahasa yang digunakan
adalah bahasa figuratif dengan kata-kata yang bermakna konotatif
|
Narasi ekspositoris bertujuan untuk
menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi
ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian dan perbuatan dalam rangkaian
waktu yang bertujuan untuk menyampaikan informasi, memperluas pengetahuan, dan
menggugah pikiran pembaca.
Narasi ekspositoris adalah narasi
yang memiliki sasaran penyampaian informasi secara tepat tentang suatu
peristiwa dengan tujuan memperluas pengetahuan orang tentang kisah seseorang.
Dalam narasi ekspositoris, penulis menceritakan suatu peristiwa berdasarkan
data yang sebenarnya. Pelaku yang ditonjolkan biasanya satu orang. Pelaku
diceritakan mulai dari kecil sampai saat ini sampai saat terakhir dalam
kehidupannya. Karangan narasi ini diwarnai oleh eksposisi, maka ketentuan
eksposisi juga berlaku pada penulisan narasi ekspositoris. Ketentuan ini
berkaitan dengan penggunaan bahasa yang logis, berdasarkan fakta yang ada,
tidak memasukkan unsur sugestif atau bersifat objektif. Sifat narasi
ekspositoris dapat dibagi menjadi dua yaitu bersifat khas atau khusus dan
bersifat generalisasi (Keraf, 2003: 137).
Narasi ekspositoris bersifat khusus
berusaha menceritakan suatu peristiwa tertentu yang hanya terjadi satu kali.
Peristiwa yang khas atau khusus tidak dapat diulang kembali karena ia merupakan
pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja. Narasi ekspositoris
generalisasi berusaha menyampaikan suatu proses umum yang dapat dilakukan siapa
saja, dan dapat pula dilakukan berulang-ulang sehingga seseorang dapat
memperoleh kemahiran yang tinggi tentang hal itu.
2. Kesalahan Berbahasa
a. Pengertian Kesalahan
Berbahasa
Sebelum membahas tentang analisis
kesalahan sintaksis, terlebih dahulu harus mengetahui arti kesalahan
tersendiri. Menurut KBBI (1993: 771), kesalahan yaitu kekeliruan; kealpaan.
Hastuti (2003: 79) memberikan kejelasan bahwa yang disebut kesalahan
dideskripsikan sebagai ‘bukan kesalahan’. Pendeskripsian itu sebagai berikut:
1) Penyebutan
‘kesalahan’ lebih dideskripsikan sebagai sebuah ‘gelincir’; yaitu suatu tindakan
yang kurang disertai sikap berhati-hati. Ini disebabkan oleh sifat terburu-buru
ingin sampai pada tujuan. Kesalahan seperti itu dimungkinkan disebabkan oleh
sejumlah faktor ekstra linguistik, semacam kegagalan ingatan, emosi yang
meningkat, kelelahan mental atau fisik, atau kegemaran mabuk. Karakteristik gelincir
seperti ditandai bahwa pemakai bahasa pada saat itu menyadari kegelinciran dan
ia dapat juga mengoreksi diri tanpa bantuan eksternal.
2) Dalam
bahasa Indonesia ditemui beberapa kata (diksi) yang artinya bernuansa dengan
segala kesalahan. Di samping kesalahan ada penyimpangan; ada pula pelanggaran
dan kekhilafan. Keempat kata yang bernuansa artinya, dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
a)
Untuk memberi kejelasan
arti, kata ‘salah’ dilawankan dengan ‘betul’; maksudnya apa yang dilakukan
(kalau ia salah) tidak betul, tidak menurut norma, tidak menurut aturan yang
ditentukan. Hal ini mungkin disebabkan, ia belum tahu atau ia tidak tahu bahwa
ada norma; kemungkinan yang lain ia khilaf. Kalau kesalahan ini dihubungkan
dengan penggunaan kata, ia tidak tahu kata apa yang setepat-tepatnya dipakai.
b)
‘Penyimpangan’ dapat
diartikan menyimpang dari norma yang telah ditetapkan. Ia menyimpang karena
tidak mau, enggan, malas, mengikuti norma yang ada. Ia tahu benar bahwa ada
norma, tetapi dengan acuh tak acuh ia mencari norma lain yang dianggap lebih sesuai
dengan konsepnya. Kemungkinan lain penyimpangan disebabkan oleh keinginan yang
kuat yang tak dapat dihindari karena satu dan lain hal. Sikap berbahasa ini
cenderung menuju ke pembentukan kata, istilah, slang, mungkin jargon dan
prokem.
c)
‘Pelanggaran’ memberi
kesan negatif karena pemakai bahasa dengan penuh kesadaran tidak mau menurut
norma yang telah ditentukan, sekalipun ia yakin bahwa apa yang dilakukan akan berakibat
tidak baik. Sikap tidak disiplin terhadap media yang digunakan acap kali tidak
mampu menyampaikan pesan dengan tepat. Akibat selanjutnya hambatan interaksi
persona tidak lancar. Ia terkucil dan mungkin juga akan berada di atas menara
gading. Akan tetapi, masalah kedwibahasaan yang terlibat dalam kasus itu, menjadi
berbeda masalahnya. Oleh karena itu, peristiwa kedwibahasaan adalah peristiwa
yang wajar terjadi pada setiap pemakai bahasa.
d)
‘Kekhilafan’ adalah
proses psikologi yang dalam hal ini menandai seseorang khilaf menerapkan teori
atau norma bahasa yang ada pada dirinya. Khilaf mengakibatkan sikap keliru
pakai. Tidak salah semata, tidak tepat benar. Kekhilafan dapat diartikan kekeliruan.
Kemungkinan salah ucap, salah susun karena kurang cermat.
Beberapa contoh penggunaan bahasa
dalam ruang lingkup kesalahan.
a) Untuk
memberantas hama tikus menggunakan alat
tangkap atau bubuk mati hewan (salah).
b) Untuk
memberantas hama tikus digunakan alat tangkap
atau bubuk mati hewan (betul).
c) Banyak
anak-anak membaca buku komik (menyimpang – salah).
d) Banyak
anak membaca buku komik (tepat).
e) Ia
mau berdatangan dalam pertemuan itu (melanggar – salah).
f) Ia
mau datang dalam pertemuan itu (benar).
g) Di
mana ada uang ingin aku memperbaiki rumahku
(khilaf – salah).
h) Jika
ada uang ingin aku memperbaiki rumahku (mengena).
Begitu juga dengan Nurgiyantoro (Musrifah,
1999: 15) yang memberikan pengertian mengenai kesalahan dan kekeliruan sebagai
berikut. Kesalahan (error) merupakan penyimpangan yang disebabkan
kompetensi belajar, kesalahan-kesalahan itu biasanya bersifat sistematis dan
konsisten pada tempattempat tertentu. Kekeliruan (mistake) merupakan
penyimpangan-penyimpangan pemakaian kebahasaan yang sifatnya hanya insidental,
tidak sistematis, tidak terjadi pada daerah-daerah tertentu.
Pendapat tersebut senada dengan
yang dikemukakan Corder (Tarigan, 1987: 169) yang membedakan kesalahan menjadi
dua yaitu lapses dan error. Lapses yaitu kesalahan atau
penyimpangan yang terdapat dalam kalimat yang merupakan akibat dari pembatasan-pembatasan
pemrosesan ketimbang kurangnya kompetensi. Error yaitu kesalahan atau
penyimpangan yang terdapat dalam kalimat yang merupakan akibat kurangnya kompetensi.
Menurut Samsuri (Musrifah, 1999: 15), kekeliruan dalam pemakaian bahasa
Indonesia yang disebabkan oleh ketidaktahuan si pemakai adalah termasuk
kesalahan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesalahan
adalah penyimpangan, pelanggaran,
dan kekeliruan (kekhilafan) terhadap suatu
kaidah, norma atau aturan yang
telah ditentukan. Berdasarkan beberapa batasan di atas, yaitu batasan yang
dikemukakan Hastuti (2003: 80), dan batasan yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro
serta Corder, istilah kesalahan adalah yang paling cocok dipakai dalam
menganalisis kesalahan berbahasa.
Kata menyimpang, melanggar, dan
khilaf/ keliru merupakan istilah lain dalam kesalahan berbahasa. Apabila
pemakai bahasa melakukan penyimpangan, pelanggaran, dan pengkhilafan dalam
berbahasa sudah pasti termasuk kesalahan berbahasa. Karakteristik yang penting
pada kesalahankesalahan dan semacamnya itu ialah bahwa pemakai bahasa ketika
itu juga menjadi sadar akan kesalahan yang dibuatnya dan dapat mengoreksi
dirinya sendiri tanpa bantuan eksternal (Hastuti, 2003: 80).
Kesalahan bisa saja terjadi pada
semua tataran linguistik baik fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik.
Hastuti (2003: 84) menyebutkan bahwa ada empat jenis kesalahan yaitu: (1)
kesalahan leksikon, (2) kesalahan sintaksis, (3) kesalahan morfologi, dan (4)
kesalahan ortografi. Berbagai kesalahan kebahasaan ini menjadi perhatian khusus
bagi para pengkaji bahasa sehingga menimbulkan maraknya kajian di bidang
kebahasaan. Kesalahan berbahasa mempunyai dua ukuran yaitu: (1) Berkaitan
dengan faktor-faktor penentu dalam komunikasi.
Faktorfaktor penentu dalam
komunikasi itu adalah: siapa yang berbahasa dengan siapa, untuk tujuan apa,
dalam situasi apa (tempat dan waktu), dalam konteks apa (peserta lain,
kebudayaan, dan suasana), dengan jalur apa (lisan atau tulisan), dengan media
apa (tatap muka, telepon, surat, kawat, buku, koran, dan sebagainya), dalam
peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, lamaran kerja, pernyataan
cinta, dan sebagainya), dan; (2) Berkaitan dengan aturan atau kaidah kebahasaan
yang dikenal dengan istilah tatabahasa (Setyawati, 2010: 14-15).
Penggunaan bahasa yang tidak sesuai
dengan faktor-faktor penentu berkomukasi atau penggunaan bahasa yang tidak
sesuai dengan norma kemasyarakatan bukanlah berbahasa Indonesia dengan baik.
Berbahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah atau aturan tata bahasa
Indonesia bukanlah berbahasa Indonesia dengan benar. Jadi, kesalahan berbahasa
adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tetulis yang menyimpang dari
faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan
dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia.
b.
Penyebab
Kesalahan Berbahasa
Penyebab utama kesalahan berbahasa
ada pada orang yang menggunakan bahasa yang bersangkutan bukan pada bahasa yang
digunakannya. Menurut Setyawati (2010: 15) ada tiga kemungkinan seseorang dapat
salah dalam berbahasa, antara lain sebagai berikut.
1) Terpengaruh
bahasa yang lebih dahulu dikuasainya. Ini dapat berarti bahwa kesalahan
berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa pertama (B1)
terhadap bahasa kedua (B2) yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa). Dengan
kata lain sumber kesalahan terletak pada perbedaan sistem linguistik B1 dengan
sistem linguistik B2.
2) Kekurangpahaman
pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya. Kesalahan yang merefleksikan
ciri-ciri umum kaidah bahasa yang dipelajari. Dengan kata lain, salah atau
keliru menerapkan kaidah bahasa. Misalnya: kesalahan generalisasi, aplikasi
kaidah bahasa yang tidak sempurna, dan kegagalan mempelajari kondisi-kondisi
penerapan kaidah bahasa. Kesalahan seperti ini sering disebut dengan istilah
kesalahan intrabahasa (intralingual error). Kesalahan ini disebabkan
oleh: (a) penyamarataan berlebihan, (b) ketidaktahuan pembatasan kaidah, (c) penerapan
kaidah yang tidak sempurna, dan (d) salah menghipotesiskan konsep.
3) Pengajaran
bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Hal ini berkaitan dengan bahan
yang diajarkan atau dilatihkan dan cara pelaksanaan pengajaran. Bahan
pengajaran menyangkut masalah sumber, pemilihan, penyusunan, pengurutan, dan
penekanan. Cara pengajaran menyangkut masalah pemilihan teknik penyajian,
langkah-langkah dan urutan penyajian, intensitas dan kesinambungan pengajaran,
dan alat-alat bantu dalam pengajaran.
c.
Pengertian
Analisis Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa dianggap
sebagai bagian dari proses belajar-mengajar, baik belajar secara formal, maupun
secara tidak formal. Pengalaman guru di lapangan menunjukkan bahwa kesalahan
berbahasa itu tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari B2, tetapi juga
oleh siswa yang mempelajari B1. Siswa yang mempelajari bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris sering membuat kesalahan baik secara lisan maupun tulis.
Siswa SD yang mempelajari bahasa
ibu bahasa Batak, bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bugis, dan
bahasa daerah lainnya sering membuat kesalahan bahasa dalam proses
belajar-mengajar bahasa Batak, bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa, atau
bahasa daerah lainnya. Kesalahan berbahasa yang terjadi atau dilakukan oleh
siswa dalam suatu proses belajar-mengajar mengimplikasikan tujuan pengajaran
bahasa belum tercapai secara maksimal. Semakin tinggi kuantitas kesalahan
berbahasa itu, semakin sedikit tujuan pengajaran bahasa yang tercapai.
Kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa harus dikurangi sampai batas
minimal bahkan diusahakan dihilangkan sama sekali. Hal ini dapat tercapai jika
guru pengajar bahasa telah mengkaji secara mendalam segala aspek kesalahan
berbahasa itu.
Dalam KBBI (1993: 32), analisis
adalah (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb)
untuk mengetahui keadaan yang sebenarbenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya,
dan sebagainya); (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar-bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Menurut Pateda (via
Musrifah, 1999: 16), analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk
megidentifikasikan, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan secara
sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh si terdidik yang sedang belajar
bahasa asing atau bahasa kedua.
Menurut Setyawati (2010: 18),
analisis kesalahan berbahasa adalah prosedur kerja yang biasa digunakan oleh
peneliti atau guru bahasa yang meliputi: kegiatan mengumpulkan sampel
kesalahan, mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan
kesalahan tersebut, mengklasifikasi kesalahan tersebut, dan mengevaluasi taraf
keseriusan kesalahan itu.
Berdasarkan beberapa pendapat yang
dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis kesalahan berbahasa
yaitu penyelidikan terhadap suatu hal (karangan, peristiwa, dan sebagainya)
sebagai teknik untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan
menginterpretasikan secara urut dan sistematis kesalahan kaidah yang telah
ditentukan dalam tataran ilmu kebahasaan (linguistik).
d.
Klasifikasi
Kesalahan Berbahasa
Menurut Tarigan (1997: 48-49),
kesalahan berbahasa dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1) Berdasarkan
tataran linguistik, kesalahan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi: kesalahan
berbahasa di bidang fonologi, morfologi, sintaksis (frasa, klausa, kalimat),
semantik, dan wacana.
2) Berdasarkan
kegiatan berbahasa atau keterampilan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi
kesalahan berbahasa dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
3) Berdasarkan
sarana atau jenis bahasa yang digunakan dapat berwujud kesalahan berbahasa
secara lisan dan secara tertulis.
4) Berdasarkan
penyebab kesalahan tersebut terjadi dapat diklasifikasikan menjadi kesalahan
berbahasa karena pengajaran dan kesalahan berbahasa karena interferensi.
5) Kesalahan
berbahasa berdasarkan frekuensi terjadinya dapat diklasifikasikan atas
kesalahan berbahasa yang paling sering, sering, sedang, kurang, dan jarang
terjadi.
e.
Pengertian
Kesalahan Sintaksis
Sebuah kalimat semestinya harus
mendukung suatu gagasan atau ide. Susunan kalimat yang sistematis menunjukkan
cara berpikir yang teratur. Agar gagasan atau ide mudah dipahami pembaca,
fungsi sintaksis yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan harus
tampak jelas. Kelima fungsi sintaksis itu tidak selalu hadir secara
bersama-sama dalam sebuah kalimat. Unsur-unsur sebuah kalimat harus
dieksplisitkan dan dirakit secara logis dan masuk akal (Setyawati, 2010: 75).
Dalam penelitian ini khususnya akan
dibahas mengenai kesalahan sintaksis. Sintaksis adalah cabang linguistik
tentang susunan kalimat dan bagian-bagiannya atau ilmu tata kalimat (Setyawati,
2010: 75). Suhardi (2003: 15) mendefinisikan sintaksis sebagai cabang ilmu
bahasa yang membicarakan seluk-beluk konstruksi sintaksis yang berupa frasa,
klausa, dan kalimat. Sintaksis berkaitan erat dengan morfologi yang
membicarakan seluk-beluk kata dan morfem. Kesalahan dalam tataran sintaksis
berhubungan erat dengan kesalahan pada bidang morfologi, karena kalimat berunsurkan
kata-kata. Kesalahan sintaksis berdasarkan beberapa pengertian di atas adalah
kesalahan, penyimpangan, pelanggaran, kekhilafan terhadap suatu kaidah yang
ditentukan dalam tataran sintaksis (ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk
frasa, klausa, kalimat atau pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata
atau dengan satuan-satuan yang
satuan-satuan yang lebih besar itu
dalam bahasa yang mempunyai satuan terkecil
yaitu kata).
Kesalahan dalam tataran sintaksis
antara lain berupa: kesalahan dalam bidang frasa dan kesalahan dalam bidang
kalimat (Setyawati, 2010: 75). Klausa dapat berpotensi menjadi sebuah kalimat
jika intonasinya final. Kesalahan dalam
bidang klausa tidak dibicarakan
tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat dalam kesalahan di bidang kalimat.
f.
Bentuk
Kesalahan Sintaksis
1) Kesalahan
Penggunaan Frasa
Kesalahan berbahasa dalam bidang
frasa sering dijumpai pada bahasa lisan maupun bahasa tulis. Artinya, kesalahan
berbahasa dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun
kegiatan menulis. Kesalahan berbahasa dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh
berbagai hal, di antaranya: (a) adanya pengaruh bahasa daerah, (b) penggunaan
preposisi yang tidak tepat, (c) kesalahan susunan kata, (d) penggunaan unsur
berlebihan atau mubazir, (e) penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan, (f)
penjamakan yang ganda, (g) penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat
(Setyawati, 2010: 76). Berikut penjelasan dari
kesalahan penggunaan frasa
berdasarkan penyebab terjadinya.
a) Adanya
Pengaruh Bahasa Daerah pada Diksi (Pemilihan Kata)
Situasi kedwibahasaan yang ada di
Indonesia, menimbulkan pengaruh yang besar dalam pemakaian bahasa. Ada
kecenderungan bahasa daerah merupakan B1, sedangkan bahasa Indonesia merupakan
B2 bagi pemakai bahasa. Tidak mengherankan jika hampir dalam setiap tataran
linguistik, pengaruh bahasa daerah dapat kita jumpai dalam pemakaian bahasa
Indonesia. Dengan kata lain, kesalahan berbahasa dalam tataran fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana sebagai akibat pengaruh bahasa
daerah dapat kita jumpai dalam bahasa Indonesia (Setyawati, 2010: 76). Hal
tersebut juga dapat diperhatikan dalam pemakaian frasa yang tidak tepat berikut
ini.
(1) Anak-anak
pada tidur di ruang tengah.
(2) Tunggu
sebentar kalau ingin makan, sayurnya belon mateng!
Dalam ragam baku, unsur-unsur yang
dicetak miring pada kalimat (1) dan (2) merupakan contoh pemakaian frasa yang
salah. Kesalahan itu disebabkan oleh pengaruh bahasa daerah. Berturut-turut
kedua frasa di atas sebaiknya diganti dengan sedang tidur dan belum
masak.
b) Ketidaktepatan
Penggunaan Preposisi
Sering dijumpai pemakaian preposisi
tertentu dalam frasa preposisional tidak tepat. Hal ini biasanya terjadi pada
frasa preposisional yang menyatakan tempat, waktu, dan tujuan. Perhatikan pemakaian
preposisi yang salah dalam kalimat berikut ini.
(1) Di
hari bahagia ini aku persembahkan sebuah lagu
untukmu.
(2)
Jika Pak Ali tidak
berada di rumah, surat itu bisa dititipkan ke istrinya.
Kata-kata yang dicetak miring pada
kedua kalimat di atas merupakan penggunaan preposisi yang tidak tepat. Pada
kalimat (1) lebih tepat menggunakan preposisi yang menyatakan waktu, yaitu pada;
dan pada kalimat (2) lebih tepat menggunakan preposisi yang menyatakan tujuan,
yaitu kepada.
c) Ketidaktepatan
Struktur Frasa (Susunan Kelompok Kata)
Salah satu akibat pengaruh bahasa
asing adalah kesalahan dalam susunan struktur frasa (kelompok kata). Perhatikan
contoh berikut ini.
(1) Ini
hari kita akan menyaksikan berbagai atraksi
yang dibawakan oleh putra kita.
(2) Kamu
sudah terima buku-buku itu?
Susunan kata-kata yang dicetak
miring pada kalimat (1) dan (2) tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia. Hal
tersebut berawal dari terjemahan harfiah dari bahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang berbeda tersebut
menyebabkan terjadi kesalahan berbahasa.
d) Penggunaan
Unsur Berlebihan
Sering dijumpai pemakaian kata-kata
yang mengandung makna yang sama (bersinonim) digunakan sekaligus dalam sebuah
kalimat. Perhatikan contoh berikut.
(1) Kita
pun juga harus berbuat baik kepada mereka.
(2) Penghijauan
hutan dimaksudkan agar supaya membantu mengatasi pemanasan global.
Kata-kata yang bercetak miring pada
kalimat-kalimat di atas bersinonim. Penggunaan dua kata yang bersinonim
sekaligus dalam sebuah kalimat dianggap mubazir karena tidak hemat. Oleh karena
itu, yang digunakan salah satu saja agar tidak mubazir.
e) Penggunaan
Bentuk Superlatif yang Berlebihan
Bentuk superlatif adalah suatu
bentuk yang mengandung arti ‘paling’ dalam suatu perbandingan. Bentuk yang
mengandung arti ‘paling’ itu dapat dihasilkan dengan suatu adjektiva ditambah
adverbial amat, sangat, sekali, atau paling. Jika ada dua
adverbia digunakan sekaligus dalam menjelaskan adjektiva pada sebuah kalimat,
terjadilah bentuk superlatif yang berlebihan. Perhatikan contoh di bawah ini.
(1) Pengalaman
itu sangat menyenangkan sekali.
(2) Penderitaan
yang dia alami amat sangat memilukan.
f) Penjamakan
Ganda (Kesalahan Penggunaan Bentuk Jamak)
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari
kadang-kadang orang salah menggunakan bentuk jamak dalam bahasa Indonesia,
sehingga menjadi bentuk yang rancu atau kacau. Menurut kaidah, bentuk jamak
bahasa Indonesia dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1)
Bentuk jamak dengan
melakukan pengulangan kata yang bersangkutan, seperti kuda-kuda, meja-meja,
buku-buku.
2)
Bentuk jamak dengan
menambahkan kata bilangan, seperti berbagai aturan, banyak penggemar,
beberapa meja, sekalian tamu, semua buku, dua tempat, sepuluh pensil.
3)
Bentuk jamak dengan
menambahkan kata bantu jamak, seperti para.
4)
Bentuk jamak terdapat
pula dalam kata ganti orang, seperti mereka, kami, kita, kalian.
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
orang cenderung memilih bentuk asing jamak dalam menyatakan tunggal dalam
bahasa Indonesia. Di bawah ini beberapa bentuk yang dalam bahasa asing terdapat
bentuk jamak dan terdapat bentuk tunggal (Arifin dan Hadi, 2009: 89).
Bentuk Tunggal Bentuk Jamak
Datum
data
Ruh arwah
Alumnus alumni
Unsur
anasir
Alim ulama
Muslim
muslimin
Kriterium kriteria
Dalam bahasa Indonesia diantara
bentuk datum dan data yang dianggap baku ialah data dan
dipakai dalam pengertian tunggal. Di antara alumnus dan alumni yang
dianggap baku ialah alumni dan dipakai dalam pengertian tunggal. Bentuk alim
dan ulama kedua-duanya dianggap baku dan masing-masing dipakai dalam
makna tunggal. Oleh sebab itu, tidak salah kalau ada bentuk beberapa data,
tiga alumni, para arwah, dan kriteria-kriteria. Kita sering
menemukan penjamakan yang ganda dalam pemakaian sehari-hari dan penjamakan
ganda itulah yang dimaksudkan dengan bentuk jamak yang rancu atau kacau. Perhatikan
contoh bentuk penjamakan ganda berikut ini.
(1) Para
dosen-dosen sedang mengikuti seminar.
(2) Banyak
buku-buku sudah dijual oleh Ali.
Dalam sebuah kalimat untuk penanda jamak
sebuah kata cukup menggunakan satu penanda saja; jika sudah terdapat penanda
jamak tidak perlu kata tersebut diulang atau jika sudah diulang tidak perlu
menggunakan penanda
jamak.
g) Ketidaktepatan
Penggunaan Bentuk Resiprokal
Bentuk resiprokal adalah bentuk
bahasa yang mengandung arti ‘berbalasan’. Bentuk resiprokal dapat dihasilkan
dengan cara menggunakan kata saling atau dengan kata ulang berimbuhan.
Akan tetapi jika ada bentuk yang berarti ‘berbalasan’ itu dengan cara
pengulangan kata, digunakan sekaligus dengan kata saling, akan terjadilah
bentuk resiprokal yang salah seperti kalimat berikut ini.
(1) Sesama
pengemudi dilarang saling dahulu-mendahului.
(2)
Dalam pertemuan itu
para mahasiswa dapat saling tukar-menukar informasi.
g.
Kesalahan Penggunaan
Struktur Kalimat
Kesalahan
berbahasa dalam bidang kalimat juga sering dijumpai pada bahasa lisan
maupun bahasa tulis. Artinya, kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat ini juga
sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis.
Menurut
Setyawati (2010: 84-102), kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat dapat
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: (a) kalimat yang tidak bersubjek, (b)
kalimat yang tidak berpredikat, (c) kalimat yang buntung (tidak
bersubjek dan tidak berpredikat), (d) penggandaan subjek, (e) antara
predikat dan objek yang tersisipi, (f) kalimat yang tidak logis, (g)
kalimat yang ambiguitas, (h) penghilangan konjungsi, (i) penggunaan
konjungsi yang berlebihan, (j) urutan kalimat yang tidak pararel, (k)
penggunaan istilah asing, dan (l) penggunaan kata tanya yang tidak perlu.
Berikut penjelasan dari kesalahan penggunaan kalimat berdasarkan penyebab
terjadinya.
1) Kalimat
yang Tidak Bersubjek
Kalimat itu paling sedikit harus
terdiri atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang
merupakan jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas
terdapat dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat verba aktif
transitif di depan subjek terdapat preposisi. Perhatikan contoh berikut.
a)
Dari pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa program KB belum dapat dianggap sebagai usaha yang
dapat memecahkan masalah penduduk.
b)
Untuk kegiatan
itu memerlukan biaya yang cukup banyak.
Subjek kalimat-kalimat di atas
tidak jelas atau kabur karena subjek kalimat aktif tersebut didahului preposisi
dari, untuk. Kata-kata lain yang sejenis dengan preposisi itu, yang
sering mengaburkan subjek adalah di, di dalam, dalam, bagi, dari,
dengan, sebagai, merupakan, kepada, dan pada. Perbaikan
kalimat-kalimat di atas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (a) jika ingin
tetap mempertahankan preposisi yang mendahului subjek, maka predikat diubah
menjadi bentuk pasif, dan (b) jika menghendaki predikat dalam bentuk aktif,
maka preposisi yang mendahului subjek harus dihilangkan.
2)
Kalimat yang Tidak Berpredikat
Kalimat yang tidak berpredikat
disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang beruntun atau terlalu panjang,
keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga penulis atau pembicaranya
terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya belum lengkap atau belum terdapat
predikatnya. Perhatikan contoh berikut.
a)
Bandar udara
Soekarno-Hatta yang dibangun dengan menggunakan teknik cakar ayam yang
belum pernah digunakan di mana pun di dunia sebelum ini karena teknik itu
memang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh para rekayasa
Indonesia.
b)
Proyek raksasa yang
menghabiskan dana yang besar serta tenaga kerja yang banyak dan ternyata
pada saat ini sudah mulai beroperasi karena dikerjakan siang dan malam dan
sudah diresmikan pada awal Repelita yang lalu oleh Kepala Negara.
Dua contoh kalimat tersebut di atas
terlihat belum selesai karena belum berpredikat. Penghilangan kata yang pada
kalimat (1) dapat menghasilkan kalimat yang lengkap yang mengandung subjek dan
predikat. Subjek kalimat tersebut Bandar udara Soekarno-Hatta dan
predikatnya dibangun. Agar tidak melelahkan pembaca karena terlalu
panjang dan bertele-tele, maka contoh (1) dipecah menjadi dua kalimat. Pada
contoh (2) penghilangan dan sudah cukup memadai dalam usaha membuat
kalimat itu menjadi berpredikat. Subjek kalimat itu adalah Proyek raksasa
yang menghabiskan dana yang besar serta tenaga kerja yang banyak dan
predikat kalimatnya sudah mulai beroperasi.
Panjang suatu kalimat bukan
merupakan ukuran kalimat itu lengkap. Sebaiknya kalimat yang dibuat haruslah
pendek, hemat, lengkap, dan jelas karena hal itu merupakan ciri-ciri kalimat
yang efektif.
3)
Kalimat Buntung (Tidak
Bersubjek dan Tidak Berpredikat)
Dalam bahasa tulis sehari-hari
sering kita jumpai kalimat yang tidak bersubjek dan tidak berpredikat (kalimat
buntung). Perhatikan contoh berikut.
a) Lelaki
itu menatapku aneh. Serta sulit dimengerti.
b) Di
negara saya ajaran itu sulit diterima. Dan sukar untuk dilaksanakan.
Kedua contoh di atas adalah susunan
kalimat yang dipenggal-penggal. Kalimat yang dipenggal itu masih mempunyai
hubungan gantung dengan kalimat lain (sebelumnya). Kalimat yang memiliki
hubungan gantung itu disebut anak kalimat, sedangkan kalimat tempat bergantung
anak kalimat disebut induk kalimat. Jika kita cermati, kalimat kedua pada
masing-masing contoh kalimat di atas (yang diawali oleh kata-kata yang bercetak
miring) bukan kalimat baku karena kalimat-kalimat tersebut buntung, tidak
bersubjek dan tidak berpredikat. Kalimatkalimat itu hanya merupakan keterangan
kalimat sebelumnya.
Sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia, kalimat tunggal tidak boleh diawali oleh kata-kata karena,
sehingga, apabila, agar, seperti, kalau, walaupun, jika, dan konjungsi yang
lain. Konjungsi seperti itu dapat mengawali kalimat jika yang diawali oleh kata
itu merupakan anak kalimat yang mendahului induk kalimat.
4)
Penggandaan Subjek
Penggandaan subjek kalimat
menjadikan kalimat tidak jelas bagian yang
mendapat tekanan. Perhatikan contoh
berikut.
a) Persoalan
itu kami sudah membicarakannya denga Bapak
Direktur.
b) Buku
itu saya sudah membacanya.
Kata atau kelompok kata dalam
sebuah kalimat akan menduduki fungsi sintaksis tertentu. Pada kedua contoh di
atas merupakan kalimat yang tidak baku karena mempunyai dua subjek. Perbaikan
kalimat-kalimat di atas dapat dilakukan
dengan cara: (a) diubah menjadi
kalimat pasif bentuk diri, (b) diubah menjadi kalimat aktif yang normatif, (c)
salah satu di antara kedua subjek dijadikan keterangan.
5)
Antara Predikat dan
Objek yang Tersisipi
Perhatikan kalimat-kalimat yang di
antara predikat dan objek tersisipi preposisi.
a) Kami
mengharap atas kehadiran Saudara tepat pada waktunya.
b) Rapat
yang diselenggarakan pada minggu yang lalu membicarakan tentang hak dan
kewajiban pegawai negeri sipil.
c) Banyak
anggota masyarakat belum menyadari akan pentingnya kesehatan lingkungan.
Dalam kalimat aktif transitif,
yaitu kalimat yang memiliki objek; verba transitif tidak perlu diikuti oleh
preposisi sebagai pengantar objek. Dengan kata lain, antara predikat dan objek
tidak perlu disisipi preposisi, seperti atas, tentang atau akan.
6)
Kalimat yang Tidak
Logis
Yang di maksud kalimat tidak logis
adalah kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena pembicara atau
penulis kurang berhati-hati dalam memilih kata. Bentuk ini pun sudah merata di
mana-mana. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
a) Yang
sudah selesai mengerjakan soal harap dikumpulkan.
b) Untuk
mempersingkat waktu kita lanjutkan acara ini.
c) Acara
berikutnya adalah sambutan Rektor IKIP PGRI Semarang. Waktu dan tempat kami
persilakan.
Pada kalimat (1) terdapat pertalian
antara makna Yang sudah selesai mengerjakan soal dengan harap
dikumpulkan tidak logis, karena suatu hal yang tidak mungkin adalah Yang
sudah selesai mengerjakan soal itulah yang harap dikumpulkan. Pada
kalimat (2) ketidaklogisan terletak pada makna kata mempersingkat waktu.
Hal itu disebabkan kata mempersingkat makna leksikalnya sama dengan ‘memperpendek’.
Jadi, tidak mungkin kalau waktu sampai diperpendek karena sampai kapan pun
waktu itu tetap tidak mungkin dipersingkat atau diperpendek, sehari semalam
tetap 24 jam. Kata yang tepat untuk menyatakan waktu tersebut adalah kata menghemat
atau mengefisiensikan. Pada kalimat (3)
ketidaklogisan terdapat pada waktu dan tempat yang dipersilakan untuk
memberi sambutan. Seharusnya yang dipersilakan memberi sambutan adalah Rektor
IKIP PGRI Semarang.
7)
Kalimat yang Ambiguitas
Ambiguitas adalah kegandaan arti
kalimat, sehingga meragukan atau sama sekali tidak dipahami orang lain.
Ambiguitas dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya intonasi yang tidak
tepat, pemakaian kata yang bersifat polisemi, struktur kalimat yang tidak
tepat. Di bawah ini akan diperlihatkan beberapa contoh kalimat yang ambigu.
a) Pintu
gerbang istana yang indah terbuat dari emas.
b) Mobil
Rektor yang baru mahal harganya.
c) Pidato
ketua karang taruna yang terakhir itu dapat membangkitkan semangat para
pemuda.
Kita dapat menafsirkan
kalimat-kalimat di atas dengan dua penafsiran: (1) keterangan yang indah,
yang baru, dan yang terakhir dapat mengenai nomina yang terakhir
yaitu istana, Rektor, dan ketua karang taruna; (2) keterangan itu
dapat mengenai keseluruhannya, yaitu pintu gerbang istana, mobil Rektor, dan
pidato ketua karang taruna. Dengan demikian, kalimat itu menjadi
ambiguitas karena maknanya tidak jelas.
8)
Penghilangan Konjungsi
Kita sering membaca tulisan-tulisan
resmi yang di dalamnya terdapat gejala penghilangan konjungsi pada anak
kalimat. Justru penghilangan konjungsi itu menjadikan kalimat tersebut tidak
efektif (tidak baku). Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
a) Sering
digunakan untuk kejahatan, komputer ini kini dilengkapi pula dengan alat
pengaman.
b) Membaca
surat anda, saya sangat kecewa.
c) Dilihat
secara keseluruhan, kegiatan usaha koprasi perikanan tampak semakin meningkat
setelah adanya pembinaan yang lebih intensif, terarah, dan terpadu.
Konjungsi jika, apabila,
setelah, sesudah, ketika, karena, dan sebagainya sebagai penanda anak
kalimat sering ditinggalkan. Hal tersebut dikarenakan penulisnya terpengaruh
oleh bentuk partisif bahasa Inggris. Gejala tersebut sudah merata digunakan
diberbagai kalangan, maka mereka tidak sadar lagi kalau bentuk itu salah. Dalam
bahasa Indonesia, konjungsi pada anak kalimat harus digunakan.
9)
Penggunaan Konjungsi
yang Berlebihan
Kekurangcermatan pemakai bahasa
dapat mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu tejadi karena
dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat. Kita sering
menemui tulisan-tulisan seperti berikut ini.
a) Walaupun
dia belum istirahat seharian, tetapi dia
datang juga di pertemuan RT.
b) Untuk
penyaluran informasi yang efektif, maka harus
dipergunakan sinar inframerah karena sinar itu mempunyai dispersi yang kecil.
c) Meskipun
hukuman sangat berat, tetapi tampaknya
pengedar ganja itu tidak gentar.
Pemakai bahasa tidak menyadari
kalau bentuk-bentuk kalimat di atas menggunakan padanan yang tidak serasi,
yaitu penggunaan dua konjungsi sekaligus. Seharusnya konjungsi yang digunakan
salah satu saja.
10) Urutan
Kalimat yang Tidak Pararel
Pada keempat kalimat di bawah ini
terjadi bentuk rincian yang tidak pararel atau tidak sejajar.
a) Dengan
penghayatan yang sungguh-sungguh terhadap profesinya serta memahami akan
tugas yang diembannya, dokter Ali telah berhasil mengakhiri masa jabatannya
dengan baik.
b) Harga
BBM dibekukan atau kenaikan secara luwes.
c) Tahap
terakhir penyelesaian rumah itu adalah pengaturan tata ruang, memasang
penerangan, dan pengecatan tembok.
d) Angin
yang bertiup kencang kemarin membuat pohon-pohon tumbang,
menghancurkan beberapa rumah, dan banyak fasilitas penerangan rusak.
Jika dalam sebuah kalimat terdapat
beberapa unsur yang dirinci, rinciannya itu harus diusahakan pararel. Jika
unsur pertama berupa nomina, unsur berikutnya juga berupa nomina; jika unsur
pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya juga berupa adjektiva; jika unsur
pertama bentuk di-…-kan, unsur berikutnya juga berbentuk di-…-kan,
dan sebagainya.
Kata-kata yang dicetak miring pada masing-masing
kalimat di atas perlu diperbaiki; sehingga menjadi kalimat yang baku.
11) Penggunaan
Istilah Asing
Pengguna bahasa Indonesia yang memiliki
kemahiran menggunakan bahasa asing tertentu sering menyelipkan istilah asing
dalam pembicaraan atau tulisannya. Kemungkinannya adalah pemakai bahasa itu
ingin memperagakan kebolehannya atau bahkan ingin memperlihatkan
keintelektualannya pada khalayak. Padahal kita tidak boleh mencampuradukkan
bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
a) At
last, semacam task force perlu
dibentuk dahulu untuk job ini.
b) Kita
segera menyusun project proposal dan sekaligus budgeting-nya
c) Dalam
work shop ini akan dibahas working paper agar diperoleh input bagi
kita.
Ketiga kalimat di atas belum tentu
dapat dipahami oleh orang yang berpendidikan rendah karena pada kalimat-kalimat
itu terdapat istilah bahasa asing yang tidak dipahami. Akan lain halnya jika
istilah asing yang dicetak miring pada masing-masing kalimat di atas diganti
dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Istilah at last diganti dengan
akhirnya, istilah task force didanti dengan satuan tugas, istilah job
diganti dengan pekerjaan, istilah project proposal diganti
dengan rancangan kegiatan, istilah budgeting
diganti dengan rancangan biayanya,
istilah workshop diganti
dengan sanggar kerja, istilah working paper diganti dengan kertas kerja,
dan istilah input diganti dengan masukan.
12) Penggunaan
Kata Tanya yang Tidak Perlu
Dalam bahasa Indonesia sering
dijumpai penggunaan bentuk-bentuk di
mana, yang mana, hal mana, dari
mana, dan kata-kata tanya yang lain sebagai
penghubung atau terdapat dalam
kalimat berita (bukan kalimat tanya). Contohcontohnya
adalah sebagai berikut.
a) Sektor
pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus
senantiasa ditingkatkan.
b) Ali
membuka-buka album dalam mana ia menyimpan foto terbarunya.
c) Bila
tidak bersekolah, saya tinggal di gedung kecil dari mana suara gamelan
yang lembut terdengar.
Penggunaan bentuk-bentuk
tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris. Bentuk yang mana sejajar dengan penggunaan which,
penggunaan dalam mana sejajar dalam penggunaan in which, dan
penggunaan dari mana sejajar dengan penggunaan from which. Dalam bahasa
Indonesia sudah ada penghubung yang lebih tepat yaitu kata tempat dan yang.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
E. Zaenal. 2006. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: PT Grasindo.
Arifin,
E. Zaenal dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa. Jakarta:
AKA Press.
Dawud,
dkk. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Jilid I untuk SMA Kelas X. Jakarta:
Erlangga.
Fakulta
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 2013. Panduan
Tugas Akhir. Palopo: UNCP.
Hariwijaya,
M . 2006. Pedoman Tesis Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi).
Yogyakarta: Citra Pustaka.
Hastuti,
Sri. 2003. Sekitar Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: PT
Mitra Gama.
Jati,
Ardika Primantya. 2011. Analisis Penggunaan Preposisi dalam Karangan Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 1 Samigaluh. Yogyakarta: UNY.
Keraf,
Gorys. 2003. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
-----------------.
2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana,
Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mardawaningsih,
Dwi. 1999. Analisis Kesalahan Kosakata dan Ketidakefektifan Kalimat
pada Karangan Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Playen Gunung Kidul
Yogyakarta. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Markhamah,
dkk. 2010. Sintaksis 2 (Keselarasan Fungsi, Kategori & Peran Dalam
Klausa). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Moeliono, Anton M, dkk. 1993. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhadi,
2011. Penelitian Tindakan Kelas: Panduan
Wajib Bagi Pendidik.Yogyakarta. Shira Media
Muis,
Azhariansah. 2006. Panduan Materi Ujian Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia
Prodi IPS. Yogyakarta: MA Nurul Ummah Kotagede.
Mulyono.
1999. Sari Tata Bahasa (Pendalaman Materi Bahasa Indonesia). Solo: Mentari.
Musrifah,
Nurul. 1999. Analisis Kesalahan Sintaksis Pada Karangan Siswa Kelas III
SLTP Negeri 13 Yogyakarta Tahun Pelajaran 1998-1999. Yogyakarta: IKIP
Yogyakarta.
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama Widya.
Ramlan,
M. 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
--------------.
1996. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta: CV Karyono.
Riduwan.
2010. Belajar Mudah Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Santoso,
Joko. 2003. Handout Perkuliahan Morfologi. Yogyakarta: FBS UNY.
Setyawati,
Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana
University Press.
Suhardi.
2005. Pokoknya Sintaksis. Yogyakarta: FBS UNY.
Sukini.
2010. Sintaksis Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Supraba,
TH. Ellisa Tesdy. 2008. Analisis Pola Pengembangan Paragraf dalam
Karangan Narasi Siswa Kelas VIII SMP BOPKRI 3
Yogyakarta. Yogyakarta: FBS UNY.
Surakhmad,
Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Tarigan,
Henry Guntur. 1987. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Tarigan, Djago &
Lilies Siti Sulistyaningsih. 1996/ 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa.
Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran
Guru SLTP Setara D-III.
No comments:
Post a Comment