Tuesday, August 28, 2018

TINJAUAN TEORI KESALAHAN BERBAHASA DALAM MENULIS KARANGAN

a.      Keterampilan Menulis
Keterampilan yaitu kecakapan untuk menyelesaikan tugas (KBBI, 93: 935). Jadi, keterampilan menulis yaitu kecakapan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas menulis. Keterampilan menulis ialah suatu kepandaian seseorang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan yang disampaikan melalui bahasa tulis, yang realisasinya berupa simbol-simbol grafis sehingga orang lain yaitu pembaca, mampu memahami pesan yang terkandung di dalamnya.
Agar bisa terampil dalam menulis, seorang penulis harus menguasai aspekaspek kebahasaan khususnya aspek bahasa tulis. Bahasa tulis harus memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam bahasa baku. Demi kejelasan makna, susunan kalimat dapat menjadi panjang. Sifatnya terikat, terutama oleh tata bahasa dan diksi dengan tidak menimbulkan keraguan dalam memahami isi
dan menarik kesimpulan.
Bahasa tulis harus lebih memperhatikan peraturanperaturan mengenai sistematika penyusunan kalimat dan penempatan paragrafparagraf yang mendukung gagasan pokok, gagasan penunjang, dan pelengkap maupun gagasan tambahan-tambahan yang lain (Hastuti, 2003: 84).
Terampil menggunakan bahasa merupakan tujuan terpenting dalam kegiatan bahasa. Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan menyimak, keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis. Penelitian ini berupaya menganalisis bidang keterampilan menulis karangan. Kegiatan menulis merupakan bentuk atau wujud kemampuan dari keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah menyimak, berbicara, dan membaca (Nurgiyantoro dalam Supraba, 2008: 10).
Kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain, bahkan oleh penutur ahli bahasa yang bersangkutan. Hal ini karena dalam kemampuan menulis perlu menguasai berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang menjadi isi karangan Menulis atau bahasa tulis semakin lama semakin terasa penting. Dalam dunia modern ini, kita tidak dapat mengikuti arus kehidupan sehari-hari tanpa adanya tulisan atau bahasa tulis. Dalam dunia pendidikan, perdagangan, bisnis perusahaan, dan profesi yang lain, keberhasilannya berhubungan dengan keterampilan menulis sebagai syarat untuk masuk dalam bidang tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa menulis adalah suatu alat yang sangat efektif dalam belajar dan penting dalam dunia pendidikan.
b.      Pengertian Karangan
Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah baik sekolah negeri maupun swasta, siswa seringkali mendapatkan tugas mengarang. Dalam menulis sebuah karangan tentu saja siswa harus mengetahui pengertian karangan dan bagaimana cara menulis sebuah karangan yang baik. Karangan merupakan media bagi ekspresi diri setiap orang. Mengarang merupakan salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan menulis. Selain itu, mengarang juga sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting dalam mendukung komunikasi karena merupakan perwujudan bentuk komunikasi secara tidak langsung atau komunikasi tertulis.
Perkembangan media dalam komunikasi masa (radio, televisi, kaset), menjadikan tulisan atau karangan bukannya semakin mundur tetapi justru semakin bertambah maju. Oleh karena itu, studi dan praktik menulis atau mengarang tetap merupakan bagian penting dalam kurikulum sekolah dan menjadi bagian utama dalam pendidikan dan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Seperti yang telah dibahas di atas, mengarang adalah suatu proses kegiatan pikiran manusia yang hendak mengungkapkan kandungan jiwanya kepada orang lain atau kepada diri sendiri dalam bentuk tulisan. Mengarang dapat dipahami sebagai keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami dengan tepat seperti yang dimaksudkan oleh pengarang; sedangkan hasil dari kegiatan mengarang biasa disebut dengan karangan (Widyamartaya dalam Musrifah, 1999: 3).
Karangan merupakan rangkaian kata-kata atau kalimat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1993: 390), karangan adalah hasil mengarang: tulisan, cerita, artikel, buah pena. Karangan yaitu setiap tulisan yang diorganisasikan yang mengandung isi dan ditulis untuk suatu tujuan tertentu biasanya berupa tugas di kelas. Istilah tersebut sering dipakai untuk tugas menulis dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai suatu proses sadar diri yang menuntut kita membuat keputusan tentang apa yang akan dikatakan, bagaimana mengorganisasi ide, dan bagaimana mengembangkan ide serta kata-kata yang akan kita pakai. Karangan adalah hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca (Gie dalam Musrifah,1999: 14). Selain pengertian itu, karangan adalah bahasa tulis yang merupakan rangkaian kata demi kata sehingga menjadi sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi sebuah wacana yang dapat dibaca dan dipahami (Keraf, 2010: 19-22).
Jadi, karangan yaitu hasil perwujudan ide, gagasan dan pikiran manusia yang tersusun dari rangkaian kata demi kata yang membentuk sebuah kalimat, paragraf dan akhirnya menjadi wacana yang mempunyai tujuan tertentu sehingga dapat dibaca dan dipahami maksudnya oleh pembaca. Dengan demikian untuk membuat karangan yang baik, tentu saja seseorang dituntut memiliki dan menguasai perbendaharaan kata dengan baik.
 
c.       Fungsi, Tujuan, dan Manfaat Karangan
Fungsi utama karangan yaitu sebagai sarana komunikasi secara tidak langsung. Bagi seorang siswa, kegiatan mengarang berfungsi sebagai sarana untuk berfikir dan belajar. Dengan mengarang siswa dapat mengungkapkan gagasan, ide, dan perasaannya kepada orang lain sehingga kemampuan berpikirnya pun berkembang.
Mengarang mempunyai tujuan yaitu dapat digunakan untuk meyakinkan, melaporkan, mencatat, dan mempengaruhi orang lain. Tujuan mengarang yaitu: tujuan penugasan, tujuan altruistik, tujuan persuasif, tujuan informasi, tujuan pernyataan diri, tujuan kreatif, dan tujuan pemecahan masalah (Hugo dan Hartig dalam Supraba, 2008: 12). Semua tujuan itu dapat diraih apabila seseorang dapat menyusun pikirannya dan mengutarakannya dengan jelas. Mengarang sangat penting karena sebagai sarana untuk memunculkan sesuatu, memunculkan ide baru, melatih mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep atau ide yang dimiliki, melatih sikap objektif yang ada pada diri seseorang, membantu untuk menyerap dan memproses informasi, memungkinkan seseorang untuk berlatih memecahkan beberapa masalah sekaligus, dan memungkinkan diri untuk menjadi aktif dan tidak hanya sebagai penerima informasi (Haigston dalam Supraba, 2008: 12).
Keuntungan lain yang dapat dipetik dari mengarang antara lain (1) dapat mengenali kemampuan dan potensi diri, (2) mengembangkan beberapa gagasan, (3) memperluas wawasan, (4) mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat, (5) dapat meninjau serta menilai gagasan sendiri secara lebih objektif, (6) lebih mudah memecahkan permasalahan, (7) mendorong diri belajar secara aktif, (8) membiasakan diri berpikir dan berbahasa secara tertib (Akhadiah dalam Supraba, 2008 : 13).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat diketahui bahwa manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan dalam kegiatan mengarang sangatlah banyak. Kegiatan mengarang perlu dilatihkan secara terus-menerus agar seseorang lancar dan benar dalam membuat karangan. Oleh karena itu, mengembangkan latihan mengarang merupakan pengalaman produktif yang berharga bagi siswa.

d.      Ciri-ciri Karangan yang Baik
Menulis sebuah karangan bukan suatu pekerjaan yang mudah, melainkan suatu pekerjaan yang memerlukan waktu untuk latihan secara kontinyu atau terus-menerus. Sebuah tulisan yang baik apabila tulisan yang dikomunikasikan sesuai dengan tujuan dan situasi berbahasa, sedangkan tulisan dikatakan benar apabila sesuai dengan kaidah yang berlaku. Menulis sebuah karangan yang baik memerlukan penguasaan beberapa keterampilan dalam menyusun kalimat dan memilih kata-kata yang tepat sehingga hubungan antar kata jelas, hubungan antar penulis dan pembaca menjadi lebih mudah terjalin. Dalam mengarang diperlukan pula kemahiran dalam memakai mekanisme karangan seperti tanda-tanda baca, huruf kapital, ejaan dan catatan kaki.
Karangan yang baik adalah karangan yang dapat dikomunikasikan secara efektif dengan pembaca yang ditujukan oleh karangan itu. Karangan yang baik memiliki ciri-ciri bermakna jelas, merupakan kesatuan yang bulat, singkat dan padat, mempunyai kaidah kebahasaan dan komunikatif. Darmadi (dalam Supraba, 2008: 11) menyatakan bahwa ciri-ciri karangan yang baik adalah signifikan, jelas, mempunyai kesatuan dan mengorganisasikan yang baik, ekonomis, mempunyai pengembangan yang memadai, menggunakan bahasa yang dapat diterima dan mempunyai kekuatan. Dengan demikian, fungsi dan tujuan karangan dapat terlaksana.
e.       Jenis-jenis Karangan
Berdasarkan tujuan penulisan secara tradisional dikenal empat jenis karangan, yaitu: eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan), narasi (cerita), dan argumentasi (Sirait, dkk dalam Supraba, 2008: 12). Menurut Keraf (2010: 19), bentuk karangan dibedakan menjadi empat, yaitu: eksposisi, argumentasi, deskripsi, dan narasi.
Menurut Hastuti, dkk (1993: 107) karangan dibedakan menjadi lima jenis yaitu (1) narasi, (2) deskripsi, (3) eksposisi, (4) argumentasi, (5) persuasi. Berikut penjelasan jenis-jenis karangan yang telah disebutkan.
1)      Narasi adalah uraian yang menceritakan atau mengisahkan sesuatu atau serangkaian kejadian, tindakan, keadaan secara berurutan dari permulaan sampai akhir dan terlihat rangkaian hubungan satu sama lain sehingga pembaca merasakan seolah-olah ia sendirilah yang mengalami peristiwa tersebut. Bahasanya berupa paparan dan gayanya bersifat naratif. Contoh jenis karangan ini adalah biografi, kisah, roman, cerpen, dan novel.
2)      Deskripsi yaitu sebuah karangan atau uraian yang berusaha menggambarkan suatu masalah yang seolah-olah masalah tersebut berada di depan mata pembaca secara konkret. Contoh karangan ini antara lain seperti karangan tentang peristiwa runtuhnya suatu gedung yang dilengkapi dengan gambaran lahiriah gedung itu, letak gedung, sebab-sebab keruntuhan gedung, arsitektur gedung, bagian gedung yang runtuh, dan sebagainya.
3)      Eksposisi yaitu suatu karangan yang menjelaskan pokok masalah yang disertai dengan fakta-fakta dan penjelasannya. Tujuannya agar pembaca memperluas pamahaman dan pengetahuan pembaca terhadap masalah yang diungkapkan. Contoh karangan jenis ini adalah artikel-artikel dalam surat kabar, majalah, dan tulisan-tulisan ilmiah.
4)      Argumentasi adalah karangan yang berisi pendapat atau gagasan mengenai suatu hal yang disertai dengan pembuktian-pembuktian sehingga pendapat itu dapat diterima kebenarannya (masuk akal) oleh pembaca. Argumentasi berusaha mengubah dan mempengaruhi sikap pembaca. Ciri-ciri karangan argumentasi yaitu mengandung kebenaran dan fakta yang kuat, menggunakan bahasa denotatif, analisis rasional, alasan kuat, dan bertujuan supaya pembaca menerima pendapat penulis. Contoh jenis karangan ini antara lain kampanye pemilihan umum, tulisan tentang alasan pengangkatan atau pemberhentian seseorang, dan lain-lain.
5)      Persuasi yaitu jenis karangan yang berisi tujuan untuk membujuk, merayu, atau mengajak pembaca agar mengikuti hal-hal yang dikehendaki penulis. Contoh karangan ini adalah tulisan tentang penawaran produk obat, kosmetik, alat-alat elektronik, dan sebagainya.
f.       Tinjauan Umum Narasi
Penelitian ini memilih karangan narasi karena peneliti ingin mengetahui apakah dalam karangan ini banyak memunculkan data bentuk kesalahan sintaksis ataukah sebaliknya. Selain itu, jenis karangan ini menuntut penulis menceritakan serangkaian kejadian secara berurutan dari awal sampai akhir sehingga terlihat rangkaian hubungan satu sama lain. Sasaran utama karangan narasi adalah tindakan-tindakan yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu waktu. Dalam karangan narasi, digambarkan dengan sejelas-jelasnya sebuah peristiwa yang terjadi kepada pembaca. Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu (Keraf, 2003: 135- 136).
Oleh karena itu, unsur yang paling penting pada sebuah karangan narasi yaitu unsur rangkaian waktu. Narasi mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu. Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai suatu peristiwa yang telah terjadi. Pengertian tersebut menegaskan bahwa narasi berusaha untuk menjawab apa yang telah terjadi.
Narasi merupakan bentuk karya tulis yang umum dijumpai. Menarasikan berarti menceritakan atau mengisahkan (Dawud, dkk, 2004: 185). Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Namun, narasi juga bisa ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis, pengamatan, dan wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa yang diceritakan.
Dengan kata lain, narasi adalah bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, merangkaikan tindak-tanduk perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau yang berlangsung urut dalam suatu kesatuan waktu.
Melalui narasi, penulis memberitahu orang lain dengan sebuah cerita. Narasi sering diartikan juga dengan cerita. Sebuah cerita adalah sebuah penulisan yang mempunyai karakter, setting, waktu, masalah, dan mencoba untuk memecahkan masalah serta memberikan solusi dari masalah itu. Unsur yang paling penting dalam sebuah narasi adalah unsur perbuatan atau tindakan.  Cerita atau kisah yang diketengahkan dalam narasi bisa berupa kisah fiktif atau kisah imajinatif (novel, cerpen, cerbung), dan kisah faktual atau kisah nyata (teks berita dalam koran atau majalah tentang suatu peristiwa faktual).
Narasi dibagi menjadi dua yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca agar pengetahuannya bertambah luas. Narasi sugestif disusun dan disajikan dengan berbagai macam bentuk sehingga menimbulkan daya khayal bagi pembaca dengan tujuan menyampaikan sebuah makna kepada pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Contoh narasi ekspositoris adalah biografi, autobiografi, atau kisah pengalaman sedangkan contoh narasi sugestif adalah novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam. Adapun perbedaan antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif
Narasi Ekspositoris
Narasi Sugestif
1.    Memperluas pengetahuan
2.    Menyampaikan informasi suatu kejadian
3.    Didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional
4.    Bahasa yang digunakan adalah bahasa informatif dengan kata-kata yang bermakna denotatif
1.    Bahasa yang digunakan adalah bahasa informatif dengan kata-kata yang bermakna denotatif
2.    Menyampaikan suatu makna atau amanat yang tersirat
3.    Menimbulkan daya khayal
4.    Penalaran hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu penalaran dapat dilanggar
5.    Bahasa yang digunakan adalah bahasa figuratif dengan kata-kata yang bermakna konotatif
Narasi ekspositoris bertujuan untuk menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian dan perbuatan dalam rangkaian waktu yang bertujuan untuk menyampaikan informasi, memperluas pengetahuan, dan menggugah pikiran pembaca.
Narasi ekspositoris adalah narasi yang memiliki sasaran penyampaian informasi secara tepat tentang suatu peristiwa dengan tujuan memperluas pengetahuan orang tentang kisah seseorang. Dalam narasi ekspositoris, penulis menceritakan suatu peristiwa berdasarkan data yang sebenarnya. Pelaku yang ditonjolkan biasanya satu orang. Pelaku diceritakan mulai dari kecil sampai saat ini sampai saat terakhir dalam kehidupannya. Karangan narasi ini diwarnai oleh eksposisi, maka ketentuan eksposisi juga berlaku pada penulisan narasi ekspositoris. Ketentuan ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang logis, berdasarkan fakta yang ada, tidak memasukkan unsur sugestif atau bersifat objektif. Sifat narasi ekspositoris dapat dibagi menjadi dua yaitu bersifat khas atau khusus dan bersifat generalisasi (Keraf, 2003: 137).
Narasi ekspositoris bersifat khusus berusaha menceritakan suatu peristiwa tertentu yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas atau khusus tidak dapat diulang kembali karena ia merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja. Narasi ekspositoris generalisasi berusaha menyampaikan suatu proses umum yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan berulang-ulang sehingga seseorang dapat memperoleh kemahiran yang tinggi tentang hal itu.
2.      Kesalahan Berbahasa
a.      Pengertian Kesalahan Berbahasa
Sebelum membahas tentang analisis kesalahan sintaksis, terlebih dahulu harus mengetahui arti kesalahan tersendiri. Menurut KBBI (1993: 771), kesalahan yaitu kekeliruan; kealpaan. Hastuti (2003: 79) memberikan kejelasan bahwa yang disebut kesalahan dideskripsikan sebagai ‘bukan kesalahan’. Pendeskripsian itu sebagai berikut:
1)      Penyebutan ‘kesalahan’ lebih dideskripsikan sebagai sebuah ‘gelincir’; yaitu suatu tindakan yang kurang disertai sikap berhati-hati. Ini disebabkan oleh sifat terburu-buru ingin sampai pada tujuan. Kesalahan seperti itu dimungkinkan disebabkan oleh sejumlah faktor ekstra linguistik, semacam kegagalan ingatan, emosi yang meningkat, kelelahan mental atau fisik, atau kegemaran mabuk. Karakteristik gelincir seperti ditandai bahwa pemakai bahasa pada saat itu menyadari kegelinciran dan ia dapat juga mengoreksi diri tanpa bantuan eksternal.
2)      Dalam bahasa Indonesia ditemui beberapa kata (diksi) yang artinya bernuansa dengan segala kesalahan. Di samping kesalahan ada penyimpangan; ada pula pelanggaran dan kekhilafan. Keempat kata yang bernuansa artinya, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a)         Untuk memberi kejelasan arti, kata ‘salah’ dilawankan dengan ‘betul’; maksudnya apa yang dilakukan (kalau ia salah) tidak betul, tidak menurut norma, tidak menurut aturan yang ditentukan. Hal ini mungkin disebabkan, ia belum tahu atau ia tidak tahu bahwa ada norma; kemungkinan yang lain ia khilaf. Kalau kesalahan ini dihubungkan dengan penggunaan kata, ia tidak tahu kata apa yang setepat-tepatnya dipakai.
b)        ‘Penyimpangan’ dapat diartikan menyimpang dari norma yang telah ditetapkan. Ia menyimpang karena tidak mau, enggan, malas, mengikuti norma yang ada. Ia tahu benar bahwa ada norma, tetapi dengan acuh tak acuh ia mencari norma lain yang dianggap lebih sesuai dengan konsepnya. Kemungkinan lain penyimpangan disebabkan oleh keinginan yang kuat yang tak dapat dihindari karena satu dan lain hal. Sikap berbahasa ini cenderung menuju ke pembentukan kata, istilah, slang, mungkin jargon dan prokem.
c)         ‘Pelanggaran’ memberi kesan negatif karena pemakai bahasa dengan penuh kesadaran tidak mau menurut norma yang telah ditentukan, sekalipun ia yakin bahwa apa yang dilakukan akan berakibat tidak baik. Sikap tidak disiplin terhadap media yang digunakan acap kali tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. Akibat selanjutnya hambatan interaksi persona tidak lancar. Ia terkucil dan mungkin juga akan berada di atas menara gading. Akan tetapi, masalah kedwibahasaan yang terlibat dalam kasus itu, menjadi berbeda masalahnya. Oleh karena itu, peristiwa kedwibahasaan adalah peristiwa yang wajar terjadi pada setiap pemakai bahasa.
d)        ‘Kekhilafan’ adalah proses psikologi yang dalam hal ini menandai seseorang khilaf menerapkan teori atau norma bahasa yang ada pada dirinya. Khilaf mengakibatkan sikap keliru pakai. Tidak salah semata, tidak tepat benar. Kekhilafan dapat diartikan kekeliruan. Kemungkinan salah ucap, salah susun karena kurang cermat.
Beberapa contoh penggunaan bahasa dalam ruang lingkup kesalahan.
a)      Untuk memberantas hama tikus menggunakan alat tangkap atau bubuk  mati hewan (salah).
b)      Untuk memberantas hama tikus digunakan alat tangkap atau bubuk mati hewan (betul).
c)      Banyak anak-anak membaca buku komik (menyimpang – salah).
d)     Banyak anak membaca buku komik (tepat).
e)      Ia mau berdatangan dalam pertemuan itu (melanggar – salah).
f)       Ia mau datang dalam pertemuan itu (benar).
g)      Di mana ada uang ingin aku memperbaiki rumahku (khilaf – salah).
h)      Jika ada uang ingin aku memperbaiki rumahku (mengena).
Begitu juga dengan Nurgiyantoro (Musrifah, 1999: 15) yang memberikan pengertian mengenai kesalahan dan kekeliruan sebagai berikut. Kesalahan (error) merupakan penyimpangan yang disebabkan kompetensi belajar, kesalahan-kesalahan itu biasanya bersifat sistematis dan konsisten pada tempattempat tertentu. Kekeliruan (mistake) merupakan penyimpangan-penyimpangan pemakaian kebahasaan yang sifatnya hanya insidental, tidak sistematis, tidak terjadi pada daerah-daerah tertentu.
Pendapat tersebut senada dengan yang dikemukakan Corder (Tarigan, 1987: 169) yang membedakan kesalahan menjadi dua yaitu lapses dan error. Lapses yaitu kesalahan atau penyimpangan yang terdapat dalam kalimat yang merupakan akibat dari pembatasan-pembatasan pemrosesan ketimbang kurangnya kompetensi. Error yaitu kesalahan atau penyimpangan yang terdapat dalam kalimat yang merupakan akibat kurangnya kompetensi. Menurut Samsuri (Musrifah, 1999: 15), kekeliruan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang disebabkan oleh ketidaktahuan si pemakai adalah termasuk kesalahan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
adalah penyimpangan, pelanggaran, dan kekeliruan (kekhilafan) terhadap suatu
kaidah, norma atau aturan yang telah ditentukan. Berdasarkan beberapa batasan di atas, yaitu batasan yang dikemukakan Hastuti (2003: 80), dan batasan yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro serta Corder, istilah kesalahan adalah yang paling cocok dipakai dalam menganalisis kesalahan berbahasa.
Kata menyimpang, melanggar, dan khilaf/ keliru merupakan istilah lain dalam kesalahan berbahasa. Apabila pemakai bahasa melakukan penyimpangan, pelanggaran, dan pengkhilafan dalam berbahasa sudah pasti termasuk kesalahan berbahasa. Karakteristik yang penting pada kesalahankesalahan dan semacamnya itu ialah bahwa pemakai bahasa ketika itu juga menjadi sadar akan kesalahan yang dibuatnya dan dapat mengoreksi dirinya sendiri tanpa bantuan eksternal (Hastuti, 2003: 80).
Kesalahan bisa saja terjadi pada semua tataran linguistik baik fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Hastuti (2003: 84) menyebutkan bahwa ada empat jenis kesalahan yaitu: (1) kesalahan leksikon, (2) kesalahan sintaksis, (3) kesalahan morfologi, dan (4) kesalahan ortografi. Berbagai kesalahan kebahasaan ini menjadi perhatian khusus bagi para pengkaji bahasa sehingga menimbulkan maraknya kajian di bidang kebahasaan. Kesalahan berbahasa mempunyai dua ukuran yaitu: (1) Berkaitan dengan faktor-faktor penentu dalam komunikasi.
Faktorfaktor penentu dalam komunikasi itu adalah: siapa yang berbahasa dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa (tempat dan waktu), dalam konteks apa (peserta lain, kebudayaan, dan suasana), dengan jalur apa (lisan atau tulisan), dengan media apa (tatap muka, telepon, surat, kawat, buku, koran, dan sebagainya), dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, lamaran kerja, pernyataan cinta, dan sebagainya), dan; (2) Berkaitan dengan aturan atau kaidah kebahasaan yang dikenal dengan istilah tatabahasa (Setyawati, 2010: 14-15).
Penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomukasi atau penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan norma kemasyarakatan bukanlah berbahasa Indonesia dengan baik. Berbahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah atau aturan tata bahasa Indonesia bukanlah berbahasa Indonesia dengan benar. Jadi, kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tetulis yang menyimpang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia.
b.      Penyebab Kesalahan Berbahasa
Penyebab utama kesalahan berbahasa ada pada orang yang menggunakan bahasa yang bersangkutan bukan pada bahasa yang digunakannya. Menurut Setyawati (2010: 15) ada tiga kemungkinan seseorang dapat salah dalam berbahasa, antara lain sebagai berikut.
1)      Terpengaruh bahasa yang lebih dahulu dikuasainya. Ini dapat berarti bahwa kesalahan berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) terhadap bahasa kedua (B2) yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa). Dengan kata lain sumber kesalahan terletak pada perbedaan sistem linguistik B1 dengan sistem linguistik B2.
2)      Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya. Kesalahan yang merefleksikan ciri-ciri umum kaidah bahasa yang dipelajari. Dengan kata lain, salah atau keliru menerapkan kaidah bahasa. Misalnya: kesalahan generalisasi, aplikasi kaidah bahasa yang tidak sempurna, dan kegagalan mempelajari kondisi-kondisi penerapan kaidah bahasa. Kesalahan seperti ini sering disebut dengan istilah kesalahan intrabahasa (intralingual error). Kesalahan ini disebabkan oleh: (a) penyamarataan berlebihan, (b) ketidaktahuan pembatasan kaidah, (c) penerapan kaidah yang tidak sempurna, dan (d) salah menghipotesiskan konsep.
3)      Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Hal ini berkaitan dengan bahan yang diajarkan atau dilatihkan dan cara pelaksanaan pengajaran. Bahan pengajaran menyangkut masalah sumber, pemilihan, penyusunan, pengurutan, dan penekanan. Cara pengajaran menyangkut masalah pemilihan teknik penyajian, langkah-langkah dan urutan penyajian, intensitas dan kesinambungan pengajaran, dan alat-alat bantu dalam pengajaran.
c.       Pengertian Analisis Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa dianggap sebagai bagian dari proses belajar-mengajar, baik belajar secara formal, maupun secara tidak formal. Pengalaman guru di lapangan menunjukkan bahwa kesalahan berbahasa itu tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari B2, tetapi juga oleh siswa yang mempelajari B1. Siswa yang mempelajari bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sering membuat kesalahan baik secara lisan maupun tulis.
Siswa SD yang mempelajari bahasa ibu bahasa Batak, bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bugis, dan bahasa daerah lainnya sering membuat kesalahan bahasa dalam proses belajar-mengajar bahasa Batak, bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Jawa, atau bahasa daerah lainnya. Kesalahan berbahasa yang terjadi atau dilakukan oleh siswa dalam suatu proses belajar-mengajar mengimplikasikan tujuan pengajaran bahasa belum tercapai secara maksimal. Semakin tinggi kuantitas kesalahan berbahasa itu, semakin sedikit tujuan pengajaran bahasa yang tercapai. Kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa harus dikurangi sampai batas minimal bahkan diusahakan dihilangkan sama sekali. Hal ini dapat tercapai jika guru pengajar bahasa telah mengkaji secara mendalam segala aspek kesalahan berbahasa itu.
Dalam KBBI (1993: 32), analisis adalah (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarbenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya); (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar-bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Menurut Pateda (via Musrifah, 1999: 16), analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk megidentifikasikan, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua.
Menurut Setyawati (2010: 18), analisis kesalahan berbahasa adalah prosedur kerja yang biasa digunakan oleh peneliti atau guru bahasa yang meliputi: kegiatan mengumpulkan sampel kesalahan, mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan kesalahan tersebut, mengklasifikasi kesalahan tersebut, dan mengevaluasi taraf keseriusan kesalahan itu.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis kesalahan berbahasa yaitu penyelidikan terhadap suatu hal (karangan, peristiwa, dan sebagainya) sebagai teknik untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan secara urut dan sistematis kesalahan kaidah yang telah ditentukan dalam tataran ilmu kebahasaan (linguistik).
d.      Klasifikasi Kesalahan Berbahasa
Menurut Tarigan (1997: 48-49), kesalahan berbahasa dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1)      Berdasarkan tataran linguistik, kesalahan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi: kesalahan berbahasa di bidang fonologi, morfologi, sintaksis (frasa, klausa, kalimat), semantik, dan wacana.
2)      Berdasarkan kegiatan berbahasa atau keterampilan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi kesalahan berbahasa dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
3)      Berdasarkan sarana atau jenis bahasa yang digunakan dapat berwujud kesalahan berbahasa secara lisan dan secara tertulis.
4)      Berdasarkan penyebab kesalahan tersebut terjadi dapat diklasifikasikan menjadi kesalahan berbahasa karena pengajaran dan kesalahan berbahasa karena interferensi.
5)      Kesalahan berbahasa berdasarkan frekuensi terjadinya dapat diklasifikasikan atas kesalahan berbahasa yang paling sering, sering, sedang, kurang, dan jarang terjadi.
e.       Pengertian Kesalahan Sintaksis
Sebuah kalimat semestinya harus mendukung suatu gagasan atau ide. Susunan kalimat yang sistematis menunjukkan cara berpikir yang teratur. Agar gagasan atau ide mudah dipahami pembaca, fungsi sintaksis yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan harus tampak jelas. Kelima fungsi sintaksis itu tidak selalu hadir secara bersama-sama dalam sebuah kalimat. Unsur-unsur sebuah kalimat harus dieksplisitkan dan dirakit secara logis dan masuk akal (Setyawati, 2010: 75).
Dalam penelitian ini khususnya akan dibahas mengenai kesalahan sintaksis. Sintaksis adalah cabang linguistik tentang susunan kalimat dan bagian-bagiannya atau ilmu tata kalimat (Setyawati, 2010: 75). Suhardi (2003: 15) mendefinisikan sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk konstruksi sintaksis yang berupa frasa, klausa, dan kalimat. Sintaksis berkaitan erat dengan morfologi yang membicarakan seluk-beluk kata dan morfem. Kesalahan dalam tataran sintaksis berhubungan erat dengan kesalahan pada bidang morfologi, karena kalimat berunsurkan kata-kata. Kesalahan sintaksis berdasarkan beberapa pengertian di atas adalah kesalahan, penyimpangan, pelanggaran, kekhilafan terhadap suatu kaidah yang ditentukan dalam tataran sintaksis (ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk frasa, klausa, kalimat atau pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata atau dengan satuan-satuan yang  
satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa yang mempunyai satuan terkecil
yaitu kata).
Kesalahan dalam tataran sintaksis antara lain berupa: kesalahan dalam bidang frasa dan kesalahan dalam bidang kalimat (Setyawati, 2010: 75). Klausa dapat berpotensi menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final. Kesalahan dalam
bidang klausa tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat dalam kesalahan di bidang kalimat.
f.       Bentuk Kesalahan Sintaksis
1)      Kesalahan Penggunaan Frasa
Kesalahan berbahasa dalam bidang frasa sering dijumpai pada bahasa lisan maupun bahasa tulis. Artinya, kesalahan berbahasa dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis. Kesalahan berbahasa dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya: (a) adanya pengaruh bahasa daerah, (b) penggunaan preposisi yang tidak tepat, (c) kesalahan susunan kata, (d) penggunaan unsur berlebihan atau mubazir, (e) penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan, (f) penjamakan yang ganda, (g) penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat (Setyawati, 2010: 76). Berikut penjelasan dari
kesalahan penggunaan frasa berdasarkan penyebab terjadinya.


a)    Adanya Pengaruh Bahasa Daerah pada Diksi (Pemilihan Kata)
Situasi kedwibahasaan yang ada di Indonesia, menimbulkan pengaruh yang besar dalam pemakaian bahasa. Ada kecenderungan bahasa daerah merupakan B1, sedangkan bahasa Indonesia merupakan B2 bagi pemakai bahasa. Tidak mengherankan jika hampir dalam setiap tataran linguistik, pengaruh bahasa daerah dapat kita jumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kesalahan berbahasa dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana sebagai akibat pengaruh bahasa daerah dapat kita jumpai dalam bahasa Indonesia (Setyawati, 2010: 76). Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam pemakaian frasa yang tidak tepat berikut ini.
(1)   Anak-anak pada tidur di ruang tengah.
(2)   Tunggu sebentar kalau ingin makan, sayurnya belon mateng!
Dalam ragam baku, unsur-unsur yang dicetak miring pada kalimat (1) dan (2) merupakan contoh pemakaian frasa yang salah. Kesalahan itu disebabkan oleh pengaruh bahasa daerah. Berturut-turut kedua frasa di atas sebaiknya diganti dengan sedang tidur dan belum masak.
b)   Ketidaktepatan Penggunaan Preposisi
Sering dijumpai pemakaian preposisi tertentu dalam frasa preposisional tidak tepat. Hal ini biasanya terjadi pada frasa preposisional yang menyatakan tempat, waktu, dan tujuan. Perhatikan pemakaian preposisi yang salah dalam kalimat berikut ini.
(1)   Di hari bahagia ini aku persembahkan sebuah lagu untukmu.
(2)   Jika Pak Ali tidak berada di rumah, surat itu bisa dititipkan ke istrinya.
Kata-kata yang dicetak miring pada kedua kalimat di atas merupakan penggunaan preposisi yang tidak tepat. Pada kalimat (1) lebih tepat menggunakan preposisi yang menyatakan waktu, yaitu pada; dan pada kalimat (2) lebih tepat menggunakan preposisi yang menyatakan tujuan, yaitu kepada.
c)    Ketidaktepatan Struktur Frasa (Susunan Kelompok Kata)
Salah satu akibat pengaruh bahasa asing adalah kesalahan dalam susunan struktur frasa (kelompok kata). Perhatikan contoh berikut ini.
(1)   Ini hari kita akan menyaksikan berbagai atraksi yang dibawakan oleh putra kita.
(2)   Kamu sudah terima buku-buku itu?
Susunan kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (1) dan (2) tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia. Hal tersebut berawal dari terjemahan harfiah dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang berbeda tersebut menyebabkan terjadi kesalahan berbahasa.
d)   Penggunaan Unsur Berlebihan
Sering dijumpai pemakaian kata-kata yang mengandung makna yang sama (bersinonim) digunakan sekaligus dalam sebuah kalimat. Perhatikan contoh berikut.
(1)   Kita pun juga harus berbuat baik kepada mereka.
(2)   Penghijauan hutan dimaksudkan agar supaya membantu mengatasi pemanasan global.
Kata-kata yang bercetak miring pada kalimat-kalimat di atas bersinonim. Penggunaan dua kata yang bersinonim sekaligus dalam sebuah kalimat dianggap mubazir karena tidak hemat. Oleh karena itu, yang digunakan salah satu saja agar tidak mubazir.
e)    Penggunaan Bentuk Superlatif yang Berlebihan
Bentuk superlatif adalah suatu bentuk yang mengandung arti ‘paling’ dalam suatu perbandingan. Bentuk yang mengandung arti ‘paling’ itu dapat dihasilkan dengan suatu adjektiva ditambah adverbial amat, sangat, sekali, atau paling. Jika ada dua adverbia digunakan sekaligus dalam menjelaskan adjektiva pada sebuah kalimat, terjadilah bentuk superlatif yang berlebihan. Perhatikan contoh di bawah ini.
(1)   Pengalaman itu sangat menyenangkan sekali.
(2)   Penderitaan yang dia alami amat sangat memilukan.
f)    Penjamakan Ganda (Kesalahan Penggunaan Bentuk Jamak)
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari kadang-kadang orang salah menggunakan bentuk jamak dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi bentuk yang rancu atau kacau. Menurut kaidah, bentuk jamak bahasa Indonesia dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1)        Bentuk jamak dengan melakukan pengulangan kata yang bersangkutan, seperti kuda-kuda, meja-meja, buku-buku.
2)        Bentuk jamak dengan menambahkan kata bilangan, seperti berbagai aturan, banyak penggemar, beberapa meja, sekalian tamu, semua buku, dua tempat, sepuluh pensil.
3)        Bentuk jamak dengan menambahkan kata bantu jamak, seperti para.
4)        Bentuk jamak terdapat pula dalam kata ganti orang, seperti mereka, kami, kita, kalian.
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari orang cenderung memilih bentuk asing jamak dalam menyatakan tunggal dalam bahasa Indonesia. Di bawah ini beberapa bentuk yang dalam bahasa asing terdapat bentuk jamak dan terdapat bentuk tunggal (Arifin dan Hadi, 2009: 89).
       Bentuk Tunggal                                                                           Bentuk Jamak
Datum                                                                                     data
Ruh                                                                                          arwah
Alumnus                                                                                  alumni
Unsur                                                                                      anasir
Alim                                                                                         ulama
Muslim                                                                                    muslimin
Kriterium                                                                                 kriteria
Dalam bahasa Indonesia diantara bentuk datum dan data yang dianggap baku ialah data dan dipakai dalam pengertian tunggal. Di antara alumnus dan alumni yang dianggap baku ialah alumni dan dipakai dalam pengertian tunggal. Bentuk alim dan ulama kedua-duanya dianggap baku dan masing-masing dipakai dalam makna tunggal. Oleh sebab itu, tidak salah kalau ada bentuk beberapa data, tiga alumni, para arwah, dan kriteria-kriteria. Kita sering menemukan penjamakan yang ganda dalam pemakaian sehari-hari dan penjamakan ganda itulah yang dimaksudkan dengan bentuk jamak yang rancu atau kacau. Perhatikan contoh bentuk penjamakan ganda berikut ini.
(1)   Para dosen-dosen sedang mengikuti seminar.
(2)   Banyak buku-buku sudah dijual oleh Ali.
Dalam sebuah kalimat untuk penanda jamak sebuah kata cukup menggunakan satu penanda saja; jika sudah terdapat penanda jamak tidak perlu kata tersebut diulang atau jika sudah diulang tidak perlu menggunakan penanda
jamak.
g)   Ketidaktepatan Penggunaan Bentuk Resiprokal
Bentuk resiprokal adalah bentuk bahasa yang mengandung arti ‘berbalasan’. Bentuk resiprokal dapat dihasilkan dengan cara menggunakan kata saling atau dengan kata ulang berimbuhan. Akan tetapi jika ada bentuk yang berarti ‘berbalasan’ itu dengan cara pengulangan kata, digunakan sekaligus dengan kata saling, akan terjadilah bentuk resiprokal yang salah seperti kalimat berikut ini.
(1)   Sesama pengemudi dilarang saling dahulu-mendahului.
(2)   Dalam pertemuan itu para mahasiswa dapat saling tukar-menukar informasi.
g.        Kesalahan Penggunaan Struktur Kalimat
Kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat juga sering dijumpai pada bahasa lisan maupun bahasa tulis. Artinya, kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat ini juga sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis.
Menurut Setyawati (2010: 84-102), kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu: (a) kalimat yang tidak bersubjek, (b) kalimat yang tidak berpredikat, (c) kalimat yang buntung (tidak bersubjek dan tidak berpredikat), (d) penggandaan subjek, (e) antara predikat dan objek yang tersisipi, (f) kalimat yang tidak logis, (g) kalimat yang ambiguitas, (h) penghilangan konjungsi, (i) penggunaan konjungsi yang berlebihan, (j) urutan kalimat yang tidak pararel, (k) penggunaan istilah asing, dan (l) penggunaan kata tanya yang tidak perlu. Berikut penjelasan dari kesalahan penggunaan kalimat berdasarkan penyebab terjadinya.
1)   Kalimat yang Tidak Bersubjek
Kalimat itu paling sedikit harus terdiri atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat verba aktif transitif di depan subjek terdapat preposisi. Perhatikan contoh berikut.
a)         Dari pengalaman selama ini menunjukkan bahwa program KB belum dapat dianggap sebagai usaha yang dapat memecahkan masalah penduduk.
b)        Untuk kegiatan itu memerlukan biaya yang cukup banyak.
Subjek kalimat-kalimat di atas tidak jelas atau kabur karena subjek kalimat aktif tersebut didahului preposisi dari, untuk. Kata-kata lain yang sejenis dengan preposisi itu, yang sering mengaburkan subjek adalah di, di dalam, dalam, bagi, dari, dengan, sebagai, merupakan, kepada, dan pada. Perbaikan kalimat-kalimat di atas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (a) jika ingin tetap mempertahankan preposisi yang mendahului subjek, maka predikat diubah menjadi bentuk pasif, dan (b) jika menghendaki predikat dalam bentuk aktif, maka preposisi yang mendahului subjek harus dihilangkan.
2)        Kalimat yang Tidak Berpredikat
Kalimat yang tidak berpredikat disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang beruntun atau terlalu panjang, keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga penulis atau pembicaranya terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya belum lengkap atau belum terdapat predikatnya. Perhatikan contoh berikut.
a)         Bandar udara Soekarno-Hatta yang dibangun dengan menggunakan teknik cakar ayam yang belum pernah digunakan di mana pun di dunia sebelum ini karena teknik itu memang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh para rekayasa Indonesia.
b)        Proyek raksasa yang menghabiskan dana yang besar serta tenaga kerja yang banyak dan ternyata pada saat ini sudah mulai beroperasi karena dikerjakan siang dan malam dan sudah diresmikan pada awal Repelita yang lalu oleh Kepala Negara.
Dua contoh kalimat tersebut di atas terlihat belum selesai karena belum berpredikat. Penghilangan kata yang pada kalimat (1) dapat menghasilkan kalimat yang lengkap yang mengandung subjek dan predikat. Subjek kalimat tersebut Bandar udara Soekarno-Hatta dan predikatnya dibangun. Agar tidak melelahkan pembaca karena terlalu panjang dan bertele-tele, maka contoh (1) dipecah menjadi dua kalimat. Pada contoh (2) penghilangan dan sudah cukup memadai dalam usaha membuat kalimat itu menjadi berpredikat. Subjek kalimat itu adalah Proyek raksasa yang menghabiskan dana yang besar serta tenaga kerja yang banyak dan predikat kalimatnya sudah mulai beroperasi.
Panjang suatu kalimat bukan merupakan ukuran kalimat itu lengkap. Sebaiknya kalimat yang dibuat haruslah pendek, hemat, lengkap, dan jelas karena hal itu merupakan ciri-ciri kalimat yang efektif.
3)        Kalimat Buntung (Tidak Bersubjek dan Tidak Berpredikat)
Dalam bahasa tulis sehari-hari sering kita jumpai kalimat yang tidak bersubjek dan tidak berpredikat (kalimat buntung). Perhatikan contoh berikut.
a)      Lelaki itu menatapku aneh. Serta sulit dimengerti.
b)      Di negara saya ajaran itu sulit diterima. Dan sukar untuk dilaksanakan.
Kedua contoh di atas adalah susunan kalimat yang dipenggal-penggal. Kalimat yang dipenggal itu masih mempunyai hubungan gantung dengan kalimat lain (sebelumnya). Kalimat yang memiliki hubungan gantung itu disebut anak kalimat, sedangkan kalimat tempat bergantung anak kalimat disebut induk kalimat. Jika kita cermati, kalimat kedua pada masing-masing contoh kalimat di atas (yang diawali oleh kata-kata yang bercetak miring) bukan kalimat baku karena kalimat-kalimat tersebut buntung, tidak bersubjek dan tidak berpredikat. Kalimatkalimat itu hanya merupakan keterangan kalimat sebelumnya.
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kalimat tunggal tidak boleh diawali oleh kata-kata karena, sehingga, apabila, agar, seperti, kalau, walaupun, jika, dan konjungsi yang lain. Konjungsi seperti itu dapat mengawali kalimat jika yang diawali oleh kata itu merupakan anak kalimat yang mendahului induk kalimat.
4)        Penggandaan Subjek
Penggandaan subjek kalimat menjadikan kalimat tidak jelas bagian yang
mendapat tekanan. Perhatikan contoh berikut.
a)      Persoalan itu kami sudah membicarakannya denga Bapak Direktur.
b)      Buku itu saya sudah membacanya.
Kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat akan menduduki fungsi sintaksis tertentu. Pada kedua contoh di atas merupakan kalimat yang tidak baku karena mempunyai dua subjek. Perbaikan kalimat-kalimat di atas dapat dilakukan
dengan cara: (a) diubah menjadi kalimat pasif bentuk diri, (b) diubah menjadi kalimat aktif yang normatif, (c) salah satu di antara kedua subjek dijadikan keterangan.
5)        Antara Predikat dan Objek yang Tersisipi
Perhatikan kalimat-kalimat yang di antara predikat dan objek tersisipi preposisi.
a)      Kami mengharap atas kehadiran Saudara tepat pada waktunya.
b)      Rapat yang diselenggarakan pada minggu yang lalu membicarakan tentang hak dan kewajiban pegawai negeri sipil.
c)      Banyak anggota masyarakat belum menyadari akan pentingnya kesehatan lingkungan.
Dalam kalimat aktif transitif, yaitu kalimat yang memiliki objek; verba transitif tidak perlu diikuti oleh preposisi sebagai pengantar objek. Dengan kata lain, antara predikat dan objek tidak perlu disisipi preposisi, seperti atas, tentang atau akan.
6)        Kalimat yang Tidak Logis
Yang di maksud kalimat tidak logis adalah kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena pembicara atau penulis kurang berhati-hati dalam memilih kata. Bentuk ini pun sudah merata di mana-mana. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
a)      Yang sudah selesai mengerjakan soal harap dikumpulkan.
b)      Untuk mempersingkat waktu kita lanjutkan acara ini.
c)      Acara berikutnya adalah sambutan Rektor IKIP PGRI Semarang. Waktu dan tempat kami persilakan.
Pada kalimat (1) terdapat pertalian antara makna Yang sudah selesai mengerjakan soal dengan harap dikumpulkan tidak logis, karena suatu hal yang tidak mungkin adalah Yang sudah selesai mengerjakan soal itulah yang harap dikumpulkan. Pada kalimat (2) ketidaklogisan terletak pada makna kata mempersingkat waktu. Hal itu disebabkan kata mempersingkat makna leksikalnya sama dengan ‘memperpendek’. Jadi, tidak mungkin kalau waktu sampai diperpendek karena sampai kapan pun waktu itu tetap tidak mungkin dipersingkat atau diperpendek, sehari semalam tetap 24 jam. Kata yang tepat untuk menyatakan waktu tersebut adalah kata menghemat atau  mengefisiensikan. Pada kalimat (3) ketidaklogisan terdapat pada waktu dan tempat yang dipersilakan untuk memberi sambutan. Seharusnya yang dipersilakan memberi sambutan adalah Rektor IKIP PGRI Semarang.
7)        Kalimat yang Ambiguitas
Ambiguitas adalah kegandaan arti kalimat, sehingga meragukan atau sama sekali tidak dipahami orang lain. Ambiguitas dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata yang bersifat polisemi, struktur kalimat yang tidak tepat. Di bawah ini akan diperlihatkan beberapa contoh kalimat yang ambigu.
a)      Pintu gerbang istana yang indah terbuat dari emas.
b)      Mobil Rektor yang baru mahal harganya.
c)      Pidato ketua karang taruna yang terakhir itu dapat membangkitkan semangat para pemuda.
Kita dapat menafsirkan kalimat-kalimat di atas dengan dua penafsiran: (1) keterangan yang indah, yang baru, dan yang terakhir dapat mengenai nomina yang terakhir yaitu istana, Rektor, dan ketua karang taruna; (2) keterangan itu dapat mengenai keseluruhannya, yaitu pintu gerbang istana, mobil Rektor, dan pidato ketua karang taruna. Dengan demikian, kalimat itu menjadi ambiguitas karena maknanya tidak jelas.
8)        Penghilangan Konjungsi
Kita sering membaca tulisan-tulisan resmi yang di dalamnya terdapat gejala penghilangan konjungsi pada anak kalimat. Justru penghilangan konjungsi itu menjadikan kalimat tersebut tidak efektif (tidak baku). Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
a)      Sering digunakan untuk kejahatan, komputer ini kini dilengkapi pula dengan alat pengaman.
b)      Membaca surat anda, saya sangat kecewa.
c)      Dilihat secara keseluruhan, kegiatan usaha koprasi perikanan tampak semakin meningkat setelah adanya pembinaan yang lebih intensif, terarah, dan terpadu.
Konjungsi jika, apabila, setelah, sesudah, ketika, karena, dan sebagainya sebagai penanda anak kalimat sering ditinggalkan. Hal tersebut dikarenakan penulisnya terpengaruh oleh bentuk partisif bahasa Inggris. Gejala tersebut sudah merata digunakan diberbagai kalangan, maka mereka tidak sadar lagi kalau bentuk itu salah. Dalam bahasa Indonesia, konjungsi pada anak kalimat harus digunakan.
9)        Penggunaan Konjungsi yang Berlebihan
Kekurangcermatan pemakai bahasa dapat mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu tejadi karena dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat. Kita sering menemui tulisan-tulisan seperti berikut ini.
a)      Walaupun dia belum istirahat seharian, tetapi dia datang juga di pertemuan RT.
b)      Untuk penyaluran informasi yang efektif, maka harus dipergunakan sinar inframerah karena sinar itu mempunyai dispersi yang kecil.
c)      Meskipun hukuman sangat berat, tetapi tampaknya pengedar ganja itu tidak gentar.
Pemakai bahasa tidak menyadari kalau bentuk-bentuk kalimat di atas menggunakan padanan yang tidak serasi, yaitu penggunaan dua konjungsi sekaligus. Seharusnya konjungsi yang digunakan salah satu saja.
10)    Urutan Kalimat yang Tidak Pararel
Pada keempat kalimat di bawah ini terjadi bentuk rincian yang tidak pararel atau tidak sejajar.
a)      Dengan penghayatan yang sungguh-sungguh terhadap profesinya serta memahami akan tugas yang diembannya, dokter Ali telah berhasil mengakhiri masa jabatannya dengan baik.
b)      Harga BBM dibekukan atau kenaikan secara luwes.
c)      Tahap terakhir penyelesaian rumah itu adalah pengaturan tata ruang, memasang penerangan, dan pengecatan tembok.
d)     Angin yang bertiup kencang kemarin membuat pohon-pohon tumbang, menghancurkan beberapa rumah, dan banyak fasilitas penerangan rusak.
Jika dalam sebuah kalimat terdapat beberapa unsur yang dirinci, rinciannya itu harus diusahakan pararel. Jika unsur pertama berupa nomina, unsur berikutnya juga berupa nomina; jika unsur pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya juga berupa adjektiva; jika unsur pertama bentuk di-…-kan, unsur berikutnya juga berbentuk di-…-kan, dan sebagainya.
Kata-kata yang dicetak miring pada masing-masing kalimat di atas perlu diperbaiki; sehingga menjadi kalimat yang baku.
11)    Penggunaan Istilah Asing
Pengguna bahasa Indonesia yang memiliki kemahiran menggunakan bahasa asing tertentu sering menyelipkan istilah asing dalam pembicaraan atau tulisannya. Kemungkinannya adalah pemakai bahasa itu ingin memperagakan kebolehannya atau bahkan ingin memperlihatkan keintelektualannya pada khalayak. Padahal kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
a)      At last, semacam task force perlu dibentuk dahulu untuk job ini.
b)      Kita segera menyusun project proposal dan sekaligus budgeting-nya
c)      Dalam work shop ini akan dibahas working paper agar diperoleh input bagi kita.
Ketiga kalimat di atas belum tentu dapat dipahami oleh orang yang berpendidikan rendah karena pada kalimat-kalimat itu terdapat istilah bahasa asing yang tidak dipahami. Akan lain halnya jika istilah asing yang dicetak miring pada masing-masing kalimat di atas diganti dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Istilah at last diganti dengan akhirnya, istilah task force didanti dengan satuan tugas, istilah job diganti dengan pekerjaan, istilah project proposal diganti
dengan rancangan kegiatan, istilah budgeting diganti dengan rancangan biayanya,
istilah workshop diganti dengan sanggar kerja, istilah working paper diganti dengan kertas kerja, dan istilah input diganti dengan masukan.

12)    Penggunaan Kata Tanya yang Tidak Perlu
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai penggunaan bentuk-bentuk di
mana, yang mana, hal mana, dari mana, dan kata-kata tanya yang lain sebagai
penghubung atau terdapat dalam kalimat berita (bukan kalimat tanya). Contohcontohnya
adalah sebagai berikut.
a)      Sektor pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.
b)      Ali membuka-buka album dalam mana ia menyimpan foto terbarunya.
c)      Bila tidak bersekolah, saya tinggal di gedung kecil dari mana suara gamelan yang lembut terdengar.
Penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Bentuk yang mana sejajar dengan penggunaan which, penggunaan dalam mana sejajar dalam penggunaan in which, dan penggunaan dari mana sejajar dengan penggunaan from which. Dalam bahasa Indonesia sudah ada penghubung yang lebih tepat yaitu kata tempat dan yang.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Zaenal. 2006. Dasar-dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: PT Grasindo.
Arifin, E. Zaenal dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa. Jakarta: AKA Press.
Dawud, dkk. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Jilid I untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Fakulta Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 2013. Panduan Tugas Akhir. Palopo: UNCP.
Hariwijaya, M . 2006. Pedoman Tesis Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). Yogyakarta: Citra Pustaka.
Hastuti, Sri. 2003. Sekitar Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: PT Mitra Gama.
Jati, Ardika Primantya. 2011. Analisis Penggunaan Preposisi dalam Karangan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Samigaluh. Yogyakarta: UNY.
Keraf, Gorys. 2003. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
-----------------. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mardawaningsih, Dwi. 1999. Analisis Kesalahan Kosakata dan Ketidakefektifan Kalimat pada Karangan Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Playen Gunung Kidul Yogyakarta. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Markhamah, dkk. 2010. Sintaksis 2 (Keselarasan Fungsi, Kategori & Peran Dalam Klausa). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Moeliono, Anton M, dkk. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhadi, 2011. Penelitian Tindakan Kelas: Panduan Wajib Bagi Pendidik.Yogyakarta. Shira Media
Muis, Azhariansah. 2006. Panduan Materi Ujian Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia Prodi IPS. Yogyakarta: MA Nurul Ummah Kotagede.
Mulyono. 1999. Sari Tata Bahasa (Pendalaman Materi Bahasa Indonesia). Solo: Mentari.
Musrifah, Nurul. 1999. Analisis Kesalahan Sintaksis Pada Karangan Siswa Kelas III SLTP Negeri 13 Yogyakarta Tahun Pelajaran 1998-1999. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama Widya.
Ramlan, M. 1996. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
--------------. 1996. Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif). Yogyakarta: CV Karyono.
Riduwan. 2010. Belajar Mudah Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Santoso, Joko. 2003. Handout Perkuliahan Morfologi. Yogyakarta: FBS UNY.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Suhardi. 2005. Pokoknya Sintaksis. Yogyakarta: FBS UNY.
Sukini. 2010. Sintaksis Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Supraba, TH. Ellisa Tesdy. 2008. Analisis Pola Pengembangan Paragraf dalam
Karangan Narasi Siswa Kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta. Yogyakarta: FBS UNY.
Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Djago & Lilies Siti Sulistyaningsih. 1996/ 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. 

No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...