Wednesday, December 6, 2017

TEORI SASTRA DAN PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

LANDASAN TEORI
1.    Hakikat Novel
Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis satra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Novel dalam The American College Dictionary dimasukkan ke jenis fiksi. Berikut ini keterangan dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan (1993: 120): “Fiksi adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karyakarya dari jenis ini, seperti novel atau dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.
Kata fiksi dikenal masyarakat sebagai karya hasil imajinasi. Jackob Sumardjo dan Saini (1991:29) menggolongkan novel (prosa) ke dalam sastra imajinatif. Sementara itu, Clenth Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1989:120) menyatakan bahwa fiksi adalah penyjian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya sebagai fiksi memang bukan suatu yang nyata, tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi salah satu jenis karya sastra yang menekakan kekuatan kesastraannya pada daya papar penceritaan.
Di Indonesia istilah novel disamakan dengan istilah roman. Ukuran luas unsur cerita antara keduanya hampir sama, meskipun berdasarkan asal usul istilah sedikit berbeda. Kata novel berasal dari bahasa Itali yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman berkembang di Jerman. Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan lain. Istilah roman, seperti tercantum dalam Ensiklopedi Indonesia,yang berarti “dulu sekali”, berasal darigenre romance dari abab pertengahan, merupakan cerita panjang tentang kepahlawan dan percintaan.
Dilihat dari segi jumlah katanya, novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 kata hingga tidak terbatas jumlahnya. Jika dihitung pula kecepatan rata-rata orang membaca ialah 300 kata per menit, maka waktu yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendek adalah kurang lebih dua jam (Henry Guntur Tarigan,1989:165).
Arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot/alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang komplels, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula (Jackob Sumardjo dan Saini, 1991:29). Unsur-unsur tersebut kemudian secara intern menjadi unsur intrinsik pembangun novel.
Goldman (dalam Faruk, 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.
Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002:37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Henry Guntur Tarigan (1989:165) memberikan kesimpulan dari uraian yang disampaikan Brooks berkenaan dengan identifikasi novel. Identifikasi novel tersebut yaitu: a) novel bergantung pada tokoh; b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan d) novel menyajikan lebih dari satu emosi.
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.
Senada dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya memang tujuan novel popular semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 1994:31) membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimism dalam peluangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
Sebagai sebuah karya sastra novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas adalah dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan banyak berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Itu merupakan pernyataan Burhan Nurgiyantor(1995:10-12) terhadap kelebihan novel menilik dari aspek panjang cerita yang dimiliki novel. Oleh karena itu, unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dituangkan secara penuh untuk mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekontruksi mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekontruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal termasuk peristiwa-peristiwa histori(Nyoman Kutha Ratna, 2003:127).
2.    Hakikat Struktur Novel
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59- 60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia inajinasi.
Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, factor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.
Pengertian unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro (1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsurunsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa, yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.
Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren (1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.
Berikut ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
a.    Unsur intrinsic
Unsur intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:
1)   Tema
Secara umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema adalah masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002:142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan dengan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan.
Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaanpersamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:68). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.
Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’ tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan Nurgiyantoro,1995:85).
Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan cerita.
Berkenaan dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan tema tambahan atau tema minor.
Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.
2)   Alur cerita
Alur cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebabakibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara sebabakibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.
Berdasarkan uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:
a)    Plot adalah kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
b)   Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwaperistiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
c)    Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
d)   Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
e)    Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.
Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.
Sebagaimana unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel. Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan. Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan mannusia bersifat plot.
Secara teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.
Plot ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjdi dua kategori, yaitu: kronologis dan tak kronologis. Kategori koronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedangkan kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot balik atau flashback.
Istilah plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot.
Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya. Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.
Perbedaan plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character) dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.
3)   Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah ”tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.
Herman J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian berkembang menjadi peristiwa.
Klasifikasi tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu. Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:
a)    Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita. Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena fungsinya hanya sebagai pelengkap.
b)   Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh protagonis.
c)    Tokoh Datar atau Tokoh Bulat
Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi pembaca.
d)   Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adannya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e)    Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.
Seorang peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analisi/deskripsif/langsung, yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci; (2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.
Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokohtokohnya, Robert Humpre menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui. Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik “pengarang serba tahu” artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Teknik solilokui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri.

4)   Latar
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:216) mengatakan selain tema, alur, dan penokohan, latar juga memiliki pengaruh dalam karya novel. Latar berperan dalam menghidupkan gambaran yang diceritakan oleh pengarang. Latar itu sendiri didefinisikan sebagai landas tumpu yang mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar yang disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney (dalam Herman J. Waluyo,2002:198) menyebutkan tiga fungsi, yaitu:
a)    Sebagai metafora (seting spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.
b)   Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan, tidak hanya sekedar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.
c)    Sebagai unsur yang dominan yang mendukungplot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.
Pada hakikatnya unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Latar, tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwayang diceritakan dalam novel. Sedangkan latar sosial masyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel, mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:227-235 )
5)   Sudut Pandang
Sudut pandang, atau disebut dengan point of view, merupakan salah satu unsur novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang dalam novel mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Pada cerita novel, posisi novel diwakili oleh pengarang sebagai orang yang berkuasa.
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:248) mendefisikan sudut pandang itu sendiri sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentukcerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu, Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
Genette (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:250) berpendapat bahwa sudut pandang menyangktu teknis bercerita, karena pada dasarnya penggunaan sudut pandang merupakan masalah pilihan. Artinya, dengan proses itu akan mengarah soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya. Pengarang harus mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri.
Percy Lubbock (dalm Nyoman Kutha Ratna, 2003:113) mengatakan bahwa dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif.
Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Pandangan para pakar tersebut pada dasarnya memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga, atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002:184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”, dan disebut teknik acuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik dia: (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas, pengrang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.
b.   Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik novel adalah unsur-unsur di luar novel yang mempengaruhi bangun cerita novel, mencakup:
1)   Biografi
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri, yaitu pengarang. Novel merupakan bentuk ungkapan seorang pengarang. Oleh karena itu keadaan subjekvitas individu pengarang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 24)
Biografi adalah genre yang sudah kuno, dan sesungguhnya merupakan bagian dari penulisan sejarah sebagai historigrafi. Berger dan Luckmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 199) berpendapat bahwa biografi sebagai pendekatan dokumenter dan alegoris berasal dari sedimentasi berbagai pengalaman individu, pengalamanpengalaman yang tersimpan di dalam kesadaran yang pada saat-saat tertentu muncul kembali ke dalam ingatan. Pendapat tersebut diinterprestasiksn Nyoman Kutha Ratna (2003: 199-200) bahwa biografi harus dipahami sebagai referensi-referensi personalitas yang dikondisikan secara personal.
Herman J. Waluyo (2003: 68) menyatakan bahwa proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual, artinya cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dengan yang lainnya. Dalam penjelasannya, yang bersifat individual bukan hanya metodenya, tetapi juga munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan apayang ada dalam diri pengarang itu.
Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren (1989: 82) bahwa biografi dapat jg dianggap sabagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Goldman (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 198) pada dasarnya memandang struktur psikologis yang berkaitan dengan kehidupan penulis sehari-hari sebagai memiliki relevansi terhadap pemahaman karya. Hal ini sekaligus menjawab pertayaan tentang sejauh mana boigrafi itu relevan dan penting untuk memahami karya sastra.
Menurut Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:89) karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Konvensi yang dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini intensi-intensi penulis, didasari atau tidak, dipahami melalui referensi eksistensi penulis secara aktual yang pada umunya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 202).
Pada karya sastra, novel khususnya studi biografi bermanfaat menjelaskan aktivitas sebagai penjelasan makna-makna individualitas, terutama mengenai hakikat psikologis pengarang (Nyoman Kutha Ratna 2003:198). Biografi juga mengumpulkan bahan untuk menjawab sejarah sastra seperti bacaan pengarang, persahabatan pengarang dengan sastrawan lain, serta daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi dan ditinggalinya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989:88). Maka itu, keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat juga dipelajari melalui dokumen biografi.
Di samping itu, biografi sebagai pernyataan-penyataan data mentah sebagai manifestasi fisikal struktur dan personalitas merupakan aspek inheren, artinya selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman sastra (Nyoman Kutha Ratna 2003:202). Manfaat lain dari pendekatan biografi dalam konteks konvensi yang dipakai berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam novel. Kerangka biografi pun dapat membantu dalam mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan dan merasa kreativitas pengarang (Rene Wellek dan Austin Warren, 1990:288).
2)   Sosial Budaya Masyarakat
Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004:440 mengengkapkan teorinya sebagai pencerminan masyarakat. Ia mengatakan bahwa seni, (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan sebuah tustel foto tetapi melukiskan dalam keseluruhannhya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realits, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Kemudian Goldmann (dalam Faruk, 2003:43) mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat melalui pandangan dunia, ideologi yang diekspresikannya. Ia meyakini bahwa karya sastra memiliki titik tolak yang kuat dalam menjelaskan aspirasi-aspirasi masyarakat tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 60).
Pendekatan sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dengan sosio budaya. Mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra. Aspek pertama tersebut terkait masalah refleksi sastra sedangkan aspek kedua berhubungan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara, 2003: 93).
Sementara itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 92) memberikan asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut diantaranya :
a)    Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau perubahan atau yang telah mengahsilkannya. Ia harus dipealajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antar faktorfaktor sosial kultural, dan karya itu sendiri merupakan obyek nkultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah gejala yang tersendiri.
b)   Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan tekhnik penulisanny; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan tekhnik ditentukan oleh gagasan tersebut. Tidak ada karya besar yang diciptakan berdasrakan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguhsungguh.
c)    Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak tanduk tertentu, melainkan bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif. Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral.
d)   Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa; dan kedua sebagai tradisi, yakni kecnderungan-kecerendungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
Jika mengacu pada teori Taine (dalam Umar Yunus, 1985:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi leh kondisi sejarah dan kelas masyaratkat yang akan tampak dalam gaya maupun bentuk sasta. Bahkan lebih jauh lagi, superstruktur masyarakat kadang-kadang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan sastra.
Karya sastra khususnya novel, menamplikan latar belakang social budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan melliputi : tata cara kehidupan, adat istadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan masyarakat, dalam cara berfikir, cara memandang sesuatu dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan berhubungan erat denagan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek (Herman J. Waluyo, 2002: 54).
Faktor sosiologis sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan sejarah menunjukkan perbedaan situasi masyarakat. Oleh karena itu, cerita yang ditampilkan oleh pengarang mengandung permasalahan masyarakat yang sesuai dengan permasalahan masyarakat pada zaman tertentu. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan untuk menjawab masalah mendasar masyarakat. Karya sastra angkatan 20-an misalnya merupakan cermin keadaan masyarakat 1920-an, demikian pula kara sastra 1930-an, 1945-an, dan seterusnya.
Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi zaman (Suwardi Endraswara, 2003:89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi dengan pembacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.
Hal tersebut juga mengacu pada fungsi yang berbeda-beda dari zaman di berbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu sastra dapat berfungsi sebagai alat penyebarluas ideologi; atau di zaman dan masyarakat lain sastra mungkin dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tidak tertahankan. Bahkan sastra dapat digunakan menggambarkan peristiwa kemanusiaan (Suwardi Endraswara: 2003,91).
Sastra adalah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yng notabene merupakan anggota kelompok masyarakatnya. Karya sastra dengan hakikat rekaannya memampukan manusia, baik manifestasi individualitas maupun kolektivitas untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah sosial yang berbeda dengan cara yang sama (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 99). Dengan demikian, karya sastra bersumber dalam kehidupan masyarakat dalam konfigurasi status dan peranan yang berbentuk dalam struktur sosial dan dengan sendirinya menerima pengaruh sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 33). Dalam istilah Sangidu (2004: 41) sastra dipandang sebagai gejala sosial.
3.    Hakikat Sosiologi Sastra
a.    Pengertian Sastra
Rene Wellek dan Austin Warren memberikan pengertian sastra sebagai berikut:
“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknikteknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat social merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993: 109)
Jackob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra merupakan produk masyarakat yang berada di tengah-tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masayarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakat.
 Bertalian dengan istilah sastra, M. Atar Semi (1993 8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jackob Sumardjo dan Saini K. M. (1994: 3) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sastra yang baik, kata Kayam bukanlah tiruan langsung kehidupan. Novel seperti sering diucapkan para ahli sastra, tidaklah memberikan rumus-rumus berharga bagi intelek, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikoogis mendorong kemampuan pikiran untuk merenung, bermimpi, membawa pikiran ke semua macam situasi dan dibentuk oleh pengalamanpengalaman imajinatif. Novel membantu kita membentuk sikap yang umum terhadap kehidupan.
Melalui karya sastra yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial dan psikologis itu orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap, yang terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki “segala macam situasi” dalam karya sastra, orang pun akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada situasi dirinya yang nyata. (http://www. geocities. Com /paris /perc /2713/esai 4.html)
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan.
b.   Pengertian Sosiologi
Soerjono Soekanto (1990: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembagalembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1983: 395)
Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film mungkin; novel seringkali terlihat punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia (Sapardi Djoko Damono 1979: 71). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat di dalam masyarakat.
Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan logos dari kata Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Sosiologi berarti, “berbicara mengenai masyarakat” (Soerjono Soekanto, 1984: 4). Selanjutnya Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan sebagai berikut.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (normanorma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Jadi, sosiologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dan masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan juga oleh masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.
Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Akibatnya hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang (Sapardi Djoko Damono, 1979: 7). Rachmat Djoko Pradopo (1989: 47) mengatakan bahwa, “Pendekatan sosiologi sastra selalu mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam memahami permasalahan di dalam karya sastra secara sosiologi sastra mau tidak mau akan berhubungan dengan permasalahan yang nyata di dalam struktur masyarakat”.
Swingewood mendeskripsikan berbeda, mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.
1)   Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.
2)   Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.
3)   Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme.
4)   Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus).
Dari sekian banyak telaah sosiologi terhadap sastra, dapat disimpulkan oleh Sapardi Djoko Damono menjadi dua kecenderungan utama, yakni:
Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua).
Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Lebih jauh lagi, Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian sosiosastra, pendekatan sosiologi, atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan suatu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir itu sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan manusia terhadap sastra itu sendiri.
Sapardi Djoko Damono (1979: 97) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam beberapa macam, yaitu:
1)   Sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen social budaya.
2)   Sosiologi sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra.
3)   Sosiologi sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis dan apa sebabnya.
4)   Sosiologi sastra yang mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra.
5)   Sosiologi sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra.
6)   Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis. Berdasarkan pendapat diatas, pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan sastra yanng menelaaah karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekatan sosiologi sastra mempunyai hubungan yang erat dengan sastrawan dan karya sastra.
Wollf (dalam Suwardi Endraswara, 2003:77) menyatakan sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang tanpa bentuk, tidak terdefisikan dengan baik terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih umum, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal yang berhubunngan antara sastra dengan masyarakat. Faruk (1994:1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosiologi, proses belajar secara kultural, yang dengan individuindividu dialokasikan pada peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
 Adapun secara singkat Garbstein (dalam Faruk, 1994: 32) mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
a.    Karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menhasilkannya.
b.    Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk penulisasnnya.
c.    Karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi.
d.   Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah.
1)      Sebagai faktor material istimewa
2)      Sebagai tradisi
e.    Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
f.     Ktitikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Secara epitemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin mebangun suatu sosiologi sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan.
g.    Uraian berikut dipusatkan pada sosiologi sastra Marxis yang memang sangat menonjol atau dominan. Garis besarnya adalah sebagai berikut:
1)      Manusia harus hidup dulu sebelum dapat berpikir
2)      Struktur sosial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi. Dibedakan antara infrastruktur dan suprastruktur.
h.    Walaupun Marxis sadar bahwa hubungan sastra dan masyarakat itu rumit, para pengikut Marxis tetap menganggap bahwa sastra merupakan gejala kedua yang ditentukan oleh yaitu infrastruktur. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat.
Suwardi Endraswara (2003:77) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak dinikmati oleh peneliti yang ingin menelliti sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat karena sifatnya yang reflektif itu. Asumsi dasar penelitiaan sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses adalah karya sastra uang mampu merefleksikan zamannya. Itulah sebabnya, sangatlah beraalaskan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.
Pendekatan sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dan sosial budaya: pertama, hubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi sosiobudaya. Kedua, mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra aspek peertama tersebut terkait masalah refleksi sastra. Aspek kedua berhubungan dengan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara 2003:93).
Pendekatan yang mengungkapkan aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehidupan sosiobudaya. Pendekatan ini hanya bersifat parsial, artinya sekedar mencatat keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan sosiobudaya.
Sosiologi sastra oleh Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Wiyatmi 2006:98) diklasifikasikan tiga tipe yaitu:
a.    Sosiologi pengarang yaitu pendekatan yang menelaah mengenai latar belakang sosial, status sosiala pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
b.    Sosiologi karya yaitu pendekatan yang menelaah isi karya sastra, tujuan serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.
c.    Sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra yaitu pendekatan yang menelaah mengenai sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial.
Senada dengan pendapat di atas Suwardi Endraswara (2003:80) mengatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif yaitu:
a.   Perspektif teks sastra, artinya peneliti meneliti karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan dan sebaliknya.
b.   Perspektif biologis, yaitu peneliti menganalisis pengarang, latar belakang, penciptaan karya sastra itu sendiri, dan sebagainya.
c.   Perspektif reseptif yaitu, menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks masyarakat.
4.    Hakikat Nilai-nilai Sosial
Secara umum nilai-nilai adalah keyakinan relatif kepada yang baik dan jahat, yang benar dan yang salah, kepada apa yang seharusnya ada dan seharusnya tidak ada. Nilai-nilai memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan social. Kebanyakan hubungan-hunbungan social didasarkan bukan saja pada fakta-fakta positif. Akan tetapi juga pada pertimbangan-pertimbangan nilai. Woods menjelaskan nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Koentjaraningrat memaparkan bahwa nilai merupakan suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Notonagoro (dalam http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori%20jenisjenis% 20nilai/ NILAI%20SOSIAL.htm) membedakan nilai menjadi tiga. Nilai dibedakan atas nilai material, vital, dan kerohanian.
a.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b.    Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitasnya.
c.    Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dibedakan atas nilai-nilai berikut ini.
1)   Nilai kebenaran atau kenyataan yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta).
2)   Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan, estetis).
3)   Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak atau keamanan (karsa, etika).
4)   Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan serta kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Di dalam masyarakat kita dapat menjumpai berbagai nilai yang dianut demi kebaikan bersama anggota masyarakat. Di samping beberapa jenis nilai sosial seperti yang diutarakan Notonagoro di atas, masih ada beberapa jenis nilai sosial dilihat dari sifat, ciri, dan tingkat keberadaannya (dalam http://www.isidps. ac.id/teori%20jenisjenis%20nilai/Nilai%20Sosial% 20%20 %20Institut%20Se ni%20 Indonesia%20Denpasar.htm).
a.    Berdasarkan Sifatnya
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal tujuh jenis nilai dilihat dari sifatnya, yaitu nilai kepribadian, kebendaan, biologis, kepatuhan hukum, pengetahuan, agama, dan keindahan.
1)   Nilai kepribadian, yaitu nilai yang dapat membentuk kepribadian seseorang, seperti emosi, ide, gagasan, dan lain sebagainya.
2)   Nilai kebendaan, yaitu nilai yang diukur dari kedayagunaan usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Biasanya jenis nilai ini disebut dengan nilai yang bersifat ekonomis.
3)   Nilai biologis, yaitu nilai yang erat hubungannya dengan kesehatan dan unsur biologis manusia. Misalnya dengan melakukan olahraga untuk menjaga kesehatan.
4)   Nilai kepatuhan hukum, yaitu nilai yang berhubungan dengan undangundang atau peraturan negara. Nilai ini merupakan pedoman bagi setiap warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya.
5)   Nilai pengetahuan, yaitu nilai yang mengutamakan dan mencari kebenaran sesuai dengan konsep keilmuannya.
6)   Nilai agama, yaitu nilai yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh anggota masyarakat. Nilai ini bersumber dari masingmasing ajaran agama yang menjelaskan sikap, perilaku, perbuatan, perintah, dan larangan bagi umat manusia.
7)   Nilai keindahan, yaitu nilai yang berhubungan dengan kebutuhan akan estetika (keindahan) sebagai salah satu aspek dari kebudayaan.
b.    Berdasarkan Cirinya
Berdasarkan cirinya, kita mengenal dua jenis nilai, yaitu nilai yang tercernakan dan nilai dominan.
1)   Nilai yang tercernakan atau mendarah daging ( internalized value ), yaitu nilai yang menjadi kepribadian bawah sadar atau dengan kata lain nilai yang dapat mendorong timbulnya tindakan tanpa berpikir panjang. Sebagai contohnya seorang ayah dengan sangat berani dan penuh kerelaan menolong anaknya yang terperangkap api di rumahnya, meskipun risikonya sangat besar.
2)   Nilai dominan, yaitu nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai-nilai yang lainnya. Mengapa suatu nilai dikatakan dominan? Ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menentukan dominan atau tidaknya suatu nilai, yaitu sebagai berikut.
a)    Banyaknya orang yang menganut nilai tersebut.
b)   Lamanya nilai dirasakan oleh anggota kelompok yang menganut nilai itu.
c)    Tingginya usaha untuk mempertahankan nilai tersebut.
d)   Tingginya kedudukan orang yang membawakan nilai itu.
c.    Berdasarkan Tingkat Keberadaannya
Kita mengenal dua jenis nilai berdasarkan tingkat keberadaannya, yaitu nilai yang berdiri sendiri dan nilai yang tidak berdiri sendiri.
1)   Nilai yang berdiri sendiri, yaitu suatu nilai yang diperoleh semenjak manusia atau benda itu ada dan memiliki sifat khusus yang akhirnya muncul karena memiliki nilai tersebut. Contohnya pemandangan alam yang indah, manusia yang cantik atau tampan, dan lain-lain.
2)   Nilai yang tidak berdiri sendiri, yaitu nilai yang diperoleh suatu benda atau manusia karena bantuan dari pihak lain. Contohnya seorang siswa yang pandai karena bimbingan dan arahan dari para gurunya. Dengan kata lain nilai ini sangat bergantung pada subjeknya.
Dari beberapa pendapatdi atas maka nilai-nilai social dapat dikategorikan menjadi (1) nilai material, (2) nilai vital, (3) nilai kerohanian, (4) nilai berdasarkan sifatnya, (4) nilai berdasarkan cirinya, dan (5) nilai berdasarkan tingkat keberadaannya
B.  Penelitian yang Relevan
Peneliti yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.    Penelitian yang dilakukan oleh Anik Ernawati pada tahun 2007 berjudul “Analisis Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Hasil penelitian menunjukkan dan memaparkan keterjalinan antarantar unsur intrinsik dalam novel tersebut. Unsur itu adalah tema, penokohan, setting/latar, alur atau plot serta amanat yang terkandung dalam novel tersebut. Penelitian ini juga memberikan pandangan dan analisis dalam dunia pengarang. Maksudnya adalah pembahasan novel ini ditinjau dari sudut pandang pengarang novel tersebt.
2.    Penelitian yang dilakukan oleh Ririh Yuli Atminingsih pada tahun 2007 yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis gaya bahasa dalam novel Laskar Pelangi, yaitu: simile, metafora, personifikasi, hiperbola, ironi, paradoks, metonimia, alusio dan lain sebagainya. Novel Laskar Pelangi juga mengandung beberapa nilai didik yang meliputi nilai religius, nilai sosial, dan nilai moral. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pembelajaran bahasa Indonesia jenjang SMA kelas XI, menggunakan novel Laskar Pelangi sebagai bahan ajar dan sesuai dengan kurikulum yang ada.
3.    Penelitian yang dilakukan Maria Ika Asih pada tahun 2008 berjudul “Analisis Novel Langit dan Bumi Sahabat Kami (Tinjauan Sosiologis)”. Hasil penelitian yang menunjukkan beberapa masalah sosial yang ada dalam novel Langit dan Bumi Sahabat Kami karya NH.Dini tersebut antara lain adalah kehidupan yang terjadi pada waktu pengarang masih muda. Kemiskinan yang merajalela, pencurian dan kejahatan ada dimana-mana serta kelaparan yang menghantui serta penduduk, termasuk di dalamnya adalah pelanggaran terhadap normanorma yang ada dalam masyarakat.
4.    Jurnal yang berjudul “Energy of Novels Saman, Nayla, and Petir in Literary Publishing Industry” karya Sugiarti, I Nyoman Kutha Ratna, I Nyoman Weda Kusuma, dan Ayu Sutarto pada tahun 2010. Jurnal ini menghasilkan (1) aspek tema dan energi yang terkandung dalam novel Saman, Nayla dan Petir mengacu pada perhatian wanita pada struktur sosial dan budaya, budaya patriaki, dan konflik antara struktur tradisional dan modern. Ada ekspresi yang vulgar dan meledak-ledak, diksi yang kontras, imajinasi dan bahasa yang simbolik, menggunakan gaya yang alami, narasi bebas, dengan teknik ilmiah dan mengejutkan. Kekuatan narasi, karakteristik, dan keunikan novel Saman, Nayla dan Petir memotivasi industri penebitan untuk menerbitkannya; (2) penerimaan pembaca terhadap tema pada novel Saman, Nayla, dan Petir ini berhubungan dengan perubahan sosial dan kebudayaan, dan industry penerbitan sastra di Indonesia, yang dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pro dan kontra. Perubahan sosial dan budaya disebabkan nilai-nilai pada sastra tidak terikat ruang dan waktu. Demikian nilai-nilai itu akan tetap bertumbuh dan berubah. (3) relevansi industri budaya dan ekonomi praktis terhadap para pasar pembaca buku dan industri penerbitan sastra sejarah, ini dapat dilihat pada model yang menjadi kolektif, bisnis dan bukan berorientasi pada ideology yang merupakan sesuatu yang lebih penting dari yang lainnya. Sejarah sastra Indonesia kurang berpengalaman menghasilkan pengembangan industry budaya, tanpa memperhatikan fakta bahwa itu masih berdasar pada standar estetika.
5.    Thesis yang dilakukan oleh Dian Yunita Rahmawati mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul Analisis Watak Tokoh Utama pada Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra) pada tahun 2010 (http://www.researchgate.net/publication) Hasil dari penelitian itu adalah (1) emosi: mudah marah, sering tertawa, tidak mempunyai perhatian yang mendalam, berpegang pada pendiriannya, benci mentolelir, jujur dalam batas rendah, tidak mau bangkit; (2)pembawaan/ fungsi kedua: kalem, tidak mudah menyerah, suka membantu, punya memori, berpikir bebas, konsekuen, tidak kalem, egois; dan (3) aktivitas: senang, menghindari hambatan, berwawasan luas, memperbaiki huungan ketika bertengkar, sering kehilangan harapan, semua dilihat sebagai masalah yang berat, bernafsu, sulit untuk membuka hatinya.
Dalam hubungannya dengan kelima penelitian di atas, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mempunyai kesamaan dalam hal penggunaan objek dan pendekatan penelitian, yaitu novel Nayla karya Djenar Maesa dan pendekatan sosiologi sastra.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...