LANDASAN TEORI
1. Hakikat
Novel
Berdasarkan
asalnya kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan
pula dari novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena dibandingkan
dengan jenis-jenis satra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka
novel muncul setelahnya. Menurut (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel
Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Novel
dalam The American College Dictionary dimasukkan ke jenis fiksi. Berikut
ini keterangan dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh
Henry Guntur Tarigan (1993: 120): “Fiksi adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun
karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karyakarya dari
jenis ini, seperti novel atau dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan,
dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.
Kata
fiksi dikenal masyarakat sebagai karya hasil imajinasi. Jackob Sumardjo dan
Saini (1991:29) menggolongkan novel (prosa) ke dalam sastra imajinatif.
Sementara itu, Clenth Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1989:120) menyatakan
bahwa fiksi adalah penyjian cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya
sebagai fiksi memang bukan suatu yang nyata, tetapi karya sastra juga bukan
kebohongan karena fiksi salah satu jenis karya sastra yang menekakan kekuatan
kesastraannya pada daya papar penceritaan.
Di
Indonesia istilah novel disamakan dengan istilah roman. Ukuran luas unsur
cerita antara keduanya hampir sama, meskipun berdasarkan asal usul istilah sedikit
berbeda. Kata novel berasal dari bahasa Itali yang kemudian berkembang di
Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman berkembang di Jerman. Belanda,
Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan lain. Istilah roman, seperti tercantum
dalam Ensiklopedi Indonesia,yang berarti “dulu sekali”, berasal darigenre
romance dari abab pertengahan, merupakan cerita panjang tentang kepahlawan
dan percintaan.
Dilihat
dari segi jumlah katanya, novel mengandung kata-kata yang berkisar antara
35.000 kata hingga tidak terbatas jumlahnya. Jika dihitung pula kecepatan
rata-rata orang membaca ialah 300 kata per menit, maka waktu yang dipergunakan
untuk membaca novel yang paling pendek adalah kurang lebih dua jam (Henry
Guntur Tarigan,1989:165).
Arti
luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di
sini dapat berarti cerita dengan plot/alur yang kompleks, karakter yang banyak,
tema yang komplels, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang
beragam pula (Jackob Sumardjo dan Saini, 1991:29). Unsur-unsur tersebut kemudian
secara intern menjadi unsur intrinsik pembangun novel.
Goldman
(dalam Faruk, 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian
yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi
pula. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra
yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang
hero dengan dunia.
Sebagai
karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel
tersebut. Herman J. Waluyo (2002:37) mengungkapkan bahwa di dalam novel
terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan
tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Henry
Guntur Tarigan (1989:165) memberikan kesimpulan dari uraian yang disampaikan
Brooks berkenaan dengan identifikasi novel. Identifikasi novel tersebut yaitu:
a) novel bergantung pada tokoh; b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; c)
novel menyajikan lebih dari satu efek; dan d) novel menyajikan lebih dari satu
emosi.
Novel
dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo
(2002:38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel
pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan
novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan(rendah) karena tidak ada
unsur kreativitasnya.
Senada
dengan pendapat tersebut Burhan Nurgiyantoro (1995:16-22) pun mengklasifikasikan
jenis novel menjadi novel populer dan novel serius. Menurutnya, novel populer
adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya para
remaja. Novel serius adalah novel yang memerlukan daya konsentrasi tinggi dan
disertai dengan kemmauan dalam memahaminya (membacanya). Lebih dijelaskannya
memang tujuan novel popular semata-mata menyampaikan cerita agar memuaskan
pembaca, sedangkan tujuan novel serius disamping memberikan hiburan, juga
secara implisit memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca.
Sesuai
dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 1994:31) membagi novel dalam tiga
jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.
Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimism dalam peluangan
tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis yang kedua sang hero
cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia
fantasi. Dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan
nilai-nilai yang otentik.
Sebagai
sebuah karya sastra novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas
adalah dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan banyak berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Itu merupakan pernyataan Burhan
Nurgiyantor(1995:10-12) terhadap kelebihan novel menilik dari aspek panjang
cerita yang dimiliki novel. Oleh karena itu, unsur-unsur pembangun sebuah
novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dituangkan
secara penuh untuk mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Di
pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), yang memandang karya
sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan
bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekontruksi mental dan kesadaran
sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan
peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan
novel dalam usaha untuk merekontruksi dan memahami gejala sosial, perilaku
impersonal termasuk peristiwa-peristiwa histori(Nyoman Kutha Ratna, 2003:127).
2. Hakikat
Struktur Novel
Kita
harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya,
khususnya novel A. Teeuw (dalam Heman J. Waluyo, 2002:59- 60) menyebutkan bahwa
sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation,
yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat bahasa
yang dipakainya; kedua intern strukturrelation, yaitu struktur dalam yang
bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia
sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau
dunia inajinasi.
Berdasarkan
uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002:60) memberikan pandangan pada
karya sastra terdapat adanya faktor ekstrinsik, factor intrinsik, dan dunia
pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga ke dalam faktor ekstrinsik,
yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri.
Pengertian
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik juga diberikan Burhan Nurgiyantoro
(1995:23). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung
turut serta membangun cerita karya sastra itu sendiri. Unsurunsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur yang secara faktual
akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur ekstriksik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak secara langsung
mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus
unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun
sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Penelitian
terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan
dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (1995;23) menyebutkan beberapa,
yaitu peristiwa,cerita, plot, penokohan,tema, latar, sudut pandang penceritaan,
dan bahasa atau gaya bahasa.
Meskipun
tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh
terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya
banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Rene Wellek dan AustinWarren
(1989:75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan
dengan makna karya sastra yaitu, biografi pengarang, psikologis, sosial budaya
masyarakat, dan filosofis.
Berikut
ini akan dijabarkan beberapa unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang
berkaitan erat dengan pengakajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
a. Unsur intrinsic
Unsur
intrinsik novel adalah unsur-unsur di dalam novel yang secara langsung
membangun cerita novel itu sendiri, mencakup:
1)
Tema
Secara
umum tema diartikan sebagai inti cerita novel. Cerita yang dirangkai melalui
peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel semuanya berpusat pada tema. Definisi
yang disampaikan Stanson dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 67)
memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Tema
adalah masalah hakiki manusia, misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan,
kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002:142). Masalah
hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan dengan manusia secara
pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu,
gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan
tertentu mengenai kehidupan.
Menurut
Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaanpersamaan dan pebedaan-perbedaan (dalam Burhan
Nurgiyantoro 1995:68). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema merupakan magma keseluruhan yang
didukung cerita dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang
mendukungnya.
Berhubung
tema tersembunyi di balik cerita, pencarian terhadapnya haruslah berdasarkan
fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Hal itu dapat
diawali dengan memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani’
tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu (Burhan
Nurgiyantoro,1995:85).
Stanton
(dalam Burhan Nurgiyantoro 1995:87-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria
yang dapat diikuti dalam usaha menemukan tema sebuah novel. Pertama, yaitu
mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kedua, yaitu mendasarkan
diri pada bbukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan
cerita.
Berkenaan
dengan tema, Burhan Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional
yang menunjuk pada tema yang “itu-itu” saja dan tema nontradisional yang
bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkakan adanya tema pokok atau tema mayor
sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umu karya, dan
tema tambahan atau tema minor.
Burhan
Nurgiyantoro (1995:77-84) menggolongkan tema tradisional juga mengutip
tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia
sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik,
yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia
sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.
2)
Alur
cerita
Alur
cerita disebut juga plot. Plot merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada
peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebabakibat. Sebagaimana dikemukakan
oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113) bahwa plot adalah cerita
yang berisi urutan kejadian, namun urutan kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebabakibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa
lain. Pendapat senada disampaikan Kenney (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:113)
bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak
sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan
sebab-akibat.
Berdasarkan
uraian banyak tokoh Herman J. Waluyo (2002:140) mengemukakan pengertian tentang
plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut:
a)
Plot adalah kerangka atau struktur
cerita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
b)
Dalam plot terdapat hubungan kausalitas
(sebab-akibat) dari peristiwaperistiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
c)
Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya
dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
d)
Konflik batin pelaku adalah sumber
terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
e)
Plot berkaitan dengan perkembangan
konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis.
Plot
memegang peranan penting dalam cerita. Fungi plot memberikan penguatan dalam
proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki
fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita berikutnya.
Sebagaimana
unsur intrinsik lainnya, plot terkandung di dalam cerita novel.
Peristiwa-peristiwa cerita dapat diketahui dengan mengamati penokohan peran
yang ada. Hal ini seperti dikemukakan Burhan Nargiyantoro (1995: 114) bahwa peritiwa-peristiwa
cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan
sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan
dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat
verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan
cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam
bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap menhadapi berbagai masalah kehidupan.
Tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh manusia
bersifat plot. Apabila melihat kenyataan kehidupan yang begitu kompleks dan
sering tidak berkaitan. Kejadian, perbuatan, atau tingkah laku kehidupan
mannusia bersifat plot.
Secara
teoritis plot biasanya dikembangkan dalam urutan-urutan tertentu. Herman J.
Waluyo (2002: 147-48) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) eksposisi,
yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment,yaitu peristiwa mulai
adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau
ditingkatkan; (3) rising action, yaitu penanjakan konflik; (4) complication,
yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh
cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat
menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement,
yaitu penyelesaian.
Plot
ada dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan kriteria
tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995:153-163), mengemukakan pembedaan plot yang
didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan
isi.
Berdasarkan
kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjdi dua kategori, yaitu: kronologis
dan tak kronologis. Kategori koronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau
progresif, sedangkan kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik;
mundur; flashback; regresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat ideologis, peristiwa pertama
diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemudian. Jika
cerita tidak dimulai dari tahap awal cerita dikisahkan, dikatakan berplot sorot
balik atau flashback.
Istilah
plot tunggal dan subplot digunakan menilik pada plot berdasarkan kriteria
jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita
dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah
karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan,
atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup,
permasalahan, dn konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya
sub-subplot.
Plot
berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longgar
atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunhya.
Dalam novel yang berplot longgar antara peristiwa penting yang satu dengan yang
lain disertai dengan berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan
tertentu seperti penyesuaian latar dan suasana.
Perbedaan
plot berdasarkan kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, plot
peruntungan (plot of fortune), plot tokohan (plot of character)
dan plot pemikiran (plot of thought). Plot peruntungan berhubungan
dengan cerita yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh cerita
yang bersangkutan. Plot tokohan mengarah adanya sifat pementingan tokoh, tokoh
yang menjai fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran mengungkapkan sesuatu
yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, dan kehidupan manusia.
3)
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh
dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah
”tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Istilah
“penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Herma J. Waluyo (2002:150) mengungkapkan bahwa
novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak,
dan berujung pada sang tokoh.
Herman
J. Waluyo (2002:165) menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang
menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur
cerita yang lain, watak ttokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak pada
pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidup. Dari
interaksi antar tokoh dengan penokohannya memunculkan konflik yang kemudian
berkembang menjadi peristiwa.
Klasifikasi
tokoh terdapat beberapa jenis penamaan berdasrkan dari sudut pandang tertentu.
Berikut ini beberapa jennis penamaan dalam cerita novel beserta penjelasannya:
a) Tokoh
utama dan tokoh tambahan
Tokoh
utama (central character) adalah tokoh yang mendominasi jalannya cerita.
Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya muncul
sekali atau beberapa kali dalam porsi cerita yang relatif pendek karena
fungsinya hanya sebagai pelengkap.
b) Tokoh
Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh
protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita
sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang mempunyai konflik dengan tokoh
protagonis.
c) Tokoh
Datar atau Tokoh Bulat
Tokoh
datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang mudah dikenali dan mudah diingat
sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang wataknya tidak segera dapat dimaklumi
pembaca.
d) Tokoh
Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh
statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat adannya peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan (dan perubahan)peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
e) Tokoh
Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh
tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitanya
dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau edangkan tokoh netral
adalah tokoh yang hidu demi cerita itu sendiri.
Seorang
peneliti harus mengetahui cara pengarang menampilkan tokoh jika ingin
menganalisis penokahan dalam sebuahh cerita novel. Berdasarkan penyebutan
Hudson dan Kenney, Herman J. Waluyo (2002:165-166) menyatakan bahwa pada
prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh
cerita yang diciptakannya. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analisi/deskripsif/langsung,
yaitu pengarang scara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu secara rinci;
(2) metode ltidak langsung/dramatik, yaitu pengarang tidak membeberkan
tersendiri tokoh yang diciptakan, tetapi memberikan fakta tentang kehidupan tokohnya
dalam suatu alur cerita; dan (3) metode konteksual, yaitu metode yang menggambarkan
watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk
melukiskan tokoh tersebut.
Berkenaan
dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokohtokohnya, Robert Humpre
menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung;
(2) teknik monolog interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4)
teknik solilokui. Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak
ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik “pengarang serba
tahu” artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan
mencampuri segala tindakan seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di
dalamnya. Teknik solilokui atau percakapan batin artinya penggambaran watak
melalui percakapan tokoh itu sendiri.
4)
Latar
Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:216) mengatakan selain tema, alur, dan
penokohan, latar juga memiliki pengaruh dalam karya novel. Latar berperan dalam
menghidupkan gambaran yang diceritakan oleh pengarang. Latar itu sendiri
didefinisikan sebagai landas tumpu yang mengarah pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Latar yang disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting
karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini,
Kenney (dalam Herman J. Waluyo,2002:198) menyebutkan tiga fungsi, yaitu:
a)
Sebagai metafora (seting spiritual) yang
dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini
mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.
b)
Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih
memberi kesan, tidak hanya sekedar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran
terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.
c)
Sebagai unsur yang dominan yang
mendukungplot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.
Pada
hakikatnya unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Latar, tempat mengarah pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu berhubungan dengan masalah
“kapan” terjadinya peristiwaperistiwayang diceritakan dalam novel. Sedangkan
latar sosial masyrakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel, mencakup
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro,
1995:227-235 )
5)
Sudut
Pandang
Sudut
pandang, atau disebut dengan point of view, merupakan salah satu unsur
novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang dalam novel
mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa
dan tindakan itu dilihat. Pada cerita novel, posisi novel diwakili oleh
pengarang sebagai orang yang berkuasa.
Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:248) mendefisikan sudut pandang itu sendiri
sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentukcerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu, Booth
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya
artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
Genette
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:250) berpendapat bahwa sudut pandang
menyangktu teknis bercerita, karena pada dasarnya penggunaan sudut pandang
merupakan masalah pilihan. Artinya, dengan proses itu akan mengarah soal
bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya.
Pengarang harus mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan
dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narator yang di luar cerita
itu sendiri.
Percy
Lubbock (dalm Nyoman Kutha Ratna, 2003:113) mengatakan bahwa dalam pengertian
ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk
memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan
memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya
pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif.
Usaha
pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Pandangan
para pakar tersebut pada dasarnya memiliki pendapat yang sama, berkisar pada
posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga, atau bahkan campuran.
Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002:184-185),
yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”,
dan disebut teknik acuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut
pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik dia: (3) teknik yang
disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan
segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas, pengrang tidak memfokuskan
kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan
penonjolan.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur
ekstrinsik novel adalah unsur-unsur di luar novel yang mempengaruhi bangun
cerita novel, mencakup:
1)
Biografi
Penyebab
utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri, yaitu pengarang. Novel
merupakan bentuk ungkapan seorang pengarang. Oleh karena itu keadaan
subjekvitas individu pengarang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup
yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya unsur
biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya (Burhan
Nurgiyantoro, 1995: 24)
Biografi
adalah genre yang sudah kuno, dan sesungguhnya merupakan bagian dari penulisan
sejarah sebagai historigrafi. Berger dan Luckmann (dalam Nyoman Kutha Ratna,
2003: 199) berpendapat bahwa biografi sebagai pendekatan dokumenter dan
alegoris berasal dari sedimentasi berbagai pengalaman individu,
pengalamanpengalaman yang tersimpan di dalam kesadaran yang pada saat-saat
tertentu muncul kembali ke dalam ingatan. Pendapat tersebut diinterprestasiksn
Nyoman Kutha Ratna (2003: 199-200) bahwa biografi harus dipahami sebagai
referensi-referensi personalitas yang dikondisikan secara personal.
Herman
J. Waluyo (2003: 68) menyatakan bahwa proses penciptaan cerita fiksi bersifat
individual, artinya cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dengan yang
lainnya. Dalam penjelasannya, yang bersifat individual bukan hanya metodenya,
tetapi juga munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan apayang ada dalam
diri pengarang itu.
Sebagaimana
pernyataan yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren (1989: 82) bahwa
biografi dapat jg dianggap sabagai studi yang sistematis tentang psikologi
pengarang dan proses kreatif. Goldman (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 198)
pada dasarnya memandang struktur psikologis yang berkaitan dengan kehidupan penulis
sehari-hari sebagai memiliki relevansi terhadap pemahaman karya. Hal ini
sekaligus menjawab pertayaan tentang sejauh mana boigrafi itu relevan dan
penting untuk memahami karya sastra.
Menurut
Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:89) karya sastra yang valid adalah karya
sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman
subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi. Konvensi yang dipakai
jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Dalam hubungan ini
intensi-intensi penulis, didasari atau tidak, dipahami melalui referensi
eksistensi penulis secara aktual yang pada umunya dikaitkan dengan unsur-unsur biografinya
(Nyoman Kutha Ratna, 2003: 202).
Pada
karya sastra, novel khususnya studi biografi bermanfaat menjelaskan aktivitas
sebagai penjelasan makna-makna individualitas, terutama mengenai hakikat
psikologis pengarang (Nyoman Kutha Ratna 2003:198). Biografi juga mengumpulkan
bahan untuk menjawab sejarah sastra seperti bacaan pengarang, persahabatan
pengarang dengan sastrawan lain, serta daerah dan kota-kota yang pernah dikunjungi
dan ditinggalinya (Rene Wellek dan Austin Warren, 1989:88). Maka itu,
keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat juga dipelajari
melalui dokumen biografi.
Di
samping itu, biografi sebagai pernyataan-penyataan data mentah sebagai
manifestasi fisikal struktur dan personalitas merupakan aspek inheren, artinya
selalu menampakkan diri dalam proses pemahaman sastra (Nyoman Kutha Ratna
2003:202). Manfaat lain dari pendekatan biografi dalam konteks konvensi yang
dipakai berguna untuk menjelaskan makna alusi dan kata-kata yang dipakai dalam
novel. Kerangka biografi pun dapat membantu dalam mempelajari masalah pertumbuhan
kedewasaan dan merasa kreativitas pengarang (Rene Wellek dan Austin Warren,
1990:288).
2)
Sosial
Budaya Masyarakat
Pandangan
mengenai sastra adalah ungkapan masyarakat (literature is an expression of
society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George
Lukacs (dalam Sangidu, 2004:440 mengengkapkan teorinya sebagai pencerminan
masyarakat. Ia mengatakan bahwa seni, (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan
bagaikan sebuah tustel foto tetapi melukiskan dalam keseluruhannhya. Maksud
mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya
mencerminkan realits, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan
lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Kemudian Goldmann (dalam Faruk,
2003:43) mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dan masyarakat melalui
pandangan dunia, ideologi yang diekspresikannya. Ia meyakini bahwa karya sastra
memiliki titik tolak yang kuat dalam menjelaskan aspirasi-aspirasi masyarakat
tertentu (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 60).
Pendekatan
sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dengan
sosio budaya. Mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra. Aspek
pertama tersebut terkait masalah refleksi sastra sedangkan aspek kedua
berhubungan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara, 2003: 93).
Sementara
itu, Grebstein (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 92) memberikan asumsi dasar
kajian konteks sosiobudaya. Asumsi dasar tersebut diantaranya :
a)
Karya sastra tidak dapat dipahami
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau
perubahan atau yang telah mengahsilkannya. Ia harus dipealajari dalam konteks yang
seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah
hasil pengaruh timbal balik yang rumit antar faktorfaktor sosial kultural, dan
karya itu sendiri merupakan obyek nkultural yang rumit. Bagaimanapun karya
sastra bukanlah gejala yang tersendiri.
b)
Gagasan yang ada dalam karya sastra sama
pentingnya dengan bentuk dan tekhnik penulisanny; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk
dan tekhnik ditentukan oleh gagasan tersebut. Tidak ada karya besar yang
diciptakan berdasrakan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra
adalah kegiatan yang sungguhsungguh.
c)
Setiap karya sastra yang bisa bertahan
lama pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaaan
sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan
moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak
tanduk tertentu, melainkan bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan
tanggapan evaluatif. Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral.
d)
Masyarakat dapat mendekati sastra dari
dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa;
dan kedua sebagai tradisi, yakni kecnderungan-kecerendungan spiritual
maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat
mencerminkan perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang
halus dalam watak kultural.
Jika
mengacu pada teori Taine (dalam Umar Yunus, 1985:19) karya sastra memang dapat
dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan
lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi leh kondisi sejarah dan
kelas masyaratkat yang akan tampak dalam gaya maupun bentuk sasta. Bahkan lebih
jauh lagi, superstruktur masyarakat kadang-kadang sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan sastra.
Karya
sastra khususnya novel, menamplikan latar belakang social budaya masyarakat.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan melliputi :
tata cara kehidupan, adat istadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama,
konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan masyarakat, dalam
cara berfikir, cara memandang sesuatu dan sebagainya. Latar belakang sosial
budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Uraian
dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan
berhubungan erat denagan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan
warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa
keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan
dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek (Herman J. Waluyo, 2002: 54).
Faktor
sosiologis sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan
sejarah menunjukkan perbedaan situasi masyarakat. Oleh karena itu, cerita yang
ditampilkan oleh pengarang mengandung permasalahan masyarakat yang sesuai
dengan permasalahan masyarakat pada zaman tertentu. Hal ini disebabkan oleh adanya
tuntutan untuk menjawab masalah mendasar masyarakat. Karya sastra angkatan
20-an misalnya merupakan cermin keadaan masyarakat 1920-an, demikian pula kara
sastra 1930-an, 1945-an, dan seterusnya.
Konteks
karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat menjadikan karya
sastra sebagai saksi zaman (Suwardi Endraswara, 2003:89). Dalam kaitan ini
sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk
mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi dengan pembacanya
(masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu
pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.
Hal
tersebut juga mengacu pada fungsi yang berbeda-beda dari zaman di berbagai
masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu sastra dapat berfungsi
sebagai alat penyebarluas ideologi; atau di zaman dan masyarakat lain sastra
mungkin dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari
yang tidak tertahankan. Bahkan sastra dapat digunakan menggambarkan peristiwa
kemanusiaan (Suwardi Endraswara: 2003,91).
Sastra
adalah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yng notabene
merupakan anggota kelompok masyarakatnya. Karya sastra dengan hakikat rekaannya
memampukan manusia, baik manifestasi individualitas maupun kolektivitas untuk
memahami dan memecahkan masalah-masalah sosial yang berbeda dengan cara yang sama
(Nyoman Kutha Ratna, 2003: 99). Dengan demikian, karya sastra bersumber dalam
kehidupan masyarakat dalam konfigurasi status dan peranan yang berbentuk dalam
struktur sosial dan dengan sendirinya menerima pengaruh sosial (Nyoman Kutha
Ratna, 2003: 33). Dalam istilah Sangidu (2004: 41) sastra dipandang sebagai
gejala sosial.
3. Hakikat
Sosiologi Sastra
a.
Pengertian Sastra
Rene
Wellek dan Austin Warren memberikan pengertian sastra sebagai berikut:
“Sastra
adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknikteknik sastra
tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat social merupakan konvensi
dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan,
dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya
sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” (Rene Wellek dan
Austin Warren, 1993: 109)
Jackob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra merupakan
produk masyarakat yang berada di tengah-tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota
masayarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakat.
Bertalian dengan istilah
sastra, M. Atar Semi (1993 8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jackob Sumardjo dan Saini K. M. (1994: 3)
menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sastra yang baik, kata Kayam bukanlah tiruan langsung kehidupan.
Novel seperti sering diucapkan para ahli sastra, tidaklah memberikan rumus-rumus
berharga bagi intelek, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial
dan psikoogis mendorong kemampuan pikiran untuk merenung, bermimpi, membawa
pikiran ke semua macam situasi dan dibentuk oleh pengalamanpengalaman imajinatif.
Novel membantu kita membentuk sikap yang umum terhadap kehidupan.
Melalui karya sastra yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial
dan psikologis itu orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap, yang
terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki
“segala macam situasi” dalam karya sastra, orang pun akan dapat menempatkan
diri pada kehidupan yang lebih luas daripada situasi dirinya yang nyata.
(http://www.
geocities. Com /paris /perc /2713/esai 4.html)
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan pengungkapan dari
fakta artistik dan imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium
dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan.
b.
Pengertian Sosiologi
Soerjono
Soekanto (1990: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi berasal dari bahasa
Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang
berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
Secara
singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan
masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu.
Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat
seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembagalembaga kemasyarakatan,
perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi
sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal
atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono
Soekanto, 1983: 395)
Dalam
sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah benar,
fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling
banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena
sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film mungkin; novel seringkali
terlihat punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah
manusia (Sapardi Djoko Damono 1979: 71). Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta
gejala-gejala sosial yang terdapat di dalam masyarakat.
Secara
etimologis, sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan”
dan logos dari kata Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Sosiologi
berarti, “berbicara mengenai masyarakat” (Soerjono Soekanto, 1984: 4). Selanjutnya
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan sebagai berikut.
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara
unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (normanorma sosial),
lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses
sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama,
umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara
segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu
proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya
perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Jadi,
sosiologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dalam
keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi.
Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dan masyarakat,
usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat
itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan
juga oleh masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi
masalah yang sama.
Perbedaan
antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang
objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Akibatnya hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan
penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati
masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang
(Sapardi Djoko Damono, 1979: 7). Rachmat Djoko Pradopo (1989: 47) mengatakan
bahwa, “Pendekatan sosiologi sastra selalu mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Dalam memahami permasalahan di dalam karya sastra secara
sosiologi sastra mau tidak mau akan berhubungan dengan permasalahan yang nyata
di dalam struktur masyarakat”.
Swingewood
mendeskripsikan berbeda, mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia
mengklasifikasikannya sebagai berikut.
1) Sosiologi
dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya
sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu zaman. Kedua,
melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang.
Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.
2) Teori-teori
sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang
menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.
3) Sastra
dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme.
4) Persoalan
metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif
tidak mengadakan penelitian terhadap karya sastra yang digunakan sebagai data.
Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur
sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra.
Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya, tetapi
keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus).
Dari
sekian banyak telaah sosiologi terhadap sastra, dapat disimpulkan oleh Sapardi
Djoko Damono menjadi dua kecenderungan utama, yakni:
Pertama,
pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses
sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra
untuk membicarakan sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks
sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala
kedua).
Kedua,
pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan
dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya,
untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di
luar sastra.
Lebih
jauh lagi, Sapardi Djoko Damono (1979: 19) menyatakan bahwa pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis
disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan
pengertian sosiosastra, pendekatan sosiologi, atau pendekatan sosiokultural
terhadap sastra. Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai
pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis
tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan suatu ciri kesamaan, yaitu
mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang diciptakan
oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Tujuan penelitian sosiologi sastra
adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang
hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran
yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir itu sangat
penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan manusia terhadap
sastra itu sendiri.
Sapardi
Djoko Damono (1979: 97) membedakan sejumlah pendekatan sosiologi sastra ke dalam
beberapa macam, yaitu:
1) Sosiologi
sastra yang mengkaji karya sastra sebagai dokumen social budaya.
2) Sosiologi
sastra yang mengkaji penghasilan dan pemasaran karya sastra.
3) Sosiologi
sastra yang mengkaji penerimaan masyarakat terhadap karya sastra seorang penulis
dan apa sebabnya.
4) Sosiologi
sastra yang mengkaji pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra.
5) Sosiologi
sastra yang mengkaji mekanisme universal seni, termasuk karya sastra.
6) Strukturalisme
genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann dari Perancis. Berdasarkan
pendapat diatas, pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan sastra
yanng menelaaah karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Pendekatan sosiologi sastra mempunyai hubungan yang erat dengan sastrawan dan karya
sastra.
Wollf
(dalam Suwardi Endraswara, 2003:77) menyatakan sosiologi sastra merupakan
disiplin ilmu yang tanpa bentuk, tidak terdefisikan dengan baik terdiri dari
sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih umum, yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal yang berhubunngan antara sastra dengan
masyarakat. Faruk (1994:1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan gambaran
mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh
masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosiologi, proses belajar
secara kultural, yang dengan individuindividu dialokasikan pada peranan-peranan
tertentu dalam struktur sosial itu.
Adapun secara singkat Garbstein (dalam Faruk,
1994: 32) mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
a. Karya
sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan
dan peradaban yang menhasilkannya.
b. Gagasan
yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk penulisasnnya.
c. Karya
sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi.
d. Masyarakat
dapat mendekati sastra dari dua arah.
1)
Sebagai faktor material istimewa
2)
Sebagai tradisi
e. Kritik
sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
f. Ktitikus
bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Secara
epitemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin mebangun suatu sosiologi
sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan.
g. Uraian
berikut dipusatkan pada sosiologi sastra Marxis yang memang sangat menonjol
atau dominan. Garis besarnya adalah sebagai berikut:
1)
Manusia harus hidup dulu sebelum dapat
berpikir
2)
Struktur sosial masyarakat ditentukan
oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi. Dibedakan
antara infrastruktur dan suprastruktur.
h. Walaupun
Marxis sadar bahwa hubungan sastra dan masyarakat itu rumit, para pengikut
Marxis tetap menganggap bahwa sastra merupakan gejala kedua yang ditentukan
oleh yaitu infrastruktur. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan penjelasan
yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra dan masyarakat.
Suwardi
Endraswara (2003:77) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian
sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak dinikmati oleh peneliti
yang ingin menelliti sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat karena sifatnya
yang reflektif itu. Asumsi dasar penelitiaan sastra adalah kelahiran sastra
tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya
sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses adalah karya sastra uang mampu
merefleksikan zamannya. Itulah sebabnya, sangatlah beraalaskan jika penelitian
sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan
kehidupan sosialnya.
Pendekatan
sosiologi sastra memiliki pandangan terhadap keterkaitan aspek sastra dan
sosial budaya: pertama, hubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi
sosiobudaya. Kedua, mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra
aspek peertama tersebut terkait masalah refleksi sastra. Aspek kedua berhubungan
dengan konsep pengaruh (Suwardi Endraswara 2003:93).
Pendekatan
yang mengungkapkan aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya,
mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehidupan
sosiobudaya. Pendekatan ini hanya bersifat parsial, artinya sekedar mencatat
keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak
memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang
terkait dengan sosiobudaya.
Sosiologi
sastra oleh Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Wiyatmi 2006:98)
diklasifikasikan tiga tipe yaitu:
a. Sosiologi
pengarang yaitu pendekatan yang menelaah mengenai latar belakang sosial, status
sosiala pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan
pengarang di luar karya sastra.
b. Sosiologi
karya yaitu pendekatan yang menelaah isi karya sastra, tujuan serta hal-hal
yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial.
c. Sosiologi
pembaca dan dampak sosial karya sastra yaitu pendekatan yang menelaah mengenai
sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan
perkembangan sosial.
Senada
dengan pendapat di atas Suwardi Endraswara (2003:80) mengatakan bahwa sosiologi
sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif yaitu:
a.
Perspektif teks sastra, artinya peneliti
meneliti karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan dan sebaliknya.
b.
Perspektif biologis, yaitu peneliti
menganalisis pengarang, latar belakang, penciptaan karya sastra itu sendiri,
dan sebagainya.
c.
Perspektif reseptif yaitu, menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks masyarakat.
4. Hakikat
Nilai-nilai Sosial
Secara
umum nilai-nilai adalah keyakinan relatif kepada yang baik dan jahat, yang
benar dan yang salah, kepada apa yang seharusnya ada dan seharusnya tidak ada.
Nilai-nilai memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan social.
Kebanyakan hubungan-hunbungan social didasarkan bukan saja pada fakta-fakta
positif. Akan tetapi juga pada pertimbangan-pertimbangan nilai. Woods
menjelaskan nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung
lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Koentjaraningrat memaparkan bahwa nilai merupakan suatu sistem nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Notonagoro
(dalam http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori%20jenisjenis%
20nilai/ NILAI%20SOSIAL.htm) membedakan nilai menjadi tiga. Nilai dibedakan
atas nilai material, vital, dan kerohanian.
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktivitasnya.
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia. Nilai kerohanian dapat dibedakan atas nilai-nilai berikut ini.
1) Nilai kebenaran atau kenyataan yang bersumber pada unsur akal
manusia (rasio, budi, cipta).
2) Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (perasaan, estetis).
3) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak
atau keamanan (karsa, etika).
4) Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan serta kerohanian
yang tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
Di dalam masyarakat kita dapat menjumpai berbagai nilai yang
dianut demi kebaikan bersama anggota masyarakat. Di samping beberapa jenis
nilai sosial
seperti yang diutarakan Notonagoro di atas, masih ada beberapa jenis nilai sosial
dilihat dari sifat, ciri, dan tingkat keberadaannya (dalam http://www.isidps. ac.id/teori%20jenisjenis%20nilai/Nilai%20Sosial%
20%20 %20Institut%20Se ni%20 Indonesia%20Denpasar.htm).
a. Berdasarkan Sifatnya
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
mengenal tujuh jenis nilai dilihat dari sifatnya, yaitu nilai kepribadian,
kebendaan, biologis, kepatuhan hukum, pengetahuan, agama, dan keindahan.
1)
Nilai kepribadian, yaitu nilai yang
dapat membentuk kepribadian seseorang, seperti emosi, ide, gagasan, dan lain
sebagainya.
2)
Nilai kebendaan, yaitu nilai yang diukur
dari kedayagunaan usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Biasanya jenis nilai ini disebut dengan nilai yang bersifat ekonomis.
3)
Nilai biologis, yaitu nilai yang erat
hubungannya dengan kesehatan dan unsur biologis manusia. Misalnya dengan
melakukan olahraga untuk menjaga kesehatan.
4)
Nilai kepatuhan hukum, yaitu nilai yang
berhubungan dengan undangundang atau peraturan negara. Nilai ini merupakan
pedoman bagi setiap warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya.
5)
Nilai pengetahuan, yaitu nilai yang
mengutamakan dan mencari kebenaran sesuai dengan konsep keilmuannya.
6)
Nilai agama, yaitu nilai yang berhubungan
dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh anggota masyarakat. Nilai ini
bersumber dari masingmasing ajaran agama yang menjelaskan sikap, perilaku,
perbuatan, perintah, dan larangan bagi umat manusia.
7)
Nilai keindahan, yaitu nilai yang
berhubungan dengan kebutuhan akan estetika (keindahan) sebagai salah satu aspek
dari kebudayaan.
b. Berdasarkan
Cirinya
Berdasarkan cirinya, kita mengenal dua
jenis nilai, yaitu nilai yang tercernakan dan nilai dominan.
1)
Nilai yang tercernakan atau mendarah
daging ( internalized value ), yaitu nilai yang menjadi kepribadian
bawah sadar atau dengan kata lain nilai yang dapat mendorong timbulnya tindakan
tanpa berpikir panjang. Sebagai contohnya seorang ayah dengan sangat berani dan
penuh kerelaan menolong anaknya yang terperangkap api di rumahnya, meskipun
risikonya sangat besar.
2)
Nilai dominan, yaitu nilai yang dianggap
lebih penting daripada nilai-nilai yang lainnya. Mengapa suatu nilai dikatakan
dominan? Ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menentukan dominan atau
tidaknya suatu nilai, yaitu sebagai berikut.
a) Banyaknya
orang yang menganut nilai tersebut.
b) Lamanya
nilai dirasakan oleh anggota kelompok yang menganut nilai itu.
c) Tingginya
usaha untuk mempertahankan nilai tersebut.
d) Tingginya
kedudukan orang yang membawakan nilai itu.
c. Berdasarkan
Tingkat Keberadaannya
Kita mengenal dua jenis nilai
berdasarkan tingkat keberadaannya, yaitu nilai yang berdiri sendiri dan nilai
yang tidak berdiri sendiri.
1)
Nilai yang berdiri sendiri, yaitu suatu
nilai yang diperoleh semenjak manusia atau benda itu ada dan memiliki sifat
khusus yang akhirnya muncul karena memiliki nilai tersebut. Contohnya
pemandangan alam yang indah, manusia yang cantik atau tampan, dan lain-lain.
2)
Nilai yang tidak berdiri sendiri, yaitu
nilai yang diperoleh suatu benda atau manusia karena bantuan dari pihak lain.
Contohnya seorang siswa yang pandai karena bimbingan dan arahan dari para
gurunya. Dengan kata lain nilai ini sangat bergantung pada subjeknya.
Dari
beberapa pendapatdi atas maka nilai-nilai social dapat dikategorikan menjadi
(1) nilai material, (2) nilai vital, (3) nilai kerohanian, (4) nilai berdasarkan
sifatnya, (4) nilai berdasarkan cirinya, dan (5) nilai berdasarkan tingkat
keberadaannya
B. Penelitian
yang Relevan
Peneliti
yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Anik
Ernawati pada tahun 2007 berjudul “Analisis Novel Mantra Pejinak Ular
karya Kuntowijoyo (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Hasil penelitian menunjukkan dan
memaparkan keterjalinan antarantar unsur intrinsik dalam novel tersebut. Unsur
itu adalah tema, penokohan, setting/latar, alur atau plot serta amanat yang
terkandung dalam novel tersebut. Penelitian ini juga memberikan pandangan dan
analisis dalam dunia pengarang. Maksudnya adalah pembahasan novel ini ditinjau
dari sudut pandang pengarang novel tersebt.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Ririh
Yuli Atminingsih pada tahun 2007 yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai
Pendidikan Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis gaya bahasa dalam novel Laskar
Pelangi, yaitu: simile, metafora, personifikasi, hiperbola, ironi,
paradoks, metonimia, alusio dan lain sebagainya. Novel Laskar Pelangi juga
mengandung beberapa nilai didik yang meliputi nilai religius, nilai sosial, dan
nilai moral. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pembelajaran bahasa Indonesia
jenjang SMA kelas XI, menggunakan novel Laskar Pelangi sebagai bahan
ajar dan sesuai dengan kurikulum yang ada.
3.
Penelitian yang dilakukan Maria Ika Asih
pada tahun 2008 berjudul “Analisis Novel Langit dan Bumi Sahabat Kami (Tinjauan
Sosiologis)”. Hasil penelitian yang menunjukkan beberapa masalah sosial yang
ada dalam novel Langit dan Bumi Sahabat Kami karya
NH.Dini tersebut antara lain adalah kehidupan yang terjadi pada waktu pengarang
masih muda. Kemiskinan yang merajalela, pencurian dan kejahatan ada dimana-mana
serta kelaparan yang menghantui serta penduduk, termasuk di dalamnya adalah
pelanggaran terhadap normanorma yang ada dalam masyarakat.
4.
Jurnal yang berjudul “Energy
of Novels Saman, Nayla, and Petir in Literary Publishing
Industry” karya Sugiarti, I Nyoman Kutha Ratna, I Nyoman Weda Kusuma, dan Ayu
Sutarto pada tahun 2010. Jurnal ini menghasilkan (1) aspek tema dan energi yang
terkandung dalam novel Saman, Nayla dan Petir mengacu pada
perhatian wanita pada struktur sosial dan budaya, budaya patriaki, dan konflik
antara struktur tradisional dan modern. Ada ekspresi yang vulgar dan
meledak-ledak, diksi yang kontras, imajinasi dan bahasa yang simbolik,
menggunakan gaya yang alami, narasi bebas, dengan teknik ilmiah dan
mengejutkan. Kekuatan narasi, karakteristik, dan keunikan novel Saman, Nayla
dan Petir memotivasi industri penebitan untuk menerbitkannya; (2) penerimaan
pembaca terhadap tema pada novel Saman, Nayla, dan Petir ini berhubungan
dengan perubahan sosial dan kebudayaan, dan industry penerbitan sastra di
Indonesia, yang dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pro dan kontra.
Perubahan sosial dan budaya disebabkan nilai-nilai pada sastra tidak terikat
ruang dan waktu. Demikian nilai-nilai itu akan tetap bertumbuh dan berubah. (3)
relevansi industri budaya dan ekonomi praktis terhadap para pasar pembaca buku
dan industri penerbitan sastra sejarah, ini dapat dilihat pada model yang
menjadi kolektif, bisnis dan bukan berorientasi pada ideology yang merupakan
sesuatu yang lebih penting dari yang lainnya. Sejarah sastra Indonesia kurang
berpengalaman menghasilkan pengembangan industry budaya, tanpa memperhatikan
fakta bahwa itu masih berdasar pada standar estetika.
5.
Thesis yang dilakukan oleh
Dian Yunita Rahmawati mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul
Analisis Watak Tokoh Utama pada Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan
Psikologi Sastra) pada tahun 2010 (http://www.researchgate.net/publication) Hasil dari penelitian itu adalah (1) emosi: mudah
marah, sering tertawa, tidak mempunyai perhatian yang mendalam, berpegang pada
pendiriannya, benci mentolelir, jujur dalam batas rendah, tidak mau bangkit;
(2)pembawaan/ fungsi kedua: kalem, tidak mudah menyerah, suka membantu, punya
memori, berpikir bebas, konsekuen, tidak kalem, egois; dan (3) aktivitas:
senang, menghindari hambatan, berwawasan luas, memperbaiki huungan ketika bertengkar,
sering kehilangan harapan, semua dilihat sebagai masalah yang berat, bernafsu,
sulit untuk membuka hatinya.
Dalam
hubungannya dengan kelima penelitian di atas, penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti mempunyai kesamaan dalam hal penggunaan objek dan pendekatan
penelitian, yaitu novel Nayla karya Djenar Maesa dan pendekatan sosiologi
sastra.
No comments:
Post a Comment