Dahulu (pada masa penulis masih anak-anak), sastra anak berupa puisi atau cerita rakyat menjadi suguhan yang menarik bagi anak-anak ketika sedang berkumpul keluarga atau menjelang tidur. Orang tua mengambil peran penting membacakan atau berkisah mengenai isi karya sastra kepada anak-anaknya. Anak pun merasa senang dengan isi cerita yang didengarkan hingga membawa mereka pada dunia mimpi yang indah. Selanjutnya, lingkungan kedua anak yaitu sekolah juga menyajikan konten materi sastra yang mudah dibaca, dipahami, dan tentunya sangat menarik alur ceritanya karena sangat relevan dengan kehidupan anak-anak sehingga anak menjadi berminat untuk belajar. Suguhan menarik yang popular ada di dalam karya sastra anak masa lalu adalah kepahlawanan, perjuangan, keharmoniasan keluarga, keindahan alam, dan berbagai tema baik dan sesuai perkembangan anak lainnya.
Beberapa hal penting yang diperoleh dari budaya ini adalah mendidik anak agar budi dan pekertinya menjadi baik dengan mengambil nilai atau amanat dalam cerita yang dibaca atau didengarkan yang secara tidak langsung membentuk akhlak atau karakter mulia pada diri anak. Sungguh sebuah realitas masa lalu yang sekarang ini sulit ditemukan. Sastra anak tidak lagi menjadi bacaan anak atau bahkan dibacakan oleh orang tua. Sehingga di perpustakaan atau di rumah bacaan sastra anak hanya tinggal bertumpuk dan berdebu tanpa perhatian dari anak maupun orang tua. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sangat sulit menjumpai pemandangan ketika orang tua duduk bersama anak-anaknya sambil menceritakan cerita rakyat atau orang tua yang duduk di samping anaknya ketika hendak tidur malam dan membacakan dongeng atau cerita rakyat lainnya. Yang paling banyak dijumpai adalah anak-anak asyik menonton televisi, bermain game, dan bermain media sosial. Mereka tidak lagi mendapatkan asupan nilai-nilai budi pekerti yang luhur secara langsung dari lingkungan keluarganya, khususnya ibu dan ayah. Mereka hanya asik pada suguhan konten digital. Di lingkungan sekolah pun, anak-anak lebih dominan mendapatkan suguhan konsep umum, sastra anak hanya disuguhkan sebagai materi pelengkap yang sangat minim jumlahnya. Dari kedua realitas ini, dapat dibandingkan bagaimana perbedaan karakter anak-anak yang mendapatkan asupan sastra yang memadai dengan karakter anak masa kini yang sudah tak lagi mendapatkan sentuhan sastra dan nilai-nilai positif di dalamnya. Beberapa ahli psikologi mengungkapkan bahwa karakter anak masa kini cenderung antipati, kepekaan sosialnya menjadi sangat rendah, dan yang paling parah adalah lemahnya kesadaran untuk menghayati, menilai, dan memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik. Hal ini terjadi akibat lemahnya fungsi-fungsi sosial dari berbagai hal yang senantiasa intim dengan kehidupan anak seperti game online, menonton TV dengan konten yang tidak mendidik, lingkungan media sosial yang buruk. Apalagi peran orang tua pada aktivitas anak di situasi tersebut juga tidak ada, sehingga dampaknya sangat cepat dan semakin parah.
Menyikapi permasalahn tersebut, sangat penting untuk mengembaliklan eksistensi sastra anak Indonesia untuk dijadikan sebagai basis pendidikan karakter baik di rumah maupun di sekolah. Urgensi untuk mengembalikan eksistensi sastra anak dalam rangka menanggulangi krisis karakter ini sebagaimana dikemukakan oleh Whitehead (2002) dalam bukunya “Developing Language and Literacy with Young Children” bahwa kondisi karakter anak masa kini (masa modern) menjadi cukup memprihatinkan. Bahan bacaan yang diperolehnya terkadang menyajikan konten yang tidak patut untuk dibaca anak-anak. Hal tersebut yang menjadi faktor pemicu karakter anaknya menjadi tidak terkontrol. Menurutnya sastra anak adalah satu-satunya bacaan yang paling tepat untuk disajikan kepada anak-anak. Untuk itu, Withead mengembangkan materi pembelajaran sastra dan literasi yang menjadikan sastra sebagai salah satu basisnya. Selanjutnya Wolf (2004) dalam bukunya “Interpreting Literature with Children” mengemukakan bahwa lembaga pendidikan atau sekolah sepatutnya menyajikan konten bacaan anak yang sesuai atau relevan dengan masa tumbuh kembang anak. Sebab, dalam hal pembentukan karakter anak, sekolah adalah lembaga kedua yang bertanggung jawab menyajikan materi pendidikan yang mampu mengembangkan anak dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Blocksidge, 2000). Salah satu komponen materi pendidikan karakter yang tepat dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan untuk membina karakter anak adalah sastra. Namun, semua harus berpulang pada kesadaran dan peran penting masing-masing pihak yaitu orang tua dan guru untuk menyukseskan usaha ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Wringe (2006) bahwa pendidikan dalam rangka membentuk karakter atau moral pada anak harus melibatkan peran serta orang tua dan guru yang saling bersinergi dan berusaha secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan dari tulisan ini adalah kondisi moral atau karakter anak generasi saat ini menjadi sangat memprihatinkan dan tidak dapat dianggap biasa saja. Untuk itu, menjadi sangat penting untuk segera dilakukan pengembalian eksistensi sastra anak Indonesia sebagaimana eksistensi sastra anak di masa lalu untuk dijadikan basis dalam pendidikan karakter atau moral anak. Pendidikan karakter dengan memanfaatkan sastra anak ini tentunya harus melibatkan fungsi dan peran orang tua dan guru yang saling bersinergi. Untuk itu, penulis menyarankan agar orang tua dan guru dapat memahami pentingnya kedudukan mereka dalam membentuk karakter anak yang lebih baik.
Daftar Rujukan
Wolf, Selbhy A. 2004. Interpreting Literature with Children. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Withead, Marian R. 2002. Developing Language and Literacy with Young Children. London: Paul Chapman Publishing.
Blocksidge, Martin. 2000. Teaching Literatur 11-18. London & New York: Continuum Publisher.
Wringe, Colin. 2006. Moral Education: Beyond the Teaching of Right and Wrong. Netheland: Springer.
No comments:
Post a Comment