SIMULASI KREATIF
A. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN DALAM KEGIATAN
SIMULASI KREATIF (PERMAINAN)
Perilaku anak akan
berubah seiring dengan perkembangan anak itu sendiri, termasuk perilaku
bermainnya. Pada dasarnya anak gemar bermain, bergerak, bernyanyi, dan menari.
Semua kegiatan tersebut dilakukan anak seiring pertumbuhannya yang mengubah
posisi tubuh seiring ruang dan waktu yang dilewatinya. Bermain meningkatkan
kemampuan gerak anak sehingga pertumbuhan dan perkembangan tubuh, alat
artikulasi, ekspresi, perasaan dan pikiran, penampilan kehidupan sehari-hari,
dan sebagainya akan lebih berkembang. Melalui bermain anak akan dapat mengenal
lingkungannya, berinteraksi, dan mengembangkan daya fantasinya. Parten (1932)
mengidentifikasikan rangkaian tingkatan dalam permainan sosial anak. Pada usia
tiga tahuan anak cenderung melakukan kegiatan soliter atau sebagai pemerhati.
Menjelang usia empat tahun anak melakukan kegiatan permainan paralel dan
menjelang usia lima tahun mereka melakukan kegiatan permainan kelompok
(kooperatif). Parten menyimpulkan permainan soliter dan parallel menandakan
ketidakmatangan anak, lain halnya dengan yang kooperatif (dalam Spodek, 1994).
Piaget (1962)
mengidentifikasi tiga tingkat permainan anak, yaitu (1) permainan praktis
meliputi permainan manipulatif, (2) permainan simbolik melalui permainan
dramatic, dan (3) permainan dengan aturan-aturan yang berkaitan secara paralel
dengan tingkat kecenderungan yang diamati.
Smilansky (1968)
menguraikan tingkat permainan Piaget menjadi tiga tingkat, yaitu (1) permainan
dramatik, (2) konstruktif, dan (3) permainan fungsional. Sementara itu, Rubin,
Maioni, dan Hornung (1976) meneliti intervensi pada perilaku bermain anak untuk
mempelajari aspek sosial dan aspek intelektual anak. Dalam hal ini, guru dapat
melakukan intervensi dengan memodifikasi seting, mengubah materi,
memberi pertanyaan kepada anak yang sedang bermain, atau mendorong
berlangsungnya permainan. Dengan mengamati kegiatan bermain anak, guru dapat
menentukan pengaruh yang akan diterapkan pada permainan anak tersebut.
Intervensi ini harus dilakukan dengan hati-hati (secara sensitive) misalnya
dengan mengijinkan anak untuk mengontrol permainannya sehingga dapat
berlangsung secara wajar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa intervensi
merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk
mempengaruhi situasi permainan sesuai dengan kebituhan anak serta keterlibatan
anak dalam permainan tersebut. Intervensi yang dimaksud di sini dirangkai dalam
suatu kesatuan kegiatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Horn (1991) mengemukakan strategi intervensi yang dapat dilakukan
guru antara lain sebagai berikut.
1. Melatih bermain;
2. Membentuk pengalaman umum;
3. Menetapkan objek dan alat
(bahan) dalam permainan yang direncanakan;
4. Mengatur waktu; dan
5. Menetapkan
tempat khusus yang dirancang untuk bermain.
B.
JENIS PERMAINAN
Permainan beragam
jenisnya bergantung pada jenis kegiatan yang bermain yang dilakukan serta bentk
instruksi yang diberikan pada saat permainan berlangsung. Berdasarkan
kegiatannya, peramainan dibagi menjadi dua, yaitu permainan aktif dan permainan
pasif. Sedangkan berdasarkan ada tidaknya instruksi yang diberikan guru,
permainan dibagi menjadi permainan bebas, permainan terikat, dan permainan
terarah. Berkaitan dengan jenis permainan ini dikenal bentuk permainan
eksploratori, permainan energetik, permainan konstruktif, permainan sosial,
permainan kreatif-imajinatif, dan permainan puzzle. Setiap jenis
permainan memanfaatkan alat atau bahan permainan. Ada bentuk permainan
memanfaatkan alat yang diambil dari lingkungan sekitar anak, dari alam, dan
permainan edukatif.
Sebagai contoh,
untuk dapat mengajarkan kemampuan menyimak dan berbicara, guru dapat
memanfaatkan kaleng bekas susu cair untuk membuat telepon mainan setelah
sebelumnya dilengkapi benang kasur dengan ukurang panjang tertentu. Guru juga
dapat menggunakan arena panggung boneka di dalam kelas untuk meningkatkan
kemampuan menyimak dan berbicara serta aresiasi sastra. Permainan melalui
simulasi gambar, storytelling, dan pantomim juga dapat digunakan sebagai
sarana pengembangan kemampuanberbahasa anak. Penyiapan puisi dan prosa fiksi
berikut kreasi pembacaannya serta permainan drama teater sebagai bentuk
simulasi kreatif dapat dilakukan guru dan siswa di dalam kelas sebagai sarana
permainan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, kemampuan sosialisasi, dan
kemampuan berpikir imajinatif siswa.
C.
SIMULASI KREATIF (PERMAINAN) SEBAGAI WAHANA
PEMBELAJARAN
Simulasi kreatif
(permainan) sebagai wahana pembelajaran terutama pada anak-anak kelas awal
perlu mendapat perhatian para guru. Hal ini sejalan dengan aktivitas yang
dilakukan anak-anak pada setiap harinya yang banyak menghabiskan waktu mereka
untuk bermain. Di sekolah, pada jam-jam sekolah anak-anak sering melakukan
aktivitas bermain, misalnya pada waktu jam istirahat atau ketika guru belum
memasuki kelas.
Dengan latar
belakang anak senang melakukan kegiatan bermain, permainan fisik maupun
nonfisik, kegiatan simulasi kreatif berupa permainan yang bersifat mendidik
dengan arahan guru dapat dengan mudah dilaksanakan. Arahan guru ini dimaksudkan
agar permainan dalam konteks pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan. Beragam bentuk permainan ini dapat diimplementasikan
dalam pembelajaran di sekolah dasar secara terpadu. Dalam hal ini, satu bentuk
permainan mungkin saja dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan
kompetensi yang ada dalam beberapa mata pelajaran secara sekaligus.
Dalam kegiatan
belajar 2 ini akan dipaparkan tentang permainan sebagai wahana pembelajaran
terutama sebagai wahana dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
Permainan yang dipilih dan dilakukan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
berbahasa; mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis serta pengalaman
bersastra. Secara lebih luas, permainan ini juga dapat mengembangkan kognisi
(daya berpikir), emosi, sosial, fisikal, dan kepribadian anak. Juga akan
dibahas cara-cara atau upaya guru melalui permainan untuk menumbuhkan kemampuan
bertanya siswa melalui kegiatan menanggapi cerita atau puisi yang disimak atau
diceritakan, kemampuan mendeskripsikan secara lisan dan melalui gerak
(pantomime), dan bermain boneka, dan bermain peran.
1.
Simulasi Kreatif Sebagai Wahana
Pembelajaran Bahasa
Dalam konteks
pembelajaran bahasa, simulasi kreatif dapat digunakan sebagai wahana atau media
pembelaharan untuk membentuk pemahaman dan penghayatan konsep serta nilai
maupun perkembangan keterampilan. Play ini dapat dilakukan melalui
kegiatan permainan boneka, simulasi gambar atau media lainnya, atau melalui
kegiatan bermain peran. Melalui play guru dapat mengamati berbagai macam
bentuk pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Simulasi kreatif
khususnya dalam pembelajaran bahasa sangat bermanfaat dalam mengembangkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, membaca, maupun menulis yang
dihubungkan dengan pengembangan emosi, hubungan sosial, daya imajinasi dan
kognisi, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan daya fisikal siswa.
Simulasi kreatif
memiliki banyak media yang dapatn digunakan untuk mengembangkan kemampuan
berbahasa anak. Misalnya, dramatic play dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan berbicara, keterampilan emotif dan kognitif, dan
keterampilan sosial siswa. Pengalaman siswa pergi ke dokter, supermarket atau
pusat perbelajaran dapat digunakan sebagai situasi sosial yang bisa dimainkan
siswa secara dramatic melalui permainan dokter-dokteran atau penjual dan
pembeli dalam sebuah transaksi jual beli di supermarket. Kreativitas siswa juga
dapat dikembangkan melalui pemberian masalah sehingga mereka dapat
memecahkannya melalui kegiatan bermain peran. Selain itu, agar daya fisikal,
kognitif, dan kreativitas imajinatif siswa terkembangkan, guru bisa membawa
bermacam alat atau benda yang bias digunakan siswa.
Hal yang perlu
diperhatikan guru dalam perancangan simulasi dan penyediaan media adalah
hindari mengajari siswa yang didasarkan pada stereotif jenis kelamin. Pada
umumnya guru memisahkan atau membedakan jenis permainan dan alat bermain yang
diberikan kepada siswa laki-laki dan perempuan. Mereka menyimpulkan bahwa anak
laki-laki selalu bermain yang kasar-kasar dan lebih aktif, sebaliknya siswa
perempuan cenderung melakukan permainan konstruktif dan melakukan permainan di
atas meja. Anak perempuan cenderung memiliki teman emajiner yang lebih banyak.
Dengan demikian, guru tidak perlu memberikan bet dan bola pada anak laki-laki
sementara anak perempuan diberi boneka. Biarkan mereka memilih sendiri alat
bermainnya dan biarkan mereka menunjukkan permainan sesuai dengan minatnya.
Intervensi guru
sebaiknya dilakukan khususnya dalam menciptakan permainan yang memungkinkan
terciptanya alternative permainan yang khas dan bias membatasi atau memperkecil
pemisahan permainan jenis kelamin. Dengan demikian, guru dapat menghindari
mengajari anak untuk memiliki perilaku berdasarkan stereotif jenis kelamin
dalam konteks sekolah.
Permainan dalam
konteks sekolah atau pembelajaran dapat ditentukan berdasarkan tujuan. Tujuan
ditetapkan oleh pihak yang bertanggung jawab atas permainan anak tersebut.
Permainan pendidikan memiliki tujuan utama, yaitu pembelajaran anak-anak.
Permainan harus menyenangkan anak sehingga walaupun permainan ini memiliki
tujuan pendidikan, tetapi tetap bisa dinikmati anak dan mereka tetap bisa
mengembangkan keterampilan sosialnya serta mampu memilih dan menggunakan alat
permainan yang disukainya secara inovatif.
2.
Simulasi Kreatif dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Permainan yang
ditujukan untuk anak usia sekolah sadar dipilih dalam bentuk permainan yang
benar-benar diperlukan terutama dalam pembelajaran bahasa. Permainan harus
dapat dipahami dan harus sesuai dengan tujuan kompetensi yang tercantum dalam
kurikulum. Permainan harus dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan kemampuan bermain anak-anak sebelum sekolah
dengan kemampuan membaca. Misalnya bermain drama merupakan aktivitas atau
kegiatan simbolis dari membaca dan menulis. Anak menggunakan objek-objek atau
orang untuk menampilkan sesuatu yang lain dan mereka menggunakan bunyi-bunuyi
dan simbol-simbol tulisan untuk menampilkan kata-kata yang mewakili ide atau
gagasan dalam drama yang diperankannya. Anak-anak juga lancar bercerita
sebagaimana mereka lancer bermain dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan
demikian, guru dapat meningkatkan pembelajaran bahasa melalui aktivitas bermain
drama. Menggunakan telepon dalam seting bermain drama akan mendorong anak untuk
menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. Untuk pelaksanaan kegiatan ini
guru harus mengatur aktivitas permainan dalam konteks pembelajaran.
3.
Permainan untuk Mengembangkan Kemampuan
Berbahasa
a. Kemampuan
Mendeskripsikan
Bermacam aktivitas
permainan dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak. Guru dapat mendorong
anak untuk berlatih menjelaskan secara rinci baik tertulis maupun lisan
terhadap sesuatu; objek, orang, gambar, suara, lingkungan, dan sebagainya yang
dijadikan sebagai stimulus.
Mendeskripsikan Objek Benda
atau Orang
Siswa diminta
berlatih mendeskripsikan suatu objek benda yang ada di sekitar atau objek orang
(siswa lain di kelasnya) dan siswa lain diminta menebaknya. Untuk memudahkan
temannya menebak objek benda atau orang yang dimaksudkan, siswa diminta
memberikan deskripsi berkaitan engan objek benda atau orang tersebut. Misalnya,
mendeskripsikan sepatu, warna kulit, jenis rambut, pakaian khas yang dikenakan,
topi khas yang digunakan, atau tempat bekerja yang berkaitan dengan yang
dideskripsikan.
Mendeskripsikan dan
Mendiskusikan Gambar
Guru dapat
menggunakan gambar atau rangkaian gambar berseri untuk bahan diskusi dan
permainan. Ada tiga tahap untuk kegiatan permainan mendeskripsikan gambar.
Pertama, mendeskripsikan gambar secara sederhana; kedua, membandingkan dua buag
gambar (ilustrasi); dan ketiga memberikan penilaian terhadap dua gembar atau
lebih.
Gambar di atas
merupakan gambar dua dimensi hasil karya mahasiswa program D-2 PGSD BS yang
dimanfaatkan dalam simulasi kreatif berjudul alam bahasa.
Dalam setiap objek
bisa dibuka dan di beliknya terdapat pertanyaan yang harus dijawab siswa yang
mengikuti permainan. Jika peserta lainnya tidak bis menjawab, maka ia harus
memperagakan dan menirukan suara binatang yang terdapat dalam gambar. Tujuan
permainan ini ialah mengajak siswa untuk mengenal alam dan makhluk hidup yang
ada di sekitar dan mengetahui bagaimana mereka hidup.
Dengan demikian,
gambar di atas juga dapat digunakan sebagai media dalam diskusi yang bertujuan
untuk mengarahkan anak agar (1) berpartisipasi dalam diskusi, (2) mengembangkan
keterampilan berpikir kreatif, dan (3) mengembangkan keterampilan deskripsi
secara lisan. Gambar-gambar yang digunakan sebagai media hendaknya dipilih yang
sarat dengan makna dan jelas sehingga memungkinkan timbul berbagai topic cerita
atau pembicaraan yang disampaikan anak. Gambar dapat merangsamg anak untuk
melakukan diskusi kelompok besar, kelompk kecil, kegiatan individual, atau
untuk cerita-cerita lisan. Sebagai contoh, diberikan gambar seekor induk beruang
bersama dua anaknya di pinggir hutan. Gambar tersebut dapat merangsang cerita
lisan berikut.
“Ayah
dan aku berada di hutan sepanjang hari untuk berburu. Ayah ingin karpet beruang
untuk karpet kamarnya. Ketika kami tiba di lapangan rumput, kami melihat beruang
besar sekali di tengah lapangan. Ketika ayah mulai mengangkat senapannya,
kulihat sesuatu bergerak. Aku berteriak, “ Jangan tembak…!”.
Kegiatan
berikutnya minta siswa memperhatikan kembali gambar beruang tadi dan tanyakan
mengapa anak kecil itu berteriak demikian? Suruh siswa mengakhiri cerita tadi
sesuai dengan imajinasinya secara lisan.
Kegiatan lain guru
dapat meminta siswa berbagai kelompok dan tugaskan kelompok satu memilih
gambar-gambar sport dan kelompok lainnya menjadi reporter TV yang
mewawancara pemain sport tersebut. Dari gambar sport guru dapat beralih
ke gambar-gambar jenis alat-alat musik. Tugaskan satu kelompok memilih satu
gambar alat musik tersebut dan berperan sebagai sales yang bertugas meyakinkan
kelas bahwa alat musik tersebut adalah instrument musik terbaik dan bernilai
untuk dibeli.
Dengan demikian,
gambar dapat digunakan sebagai media simulasi kreatif (permainan) dan dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak.
Namun, dalam hal
ini yang dipentingkan bukan kebenaran menceritakan gambar melainkan kemampuan
bercerita dengan daya imajinasi/persepsi tentang gambar.
Mendeskripsikan Suara
Permainan yang
diarahkan untuk mengembangkan kemampuan mendeskripsikan suara dapat dilakukan
dengan media suara binatang, suara manusia, suara letusan gunung, petir, ombak,
suara dari benturan benda, dan lain-lain. Siswa dapat diminta untuk
mendeskripsikan salah satu suara dan siswa lainnya diminta menebaknya.
Mendeskripsikan Lingkungan
Dalam suatu
pembelajaran guru dapat meminta siswa untuk mendeskripsikan salah satu bagian
dari lingkungannya. Misalnya, keadaan lingkungan saat musim kemarau atau musim
hujan, sawah, kebun bunga, sungai, lingkungan rumah atau sekolah, dan lingkungan
lainnya yang dekat dengan dunia anak. Guru dapat meminta siswa untuk
menceritakan lingkungan tersebut dan meminta siswa lain mengungkapkan respons
terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang dideskripsikan temannya.
Kunjungan Lapangan
Kunjungan
lapangan dalam rangka pembelajaran bahasa masih perlu sering dilakukan agar
suasana belajar semakin menyenangkan. Sebelum guru mengajak siswa melakukan
kunjungan, siswa dilatih menyusun pertanyaan untuk kegiatan wawancara di
lapangan. Dari jawaban yang diperoleh, siswa dapat membuat deskripsi tentang
lingkungan/lokasi yang dikunjungi. Siswa akan mendeskripsikan apa yang mereka
lihat, rasakan, senangi, dan yang mereka dengar atau sentuh. Untuk siswa kelas
rendah dapat dilakukan pendeskripsian secara lisan sedangkan untuk kelas tinggi
dapat dilakukan secara tertulis. Sebagai kegiatan awal dari kegiatan kunjungan
yang sebenarnya, guru dapat melakukan simulasi kreatif menggunakan maket
lingkungan yang akan dikunjungi. Menggunakan maket tersebut siswadiajak untuk
berjalan mengikuti arah jalan, berhenti di setiap tempat, sampai pada akhirnya
tiba di lokasi tujuan.
b. Pengembangan Kreasi Anak
dengan Keindahan Suaranya
Seiring maraknya
film kartun atau animasi, anak-anak sekarang banyak menghabiskan waktunya
secara pasif dengan menonton televisi atau mendengarkan musik di radio. Guru
disarankan untuk membantu snak beraktivitas yang menyenangkan dan dapat
mengungkapkan ekspresi suaranya sehingga tidak hanya diam. Ross dan Roe (1984)
mengemukakan bahwa kadang-kadang siswa dapat menyajikan pertunjukkan untuk
teman sekelas, guru, orang tua. Dan anggota masyarakat di sekitar sekolah.
Mereka boleh memilih menyajikan sandiwara boneka, bercerita, membaca puisi
secara rampak, atau berpartisipasi dalam pementasan drama (Zuhdi, 1997).
Penggunaan Boneka sebagai
media Simulasi Kreatif
Bagi anak-siswa,
dapat bercerita di depan kelas adalah hal yang menyenangkan. Mungkin anak akan
bercerita tentang pengalaman berkaitan dengan dunia kecilnya, binatang yang ada
di lingkungan sekitarnya atau menceritakan kembali dongeng yang sudah
dikenalnya. Mungkin juga anak akan bercerita dalam beberapa kalimat saja,
tetapi berperan sebagai pencerita adalah pengalaman yang diinginkannya. Guru
harus memberikan kesempatan ini kepada mereka. Salah satu bentuk simulasi
kreatif yang dapat dilakukan siswa adalah permainan boneka. Pertunjukan
sandiwara boneka memberikan kesempatan kepada anak untuk berbagai gagasan dan
cerita lewat percakapan yang disertai dengan gerak boneka. Mereka dapat
menggunakan boneka-boneka yang sudah tersedia baik berupa boneka tangan, boneka
jari, ataupun boneka tiruan binatang/orang dan mencari cerita yang sesuai
dengan boneka-boneka tersebut. Selain itu, dapat juga menyusun cerita sendiri
dan membuat boneka-boneka yang sesuai dengan isi cerita yang telah dibuatnya
Puisi dan Prosa Fiksi sebagai
Wahana Pembelajaran Membaca Estetis
Membaca
bersama-sama dalam kelompok dapat dilakukan dalam pembacaan puisi. Cara ini
sangat menyenangkan dalam mengembangkan daya tarik pembelajaran puisi.
Pembacaan puisi lebih efektif bila dilakukan secara nyaring dan secara
bersama-sama. Guru dan siswa bersama-sama memutuskan kapan dan bagian mana
larik dari puisi tersebut yang harus dibaca keras atau lembut. Guru dan siswa
menandai bagian-bagian tertentu yang perlu dibaca keras atau lembut tersebut.
Selain itu, guru dapat juga merekam pembacaanpuisi tersebut sehingga dapat diputar
kembali di dalam kelas.
Zuhdi (1999)
mengemukakan bahwa melalui kegiatan membaca puisi secara kor, anak –anak dapat
mengekspresikan karya sastra berupa puisi. Mereka dapat merasakan keindahan
puisi lewat ritme, rima, aliterasi, dan suasana batin yang diungkapkan. Puisi
atau cerita yang dipilih haruslah yang menarik untuk anak dan yang mudah
dipahami secara lisan dan serta mudah dihafalkan. Mereka perlu mendengarkan dan
menghafalkan puisi yang akan dibacakan secara kor tersebut atau cerita yang
akan dibacakannya ekmbali tersebut secara berulang-ulang sehingga dapat
menafsirkan isinya. Mereka harus dapat menangkap isi perasaan batin yang
diungkap dalam puisi atau cerita tersebut. Tujuan utama dari kegiatan membaca
puisi dan cerita ini adalah untuk tujuan estetis sehingga kegiatan membaca yang
dilakukan adalah membaca estetis. Oleh karena itu, guru harus membantu siswa
untuk belajar menafsirkan karya sastra tersebut secara lisan untuk memperoleh
kesenangan.
Untuk kegiatan di
atas, Norton (1994) mengemukakan bentuk-bentuk pembacaan puisi secara lisan.
Pertama bentuk refren, yaitu guru atau murid yang mampu melakukan pembacaan
dengan baik akan menyajikan bagian utama dari puisi atau cerita tersebut.
Selanjutnya, anak-anak lain mengikuti. Pembacaan didasarkan pada baris puisi,
misalnya baris pertama oleh satu orang anak dan baris berikutnya oleh anak yang
lain. Demikian seterusnya sampai puisi atau cerita tersebut terbaca seluruhnya.
Bentuk lainnya , yaitu antifonal atau dialog. Pembacan setiap bagian puisi atau
cerita dilakukan oleh orang atau kelompok yang berbeda sesuai yang telah
ditetapkan guru. Untuk bentuk selanjutnya, yaitu kumulatif, guru dapat membagi
kelompok 1 untuk membacakan bait pertama atau bagian awal cerita dan kelompok 2
bergabung pada bait kedua atau bagian tengah cerita tersebut. Hal ini dilakukan
terus menerus sampai seluruh bait dan isi cerita terbaca. Pembacaan bentuk
lainnya dapat dilakukan secara serentak bersama-sama oleh seluruh siswa satu
kelas.
Untuk
mengembangkan kemampuan bahasa lisan, anak kelas awal dapat dirangsang untuk
menceritakan kembali isi cerita yang disenangi. Sementara untuk kelas tinggi,
dapat dilakukan melalui pengembangan cerita. Dalam hal ini, anak dituntut untuk
mengemukakan pendapat mengenai kelanjutan cerita yang telah dibacanya. Untuk
itu, guru perlu mengajukan pertanyaan kepadasiswa, misalnya “Apa yang
dikerjakan tokoh A setelah bertemu tokoh B?” atau “Apa yang dilakukan tokoh A
saat tokoh B datang?”. Cara lain untuk mendapatkan cerita dari anak adalah
dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan kejadian atau
kelanjutan cerita. Pertanyaanberikut “Bagaimana jika….?” dapat diberikan guru
kepada siswa dan jawaban dari anak berkaitan dengan pertanyaan tersebut akan
berupa penjelasaan atau pendapat. Jawaban dari anak akan dimasukkan sebagai
cerita tambahan sebagai hasil dari olahan pemikiran dan imajinasi anak.
Membacakan Cerita
Guru diharapkan
selalu mendorong anak untuk rajin membaca. Untuk itu, guru harus menyediakan
bahan bacaan yang bervariasi. Untuk memotivasi anak dalam membaca cerita, guru
terlebih dulu harus memberikan contoh pembacaan cerita secara baik. Dalam hal
ini ada beberapa petunjuk yang bisa dipakai guru, yaitu pilihlah sebuah cerita
yang menarik untuk diceritakan dan tetapkan gaya bercerita. Sutherland (1984)
menyarankan tiga hal dalam menyiapkan cerita.
1. Kesatuan gerak
Mempersiapkan
sebuah cerita agar mudah diingat adalah dengan memperhatikan kesatuan gerak
tokoh dalam seri atau episode cerita tersebut.
2. Pemilihan
kata-kata
Catatlah
beberapa kata kunci yang penting dalam setiap episode cerita. Ingatlah
bagaimana penggambaran diceritakan dengan kata-kata yang tepat sehingga dapat
diceritakan kembali secara tepat.
3. Mendengarkan penceritaan
Setelah memperhatikan
kesatuan gerak dan kata-kata kunci, tuliskan secara singkat hasil mendengarkan
sebuah penceritaan. Ringkasan ini dapat dibaca berulang-ulang di waktu senggang
sebagai bentuk latihan.
Beberapa petunjuk
lain bagi seorang pencerita sebelum bercerita adalah sebagai berikut.
1. Menjaga kontak mata dengan
pendengar.
2. Mengatakan sesuatu yang menarik
berkaitan dengan cerita yang dipilih untuk diceritakan.
3. Bahan bacaan cukup praktis
sehingga cerita pilihan dapat dibaca dengan lancar.
4. Gunakan suara secara efektif dan
menarik.
Untuk memotivasi
dan menarik minat pendengar terhadap cerita yang dibacakan, guru dapat
menambahkan gerakan tubuh yang meyakinkan sesuai dengan penceritaan. Sbagai
tambahan, untuk meningkatkan daya penceritaan sebaiknya gunakan musik sehingga
suasana menjadi lebih hidup.
Permainan Drama dan Teater
sebagai Bentuk Simulasi
Setelah anak
lancar membaca puisi dan cerita, mereka diharapkan lancar membaca naskah drama
dan memainkan atau mementaskan drama di kelas. Latihan membaca naskah drama
perlu dilakukan secara berulang-ulang sehingga anak dapat menghayati isi drama
secara baik. Zuhdi (1999) mengemukakan bahwa dalam memilih naskah drama, guru
harus memilih naskah drama yang memiliki perwatakan yang kuat dan menggunakan
gaya penyajian yang lembut. Anak-anak harus dapat memahami karakter pelaku yang
akan diperankannya sehingga dapat memerankannya secara baik. Dalam memerankan
sebuah drama, setiap anak harus dapat membayangkan latar dan tindakan pelaku
serta dapat menggunakan suara sesuai dengan pemahamannya terhadap perasaan dan
pikiran pelaku tersebut. Melalui kegiatan ini, para siswa dapat menunjukkan
kemampuannya menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa lisan secara ekspresif
sebagai ungkapan perasaan dan pikiran.
Bermain drama atau bermain peran pada dasarnya mengajak
anak-anak untuk memerankan orang lain dalam kehidupan. Melalui kegiatan bermain
drama, anak akan dapat meningkatkan kemampuan bahasa verbalnya. Seltzer dalam
Stewig (1989) memberi saran untuk berhati-hati dalam mengobservasi anak-anak
yang sedang bermain drama. Sebaiknya yang dilihat dari tingkah laku anak adalah
sebagai berikut.
No
|
Perilaku
|
Catatan
|
1
|
Perilaku
anak ketika ada orang lain datang
|
|
2
|
Pendapat
anak tentang orang lain
|
|
3
|
Cara
menempatkan diri pada saat bermain
|
|
4
|
Gerakan
dan suara saat bermain
|
|
5
|
Bagaimana
ketika mementingkan suatu pembicaraan
|
|
c. Pantomim
Pantomim sebagai
suatu bentuk permainan berpotensi untuk mengembangkan kemampuan sosial dan
kemampuan berpikir imajinatif-kreatif anak. (Norton, 1994). Dengan kemampuan
bersosialisasi, siswa dapat bekerja sama, bertenggang rasa, dan berempati
terhadap orang lain. Sedangkan dengan imajinasi-kreatif, para siswa dapat
merefleksikan fenomena yang dihadapkan kepadanya secara khas, baru, terbedakan
dengan yang lain, dan tak terduga (Suwignyo, 1996).
Tujuan Berpantomim
Pantomim
dikategorikan sebagai salah satu jenis drama yang termasuk permainan (play) dengan
cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud adalah (1) mengandalkan tingkah
laku nonverbal untuk mengungkapkan makna atau maksud tertentu, (2)
mendayagunakan secara optimal seluruh anggota tubuh; gesture, gerakan badan,
mimic, tangan, kaki, dan sebagainya (3) dengan bahasa tubuh, gerakan tangan,
dan ekspresi wajah, dan sebagainya dapat diungkapkan berbagai gejolak emosi,
pikiran, dan kehendak, (4) berbagai pikiran dan gejolak emosi tersebut
dinyatakan dalam gerakan-gerakan yang sangat detil (Farris,1993).
Norton (1994) secara khusus merinci
tujuan berpantomim sebagai berikut.
1. Mengembangkan kerja sama dan
interaksi kelompok.
2. mengembangkan imajinasi-kreatif
dan rasa empati.
3. Mengembangkan kesesuaian gerakan
dengan presentasi musical.
4. Menginterpretasikan berbagai
tingkah laku dan emosi yang menyertainya.
Bahan-Bahan
Bahan-bahan yang
dimaksud di sini adalah sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
berpantomim. Bahan-bahan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Aktivitas sehari-hari yang
melibatkan banyak lakuan, misalnya permainan olah raga, kegiatan makan,
belajar, dan sebagainya.
2. Peristiwa kesenian, misalnya
pergelaran musik (orkestra), menyanyi.
3. Kegiatan kerja bakti bersama
keluarga di rumah atau lingkungan sekitar.
4. Deskripsi yang diperdengarkan
kepada siswa.
5. Rekaman bunyi alat musik
tertentu yang mensugestikan gerakan tertentu, misalnya piano, gitar, terompet,
dan lain-lain.
6. Bacaan cerita rakyat yang
kayaakan lakuan imajinatif, misalnya cerita deamatik.
7. Benda-benda mati yang ada di
lingkunga sekitar.
Prosedur Pelaksanan
Norton (1994)
mengemukakan empat prosedur pelaksanaan kegiatan pantomime, yaitu pertama,
melalui pengamatan langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kegiatan
mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekitar kita;
kegiatan olah raga, pergelaran musik atau menghadirkan sekelompok pemusik ke
dalam kelas, mengamati aktivitas sebuah keluarga, atau mengamati benda-benda
mati dan mendiskusikan ciri-cirinya dan setelah pengamatan siswa
mempantomimkannya.
Kedua, yaitu melalui kegiatan
interpretative lewat kegiatan membacakan dongeng, cerita rakyat yang sifatnya
dramatic, mendiskusikannya dari segi identifikasi pelaku, cirri perwatakan,
konflik batin, dan kemungkinan-kemungkinan peragaannya. Selanjutnya dibagi
kelompok dan menampilkan interpretasi isi cerita tersebut dalam bentuk
pantomime.
Ketiga, menggunakan kartu-kartu
permainan.Kegiatan berpantomim dapat dibangkitkan melalui penggunaan
kartu-kartu yang berisi informasi. Bernuansa kesedihan, kebahagiaan, kengerian,
dan sebagainya untuk kemudian dipilih siswa dan dipantomimkan. Sebagai contoh,
sebuah kartu berisi ketakutan (kartu takut) dengan paparan sebagai berikut. Kamu
sedang mengendarai sepeda barumu di jalan komplek rumahmu. Tiba-tiba dari arah
depan melintas dengan cepat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Kamu gugup
dan takut sekali. Ungkapkan perasaanmu melalui gerak-gerik (pantomime) yang
didukung ekspresi wajah yang tepat!
Keempat, melalui penyediaan musik.
Siswa dibawa ke sebuah ruangan musik atau di ruang kelas kepada mereka
diperdengarkan suara berbagai alat musik sambil mata mereka ditutup. Dengan
memfokuskan pada alat musik tertentu, siswa membayangkan irama dan
gerakan-gerakan yang menyertainya. Misalnya lengkingan terompet akan
mensugestikan irama dan gerakan yang berbeda dengan piano. Setelah siswa
mendiskusikan berbagai bunyi alat musik tersebut, secara berkelompok mereka
menyiapkan kegiatan pantomime yang didasarkan pada salah satu alat musik tadi.
2. Simulasi Kreatif dalam
Pembelajaran Bahasa secara Terpadu
Pembelajaran
bahasa Indonesia dilaksanakan secara terpadu, baik terpadu intrabidang studi
maupun antarbidang studi. Pembelajaran di sekolah dasar terutama di kelas awal
atau kelas rendah yang dilaksanakan secara terpadu ini menuntut guru untuk
kreatif dan inovatif. Dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, guru dapat
memanfaatkan simulasi kreatif sebagaimana telah dicontohkan pada
bahasanpembelajaran bahasa. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, pembelajaran
bahasa dapat dilaksanakan secara terpadu lintas bidang studi. Pembelajaran
dengan scenario seperti ini dapat juga memanfaatkan simulasi kreatif
(permainan). Melalui pemanfaatan semulasi kreatif ini guru dapat mengembangkan
beragam kompetensi yang sudah ditetapkan dalam beberapa mata pelajaran.
Sebagai contoh
berikut terdapat sebuah hasil simulasi kreatif karya mahasiswa dengan judu Dunia
Bahasa. Dengan menggunakan permainan ini, guru dapat mengemangkan
kompetensi yang ditetapkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan
Pengetahuan Sosial. Pembelajaran diawali dengan pembagian kelompok. Setiap
kelompok akan memutar bola dunia sambil
memperhatikan tanda panah pada bola
dunia menunjuk pada nama dan nomor pulau. Setelah pulau yang dipilih diketahui,
selanjutnya kelompok beralih ke papan peta kepulauan Indonesia untuk mengambil
dan menjawab daftar pertanyaan pada pulau dan bagian yang 7
ditunjuk oleh tanda panah dalam
bola dunia tadi. Selanjutnya, kelompok menyusun jawaban-jawaban tersebut pada
papan kalimat sesuai dengan urutan pertanyaannya. Dengan demikian, terlihat
bentuk keterpaduan yang digambarkan dari bahan simulasi kreatif permainan Dunia
Bahasa tersebut.
Bentuk keterpaduan
lainnnya dapat dilihat dari hasil simulasi kreatif Kelereng Kalimat dan
Ular Tangga Bahasa berikut. Berdasarkan prosedur permainan yang
harus dilakukan siswa, tampak bahwa kedua bentuk simulasi kreatif ini
mengintegrasikan dua mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia dan Matematika.
Demikian juga
dengan simulasi kreatif Rahasia di Balik Kayu dibuat dengan
tujuan untuk mengembangkan kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan
Matematika. Prosedur permainannya, yaitu pertama seorang anggota kelompok
memutar rumah balok angka dan anggota lainnya mencari kertas kalimat yang
sesuai dengan angka dan warna yang diperoleh dari rumah balok angka.
Selanjutnya, kelompok mencari suku kata-suku kata di kotak suku kata. Warna
suku kata tersebut juga harus sama dengan warna angka yang diperoleh dari rumah
balok angka tadi Terakhir, kelompok menyusun suku kata tersebut menjadi kalimat
seperti yang tercantum dalam kertas kalimat yang sudah diperoleh kelompok di
awal permainan tadi.
Demikian, bentuk
simulasi kreatif dalam pembelajaran bahasa secara terpadu berikut gambaran
singkat posedur pelaksanaan permainan tersebut. Seluruh bentuk simulasi yang
sudah Anda lihat tidak dibuat tanpa tujuan, melainkan untuk membantu
perkembangan anai baik perkembangan kognisi, emosi, sosial, dan fisik anak
sesuai dengan jenis permainannya. Selanjutnya, sudahkah Anda mendapat ide untuk
membuat bentuk simulasi kreatif ini? Berdiskusilah dengan teman untuk
memperoleh gambaran ide tersebut. Selamat mencoba!
Berikut akan
diberikan satu contoh hasil simulasi kreatif dilengkapi dengan tujuan, sasaran,
dan prosedur penggunaan hasil simulasi kreatif tersebut dalam pembelajaran.
ATURAN
PERMAINAN
1.
Tentukan siapa yang akan berperan menjadi eksekutor (yang menggantuctg) dan
yang akan di eksekusi (yang digantung)
2. Eksekutor mengocok terlebih
dahulu kartu kosakata
3.
Yang akan dieksekusi mengambil 1 (satu) kartu kosakata yang harus ditebak
olehnya. Kartu itu diberikan kepada eksekutor.
4.
Eksekutor menyebutkan jumlah huruf dan ciri dari kata yang harus ditebak. 5.
Huruf yang sesuai dengan kata yang dimaksud ditempatkan pada papan eksekusi
oleh eksekusor.
6.
Huruf yang tidak sesuai dengan kata yang dimaksud, membuat eksekusor memasang
perlengkapan pengeksekusian.
Catatan:
- Huruf yang sesuai dengan kata
yang ditebak akan memperlambat pengeksekusian, sedangkan huruf yang tidak
sesuai dengan kata yang ditebak akan mempercepat pengeksekusian.
- Peserta yang akan dieksekusi
diberi kesempatan 10 kali menebak sebelum perlengkapan pengeksekusian
terpasang.
- Pemain dapat bertukar peran
setelah 1 (satu) putaran eksekusi selesai.
PENILAIAN PERMAINAN
- Peserta yang dapat menebak huruf
da kata yang dimaksud sebelum perlengkapan pengeksekusian terpasang, mendapat
nilai 10 (sepuluh)
- Peserta yang tidak dapat menebak
huruf dari kata yang dimaksud karena perlengkapan pengeksekusian sudah
terpasang, mendapat nilai 0 (noI)
- Peserta dengan jumlah nilai
terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.
DAFTAR PUSTAKA
Ellis, M.J. (1973). Why People
Play. Engglewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Farris, Pamela J. (1993). Language
Art a Process Approach. WBC.Brown and Benchmark Publisher.
Fein, G.G. (1979). Play and The
Acquisition of Symbols. Norwood, NJ:Ablex.
Gilmore, J.B. (1971). Play: A
Special Behaviour. New York: Wiley.
Mason, Bernard S., Elmer Micchel.
(1948). The Theory of Play. Cranburry, NJ: A.S. Barnes.
Murphy, L. (1962). The Widening
World of Chilehood. New York: Basic Book.
Neuwmann, E.A. (1971). The
Elements of Play. New York: MSS Modular Publications.
Norton, Donna E., Norton S. (1994).
Language Arts Activities for Children. New York: MacMillan College
Publishing Companny.
Resmini, Novi. (1996). Simulasi
Kreatif: Hakikat, Konsep, dan Teori. IKIP Malang: makalah.
Roe, B.D., Ross,E.P., and Burns,
P.C. (1984). Student Teaching and Field Experience. Ohio: Charles E.
Merrill Publishing Co.
Smilansky, S. (1968). The Effects
of Sociodramatic Play on Disadvantaged Proschool Children. New York: Wiley.
Spodek, B.dan Olivia
N.Saracho.(1994). Right from The Start: Teaching Children Ages Three to
Eight. Toronto: Allyn and Bacon.
Stewig, John W., (1980). Children
and Literature. Chicago: Rand Mcnally College Publishing Company.
Suwignyo, H. (1996). Pentomim
sebagai Medium Sosialisasi dan Pengembangan Imajinasi Kreatif Anak. IKIP
Malang, makalah.
Sutherland, Z. dan May Hill
Artbuyhnot. (1991). Children and Books. Harper Collins Publisher, Inc.
Zuhdi, D. dan
Ahmad Rofi’uddin. (1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas
Tinggi. Jakarta:Depdikbud.
Punya E-Money atau Pulsa ?.
ReplyDeleteblm punya akun poker?
Mari join bersama kami di Donaco Poker
proses cepat,mudah & aman
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662