Cole
(2003)
dalam bukunya menjelaskan bahwa hakikat dasar manusia adalah tidak mengenal
kepuasan dan selalu mencari sesuatu yang baru atau terbarukan untuk pemenuhan
kebutuhan dan keinginan. Dalam kondisi ini, hal-hal yang dianggap tidak
bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman lambat laun akan
ditinggalkan, lalu kemudian hilang atau punah. Demikian itu terjadi pada unsur
kebudayaan sebagai produk manusia. Lalu, berdasarkan keadaan tersebut, Distin
(2011)
menjelaskan bahwa yang dapat membuat suatu kebudayaan bertahan atau sekadar memperlambat
kepunahannya adalah indeks fungsional dan kemampuannya untuk bermanufer
(beradaftasi dan memperbaiki mutu sesuai tuntutan zamannya). Konsep tabiat
manusia terhadap kebudayaan di atas sejatinya benar-benar nyata sebagaimana
tergambar dari fenomena eksistensi sastra daerah di Indonesia. Banyak karya
sastra daerah yang tidak lagi dapat dijumpai keberadaannya, khususnya karya
sastra lisan. Sebab, pewarisannya terjadi begitu saja, dituturkan dari masa ke
masa, dan yang paling fatal generasi pewaris sastra daerah dari dari masa ke
masa pun semakin terhipnotis dengan laju perkembangan zaman sehingga bersikap
acuh atau bahkan lupa akan keberadaan produk budayanya sendiri seperti sastra
daerah. Padahal ditangan
generasi mudalah penentu kejayaan budaya suatu kelompok masyarakat atau suatu
bangsa (Milner
& Jeff, 2002). Dari realitas
tersebut, jelas bahwa generasi pewaris budaya (sastra) daerah, khususnya di
masa sekarang ini menganggap atau menilai sastra daerah sebagai produk budaya
yang tidak bermanfaat, telah usang, kuno, atau ketinggalan zaman sehingga menjadi
sangat memilukan ketika satu persatu sastra daerah punah karena tidak ada lagi
generasi yang mau melestarikannya. Selanjutnya, sastra daerah ragam tulis pun
dari masa ke masa semakin terdesak keberadaannya dengan kondisi perkembangan
peradaban manusia yang semakin canggih dan modern. Yang lebih fatal lagi,
ditengah kondisi sastra daerah yang semakin terdesak dengan situasi dan
peradaban manusia yang semakin canggih dan modern, sastra daerah baik ragam
lisan maupun tertulis masih saja berkutat pada bentuk aslinya. Jika hal ini
terus berlangsung maka tidak membutuhkan waktu yang cukup lama sastra daerah di
Indonesia akan sampai pada masa kepunahannya. Sehingga generasi bangsa ini ke
depannya tidak akan pernah lagi mengenal atau bahkan mengetahui tentang
keberadaan karya sastra daerah yang merupakan pengetahuan dan nilai lokal,
serta bukti kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas seni berbahasa manusia
terdahulu.
Dengan mengacu pada
pandangan Distin
(2011)
di atas, maka upaya untuk mempertahankan eksistensi sastra daerah dapat
dilakukan dengan cara mengembalikan aspek fungsi atau kebermanfaatan sastra
daerah itu sendiri di kehidupan masayarakat masa kini dan masa yang akan datang,
serta berupaya untuk bermanufer atas situasi dan kondisi sekarang ini. Manufer
yang dimaksud adalah eksistensi sastra daerah senantiasa diupayakan untuk
beradaptasi, meng-upgrade diri, atau
berusaha menjadi setara dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin
canggih dan modern sekarang ini. Mengembalikan aspek fungsi sastra daera di
kehidupan masyarakat serta melakukan manufer tentu harus dilakukan oleh manusia
pemiliki budaya itu sendiri, pihak yang memiliki perhatian terhadap sastra,
atau lembaga tertentu yang memiliki wewenang untuk melestarikan budaya.
Mengembalikan aspek fungsional sastra yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
masyarakat pewaris budaya berusaha menggunakan kembali karya sastra daerah
sebagai basis pemahaman nilai-nilai kehidupan sebagaimana yang dimaksudkan oleh
para pencipta sastra daerah terdahulu seperti sarana untuk pendidikan moral,
etika, karakter, pengetahuan budaya, bahasa, seni untuk menghibur, dan
lain-lain. Sedangkan bentuk manufer yang dapat dilakukan untuk mempertahankan
eksistensi sastra daerah adalah berusaha untuk memodernkan sastra daerah itu
sendiri. Cara untuk memodernkan sastra daerah itu sendiri dilakukan dengan
perekaman dan digitalisasi. Perekaman sastra daerah dimaksudkan sebagai upaya
pengumpulan semua data sastra daerah baik lisan maupun tulisan. Sedangkan
digitalisasi sastra daerah merupakan upaya penciptaan dunia digital sastra
daerah dengan cara mengubah bentuk atau wujud sastra daerah yang awalnya dalam
bentuk lisan dan tulisan yang mudah rusak atau bahkan hilang menjadi bentuk
digital yang abadi dan tidak gampang rusak ataupun hilang. Kemudian memantapkan
kedudukannya sebagai karya sastra daerah digital melalui jaringan internet,
seperti pembuatan portal atau website
khusus, atau cara lainnya. Dengan kedua upaya tersebut, pemodernan dan
pemertahanan sastra daerah dapat terwujud.
Upaya pemodernan dan
pemertahanan sastra daerah di Indonesia memang menjadi suatu keharusan yang
harus dilakukan mengingat kondisi sastra daerah sekarang ini yang semakin
terdesak oleh perkembangan peradaban manusia. Sebab kita tidak menghendaki sastra
daerah yang merupakan kebudayaan monumental dan adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi
sekarang ini punah. Langkah strategis yang harus segera dijalankan adalah
melakukan dokumentasi atau perekaman seluruh karya sastra daerah baik ragam
lisan maupun tulisan, kemudian mengubah wujud karya sastra daerah tersebut
dalam bentuk digital dan memantapkan kedudukannya secara online. Poin
terpenting yang harus dipahami dari upaya ini adalah kesuksesannya hanya dapat
terwujud jika setiap pribadi memahami arti penting dari keberadaan sastra
daerah sebagai produk budaya adiluhung
masyarakat daerah itu sendiri maupun bangsa Indonesia, serta terjadi kerjasama
dan keseriusan kerja yang bersinergi antarpihak.
Daftar
Rujukan
Cole, R. J. (2003). Buildings , Culture and Environment
Informing local and global practices. United State of America: Blackwell
Publishing.
Distin, K. (2011). Cultural Evolution. United States
of America: Cambridge University Press.
Milner, A., & Jeff, B. (2002). Contemporary Cultural
Theory (Third Edit). Australia: Allen & Unwin.
Biografi
Penulis
Aziz
Thaba, lahir pada 11 September 1991 di Desa Tamuku,
Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.
Menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, serta pendidikan strata dua (S-2) pada program studi yang
sama. Saat ini penulis aktif bekerja sebagai peneliti di Lembaga Swadaya
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LSP3) Matutu Sulawesi Selatan. Selain
itu, penulis juga aktif dalam kegiatan menulis baik ilmiah maupun fiksi.
Penulis aktif mengikuti berbagai seminar, konferensi, atau musyawarah yang
membicarakan tentang pendidikan, bahasa, dan kebudayaan baik pada skala
nasional maupun internasional. Berbagai karya telah dipublikasikan oleh penulis
baik jurnal, prosiding, buku ilmiah, hingga buku fiksi seperti kumpulan puisi,
cerpen, hingga esai.