RINGKASAN
Capaian kompetensi keterampilan berbahasa mahasiswa, khususnya keterampilan berbicara masih sangat jauh dari target yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan masalah ketersediaan, aksebilitas, dan validitas bahan ajar. Padahal, di era sekarang ini keterampilan berbahasa merupakan modal utama untuk dapat bermanufer menaklukkan semua tantangan hidup dan sukses dalam persaingan diberbagai sektor kehidupan. Perkembangan IPTEK yang semakin pesat sekarang ini sejatinya adalah peluang baik untuk memecahkan permasalahan tersebut. Selain permasalahan capaian kompetensi keterampilan berbahasa, dua permasalahan lain yang tidak kalah penting untuk segera diatasi adalah degredasi moral atau karakter yang tengah menimpa generasi muda, khususnya mahasiswa, serta masalah kebertahanan budaya lokal. Untuk itu, dirumuskan sebuah upaya penanganan masalah rendahnya capaian kompetensi keterampilan berbahasa mahasiswa, sekaligus penanganan masalah degredasi moral dan kebertahanan budaya lokal dalam satu penelitian dan pengembangan modul elektronik (E-Modul) keterampilan berbicara untuk perguruan tinggi berbasis aplikasi android terintegrasi nilai budaya lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Tahun Pertama diawali dengan tahapan pendefinisian (define) yang meliputi beberapa langkah kerja yaitu; (i) analisis kurikulum dan budaya lokal; (ii) analisis pengguna (sasaran); dan (iii) studi pustaka. Subjek pada tahapan ini adalah; (i) Stake holder pendidikan; (ii) budayawan lokal; (iii) dosen; dan
(iv) mahasiswa. Luaran pada tahapan ini adalah blue print penelitian dan pengembangan E-Modul) keterampilan berbicara untuk perguruan tinggi berbasis aplikasi android terintegrasi nilai budaya lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Tahap berikutnya adalah perancangan (design) yang meliputi beberapa langkah kerja yaitu; (i) desain CPL-Prodi dan menetapkan CPMK; (ii) merancang dan menyusun materi dan instrumen evaluasi; serta (iii) membuat desain media. Subjek pada tahapan perancangan adalah tim peneliti itu sendiri dengan luaran draf materi dan rancangan media. Tahun Kedua merupakan lanjutan dari tahun pertama yang diawali dengan tahapan pengembangan (development) yang meliputi beberapa langkah kerja yaitu; (i) cipta produk awal; (ii) validasi produk (siklus); (iii) uji coba produk; (iv) cipta produk akhir. Subjek pada tahapan ini yaitu; (i) content expert; (ii) media expert; (iii) dosen; dan (iv) mahasiswa. Luaran pada tahapan ini adalah produk E-Modul valid. Tahapan terakhir adalah penyebarluasan produk (product dissemination) yang tediri atas dua langkah kerja yaitu; (i) sosialisasi produk; dan (ii) publikasi. Luaran yang ditargetkan berupa luaran wajib yaitu hak Cipta HKI, dan luaran tambahan berupa E-Modul Keterampilan Berbicara Ber-ISBN dan jurnal internasional bereputasi pada Journal of Curriculum Studies (Scopus Q1, United Kingdom, Taylor and Francis Ltd.). Hasil dari penelitian dan pengembangan ini penting dan signifikan untuk mendukung keputusan dan kebijakan perbaikan mutu kurikulum pendidikan di perguruan tinggi, baik perguruan tinggi pengusul maupun perguruan tinggi mitra.
Kata kunci: Pengembangan kurikulum; keterampilan berbicara; nilai budaya lokal; android
LATAR BELAKANG
Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan dasar profesionalitas kerja bagi dosen yang harus dilaksanakan. Hal inilah yang menjiwai diusulkannya penelitian ini. Terdapat tiga permasalahan utama yang mendasari penelitian; (i) capaian kompetensi keterampilan berbicara mahasiswa yang masih cukup jauh dari target yang diharapkan. Permasalahan ini terjadi akibat masalah ketersediaan, aksebilitas, dan validitas bahan ajar yang digunakan; (ii) masalah krisis moral yang menimpa masyarakat terutama generasi muda; dan (iii) kebertahanan budaya lokal, khususnya di Sulawesi Selatan yang semakin terancam dengan arus perkembangan perdaban modern. Untuk itu, dirancang sebuah solusi dalam bentuk
penelitian dan pengembangan modul elektronik (E-Modul) keterampilan berbicara untuk perguruan tinggi berbasis aplikasi android terintegrasi nilai budaya lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Secara khusus. Tujuan penelitian ini adalah; (i) memperbaiki mutu kurikulum pengajaran keterampilan berbicara diperguruan tinggi yang nantinya bermuara pada tercapaianya lulusan yang kompeten dan terampil dalam berbicara sehingga siap menghadapi perkembangan zaman, khususnya bersaing dalam dunia kerja dan dimensi pergaulan (komunikasi) lintas budaya; (ii) menghasilkan lulusan yang berkarakter mulia berdasarkan nilai budaya lokal; (iii) menjadikan nilai budaya lokal tetap eksis dan menjiwai karakter masyarakat.
Penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, sebab pengembangan kurikulum adalah sebuah keniscayaan untuk mencapai taraf mutu pendidikan yang lebih baik (1). Kurikulum harus senantiasa dievaluasi dan disertai dengan upaya revisi (pengembangan) untuk mencapai kurikulum yang berkualitas (2). Oleh karena itu, jika menghendaki mutu kurikulum pembelajaran di perguruan tinggi menjadi lebih baik dan unggul, maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain melakukan pengembangan kurikulum itu sendiri. Selain itu, terkait dengan krisis moral dan kebertahanan budaya lokal, alasan lain pentingnya penelitian ini dilakukan mengacu pada pandangan realistis Smith yang mengungkapkan bahwa semakin berkembangnya dimensi peradaban manusia, maka peluang degradasi moral pun akan semakin besar (3). Dalam hal ini, Smith memosisikan generasi muda (khususnya anak-anak) sebagai sasaran utama dari pendegredasian tersebut. Menurutnya, kemampuan generasi muda dalam beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan zaman belum disertai dengan kemampuan untuk melindungi dirinya (defends mecanism) dari dampak yang ditimbulkan. Maka tidak heran jika sekarang ini di masyarakat timbul berbagai masalah sosial yang terindikasi krisis moral. Kondisi tersebut terjadi akibat melemahnya berbagai norma atau tatanan nilai yang selama ini menjadi falsafah kehidupan bermasayarakat (4). Untuk itu, pendidikan moral atau karakter merupakan jawaban atas permasalahan tersebut sebagaimana yang dijelaskan Wringe bahwa jawaban atas permasalahan karakter adalah pendidikan karakter (5). Menurut Wringe, basis yang paling baik dalam pendidikan karakter adalah nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi dalam suatu komunitas tertentu.
Spesifikasi khusus penelitian ini ada dua yaitu; (i) upaya pembangunan dan penguatan sosial budaya melalui pemertahanan budaya lokal; (ii) pengembangan mutu kurikulum pendidikan, khususnya dalam pengajaran melalui cipta teknologi pendidikan dan pengajaran serta pembentukan karakter bangsa berbasis nilai budaya lokal.
TINJAUAN PUSTAKA
Urgensi Pengembangan Bahan Ajar Keterampilan Berbicara
Pengajaran keterampilan berbahasa di abad sekarang ini harus betul-betul mendapatkan perhatian yang serius. Sebab, keterampilan berbahasa adalah modal dasar bagi individu untuk dapat mempertahankan eksistensi dirinya dalam menghadapi fenomena laju perkembangan zaman. Atas dasar fenomena tersebut, Moran mengungkapkan bahwa keterampilan berbahasa adalah sarana atau alat (tak benda) yang dapat dijadikan oleh individu untuk mempertahankan dirinya dari kemunduran atau kepunahan (6). Di antara empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, menulis, dan membaca), yang paling urgen untuk dibelajarkan kepada mahasiswa agar dapat mempersiapkan dirinya menghadapi perkembangan zaman, khususnya bersaing dalam dunia kerja dan dimensi pergaulan (komunikasi) lintas budaya adalah keterampilan berbicara (6–8).
Pentingnya pengajaran keterampilan berbicara sepertinya berjalan searah dengan tingkat kesulitannya. Richards menyatakan “Terampil berbicara adalah kompetensi berbahasa yang
paling kompleks, rumit dan paling sulit untuk dapat dikuasai oleh manusia, sebab terampil berbicara bukan persoalan mengeluarkan bunyi-bunyi bahasa semata melainkan ada seni dan nilai yang harus dicapai oleh seseorang dalam berbicara” (9). Richards melanjutkan pernyataannya dengan memberikan solusi bahwa untuk mengatasi kompleksitas, kerumitan, dan kesulitan dalam mengajarkan keterampilan berbicara, kuncinya ada pada usaha, kreativitas, dan inovasi yang dapat dilakukan oleh dosen untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti merancang kelas, penggunaan media inovatif, desain model pembelajaran, modifikasi perilaku belajar, serta mengembangkan bahan pengajaran. Nieveen mengemukakan bahwa upaya pengembangan adalah keniscayaan untuk menjadi lebih baik atau lebih maju (1). Dalam hal ini, pengembangan kurikulum khususnya bahan ajar adalah upaya untuk menjadikan kurikulum itu sendiri lebih baik atau lebih maju.
Solano-Flores, & Nelson-Barber menjelaskan bahwa sebelum digunakan, material pembelajaran harus benar-benar melalui tahapan uji validitas, efektivitas, dan praktikalitas, sehingga material tersebut menjadi terstandar dan layak digunakan (10). Selanjutnya, dalam penelitiannya, Hamsiah, dkk. menyatakan bahwa bahan ajar yang dikembangkan oleh tenaga dosen harus terukur kelayakannya melalui pengujian kelayakan baik yang dilakukan oleh ahli atau melalui serangkaian uji coba, dengan begitu upaya pencapaian proses dan hasil belajar yang diharapkan akan lebih mudah (11).
Memilih dan menggunakan bahan pengajaran yang tepat untuk dibelajarkan kepada peserta didik menjadi kunci menyukseskan proses dan pencapaian tujuan yang diharapkan (12,13). Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya (14). Patel & Praveen mengungkapkan bahwa sedikitnya ada lima hal yang akan terjadi ketika seorang dosen berhasil mengembangkan dan menggunakan bahan ajar yang tepat atau sesuai dengan kebutuhan belajar mahasiswa di kelas yaitu; (1) proses pembelajaran berjalan dengan lancar; (2) mahasiswa dengan mudah memahami materi atau konten pembelajaran; (3) mahasiswa aktif dalam berbagai situasi belajar; (4) luaran atau hasil belajar yang diharapkan tercapai; serta (5) timbul hasrat atau minat belajar yang baik dari mahasiswa (15). Dengan demikian, dosen harus betul-betul memahami kondisi pentingnya bahan ajar. Bukan hanya sekadar menerapkannya dalam proses belajar mengajar, tetapi harus melalui serangkaian proses ilmiah, mulai dari penelaahan masalah belajar, karakteristik kurikulum, dan kesesuaian dengan kebutuhan belajar mahasiswa.
Urgensi Pendidikan Berbasis Nilai Budaya
Krisis moral tenagh melanda generasi muda Indonesia saat ini. Berbagai tindak pidana kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan, narkoba, miras, pemerasan, dan lain-lain sebagainya melibatkan generasi muda sebagai pelakunya yang hampir setiap hari dapat kita saksikan di media massa atau di media sosial. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Smith dalam bukunya “The Moral Problem” bahwa generasi muda adalah sasaran utama pendegredasian nilai moral oleh kemajuan zaman jika tidak memiliki dasar pengetahuan dan pemahan moral yang baik untuk membentengi segala bentuk pengaruh buruk yang ditimbulkan (16). Untuk itu, pendidikan adalah solusinya (5) dengan jalan merancang pendidikan moral. Selanjutnya, Wringe menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya yang mengakar di masayarakat adalah salah satu basis yang paling utama dalam pendidikan moral.
Keunggulan Modul Elektronik (E-Modul) Berbasis Android
Bahan ajar dalam dalam bentuk modul elektronik memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam segala hal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Opara & Oguzor di dalam laporan penelitiannya yang dipublikasikan di International Journal Research of Social Science bahwa tingkat efisiensi pembelajaran yang memanfaatkan perangkat elektronik (termasuk bahan ajar elektronik berupa modul) lebih baik dari pembelajaran konvensional yang harus membawa lembaran atau kumpulan buku ke dalam kelas (17). Sedangkan, modul elektronik hanya memanfaatkan satu teknologi (komputer, laptop, atau smartphone) yang mampu menampung ribuan materi atau bahan ajar, serta dapat digunakan dimana pun dan kapan pun. Salah satu bentuk media untuk menyajikan bahan ajar yang saat ini paling banyak diminati oleh para developer pendidikan adalah aplikasi android. Pembelajaran berbasis perangkat mobile adalah kebutuhan pokok pendidik modern sekarang ini. Sebab, pembelajarn di era teknologi mutakhir sepatutnya diwadahi dengan teknologi digital (18,19). Oleh karena itu, dosen harus betul-betul mampu mengembangkan kompetensi dan keterampilannya menghadapi era dimensi baru tersebut (era pembelajaran digital). Salah satu mode pembelajaran mutakhir yang diungkapkan oleh Khosrow-Pour adalah berbasis aplikasi android (20,21). Menurutnya, pembelajaran berbasis aplikasi android tersebut adalah integrasi paling mutakhir dari pembelajaran elektronik, mobile, dan online yang selanjutnya disingkat dengan EMO Learning.
Nilai Budaya Lokal di Sulawesi Selatan
Sedikitnya ada tiga nilia nilai budaya lokal yang mengakar dan menjadi karakter utama masyarakat di Sulawesi Selatan yaitu nilai sipakatau (memanusiakan manusia), nilai sipakainga’ (saling mengingatkan dan menasehati pada kebaikan) dan nilai sipakalebbi’ (saling menghormati) (22). Nilai sipakatau merupakan nilai yang mengandung ajaran untuk memperlakukan orang lain layaknya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kedudukan tinggi di antara makhluk lainnya dengan akal dan pikirannya. Dengan nilai ini, manusia dilarang untuk berlaku curang, tidak adil, menyiksa, menghina, atau berbagai perilaku buruk lainnya kepada sesama manusia. Nilai sipakainga’ merupakan nilai yang mengandung ajaran untuk menjadikan diri sendiri sebagai sumber kebaikan bagi manusia lainnya. Ajaran nilai sipakainga’, memberikan penegasan bahwa manusia yang satu harus mampu menjadi teladan dan penuntun manusia lainnya kepada kebaikan dengan cara memberikan peringatan atau nasihat-nasihat kebaikan. Nilai sipakalebbi’ merupakan nilai yang mengandung ajaran untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak manusia lainnya. Ketiga nilai ini menjadi falsafah kehidupan bermasyarakat di Sulawesi Selatan (23,24).
METODE
Pengembangan E-Modul Keterampilan Berbicara ini menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) pada level empat yaitu peneliti melakukan penelitian untuk menciptakan rancangan baru, membuat produk, dan menguji kelayakan, keefektifan, dan kepraktisan produk tersebut, lalu menyebarluaskan produk yang telah dikembangkan (Sugiyono, 2015). Adapun prosedur penelitian dan pengembangan ini diadaptasi dari model yang dikembangkan oleh Thiagarajan (1974) yang dikenal dengan Four-D Models dengan empat prosedur utama yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (development), dan penyebarluasan (disseminate) (25). Dari empat tahapan tersebut, dua tahapan pertama dilaksanakan pada tahun pertama, dan untuk dua tahapan terakhir dilaksanakan pada tahun kedua. Pada tahun pertama, diawali dengan pendefinisian (define) dengan tiga langkah kerja yaitu analisis kurikulum dan budaya lokal, analisis sasaran pengguna, dan studi pustaka. Subjek pada tahapan ini adalah stake holder pendidikan, budayawan lokal, dosen, dan mahasiswa. Tahapan ini menghasilkan blue print pengembangan E-Modul. Selanjutnya, merancang (design) produk dengan tiga langkah kerja yaitu merancang Capaian Pembelajaran Lulusan-Program Studi (CPL-Prodi), merancang Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK), dan desain media. Subjek pada tahapan ini adalah Tim Peneliti itu sendiri. Luaran yang dihasilkan yaitu draf materi dan rancangan media. Pada tahun kedua, tahapan pengembangan produk dilanjutkan, yaitu mengembangkan (development) produk yang telah dirancang. Langkah kerja pengembangan yaitu mencipta produk awal, memvalidasi produk, dan melakukan uji coba. Subjek pada tahapan ini adalah ahli materi atau isi (content expert), ahli media (media expert), dosen, dan mahasiswa. Luarannya yaitu produk E-Modul valid. Tahapan terakhir adalah menyebarluaskan (disseminate) produk akhir. Langkah kerja yang dilakukan adalah sosialisasi produk dan publikasi. Subjek pada tahapan ini khususnya sosialisasi adalah dosen dan mahasiswa baik pada PT Pengusul maupun PT Mitra. Luaran dari penelitian ini adalah Paten Sederhana, E-Modul ber-ISBN, dan Jurnal Internasional Bereputasi.
Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, angket dan dokumentasi. Data dalam penelitian ini majemuk, ada data kualitatif dan ada pula data kuantitatif. Karena sifatnya majemuk, maka teknik analisis data yang digunakan pun dibedakan menjadi dua. Data kualitatif dianalisis dengan teknik kualitatif sebagaimana teknik yang dikemukakan oleh Miles and Huberman yang meliputi tiga tahapan yaitu reduction, display, congclution and verification (26). Sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan teknik statistik deskriptif.
Selanjutnya, deskripsi tugas ketua, anggota 1, dan anggota 2 disajikan dalam tabel pembagian tugas berikut;
DAFTAR PUSTAKA
Nieveen N, Folmer E. Formative evaluation in educational design research. Des Res. 2013;153:152–69.
Branch RM. Instructional design: The ADDIE approach. Vol. 722. Springer Science & Business Media; 2009.
Smith JA. Reflecting on the development of interpretative phenomenological analysis and its contribution to qualitative research in psychology. Qual Res Psychol. 2004;1(1):39–54.
Achmadi A. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. 1992;
Wringe C. Moral education: Beyond the teaching of right and wrong. Vol. 14. Springer Science & Business Media; 2006.
Moran G. Speaking of teaching: lessons from history. Lexington Books; 2008.
Morozova Y. Methods of enhancing speaking skills of elementary level students. Transl J. 2013;17(1):1–24.
Lamerton J. Public Speaking. Everything you need to know. Harpercollins Publishers Ltd; 2001.
Kern R. Literacy and language teaching. Oxford University Press; 2000.
Solano‐Flores G, Nelson‐Barber S. On the cultural validity of science assessments. J
Res Sci Teach Off J Natl Assoc Res Sci Teach. 2001;38(5):553–73.
Hamsiah H, Tang MR, Tolla A, Jufri J. Teaching materials development for basic general course of Indonesian language class Based on culture values Elompungi (Elong) Bugis literature. J Lang Teach Res. 2017;8(2):278–85.
Grugeon E, Hubbard L, Smith C. Teaching speaking and listening in the primary school. Routledge; 2005.
Kirsch C. Teaching foreign languages in the primary school: Principles and practice. Continuum; 2008.
14. Chai J-J, Chen L-Y, Meei-Yuan F. Teaching material generation methods and systems. Google Patents; 2014.
15. Jain PM, Patel MF. English Language Teaching:(methods, Tools & Techniques). Sunrise Publishers and Distributors; 2008.
16. Smith MR. The moral problem. 1994;
17. Opara JA, Oguzor NS. Inquiry instructional method and the school science curriculum. Curr Res J Soc Sci. 2011;3(3):188–98.
18. El-Hussein MOM, Cronje JC. Defining mobile learning in the higher education landscape. J Educ Technol Soc. 2010;13(3):12–21.
19. Ally M. Mobile learning: Transforming the delivery of education and training. Athabasca University Press; 2009.
20. Ahmar A, Rahman A. Development of teaching material using an Android. Glob J Eng Educ. 2017;19(1).
21. Andrus J, Nieh J. Teaching operating systems using android. In: Proceedings of the 43rd ACM technical symposium on Computer Science Education. 2012. hal. 613–8.
22. Rahim AR. Nilai-nilai utama kebudayaan Bugis. Ombak; 2011.
23. Iskandar I. Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng dalam Kehidupan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana. J BASTRA. 2016;2(1).
24. Pelras C. Orality and writing among The Bugis. Int J Asia Pacific Stud. 2016;12:13– 51.
25. Thiagarajan S. Instructional development for training teachers of exceptional children: A sourcebook. 1974;
26. Huberman M, Miles MB. The qualitative researcher’s companion. Sage; 2002.