Edi Subroto, dkk. (1997), melakukan
telaah leinguistik terhadap novel Tirai Menurun karya N. H. Dini, dengan
judul Telaah Linguistik atas Novel Tirai Mneurun Karya N. H. Dini.
Temuan dari penelitian tersebut adalah kekhasan social budaya masyarakat Jawa
di dalam novel. Kekahasan yang menonjol adalah kekhasan masyarakat Jawa “wong
cilik” yang didasarkan kepada aspek kata, aspek morfosintaksis, serta aspek
gaya bahasa. Penelitian tersebut dapat berguna sebagai rujukan sekaligus pembanding,
untuk menambah wawasan peneliti akan aspek-aspek kekhasan karya sastra.
Remmy Silado (2007) melakukan analisis
pada puisi Bulan Luka Parah karya Husni Djamaludin, dengan menggunakan
pendekatan stiistika dari sudut pandang eksotisme kiasan alam. Hasil dari
penelitian tersebut adalah terdapat fenomena penggunaan gaya bahasa kiasan yang
bernuansa eksotisme alam.
Ririh Yuli (2008) mencoba melakukan
pendekatan stlistika pada novel Laskar Pelangi, terfokus pada dua aspek;
analisis gaya bahasa dan nilai pendidikan yang terkandung dalam novel. Hasilnya
adalah terdapat 28 (dua puluh delapan) gaya bahasa, dan memang terdapat nilai
pendidikan terbatas pada nilai pendidikan karakter (SQ dan IQ). Dalam implementasinya
pada proses belajar mengajar, novel tersebut dapat membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangakan cipta dan rasa serta
dapat menunjang pembentukan watak.
Nurmaningsih (2010) melakukan kajian
terhadap Serat Centini dalam tesisnya yang berjudul Kajian Stilistika
“Teks Seksual dalam Serat Centini” Karya Pakubuwana V. Hasil dari
penelitian tersebut adalah ditemukannya kekhasan aspek bahasa seksual, yang
diwujudkan dalam aspek bunyi, diksi, majas, serta struktur puisi.
Ali Imron Ma’ruf (2010) dalam bukunya Kajian
Stilistika Perspektif Kritik Holistik yang merupakan modifikasi dari
disertasinya yang berjudul Kajian Stilistika Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari dan Pemaknaannya, menemukan adanya fenomena kekhasan: 1.
Kalimat dengan penyiasatan struktur, dan kalimat dengan sarana retorika, 2.
Gaya kata (diksi) yang meliputi kata konotatif, kata konkret, kata serapan dari
bahasa asing, kata sapaan khas atau nama diri, kata seru khas jawa, kata vulgar,
kata dengan objek realitas alam, dan kosakata bahasa jawa. 3. Kekahasan gaya
wacana yang meliputi gaya wacana dengan sarana retorika, dan gaya wacana alih
kode. 4. Temuan bahasa figuratif meliputi majas, tuturan idiomatik dan
peribahasa. 5. Kekhasan citraan meliputi citraan penglihatan, citraan
pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan
citraan intelektual.
Sulistyawan (2012) dalam tesisnya yang
berjudul Analisis Stilistika dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Geguritan
Solopos Bulan Desember 2012 Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa
di Sekolah, menunjukkan hasil adanya kekhasan fonologis pada geguritan,
serta nilai-nilai pendidikan moral, berikut relevansinya terhadap pembelajaran bahasa
Jawa.
R. Adi Deswijaya (2014) dalam tesisnya
yang berjudul Kajian Stilistika Babad Tanah Jawi JIlid 1-5 Karya Raden
Ngabehi Yasadipura I telah memaparkan dengan jelas mengenai kekhasan yang
terdapat daam teks tersebut. Kakhasan tersebut meliputi: 1. Pola bunyi, 2. Pola
morfologis kata arkais, 3. Kekahasan pemilihan kata berupa tembung entar,
tembung garba, pepindahan, plutan, sasmita tembang, baliswara, rurabasa,
tembung wangsul, dasanama, dan perubahan bunyi vocal untuk mengutarakan ataupun
mengungkapakan gaya peribadi. Temuan lainnya dalam aspek bahasa figurative
meliputi penggunaan: 1. gaya bahasa perbandingan simile, 2. Metafora, 3.
Perumpamaan epos, 4. Personifikasi, 5. Motonimia, 6. Sinekdoce, dan 7. Alegori.
Dalam penelitiaanya, Deswijaya juga menemukan adanya fenomena citraan,
meliputi: 1. Citraan pendengaran, 2. Citraan penglihatan, 3. Citraan gerak, 4.
Citraan rabaan, 5. Citraan penciuman, dan 6. Citraan pencecapan.