Semiotik atau ada yang menyebut dengan
semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah
semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sartini 2011). Tanda pada masa itu masih
bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis,
semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses
yang berlaku bagi tanda (Pujiati 2017). Semiotik merupakan ilmu yang
mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Semiotika adalah suatu bidang ilmu tanda sebagai tindak
komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun (Afika 2020). Semiotik merupakan cabang ilmu
yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan
bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang
linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure dan seorang
filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders. Peirce menyebut model sistem
analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang
dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda
dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda (Oktaviani 2020).
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa
selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi
sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang
memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Sartini 2011). Sekalipun hanyalah merupakan
salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk
semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang
dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai
fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -
lainya.
Perkembangan terakhir mengenai kajian
tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce.
Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada pendapat de Saussure yang lebih
programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia
Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental (Lubis 2018). Peirce akhirnya sampai pada
keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda
yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara
harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia
juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin
yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara
eksistensi dari apa yang mungkin (Muh Iqbal 2015). Dalam analisis semiotiknya
Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni
qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins
karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang
merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan
individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa
berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda
yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah
konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga
dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek
tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya
(terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan
fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah
penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara
kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah
trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Sartini 2011). Prinsip dasarnya adalah bahwa
tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain (something that represents
something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan
antara tiga titik yaitu representamen
(R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda
yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang
diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan
hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya
representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda
mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah
struktur. Proses seperti itu disebut semiosis.
Hubungan ikon, indeks dan simbol seperti
yang dicontohkan Hoed apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang
melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu
membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu
ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti
itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan
terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil,
maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang
bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil
sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni
hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Contoh lain adalah apabila di
tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia
merujuk pada „larangan untuk berenang‟ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa
„adalah berbahaya untuk berenang disitu‟ (I). Tanda seperti itu disebut lambang
yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional (Sartini 2011).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman
mengungkapkan bahwa … culture is
constructed as a hierarchy of semantic systems (Sartini 2011). Pernyataan itu tidaklah
berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1)
sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia
sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang
menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian,
(5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu
masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem
kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem
kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam
komunikasi antar anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan
komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak,
pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak
terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi
prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya
identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik
bagi penutur maupun bagi penanggapnya.