Monday, September 16, 2024

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

 

Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pelosok desa. Di Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, getaran semangat itu terasa begitu kuat, berpadu harmonis dengan tekad untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya lokal. Kehadiran Tim Periset Kolaboratif dari Universitas Balikpapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Lembaga Swadaya Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Matutu (LSP3 Matutu) disambut dengan penuh antusias dan harapan besar. Kepala Desa Telemow, Bapak [Nama Kepala Desa], dengan raut wajah penuh semangat, mengungkapkan rasa bangga dan apresiasinya atas kehadiran tim peneliti di desanya. Baginya, riset kolaboratif ini bukan sekadar kegiatan akademis, melainkan sebuah ikhtiar bersama untuk memastikan pembangunan IKN berjalan selaras dengan pelestarian budaya lokal.

"Kami sangat berterima kasih atas kehadiran tim peneliti di Desa Telemow. Ini adalah bukti nyata bahwa pembangunan IKN tidak hanya berfokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga memperhatikan aspek budaya dan kearifan lokal," ujar Kepala Desa Telemow, Bapak Munip, S.Pd. dengan penuh semangat.

Lebih lanjut, Bapak Munip, S.Pd. menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi yang semakin deras. Budaya, menurutnya, adalah identitas dan jati diri bangsa yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.

"Budaya adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Kami berharap riset ini dapat membantu kami dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal agar tidak tergerus oleh zaman," tambahnya.

Dukungan penuh juga diberikan oleh segenap jajaran perangkat desa. Sekretaris Desa Telemow, Bapak Selamat Santoso Jaya Prima, menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan dukungan penuh kepada tim peneliti dalam proses pengumpulan data dan informasi di lapangan.

"Kami telah menginstruksikan kepada seluruh perangkat desa dan masyarakat untuk mendukung penuh kegiatan riset ini. Kami siap memfasilitasi segala kebutuhan tim peneliti, mulai dari penyediaan data, informasi, hingga akomodasi selama berada di Desa Telemow," ujar Bapak Selamat Santoso Jaya Prima dengan penuh keyakinan.

Dukungan dan apresiasi yang tinggi dari Kepala Desa Telemow dan segenap jajarannya merupakan manifestasi dari harapan besar mereka terhadap hasil riset ini. Mereka berharap agar riset ini dapat menghasilkan rekomendasi yang konkret dan aplikatif dalam upaya menjaga, melindungi, dan melestarikan budaya lokal di tengah pembangunan IKN.

"Kami berharap riset ini dapat menghasilkan output yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal. Kami siap menjadikan Desa Telemow sebagai laboratorium hidup untuk mengimplementasikan hasil riset ini," ujar Bapak Munip, S.Pd. dengan penuh harap.

Kesiapan Desa Telemow untuk menjadi "laboratorium hidup" bagi riset kolaboratif ini terlihat dari berbagai upaya yang telah dilakukan. Selain dukungan penuh dari pemerintah desa, masyarakat juga menunjukkan antusiasme tinggi dalam menyambut kehadiran tim peneliti. Masyarakat Desa Telemow, yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan, dengan tangan terbuka menyambut kedatangan tim peneliti. Mereka siap berbagi cerita, pengetahuan, dan pengalaman tentang kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

"Kami sangat senang dengan kehadiran tim peneliti di desa kami. Kami siap membantu dan berbagi informasi tentang budaya dan tradisi kami," ujar salah seorang warga dengan penuh semangat.

Dukungan konkret yang diberikan oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Telemow meliputi berbagai aspek, mulai dari penyediaan rumah tinggal bagi tim peneliti, penyediaan gedung pertemuan untuk kegiatan diskusi dan FGD, hingga penyediaan kendaraan roda dua dan roda empat untuk mendukung mobilitas tim peneliti di lapangan.

"Kami ingin memastikan tim peneliti dapat bekerja dengan nyaman dan fokus selama berada di Desa Telemow. Kami telah menyediakan segala kebutuhan mereka, mulai dari akomodasi, transportasi, hingga konsumsi," ujar Bapak Selamat Santoso Jaya Prima dengan penuh perhatian.

Kolaborasi riset antara Universitas Balikpapan, BRIN, LSP3 Matutu, dan Desa Telemow ini diharapkan dapat menjadi contoh nyata sinergi positif antara dunia akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam membangun IKN berbudaya.
 
Ditulis oleh: Aziz Thaba, S.Pd., M.Pd.


Dokumentasi lainnya:






 

Wednesday, August 7, 2024

SASTRA DAN PEWARISAN (TRANSMISI) KEBUDAYAAN (ANTROPOLOGI SASTRA)

Tuesday, August 6, 2024

MIKROKOSMOS MITOS BAGI MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR (SEBUAH CATATAN KECIL)

FUNGSI KERIS DAN BADIK BAGI MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR

Tuesday, May 21, 2024

EVALUASI PEMBELAJARAN MATA KULIAH METODE PENELITIAN PENDIDIKAN UNY 2024

Monday, November 13, 2023

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

        Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sartini 2011). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Pujiati 2017). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotika adalah suatu bidang ilmu tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun (Afika 2020). Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders. Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda (Oktaviani 2020).

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Sartini 2011). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain - lainya.

Perkembangan terakhir mengenai kajian tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce. Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada pendapat de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental (Lubis 2018). Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (Muh Iqbal 2015). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.

Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Sartini 2011). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (something that represents something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis.

Hubungan ikon, indeks dan simbol seperti yang dicontohkan Hoed apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Contoh lain adalah apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada „larangan untuk berenang‟ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa „adalah berbahaya untuk berenang disitu‟ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional (Sartini 2011).

Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a hierarchy of semantic systems (Sartini 2011). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.

Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.

SEMANTIK KULTURAL DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

Etnolinguistik mengkaji semantik meliputi kajian semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kultural (Andini 2017). Menurut konsep makro dan mikro linguistik, semantik leksikal dan gramatikal masuk dalam konsep mikro linguistik sedangkan semantik kultural masuk dalam konsep makro linguistik. Hal tersebut disebabkan bahwa semantik leksikal adalah salah satu bidang kajian linguistik yang khusus mempelajari arti kata yang lebih kurang bersifat tetap.

Semantik leksikal itu berfokus pada kata tetapi yang dikaji ialah masalah arti, makna atau arti suatu kata, tipe-tipe arti, dan teknik pemerian arti. Lebih lanjut dijelaskan kata dianggap sebagai tanda bahasa (tanda lingual) minimum yang bersifat mandiri secara bentuk makna. Ia merupakan materi bahasa yang siap dipakai dalam pemakaian atau dalam kegiatan berbahasa. Sebagai tanda bahasa kata adalah kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk dengan aspek arti yang pada dasarnya kaitan antara keduanya bersifat manasuka (arbitrer), kecuali pada sebagian kosa-kata yang termasuk tiruan bunyi (onomatope) dan kata-kata yang bernilai emotif-ekspresif. Semantik leksikal ini perlu dicantumkan sebagai alat untuk memerikan ekspresi lingual dan deskripsi makna dalam hubungannya dengan penyebutan waktu, tempat, komunitas, sistem kekerabatan, kebiasaan etnik, kepercayaan, etika, estetika, dan adat-istiadat yang mengarah pada penjelasan tentang kearifan lokal.

Semantik gramatikal yaitu penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran gramatikal (Kridalaksana 2013). Melalui unit lingualnya dapat dipahami sebagai pembentuk sebuah struktur wacana, dapat diamati dibalik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam budaya (seperti folklor). Mengingat analisis unit lingual penting artinya untuk mengungkapkan aspek sosiokultural suatu komunitas, karena relasi antarunit lingual dengan nilai budaya bersifat multitafsir. Data yang dipakai dalam linguistik antropologis dapat berupa kosa-kata, frase, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Semantik kultural merupakan bidang kajian makrolinguistik yaitu makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Andini 2017). Konsep ini dimaksudkan untuk memahami makna ekspresi lingual dan kultural masyarakat.Demikian pula makna yang tercermin dalam perilaku verbal dan nonverbal dalam bahasa dan budaya termasuk salah satu produknya adalah folklor. Semantik kultural untuk menyoroti kearifan lokal yang berkaitan dengan beraneka ragam corak aktivitas kehidupan bahasa dan budaya masyarakat. Dalam aspek sosiokulturalnya kehidupan masyarakat tersebut terkait dengan berbagai peristiwa adat.

 

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...