Sebuah Cerpen
“Ammaku...”
Banyak yang berkata, “Jalani saja, dunia ji ini”. Memang,
tapi haruskah berjalan dengan begitu saja tanpa usaha untuk menghias diri
dengan indah. Karena keindahan itu adalah surga dunia dari Tuhan untuk kita,
maka bersyukurlah. Jangan seperti mereka yang selalu memandang datar namun ada
yang terzholimi. Sebut saja pertemanan. Ada yang ingin berteman karena si dia
rupawan, atau ada juga yang berteman karena si dia orang kaya. Atau bahkan ada
yang ingin berteman karena si dia se-agama, se-suku, atau lasan-alasan yang
lain yang mungkin saja ada diskriminasi di dalamnya. Aduh...janganlah seperti
itu karena kita semua adalah sama, kembali menjadi tanah. Namun faktanya tidak
jarang kita menemukan hal yang demikian. Ini contoh aja yah, kemarin, aku jalan
bareng dengan dua orang teman, sesampainya di tempat tujuan, aku bertemu dengan
salah seorang teman yang ku kenal sewaktu di Malang. Orangnya baik, ramah,
murah senyum, agamanya Kristen, Albert namanya. Ia seorang Papua yang lagi
menimbah ilmu di Kota Malang, Jawa Timur. Kulitnya hitam legam, rambutnya
kriul-kriul, unik dan menarik bagi saya. Untuk dijadikan teman curhat pun sangat
menyenangkan. Lalu, setelah sedikit bumbu bincang-bincang, saya dan Albert pun say bye karena kami berdua memiliki
kesibukan yang berbeda. Mungkin di lain waktu kami akan bertemu. Itulah Albert,
kawanku dari Papua. Namun, entah mengapa, setelah kami say bye kedua temanku tertawa kecil namun lirih. Dari tawa itu, aku
melihat tidak ada yang lucu atau hal yang membahagiakan, justru sebaliknya. Ada
hinaan yang tersungging di balik tawa kecil itu. Oh Tuhan...temanku merasa
lebih baik dari Albert. Apa gerangan yang kau banggakan, wajah rupawan?, kulita
putih?, atau harta berlimpah?.
Entah apa ganjaranmu dari Tuhan atas kesombonngan itu.
Berteman itu indah, saya tidak ada masalah
dengan siapa dirinya, apa agamanya, atau dari suku bangsa mana ia berasal. Saya
berteman dengan Jawa, mereka santun dan ramah. Saya berteman dengan Makassar,
mereka juga santun. Bukan seperti celoteh mereka yang katanya sangar. Tapi
lupakanlah, mentari masih terus bersinar setelah redup dipelupuk mata. Itulah
hidup. Seperti kata ammaku,,,,berbuat baiklah karena kebaikanlah yang dikenang
selalu.
Oh...Tuhan, aku rindu padanya.
Darinya aku berdiri, darinya aku berbicara, darinya aku melangkah, darinya aku
melihat, darinya aku berpikir bahwa manusia tak ada yang sempurna.
Oh iya, namaku Dania. Orang yang
kupanggil ammaku adalah ibu yang telah melahirkan ku ke dunia ini dengan cinta
yang begitu istimewa. Karena cinta tidak lahir dari hal-hal yang biasa-biasa
saja. Sebenarnya, aku orang Sunda karena kedua orang tua ku adalah orang Sunda
Asli. Kami datang dari Kota Bandung 18 tahun silam, waktu itu, usia ku baru 2,5
tahun, kata ammaku. Ayahku telah kembali kemaharibaan Allah, Sang Mahacinta
yang sejati. Semoga beliau berbahagia di sana (surga). Meskipun aku dan ammku
adalah asli Sunda, Bandung, tapi kami selalu berbahagia bisa menjadi bagian
dari keindahan Makassar. Sekali lagi, keindahan Makassar karena Makassar itu
indah. Bahkan, aku mersa bahwa aku adalah Makassar dan Makassar adalah aku.
Jadi, jika ada yang mengatakan Makassar itu kasar, jangan salah, kuajak kalian
menyelami samudera cinta nan indah di kota ini. Yang aku tahu, Makassar itu
penuh harga diri, kelembutan yang terhormat, kesantunan yang terdidik, dan
kesopanan yang beradat. Ada lagi yang sampai saat ini memenjarakan dan memanjakan
lidahku setiap hari yaitu kuliner Coto Makassarnya, hmmm....mamamia lezzato.
Cukup dulu tentang Makassarnya,
kali ini aku ingin berbicara tentang surga dunia yang Tuhan berikan untukku,
ammaku. Wanita tangguh yang penuh dengan kasih sayang. Aku tidak memanggilnya
seindah kau memanggil ibumu dengan kata mami, mom, atau pun ibu, ammaku lebih
bangga dan bahagia jika ia kusapa demikian. Ammaku adalah kebaikan Tuhan karena
telah melahirkan aku dari rahimnya. Dia juga guru yang begitu pandai dalam
segala bidang. Meskipun jika kau tanya soal matematika atau kimia dia tidak
akan bisa menjawabnya, karena dia hanya lulusan SMP. Tapi, ammaku tetap yang
paling pintar. Ajarannya saja masih sangat kuat tertancap di ingatanku. Berbeda
jika aku belajar di sekolah atau dikampus, hari ini aku belajar, besok semuanya
pasti akan aku lupakan. Tapi ammaku tidak. Pelajaran yang diberikan padaku 12
tahun silam saja masih aku ingat. Katanya, “Teruslah berbuat baik, perbanyak
berteman, kalau ada yang bisa diberikan, berikan, tapi dengan ikhlas. Jangan
mengharapkan imbalan, karena imbalan itu datangnya dari Tuhan”. Luar biasa,
itulah ammaku. Ammaku pulalah yang
mengajarkan ku untuk tidak memilih-milih teman karena alasan tertentu.
Oh...Tuhan, aku rindu padanya.
Darinya aku berdiri, darinya aku berbicara, darinya aku melangkah, darinya aku
melihat, darinya aku berpikir bahwa manusia tak ada yang sempurna.
Baru sehari aku berpisah dengan
ammaku dari kota daeng Makasaar ke Kota beras Sidrap tapi rasanya sudah
setahun. Kurasakan sepinya hati tanpa dirimu, sepinya mata tanpa senyummu,
sepinya kuping tanpa suaramu, dan sepinya hidung tanpa aroma pa’lu ce’lamu yang
begitu menggoda lidah. Rasanya kuingin segera kembali dan mendekap di
pelukanmu. Ammaku sayang, semoga Tuhan menyayangimu dengan kesehatan dan usia
yang panjang. Karena aku tahu, ammaku adalah surga Tuhan untukku, lentera yang
menerangi jalanku, serta perisai yang terus melindungiku dengan doanya yang
sakral.
Ammaku, tahukah kamu bahwa
kokohnya tulang ditubuhku adalah karena nafas doa yang kau panjatkan, ammaku,
tahukah kamu bahwa pandangan mata ini adalah pandangan yang telah kau
tunjukkan, ammaku, tahukah kamu bahwa tangan dan kaki ini adalah gerak yang kau
tuntunkan. Maka maafkan aku jika ada kataku atau lakuanku yang menggores luka
di mata dan hatimu. Sesungguhnya itu bukan ajaranmu melainkan aku yang lupa,
atau karena kerasnya dunia di luar sana sampai aku terlena dan khilaf. Jangan
kau titiskan airmata itu lagi untukku, karena asal kamu tahu, remuk jiwa dan
goyah batin ini melihatnya. Ammaku, tiada kata di akhir tulisan ini yang pantas
aku torehkan kecuali “Terima kasih Tuhan, kusayang ki amma”.
No comments:
Post a Comment