Thursday, November 2, 2017

CERPEN AMMAKU



Sebuah Cerpen
“Ammaku...”
Banyak yang berkata, “Jalani saja, dunia ji ini”. Memang, tapi haruskah berjalan dengan begitu saja tanpa usaha untuk menghias diri dengan indah. Karena keindahan itu adalah surga dunia dari Tuhan untuk kita, maka bersyukurlah. Jangan seperti mereka yang selalu memandang datar namun ada yang terzholimi. Sebut saja pertemanan. Ada yang ingin berteman karena si dia rupawan, atau ada juga yang berteman karena si dia orang kaya. Atau bahkan ada yang ingin berteman karena si dia se-agama, se-suku, atau lasan-alasan yang lain yang mungkin saja ada diskriminasi di dalamnya. Aduh...janganlah seperti itu karena kita semua adalah sama, kembali menjadi tanah. Namun faktanya tidak jarang kita menemukan hal yang demikian. Ini contoh aja yah, kemarin, aku jalan bareng dengan dua orang teman, sesampainya di tempat tujuan, aku bertemu dengan salah seorang teman yang ku kenal sewaktu di Malang. Orangnya baik, ramah, murah senyum, agamanya Kristen, Albert namanya. Ia seorang Papua yang lagi menimbah ilmu di Kota Malang, Jawa Timur. Kulitnya hitam legam, rambutnya kriul-kriul, unik dan menarik bagi saya. Untuk dijadikan teman curhat pun sangat menyenangkan. Lalu, setelah sedikit bumbu bincang-bincang, saya dan Albert pun say bye karena kami berdua memiliki kesibukan yang berbeda. Mungkin di lain waktu kami akan bertemu. Itulah Albert, kawanku dari Papua. Namun, entah mengapa, setelah kami say bye kedua temanku tertawa kecil namun lirih. Dari tawa itu, aku melihat tidak ada yang lucu atau hal yang membahagiakan, justru sebaliknya. Ada hinaan yang tersungging di balik tawa kecil itu. Oh Tuhan...temanku merasa lebih baik dari Albert. Apa gerangan yang kau banggakan, wajah rupawan?, kulita putih?, atau harta berlimpah?.
Entah apa ganjaranmu dari Tuhan atas kesombonngan itu. Berteman itu indah, saya tidak ada masalah dengan siapa dirinya, apa agamanya, atau dari suku bangsa mana ia berasal. Saya berteman dengan Jawa, mereka santun dan ramah. Saya berteman dengan Makassar, mereka juga santun. Bukan seperti celoteh mereka yang katanya sangar. Tapi lupakanlah, mentari masih terus bersinar setelah redup dipelupuk mata. Itulah hidup. Seperti kata ammaku,,,,berbuat baiklah karena kebaikanlah yang dikenang selalu.
Oh...Tuhan, aku rindu padanya. Darinya aku berdiri, darinya aku berbicara, darinya aku melangkah, darinya aku melihat, darinya aku berpikir bahwa manusia tak ada yang sempurna.
Oh iya, namaku Dania. Orang yang kupanggil ammaku adalah ibu yang telah melahirkan ku ke dunia ini dengan cinta yang begitu istimewa. Karena cinta tidak lahir dari hal-hal yang biasa-biasa saja. Sebenarnya, aku orang Sunda karena kedua orang tua ku adalah orang Sunda Asli. Kami datang dari Kota Bandung 18 tahun silam, waktu itu, usia ku baru 2,5 tahun, kata ammaku. Ayahku telah kembali kemaharibaan Allah, Sang Mahacinta yang sejati. Semoga beliau berbahagia di sana (surga). Meskipun aku dan ammku adalah asli Sunda, Bandung, tapi kami selalu berbahagia bisa menjadi bagian dari keindahan Makassar. Sekali lagi, keindahan Makassar karena Makassar itu indah. Bahkan, aku mersa bahwa aku adalah Makassar dan Makassar adalah aku. Jadi, jika ada yang mengatakan Makassar itu kasar, jangan salah, kuajak kalian menyelami samudera cinta nan indah di kota ini. Yang aku tahu, Makassar itu penuh harga diri, kelembutan yang terhormat, kesantunan yang terdidik, dan kesopanan yang beradat. Ada lagi yang sampai saat ini memenjarakan dan memanjakan lidahku setiap hari yaitu kuliner Coto Makassarnya, hmmm....mamamia lezzato.
Cukup dulu tentang Makassarnya, kali ini aku ingin berbicara tentang surga dunia yang Tuhan berikan untukku, ammaku. Wanita tangguh yang penuh dengan kasih sayang. Aku tidak memanggilnya seindah kau memanggil ibumu dengan kata mami, mom, atau pun ibu, ammaku lebih bangga dan bahagia jika ia kusapa demikian. Ammaku adalah kebaikan Tuhan karena telah melahirkan aku dari rahimnya. Dia juga guru yang begitu pandai dalam segala bidang. Meskipun jika kau tanya soal matematika atau kimia dia tidak akan bisa menjawabnya, karena dia hanya lulusan SMP. Tapi, ammaku tetap yang paling pintar. Ajarannya saja masih sangat kuat tertancap di ingatanku. Berbeda jika aku belajar di sekolah atau dikampus, hari ini aku belajar, besok semuanya pasti akan aku lupakan. Tapi ammaku tidak. Pelajaran yang diberikan padaku 12 tahun silam saja masih aku ingat. Katanya, “Teruslah berbuat baik, perbanyak berteman, kalau ada yang bisa diberikan, berikan, tapi dengan ikhlas. Jangan mengharapkan imbalan, karena imbalan itu datangnya dari Tuhan”. Luar biasa, itulah ammaku.  Ammaku pulalah yang mengajarkan ku untuk tidak memilih-milih teman karena alasan tertentu.
Oh...Tuhan, aku rindu padanya. Darinya aku berdiri, darinya aku berbicara, darinya aku melangkah, darinya aku melihat, darinya aku berpikir bahwa manusia tak ada yang sempurna.
Baru sehari aku berpisah dengan ammaku dari kota daeng Makasaar ke Kota beras Sidrap tapi rasanya sudah setahun. Kurasakan sepinya hati tanpa dirimu, sepinya mata tanpa senyummu, sepinya kuping tanpa suaramu, dan sepinya hidung tanpa aroma pa’lu ce’lamu yang begitu menggoda lidah. Rasanya kuingin segera kembali dan mendekap di pelukanmu. Ammaku sayang, semoga Tuhan menyayangimu dengan kesehatan dan usia yang panjang. Karena aku tahu, ammaku adalah surga Tuhan untukku, lentera yang menerangi jalanku, serta perisai yang terus melindungiku dengan doanya yang sakral.
Ammaku, tahukah kamu bahwa kokohnya tulang ditubuhku adalah karena nafas doa yang kau panjatkan, ammaku, tahukah kamu bahwa pandangan mata ini adalah pandangan yang telah kau tunjukkan, ammaku, tahukah kamu bahwa tangan dan kaki ini adalah gerak yang kau tuntunkan. Maka maafkan aku jika ada kataku atau lakuanku yang menggores luka di mata dan hatimu. Sesungguhnya itu bukan ajaranmu melainkan aku yang lupa, atau karena kerasnya dunia di luar sana sampai aku terlena dan khilaf. Jangan kau titiskan airmata itu lagi untukku, karena asal kamu tahu, remuk jiwa dan goyah batin ini melihatnya. Ammaku, tiada kata di akhir tulisan ini yang pantas aku torehkan kecuali “Terima kasih Tuhan, kusayang ki amma”.

No comments:

Post a Comment

SEMIOTIKA DALAM KAJIAN ETNOLINGUISTIK

          Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya ...