Sebuah Cerpen
“Losari”
Tidak ada yang pernah menyangka bahwa cerita setahun silam
adalah kisah indah yang kita lalui bersama. Pertemuan malu-malu yang tanpa
sengaja terjadi di kampus tercinta Unismuh membawa kita pada mahligai kata yang
selalu indah untuk kau bagi dikupingku dan senyum manja yang setiap pagi kau
lempar melalui jendela kelas saat perkuliahan berlangsung. Lalu tanpa ragu kau
mengajakku ke anjungan pantai Losari dengan rayuan gombal dan janji menikmati
keindahan pantai dan terbenamnya matahari sore itu. Memang indah, seindah
perkataan mu tentang ku yang cantik dan membuatmu jatuh hati. Lalu kau jajakan
hatimu di hadapanku sembari berlutut dan menengadahkan kedua tangan mu serupa
menyambut dua tangan dari ku sebagai arti bahwa kita telah mengikat cinta
kasih. Dan, karena kisah sebelumnya yang begitu membuat ku tersipu, dan harapan
dibenakku akan masa depan yang indah dengan mu. Maka bersambutlah tengadah
tanganmu dari ku. Maka benar saja, sore itu ikrar cinta kasih kita terjalin.
Terpaan angin laut pantai Losari sore itu semakin lama
semakin berat saja. Begitulah pantai di sore menjelang malam hari. Anginnya
akan semakin berat. Lalu tanpa ragu kau menyapa tanganku yang mulai dingin dan
mengajakku menatap terbenamnya matahari yang begitu indah. Lalu, kau
meyakinkanku akan cintamu yang seberat matahari yang terbenam. Aku hanya
tersipu malu namun lautan kebahagiaan begitu luas dihati dan pikiranku. Karena
kau cinta pertama yang kuharapkan.
Seperti mawar merah yang merekah di pagi hari, maka begitu
pula rona rasa dihati yang aku bawah setiap hari ke kampus. Dan akan bertambah
merekah dan merona lebih merah lagi ketika kusaksikan sunggingan senyum manismu
dari balik jendela kelasku. Pesan-pesan cinta dikertas merah muda kau awali
untuk kau berikan padaku saat hujan di sore hari kala itu. Maka kau tawarkan
baju hangat mu padaku. Tanpa ragu dan dengan sedikit malu kuterima dan kau
pasangkan di lenganku. Bahagia rasanya. Sebulan berlalu, aku semakin yakin
bahwa kau adalah lelaki terindah yang Tuhan berikan padaku. Harapan untuk
menjalin keluarga bahagia dengan mu menjadi semakin terang di angan-anganku.
Januari 2015, aku masih tetap yakin bahwa cinta kita adalah
anugerah dari Tuhan dan kau adalah lelaki yang Tuhan berikan untukku meskipun
telah muncul benih pertanyaan akan perubahan yang kau berikan padaku. Tidak ada
lagi surat cinta dari kertas merah muda untukku. Tidak ada lagi semnyum manis
yang kau sunggingkan untukku setiap kelas berlangsung di balik jendela. Bahkan
semakin bertmbah keraguan itu ketika kabar burung hinggap di telingaku bahwa
kelokan telah terbuka. Maka luka pun semakin parah. Kutanya pada burung pembawa
kabar buruk itu. Jawabnya hanya anggukan. Artinya ada pembenaran. Namun, aku
masih yakin bahwa kau adalah belahan jiwaku.
Setahun berlalu, hari ini, luka mengangah menghadang di
wajahku. Semua kabar itu benar adanya. Seorang gadis cantik yang tidak lain
adalah temanku telah kau titipkan ruh di rahimnya. Mulailah kuteteskan sedikit
demi sedikit air mata kebencian dan kekecewaan. Tahun itu adalah kehancuran.
Tuhan adil padaku. Tuhan melukiskan orang yang kuanggap belahan jiwaku dan
surga untukku dari-Nya ternyata tidak lain adalah pembohong. Bagaimana jika
cinta itu telah terjalin sebagai pasangan suami istri. Mungkin lebih sakit dari
apa yang kurasakan saat ini.
Adzan azhar telah dikumandangkan, kewajibanku telah
kutunaikan. Tiba-tiba, di depan rumah kau muncul dan berusaha menjelaskannya.
Baiklah, akan kudengar semua celoteh dari mu. Pintaku, ajak aku ke Losari. Harapku,
dimana kisah itu dimulai, akan kuakhiri di situ jua. Di sana kau jelaskan bahwa
itu adalah khilaf. Lalu kulayangkan sedikit telapak tanganku ke pipimu. Kau
hanya diam karena memang kau bersalah.
Tidak...! sepertinya kau telah hilang dalam relung ingatan ini. Derai
angin dan ombak kecil Losari adalah saksi bisu bahwa kau telah khianat. Kau
dustakan semua apa yang telah kita patrikan dahulu, di tempat ini jua. Tapi,
bukan itu lelaki yang sesungguhnya. Kau katakan bahwa kita akan sehidup semati,
tapi mengapa ada orang lain yang kau jadikan intan di hatimu, lalu kau
menempatkan ku pada sebuah wadah botol kecil dan melemparnya kelaut. Luar
biasa. Inikah kau yang sesungguhnya. Jika saya yang melakukan khianat itu, maka sudah tentu aku
malu untuk memunculkan wajahku di depan orang banyak. Ini adalah siri”.
Siri’nya orang yang tahu arti dan tak khianat sepertimu. Tapi kamu tidak, tanpa
rasa malu kau tengadahkan kepalamu dengan begitu congkak di hadapan mereka.
Tidak tahu rasa malu. Tentu kebusukannya kau bagi padaku. Dan aku mulai tersadar bahwa setahun lalu kau pernah
berkata bahwa cinta mu seberat matahari yang terbenam, maka terbenamlah cintamu
utnukku saat ini.
No comments:
Post a Comment