Thursday, November 2, 2017

CERPEN "SI HINA"



Sebuah Cerpen
“Si Hina”
Telah dilukiskan garis hidup setiap manusia dari Tuhannya, maka jalani dan berusaha yang terbaik. Karena janji Tuhan itu nyata. Tidak akan berubah nasib suatu kaum atau nasib seseorang jika kaum atau seseorang itu tidak berusaha untuk mengubahnya. Namun, haruskah ada anjing-anjing yang menggonggong dan lintah yang kehausan dari garis hidup yang diciptakan Tuhan pada seorang yang hina. Ataukah Tuhan menciptakan mereka dengan garis hidupnya sebagai anjing dan lintah, entahlah. Ataukah memang garis ditangan ini berbeda dengan garis di tangan mereka. Garis ditangan ini mungkin penuh dengan kelokan dengan tinta hitam sebagai rona hidup yang kelam dan di tangan mereka bergaris lurus dengan tinta emas sebagai rona kehidupan yang bahagian.
Tidak ada seorangpun yang menghendaki dirinya untuk hidup hina lalu kau cabik dengan hinaan yang begitu sakit pula. Andai hidup dapat diubah layaknya siaran televisi yang dapat diganti dari film horor menjadi film romantis melalui sebuah remote control, maka tanpa pikir panjang lagi akan kutekan tombol kehidupan bahagia itu untuk ku. Karena si hina telah lelah menanti takdir Tuhan berubah.
Bunga saja menawarkan keindahan dari kuncupnya hingga merekah dan menebar pesona cantiknya. Sedangkan laut dengan rona birunya yang indah, gelombang dan derai ombak yang begitu mempesona, serta semilir angin yang membuai selalu membawa ketenangan. Lalu, mampukah laut merekah dari sebuah kuncup menjadi sebuah kelopak bunga yang indah dan menawarkan pesona cantiknya, atau mampukah bunga menciptakan derai ombak dan semilir angin yang membelai dengan lembut. Tentu tidak. Maka aku lesu, akankah si hina mampu hidup bahagia. Karena laut tak mampu merekah menjadi sebuah bungan yang indah.
Memang, si hina tak punya apa-apa selain kehinaandinaan yang kau pasang diwajah ini. Maka patahlah arang karena tidak kau ulurkan tangan mu padanya. Apakah karena garis emas itu takut akan memudar karena menjamah kulitku. Tapi kenapa kau masih saja berkoar dan kau pancang kami di ujung bendera juang mu yang katanya demi si hina yang menderita. Namun nyatanya, hasil yang mengatas namakan si hina kau gadaikan dengan sebungkus nasi basi saja. Tapi biarlah, asalkan jangan kau hina si hina dengan kehinadinaanmu. “Biarkan saya tak punya, hina dina dimatamu, asalkan mulut dan perbuatanku masih sejalan dengan apa yang sebenarnya. Seharusnya kau malu padaku, karena apa yang kau punya sebenarnya adalah harta curian dari tetanggaku....berkecamuk dalam hati. Si hina hanya bisa berdali seperti itu.
Tuhan, bagaimana kau memandang kami yang hina ini. Apakah memang mereka adalah yang kau utus untuk menghina kami. Tuhan, apakah si hina tidak pantas bahagia. Ataukah kebahagiaan si hina telah kau beri kepada mereka yang menghina kami. Tuhan, bukalah kembali lembaran takdir yang kau perintahkan kepada malikat mu untuk mencatat takdir kami, mungkin saja ada kesahan garis takdir untuk kami si hina yang kau torehkan di telapak tangan ini. Andai garis tangan ini adalah goresan pensil atau pulpen yang mampu dihilangkan dengan penghapus atau type-x, maka tanpa ragu akan kuhapus garis takdir ini dan ku minta padamu Tuhan untuk melukiskannya kembali dengan lurus dan dengan tinta emas yang indah itu.
Tuhan,,,maafkan si hina ini karena telah banyak meminta dan menyudutkanMu. Aku khilaf, aku lupa akan kecilnya si hina ini di hadapanmu. Kehinadinaan inilah yang menggoyahkan tiang-tiang keyakinan ku padamu. Maka terimalah sembah sujud si hina ini. Jadikanlah kehinadinaan ini adalah perhiasan mulia bagi ku. Tapi Tuhan, ajarkan mereka tentang pedihnya kami. Biarkan mereka tahu kalau tanya itu berbeda dengan si hina. Lalu mampukah laut merekah layaknya kembang di pagi hari?. Biarkan mereka menyaksikan si Hina mengayuh roda kehidupannya, biarkan si Hina berjalan tertatih dengan derita hidupnya,,,Tuhan mahaindah dengan lukisan nasib di telapan tangan si Hina, mengantarnya pada panggung sandiwara megah dan dia adalah aktornya,,,,maka diam dan tertegunlah mereka yang menghina. Lalu kehinaan itu melimpah padanya dan berceloteh akan ketidakadilan Tuhan tentang kehinaan. Si hina kini tersenyum, karena kehinaan itu melangkah selangkah lebih jauh dari bayangang keraguan akan Tuhan yang mahaindah.
Bunga tetap merekah dengan aroma dan kelopak yang mewangi. Laut tetap menawarkan birunya air dan gelombang yang menghempas, serta sepoi angin yang lembut merambat dalam sukma. Maka berbahagialah bunga dan laut yang tak pernah bercoloteh ragu akan Tuhannya. Karena bunga indah dari tiadanya indah itu, dan laut indah karena sepoi angin dan gelombang yang menghempas. Maka kehinaan itu terlepas menjadi dari si hina karena keindahan datang dari hati dan syukur.
Lalu, jika masih ada yang menghina, maka si hina berdoa akan menjatuhkan kehinaan itu padanya dan merasakan arti hinadina yang sebenarnya. Maka tidak ada lagi yang menghina jika tahu arti kehinaan dan Tuhan yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...