Sebuah Cerpen
“Si Hina”
Telah dilukiskan garis hidup setiap manusia dari Tuhannya,
maka jalani dan berusaha yang terbaik. Karena janji Tuhan itu nyata. Tidak akan
berubah nasib suatu kaum atau nasib seseorang jika kaum atau seseorang itu
tidak berusaha untuk mengubahnya. Namun, haruskah ada anjing-anjing yang
menggonggong dan lintah yang kehausan dari garis hidup yang diciptakan Tuhan
pada seorang yang hina. Ataukah Tuhan menciptakan mereka dengan garis hidupnya
sebagai anjing dan lintah, entahlah. Ataukah memang garis ditangan ini berbeda
dengan garis di tangan mereka. Garis ditangan ini mungkin penuh dengan kelokan
dengan tinta hitam sebagai rona hidup yang kelam dan di tangan mereka bergaris
lurus dengan tinta emas sebagai rona kehidupan yang bahagian.
Tidak ada seorangpun yang menghendaki dirinya untuk hidup
hina lalu kau cabik dengan hinaan yang begitu sakit pula. Andai hidup dapat
diubah layaknya siaran televisi yang dapat diganti dari film horor menjadi film
romantis melalui sebuah remote control,
maka tanpa pikir panjang lagi akan kutekan tombol kehidupan bahagia itu untuk
ku. Karena si hina telah lelah menanti takdir Tuhan berubah.
Bunga saja menawarkan keindahan
dari kuncupnya hingga merekah dan menebar pesona cantiknya. Sedangkan laut
dengan rona birunya yang indah, gelombang dan derai ombak yang begitu
mempesona, serta semilir angin yang membuai selalu membawa ketenangan. Lalu,
mampukah laut merekah dari sebuah kuncup menjadi sebuah kelopak bunga yang
indah dan menawarkan pesona cantiknya, atau mampukah bunga menciptakan derai
ombak dan semilir angin yang membelai dengan lembut. Tentu tidak. Maka aku
lesu, akankah si hina mampu hidup bahagia. Karena laut tak mampu merekah
menjadi sebuah bungan yang indah.
Memang, si hina tak punya apa-apa
selain kehinaandinaan yang kau pasang diwajah ini. Maka patahlah arang karena
tidak kau ulurkan tangan mu padanya. Apakah karena garis emas itu takut akan
memudar karena menjamah kulitku. Tapi kenapa kau masih saja berkoar dan kau pancang
kami di ujung bendera juang mu yang katanya demi si hina yang menderita. Namun
nyatanya, hasil yang mengatas namakan si hina kau gadaikan dengan sebungkus
nasi basi saja. Tapi biarlah, asalkan jangan kau hina si hina dengan
kehinadinaanmu. “Biarkan saya tak punya, hina
dina dimatamu, asalkan mulut dan perbuatanku masih sejalan dengan apa yang
sebenarnya. Seharusnya kau malu padaku, karena apa yang kau punya sebenarnya
adalah harta curian dari tetanggaku....berkecamuk dalam hati. Si hina hanya
bisa berdali seperti itu.
Tuhan, bagaimana
kau memandang kami yang hina ini. Apakah memang mereka adalah yang kau utus
untuk menghina kami. Tuhan, apakah si hina tidak pantas bahagia. Ataukah
kebahagiaan si hina telah kau beri kepada mereka yang menghina kami. Tuhan,
bukalah kembali lembaran takdir yang kau perintahkan kepada malikat mu untuk
mencatat takdir kami, mungkin saja ada kesahan garis takdir untuk kami si hina
yang kau torehkan di telapak tangan ini. Andai garis tangan ini adalah goresan
pensil atau pulpen yang mampu dihilangkan dengan penghapus atau type-x, maka tanpa ragu akan kuhapus
garis takdir ini dan ku minta padamu Tuhan untuk melukiskannya kembali dengan
lurus dan dengan tinta emas yang indah itu.
Tuhan,,,maafkan
si hina ini karena telah banyak meminta dan menyudutkanMu. Aku khilaf, aku lupa
akan kecilnya si hina ini di hadapanmu. Kehinadinaan inilah yang menggoyahkan
tiang-tiang keyakinan ku padamu. Maka terimalah sembah sujud si hina ini.
Jadikanlah kehinadinaan ini adalah perhiasan mulia bagi ku. Tapi Tuhan, ajarkan
mereka tentang pedihnya kami. Biarkan mereka tahu kalau tanya itu berbeda
dengan si hina. Lalu mampukah laut merekah layaknya kembang di pagi
hari?. Biarkan mereka menyaksikan si Hina mengayuh roda kehidupannya, biarkan
si Hina berjalan tertatih dengan derita hidupnya,,,Tuhan mahaindah dengan
lukisan nasib di telapan tangan si Hina, mengantarnya pada panggung sandiwara
megah dan dia adalah aktornya,,,,maka diam dan tertegunlah mereka yang menghina. Lalu kehinaan itu melimpah
padanya dan berceloteh akan ketidakadilan Tuhan tentang kehinaan. Si hina kini
tersenyum, karena kehinaan itu melangkah selangkah lebih jauh dari bayangang
keraguan akan Tuhan yang mahaindah.
Bunga tetap
merekah dengan aroma dan kelopak yang mewangi. Laut tetap menawarkan birunya
air dan gelombang yang menghempas, serta sepoi angin yang lembut merambat dalam
sukma. Maka berbahagialah bunga dan laut yang tak pernah bercoloteh ragu akan
Tuhannya. Karena bunga indah dari tiadanya indah itu, dan laut indah karena sepoi
angin dan gelombang yang menghempas. Maka kehinaan itu terlepas menjadi dari si
hina karena keindahan datang dari hati dan syukur.
Lalu, jika masih
ada yang menghina, maka si hina berdoa akan menjatuhkan kehinaan itu padanya
dan merasakan arti hinadina yang sebenarnya. Maka tidak ada lagi yang menghina
jika tahu arti kehinaan dan Tuhan yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment