Pragmatik mempunyai ruang
lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya. Pragmatik mengkaji
bidang-bidang seperti deiksis, praanggapan, implikatur percakapan dan tindak
tutur.
1.
Deiksis
Deiksis adalah
hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata
itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah (Chaer dan Leonie,
2004:57). Deiksis adalah teknis untuk satu hal mendasar yang kita lakukan
dengan tuturan. Deiksis berati ‘penunjukan’ melalui bahasa (Yule, 2006:13).
Penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa,
proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh
pembicara atau yang diajak bicara (Djajasudarma, 2012:43).
Kajian linguistik sekarang, kata deiksis dipakai untuk
menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu,
dan berbagai jenis ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan
ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran (Purwo, 1990:20).
Deiksis sebagai objek kajian pragmatik adalah bentuk-bentuk bahasa yang tidak
memiliki acuan yang tetap. Oleh karena itu, maknanya sangat bergantung pada
konteks (Wijana, 2011:38).
2.
Praanggapan
Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Yang memiliki presupposisi adalah penutur, bukan kalimat (Yule, 2006:43).
Praanggapan dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang
terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat (Chaer dan Leonie,
2004:58). Nababan (Sulistyo, 2013:11) mengatakan bahwa praanggapan adalah dasar
atau penyimpulan mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk
bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima
bahasa itu, dan sebaliknya dapat membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk
bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan makna yang dimaksud. Dengan kata
lain, praanggapan dapat mengganggu menurangi hambatan respons orang terhadap
penafsiran suatu tuturan.
Jika suatu kalimat yang diucapkan, selain dari makna yang
dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut disertakan pula tambahan makna
dalam kalimat itu, maka itulah yang disebut praanggapan. Menurut Suryono
(Rohmadi, 2010: 39) praanggapan merupakan pengetahuan latar belakang yang dapat
memuat suatu tindakan atau ungkapan yang mempunyai makna masuk akal dan dapat
diterima oleh para partiisipan yang terlibat dalam peristiwa komunikasi.
Menurut Bambang (Rahardi, 2005:39), praanggapan dapat pula dipakai untuk
menggali perbedaan ciri semantis verba yang satu dengan verba yang lain.
Menurut Leech (2011:101), bahwa praanggapan haruslah
dianggap sebagai dasar dari kelancaran wacana yang komunikatif. Bila dua orang
terlibat dalam suatu percakapan mereka saling mengisi latar belakang
pengetahuan yang bukan hanya pengetahuan terhadap situasi pada waktu itu,
melainkan pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu percakapan berlanjut,
konteksnya pun berlanjut, dalam arti unsur-unsur baru semakin bertambah.
Pernyataan ini dari suatu proposisi menjadi praanggapan bagi tuturan
selanjutnya.
3.
Implikatur
Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H.P.
Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat
diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk
memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai
hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Rani dkk, 2006:170). Yang dimaksud implikatur
percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara
dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak nampak secara literal,
tetapi hanya dipahami secara tersirat (Chaer dan Leonie, 2004:59). Grice
(Wijana dan Rohmadi, 2011:13) kembali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
implikatur percakapan adalah tuturan (ujaran) yang menyiratkan sesuatu yang
berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Dengan kata lain, sesuatu yang
dimaksud oleh penutur berbeda dengan apa yang dikatakan (tersurat).
Implikatur percakapan menurut Nurgiyantoro (2007:314)
diartikan sebagai pemahaman terhadap percakapan dalam konteks pragmatik
(imlicature, yang sebenarnya merupakan kependen dari conversitional
implicature, ‘implikatur percakapan’). Konsep implikatur merupakan hal yang
esensial dalam pragmatik. Orang
yang mampu memahami implikatur sebuah percakapan hanyalah orang yang menguasai
bahasa, kebiasaan, konvensi budaya, dan mengetahui konsep percakapan itu
(Nurgiyantoro, 2007:315).
4.
Tindak
Tutur
Ahli pertama yang
memperkenalkan istilah dan teori tindak tutur adalah Austin pada 1962. Austin
adalah seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori itu berasal dari
perkuliahan yang kemudian dibukukan oleh Umson (1965) dengan judul “How to do things with words?”
(Putrayasa, 2014: 37). Namun, teori ini baru berkembang dan dikenal dalam dunia
linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku dengan judul “Peect Act, and Essay in the Philosophy of
Language” (Aslinda dan Leni, 2007:33). Searle mengemukakan bahwa, dalam
semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual tidak hanya
lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performant of speech act). Secara
ringkas dapat dikatakan, bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu
kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi
lingual.
Hoki368 Situs Slot Online Terbaik Dan Bandar Bola Resmi Terbesar Di Asia.
ReplyDelete✔️Hoki368 Slot Online Terbaik
✔️Hoki368 Bandar Bola Resmi
✔️Hoki368 Prediksi Bola Gratis
✔️Hoki368 Prediksi Parlay
✔️Hoki368 Prediksi Liga1
✔️Bonus Slot Online
✔️Bonus Deposit Sportbook 100%
✔️Hoki368 Slot Online Gacor
✔️Bocoran Slot Online Hoki368