Thursday, May 16, 2019

PENTINGNYA SASTRA ANAK


Pentingnya Sastra untuk Anak

Usia anak-anak merupakan fase perkembangan yang sangat labil. Pada usia tersebut, anak-anak sangat mudah menerima berbagai hal, baik positif maupun negatif. Apa yang lebih banyak mereka terima pada usia anak-anak, akan sangat menentukan perkembangan intelektual maupun moral mereka pada saat dewasa nanti. Jika mereka lebih banyak diajarkan atau dibiasakan untuk membantu orang lain, gemar membaca, sopan, santun, dan berbagai prilaku positif lainnya, stelah mereka besar hal-hal baik itu yang akan terus mereka lakukan karena telah dibiasakan sejak dini,  demikian pula sebaliknya, jika anak-anak diajarkan atau dibiasakan dengan hal-hal negatif seperti berbohong maupun berkata kasar, maka bukan hal yang tidak mungkin niscaya dia akan meneruskan kebiasaan buruk tersebut hingga dia dewasa. Alangkah bagusnya jika pada masa-masa pencarian maupun produktivitas tersebut, anak-anak disuguhkan dengan berbagai bacaan yang dapat memperkaya intelektual dan moralnya. Salah satu alternatif bacaan yang penting diberikan kepada anak-anak dalam rangka memperkaya intelektual serta membentuk karakter dan budi pekerti anak adalah bacaan-bacaan karya sastra, lebih khususnya lagi adalah sastra anak.

Anak-anak yang telah terbiasa bergelut dengan sastra sejak usia dini akan menjadi lebih baik karena sastra diciptakan tidak semata-semata untuk menghibur, namun lebih dari itu, sastra hadir untuk memberikan pencerahan moral bagi manusia sehingga terbentuk manusia-manusia yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Karya sastra anak menjadi sangat penting dibiasakan kepada anak-anak sejak dini karena di dalamnya tersaji berbagai realitas kehidupan dunia anak dalam wujud bahasa yang indah. Sastra anak dapat menyajikan dua kebutuhan utama anak-anak yaitu hiburan dan pendidikan. Anak-anak dapat merasakan hiburan lewat cerita maupun untaian kata dalam puisi anak melalui belajar sastra, demikian pula, dengan belajar sastra, anak-anak secara tidak langsung dididik untuk meneladani berbagai nasihat, ajaran, maupun moral yang disampaikan dalam karya sastra anak. Pada pandangan Tarigan (2011:6-8) terdapat enam manfaat sastra terhadap anak-anak
  1. Sastra memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan kepada anak-anak.
  2. Sastra dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan, pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara.
  3. Sastra dapat memberikan pengalaman-pengalaman aneh yang seolah-olah dialami sendiri oleh para anak.
  4. Sastra dapat mengembangkan wawasan para anak menjadi perilaku insani.
  5. Sastra dapat menyajikan serta memperkenalkan kesemestaan pengalaman kepada para anak.
  6. Sastra merupakan sumber utama bagi penerusan warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sastra adalah sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Nurgiyantoro (2013:12) mendefinisikan sastra anak sebagai karya sastra yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan.Secara sadar atau tidak sadar, kehidupan kita selalu dikelilingi dengan sastra. Pendidikan sastra sudah diterapkan sejak kita masih kecil. Saat seorang ibu bersenandung sambil menidurkan anaknya atau saat seorang ayah mendongengkan anaknya menjelang waktu tidur di malam hari itu semua merupakan karya sastra yang mulai diperkenalkan kepada kita sejak masih di dalam rumah sampai kita mulai mengenyam pendidikan formal di sekolah sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib.

Sastra anak biasanya dikemas dalam bentuk yang ringan dan mudah dipahami oleh anak. Begitu banyak jenis-jenis cerita anak dalam bentuk fiksi ataupun nonfiksi. Jenis-jenis ini pun terbagi dalam beberapa genre lagi. Ada beberapa alasan perlunya pembicaraan genre, yaitu (i) memberikan kesadaran kepada kita bahwa pada kenyataannya terdapat berbagai genre sastra anak selain cerita atau lagu-lagu bocah yang telah familiar, telah dikenal dan diakrabi; (ii) elemen stuktural sastra dalam tiap genre berbeda; (iii) memperkaya wawasan terhadap adanya kenyataan sastra yang bervariasi yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk memindahkannya bagi anak. Endraswara (2005:205) menyatakan bahwa masalah dalam penyajian sastra anak menimbulkan banyak masalah karena pengajar (orang dewasa) sering menyamakan dirinya dengan anak. Padahal, subjek didik (anak) tergolong orang yang murni. Sastra anak mempunyai beberapa fungsi khusus berikut ini.

Melatih dan memupuk kebiasaan membaca pada anak-anak.


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa anak-anak lebih suka membaca hanya untuk mencari kesenangan. Niat awal untuk mencari kesenangan dapat dijadikan sebagai jembatan untuk melatih dan membiasakan anak bergelut dengan dunia buku. Jika anak-anak telah terbiasa membaca bacaan anak, maka akan merangsang kebiasaan atau hobinya untuk membaca buku-buku pelajaran dan buku umum lainnya.

Membantu perkembangan intelektual dan psikologi anak.


Memahami suatu bacaan bukanlah pekerjaan yang mudah. Jika anak-anak telah terbiasa membaca, maka hakikatnya mereka telah terbiasa memahami apa yang dibacanya. Kebiasaan memahami bacaan tentu akan sangat membantu perkembangan intelektual atau kognisi anak. Demikian pula sajian cerita atau kisah dan berbagai hal dalam karya sastra anak akan menumbuhkan rasa simpati atau empati anak-anak terhadap berbagai kisah tersebut. Dengan demikian, sastra anak dapat membantu perkembangan psikologi atau kejiwaan anak untuk lebih sensitif terhadap berbagai fenomena kehidupannya.

Mempercepat perkembangan bahasa anak.


Perkembangan bahasa anak berjalan secara bertahap seiring dengan perkembangan fisik dan pikirannya. Kematangan berpikir sangat menentukan perkembangan bahasa anak, demikian pula sebaliknya, perkembangan bahasa sangat menentukan kematangan berpikir anak. Anak-anak yang biasa membaca bacaan anak dapat memperoleh bahasa (kosa kata, kalimat) lebih banyak dan lebih cepat jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Tentu, jika anak-anak cepat perkembangan bahasanya, akan membantu tingkat kematangan berpikirnya.

Membangkitkan daya imajinasi anak.


Secara leksikal, kata imajinasi memang dapat diartikan sebagai ‘khayalan’. Namun, imajinasi dalam karya sastra tidaklah sepenuhnya berisi khayalan tanpa ada kaitannya dengan realitas. Imajinasi dalam sastra tidak lain hanyalah sebuah media untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarangnya. Oleh sebab itu, esensi dan substansi imajinasi dalam karya sastra adalah realitas kehidupan manusia. Anak-anak yang biasa membaca sastra (bacaan anak), akan terbiasa turut merasakan dan melibatkan pikiran (imajinasi) sehingga seolah-olah dia yang mengalami peristiwa dalam karya yang dibacanya. Dengan begitu, imajinasi akan menumbuhkan pemikiran yang kritis dan kepekaan emosional yang tinggi dalam diri anak.

Kriteria Sastra yang Baik untuk Anak

Pada hakikatnya tujuan dari karya sastra anak adalah memberikan informasi kepada anak. Informasi dalam sastra anak terkait dengan ideologi yang akan disampaikan oleh penulis. Selain memberikan informasi, sastra anak juga bersifat untuk memberikan hiburan dan manfaat kepada anak. Sastra anak pada dasarnya ingin menyajikan bacaan yang bermanfaat pada anak. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ada ideologi yang akan disampaikan penulis. Ideologi-ideologi dari penulis bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai (value) dalam kehidupan penyampaian ideologi untuk anak membutuhkan cara tersendiri karena sastra anak adalah bacaan untuk anak-anak sehingga membutuhkan perhatian yang khusus.

Cara untuk menyampaikan ideologi kepada anak harus diperhatikan oleh penulis. Hal itu disebabkan oleh sifat ideologi itu tidak dapat disampaikan secara terpisah-pisah. Selain itu, harus diingatkan pula bahwa karya itu harus mengandung ideologi secara utuh. Untuk itu ideologi harus menyatu dalam pemilihan kata-kata, susunan kalimat, narasi, plot, penokohan, pengakhiran cerita, dan solusi cerita. Untuk lebih jelasnya bahwa ideologi sastra anak menyatu dengan unsur intrinsik sastra, yaitu sebagai berikut;

Pemilihan kata-kata (diksi)


Sastra anak adalah bacaan untuk anak-anak, jadi untuk memasukkan ideologi dalam sastra anak anak harus menggunakan bahasa anak. Untuk mempermudah agar anak mengerti pesan/maksud dari cerita anak, maka harus memilih kata-kata yang tepat. Pemilihan kata dalam sastra anak cenderung  sederhana dan sering didengar/dijumpai anak, sehingga anak tidak akan kesusahan. Hal itu disebabkan oleh jumlah ketrbatasan kosa kata yang dimiliki anak. Contoh: dongeng anak untuk anak TK bertujuan untuk menanamkan nilai kedisiplinan, maka judulnya lebih baiknya sederhana. Misalnya “bangun pagi”, kata bangun pagi adalah kata yang sudah biasa mereka dengar. Dari pertanyaan jam berapa kalian bangun pagi?, selain itu anak akan mudah berasosiasi maksud dari bacaan yang akan mereka baca. 

Susunan kalimat


Ide pokok dalam bacaan terdapat dalam rangkaian kalimat. Kalimat sendiri terdiri dari dari deretan kata. Dengan demikian penulis harus menyusun kalimat yang cenderung pendek-pendekdan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kalimat-kalimat lain. Hal itu perlu diingat bahwa ideologi merupakan suatu kesatuan utuh yang tertuang dalam keterpautan kalimat. Selain itu perlu mengingat bahwa kemampuan anak dalam mencerna kalimat, karena kalimat yang panjang cenderung membingungkan untuk dipahami si anak. Hal itu disebabkan oleh kemampuan memahami makna kalimatadalah tahapan  tinggi dalam kegiatan membaca.  Contoh: ini menggambarkan suasana pegunungan, maka dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh anak.

Narasi


Narasi adalah gaya penceritaan. Narasi pada cerita anak sebaiknya alurnya jangan terlalu panjang, lebih baik pendek. Karena kita tahu anak tidak menyukai baca-bacaan yang panjang. Selain itu harus jelas urutan waktunya jangan bersifat flashback karena anak pemikirannya masih linier

Plot


Alur cerita pada bacaan anak sebaiknya beralur progresif, karena kita tahu bahwa anak masih suka berpikir linear. Berpikir linear adalah berpikir dengan pusat pada satu fokus. Untuk itu penulis akan lebih mudah memasukkan ideologi dengan satu arah melalui plot cerita.

Penokohan


Penokohan merupakan sarana yang paling mudah untuk memasukan sebuah ideologi ke dalam cerita karena melalui tokoh-tokoh inilah nilai nantinya akan dibawa untuk kemudian sampai kepada si anak. Dengan memanfaatkan karakter tokoh yang menarik dan sederhana  akan menjadi daya tarik si anak. Selain itu dalam penokohan harus memanfaatkan plot cerita dengan rangkaian peristiwa sederhana, sehingga akan terbentuk dalam kesatuan narasi cerita. 

Pengakhiran cerita 

Ideologi dalam cerita anak biasanya akan terlihat pada akhir cerita. Pengakhiran cerita ada yang berbentuk langsung, ada yang tidak langsung. Langsung atau tidak langsung pengakhiran cerita terkait dengan kesimpulan cerita. Padahal kita tahu, kesimpulan berkait dengan ideologi yang ingin disampaikan penulis. Ideologi tersebut dapat tertangkap dari makna/pesan dalam kesimpilan cerita. 

Solusi cerita 

Sebenarnya solusi cerita hampir sama dengan pengakhiran cerita. Pengakhiran cerita lebih menekankan pada kesimpulan cerita, sedangkan solusi cerita berkompeten pada nasihat-nasihat untuk menanggapi kesimpulan cerita. Padahal kita tahu nasihat cerita  adalah nilai (value) kehidupan yang disampaikan oleh penulis secara tidak langsung. Sehingga ideologi pengarang tidak akan lepas dari suatu bacaan anak. Cara kerja terbaik sebuah ideologi dalam sastra anak tentu tidak terlepas pada tahap perkembangan  anak. Tiga cara kerja ideologi dalam sastra pada dasarnya posisi yang sama atau sejajar. Yang membedakan hanyalah karakteristiknya saja sehingga ketika kita bicara ideologi dalam karya sastra anak maka tidak bisa kita lepaskan dengan karya sastra yang disajikan untuk tahap perkembangan anak level apa.

Ideologi  pasif dan bawah sadar memang dianggap sebagai ideologi yang memiliki potensi yang membahayakan akan tetapi ideologi ini akan membantu anak lebih eksploratif dan mampu mengembangkan kognisi secara proksimal. Ketika level anak sudah 6 tahun ke atas maka ideologi aktif akan tampak seperti sebuah pencekokan pada anak, dikte dan sebuah cara mengganjal anak dengan hal-hal yang pada dasarnya telah dapat dicerna anak dengan cara menyimpulkan. Ideologi  yang aktif (sengaja diberikan secara konkret) dibutuhkan oleh anak ketika dia pada fase imitasi dan selebihnya ideologi pasif akan lebih baik untuk diterapkan.

Anak adalah sebuah keajaiban dalam dunia ini. Dia bukan manusia inferior apalagi boneka orang dewasa. Yang dianggap lucu dan ketika kekritisannya muncul dia akan dianggap sebagai manusia bodoh yang suka mengada-ada. Baik tidaknya sebuah kerja ideologi dalam karya juga bergantung pada bagaimana orang dewasa mau berperan dalam pembentukan sikap anak lewat sastra. Satu hal yang penting adalah bagaimana interaksi sosial antara orang dewasa dengan anak sehingga anak terbantu untuk memunculkan  dan memaksimalkan perkembangan dalam zona perkembangan proksimal melalui sastra dan secara tidak langsung melalui ideologinya yang terkandung di dalamnya. 

Cara Menyajikan Sastra ke Anak


Sastra (sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti instruksi atau ajaran dan ‘Tra’ yang berarti alat atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Pada sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumber­-sumber yang relevan (Depdiknas, 2003 ).

Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.

Tujuan Pembelajaran Sastra di SD

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD lebih diarahkan pada kompetensi siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pembelajaran sastra dan bahasa dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.

Pernyataan pembelajaran sastra tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan apresiasi menjadi tujuan utama, sedangkan perangkat pengetahuan sastra diperlukan untuk menunjang terwujudnya apresiasi dan pembelajaran bahasa secara umum, dengan demikian yang harus terjadi dalam pembelajaran sastra ialah kegiatan apresiasi sastra bukan hanya sekedar pengetahuan teori sastra. Huck berpendapat bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi pada empat tujuan (1) menumbuhkan kesenangan pada buku, (2) menginterpretasi bacaan sastra, (3) mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi.

Menumbuhkan Kesenangan Terhadap Buku

Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta masuk dan terlibat di dalam suatubuku. Pembelajaran sastra harus membuat anak merasa senang membaca, membolak­balik buku, dan gemar mencari bacaan.

Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik kepada buku ialah dengan memberi siswa lingkungan yang kaya dengan buku-buku yang baik. Beri mereka waktu untuk membaca atau secara teratur guru membacakan buku untuk mereka. Perkenalkan mereka pada berbagai ragam bacaan prosa dan puisi, realisme dan fantasi, fiksi historis dan kontemporer, tradisional dan modern. Beri mereka waktu untuk membicarakan buku-buku, menceritakan buku itu satu sama lain dan menginterpretasikannya melalui berbagai macam aktivitas respons kreatif. Satu hal penting selain itu siswa juga harus diberi kesempatan mengamati atau melihat orang-orang dewasa menikmati buku. Melalui kegiatan-kegiatan yang menarik minatnya, siswa akan memperoleh kesenangan, dengan demikian, langkah pertama di dalam pembelajaran sastra di SD ialah menemukan kesenangan kepada buku.

Hal ini hendaknya dijadikan tujuan utama pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah dasar dan hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa atau dengan jalan pintas. Kesenangan kepada buku hanya muncul melalui pengalaman yang panjang.

Menginterpretasikan Literatur

Cara menciptakan ketertarikan kepada buku adalah siswa perlu diberi buku bacaan yang banyak. Siswa pun perlu memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang mendalam dengan buku-buku. Guru dan siswa dapat membicarakan tentang makna pribadi yang mungkin terdapat pada suatu cerita untuk kehidupannya sendiri. Anak kelas lima dan ­enam mungkin telah merefleksikan perbandingan antara kejadian-kejadian yang ada pada cerita atau kaitan cerita dengan kehidupannya secara nyata. Ketika siswa, mulai membahas penyebab perilaku tertentu pada cerita, mereka bisa mengembangka­wawasan lebih banyak kepada orang lain. Ketika siswa menghubungkan apa yang mereka baca itu dengan latar belakang pengalamannya, mereka menginternalisasikan makna cerita itu. Pada murid sekolah dasar transaksi itu paling baik dimulai dengan respons pribadinya pada cerita.

Membantu siswa dalam menginterpretasikan bacaan itu dengan cara mengi­dentifikasi para pelaku yang ada pada cerita. Hal itu dapat dilakukan dengan mendra­matisasikan (role play) adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan dramatisasi adegan cerita selain menguatkan pemahaman pada cerita juga akan melatih mereka bersosialisasi. Kelompok anak yang lain kemungkinan menulis essay, jurnal, atau surat yang berkaitan dengan tokoh utama atau tokoh yang lainnya yang ada di dalam cerita. Semua aktivitas tersebut akan menambah interpretasi murid terhadap cerita dan memperdalam tanggapannya pada bacaan.

Mengembangkan Kesadaran Bersastra

Anak-anak yang masih berada di sekolah dasar juga harus diajak mulai mengembangkan kesadaran pada sastra. Tak dapat dipungkiri bahwa pemahaman literer meningkatkan kenikmatan anak terhadap bacaan. Ada beberapa anak usia tujuh dan delapan tahun yang sangat senang menemukan varian yang berbeda mengenai Cinderella, misalnya. Mereka sangat senang membandingkan berbagai awal dan akhir cerita rakyat dan sangat suka menulis sendiri kisahnya.

Jelasnya kesenangan seperti ini berasal dan pengetahuan tentang cerita rakyat. Anak-anak harus pula diarahkan menemukan elemen-elemen sastra secara berangsur­angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi siswa dalam pemahaman makna cerita atau puisi, dengan demikian guru harus menguasai pengetahuan tentang bentuk-­bentuk cerita, elemen-elemen cerita, dan pengetahuan tentang pengarang.

Selama siswa berada di sekolah dasar mereka mengembangkan pemahaman mengenai bentuk sastra yang berasal dari berbagai aliran sedikit demi sedikit. Mereka sudah dapat membedakan bentuk prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi, antara realisme dan fantasi, tetapi tidak dengan istilah-istilah tersebut. Mungkin cara mereka memahami hanya akan bercerita kepada gurunya bahwa buku Dewi Nawangwulan itu memuat suatu cerita, atau Bawang Putih itu ceritanya mirip Cinderella yang telah dibacanya. Hal ini langkah awal yang baik dalam mengembangkan pemahaman tentang bentuk-bentuk sastra, demikian pula pengetahuan siswa mengenai elemen cerita misalnya alur, karakterisasi, tema, dan sudut pandang pengarang akan muncul secara berangsur-angsur.

Ada siswa yang minatnya tergugah bila mengetahui piranti sastra seperti simbol, perbandingan, penggunaan sorot balik, dan sebagainyna. Namun jenis pengetahuan ini lebih cocok untuk guru. Pembahasan tentang piranti sastra pada siswa hendaknya hanya diperkenalkan apabila diperlukan benar untuk dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih kaya terhadap sebuah buku. Yang terpenting bukan menghafal pirantinya, namun bagaimana anak-anak diberi waktu untuk memberikan tanggapan personalnya pada cerita.

Mengembangkan Apresiasi


Sasaran jangka panjang pengajaran sastra di SD ialah mengembangkan kesukaan membaca karya sastra yang bermutu. Ada tiga tahap urutan dan perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi (1) tahap kenikmatan yang tidak sadar, (2) tahap apresiasi yang masih ragu-ragu atau berada antara tahap kesatu dan ketiga, dan (3) tahap kegembiraan secara sadar. Tahap pertama sama dengan gagasan menumbuhkan kesenangan terhadap bacaan, sehingga menjadi terlibat di dalamnya.


Pada tahap ini siswa membaca atau guru membacakannya untuk mendapatkan kesenangan. Mereka jarang menyentuh cara pengarang menciptakan makna. Pembaca pada tahap kedua tertarik tidak hanya pada alur cerita. Pembaca pada tahap ini mulai bertanya tentang apa yang terjadi pada suatu cerita dan mendalami isi cerita untuk mendapatkan makna lebih dalam. Pembaca menikmati dan mengeksplorasi cerita untuk melihat bagaimana pengarang, penyair, atau seniman memperkuat makna dengan teks itu. Tahap ketiga, tahap pembaca yang sudah matang dan menemukan kegembiraan dalam banyak jenis bacaan dan banyak periode waktu, memberikan penghargaan pada aliran dan pengarangnya, dan memberikan tanggapan kritis sehingga mendapatkan kegembiraannya secara sadar.


Pengajaran sastra untuk sekolah dasar, terutama kelas-kelas awal difokuskan pada tahap pertama yaitu kesenangan yang tidak disadari (unconscious enjoyment). Jika semua siswa bisa diberi kesempatan menemukan kesenangan terhadap bacaan, mereka akan bisa membangun dasar yang kokoh bagi apresiasi sastra. Diawali dari menyenangi karya sastra yang dibacanya itulah, siswa akan meningkat ke tahap berikutnya. Setelah merasa senang dengan bacaan baru kemudian siswa didorong untuk menginterpretasikan makna cerita atau puisi melalui diskusi atau aktivitas kreatif, mereka bisa memasuki tahap kedua, tahap kesadaran pada apresiasi.


Berangkat dari bekal itulah siswa dapat diajak untuk memberi tanggapan terhadap buku, membahas bagaimana perasaan mereka tentang cerita itu dan apa makna cerita itu bagi mereka. Siswa juga dapat diajak untuk memberi alasan “mengapa” mereka memiliki perasaan seperti itu dan cara-cara pengarang atau seni man menciptakan perasaan itu. Para siswa akan memerlukan bimbingan dari guru untuk melalui tahap-demi tahap tersebut, namun bukan mendiktenva atau memberi tafsiran yang harus diterima begitu saja oleh siswa. Guru hanyalah pemberi jalan setapak untuk masuk ke dunia indahnya sastra.


Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2003.
Endraswara, S. (2005). Metode Teori Pengajaran Sastra. Buana Pustaka.
Nurgiyantoro, B. (2013). Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sardiman A. M. (2014). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.
Tarigan, H. Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Vardell, S. (1991). A New “Picture of The World”: The NCTE Orbis Pictus Award for outstanding nonfiction for children. Language Arts.

(Sumber: https://bagibagiwebblog.wordpress.com/sastra-anak/)

MEDIA PEMBELAJARAN


Media merupakan alat bantu dalam kegiatan pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Media digunakan dalam kegiatan pembelajaran karena memiliki kemampuan untuk (1) menyajikan peristiwa yang kompleks dan rumit menjadi lebih sistematik dan sederhana, (2) meningkatkan daya tarik dan perhatian pembelajar, dan (3) meningkatkan sistematika pembelajaran. Sadiman (2009:4) menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Dengan adanya media pembelajaran maka kegiatan pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Penggunaanmedia pembelajaran yang tepat dapat membantu guru atau pendidik dalam menciptakan berbagai situasi kelas, menentukan metode pengajaran yang akan dipakai dalam situasi yang berlainan, dan menciptakan iklim emosional yang sehat diantara siswa. Media pembelajaran juga dapat membantu guru membawa dunia luar ke dalam kelas. Dengan demikian ide yang abstrak dan asing dalam pembelajaran menjadi konkret dan mudah dimengerti oleh siswa..

Pada kenyataannya, seringkali kegiatan pembelajaran berlangsung tidak efektif dan efisien. Banyak waktu, tenaga, dan biaya yang terbuang sia-sia sedangkan tujuan belajar tidak dapat tercapai bahkan terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antara pendidik dan siswa. Hal tersebut masih sering dijumpai pada proses pembelajaran dewasa ini. Media pembelajaran sangat diperlukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia termasuk pada aspek menulis puisi. Terbatasnya ketersediaan media pembelajaran yang sesuaimengakibatkan lemahnya kompetensi siswa dalam menulis puisi. Media pembelajaran menulis puisi yang ada masih sebatas media konvensional dan kurang berkualitas. Hal ini menyebabkan siswa cenderung jenuh, bosan, dan tidak terinspirasi. Media pembelajaran yang berkualitas adalah media yang selain mampu meningkatkan kompetensi siswa juga dapat melatih mereka untuk mengembangkan kreatifitas dan menanamkan nilai-nilai positif seperti pendidikan karakter. 

Meskipun melihat langsung alam sekitar dianggap lebih efektif untuk mencari ide dalam menulis puisi, pada kenyataannya pengondisian siswa menjadi lebih sulit karena lingkup untuk memonitor dan mengontrol siswa menjadi lebih luas. Kendala lain adalah hasil karya siswa dalam menulis puisi masih terpaku dengan diksi yang baku dan bait yang dibuat cenderung mirip dengan pantun. Selain itu rima yang digunakan kurang mampu mendukung maksud dan suasana puisi, tipografi belum tepat, tampilan puisi kurang menarik, serta ketidakpahaman siswa menyesuaikan isi puisi dengan tema yang mereka pilih menjadi indikator belum tercapainya kegiatan pembelajaran yang diharapkan. 

Kesulitan yang dihadapi siswa merupakan suatu kendala pembelajaran menulis puisi di sekolah. Kurangnya kompetensi menulis puisi siswa disebabkan karena siswa kurang tertarik dan bingung dalam pembelajaran. Siswa cenderung jenuh, bosan, dan tidak terinspirasi. Hal tersebut terjadi karena dalam pembelajaran guru masih menggunakan media konvensional berupa gambar atau potret. Media yang seharusnya bisa menambah semangat dan memotivasi belajar siswa menjadi suatu hal yang membosankan bagi siswa. Hal ini menjadi bukti bahwa media pembelajaran yang digunakan masih belum sesuai dan kurang mampu untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran. 

Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman,2002:6). Sejalan dengan pendapat Sadiman, Usman dan Asnawir (2002:11) menyatakan bahwa media pembelajaran merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Dalam dunia pelajaran, pada umumnya pesan atau informasi tersebut berasal dari sumber informasi, yakni guru sedangkan sebagai penerima informasinya adalah siswa. Djamarah (1995 : 136) memberikan pengertian bahwa media pembelajaran adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai Tujuan pembelajaran. Selanjutnya ditegaskan oleh Munadi (2008:5) bahwa media pembelajaran adalah sumber-sumber belajar selain guru yang diciptakan atau direncanakan oleh guru yang berisi pesan ajar. 

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang kondusif, bertujuan, dan terkendali.

KOMPETENSI GURU

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,  dan menengah (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). 

Guru merupakan seseorang yang mempunyai tugas mulia untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa (Slameto, 2003: 97).

Guru memegang peranan dan tanggung jawab yang penting dalam pelaksanaan program pengajaran di sekolah. Guru merupakan pembimbing siswa sehingga keduanya dapat menjalin hubungan emosional yang bermakna selama proses penyerapan nilai-nilai dari lingkungan sekitar. Kondisi ini memudahkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan di masyarakat (Depdiknas, 2003 : 3).

Kompetensi profesional guru menurut Sudjana (2002 : 17-19) dapat dikelompokkan menjadi tiga bidang yaitu pedagogik, personal dan sosial. Kompetensi pedagogik menyangkut kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan menganai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pegetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.

Kompetensi bidang personal menyangkut kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.

Kompetensi sosial menyangkut kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan/berperilaku, seperti ketrampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa, ketrampilan menyusun persiapan/ perencanaan mengajar, ketrampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain. Perbedaan dengan kompetensi kognitif terletak pada sifatnya. Kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuannya, pada kompetensi perilaku yang diutamakan adalah praktek/ketrampilan melaksanakannya.

Menurut Murniati (2007 : 2) salah satu ciri dari profesi dituntut memiliki kecakapan yang memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwewenang (standar kompetensi guru). Istilah kompetensi diartikan sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam pola berpikir dan bertindak atau sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial (Depdiknas, 2005 : 24, 90 – 91). Keempat kompetensi tersebut dijelaskan sebagai berikut;
  1. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
  2. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang yang mantap, arif, dewasa, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
  3. Kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dap mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum matapelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.
  4. Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
 (Sumber: https://karyono1993.wordpress.com/thesis/kompetensi-guru/)

PERANGKAT PEMBELAJARAN (SILABUS DAN RPP KTSP)

Silabus
 
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Kunandar, 2011: 244). Sedangkan silabus menurut Yulaelawati adalah seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis, memuat tentang komponen-komponen yang saling berkaitan dalam mencapai penguasaan kompetensi dasar. Silabus merupakan seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis yang memuat komponen-komponen yang saling berkaitan untuk mencapai penguasaan kompetensi dasar. Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang mencakup Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, pencapaian kompetensi untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Trianto, 2010:96).
  
Langkah-langkah pengembangan silabus (Trianto, 2010: 99)
  1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Mengkaji SK dan KD mata pelajaran sebagaimana tercantum pada Standar Isi.
  2. Mengidentifikasi Materi Pokok/Pembelajaran. Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang pencapaian KD.
  3. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik dalam rangka pencapaian KD.
  4. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi. Indikator merupakan penanda pencapaian KD. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
  5. Menentuan Jenis Penilaian. Penilaian pencapaian kompetensi dasar siswa dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dalam bentuk tertulis.
  6. Menentukan Alokasi Waktu. Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu. Alokasi waktu merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh siswa yang beragam.
  7. Menentukan Sumber Belajar. Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD serta materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

Manfaat Silabus

Silabus bermanfaat sebagai pedoman pengembangan perangkat pembelajaran lebih lanjut, mulai dari perencanaan, pengelolaan kegiatan pembelajaran dan pengembangan penilaian. Silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran dan pengembangan sistem penilaian. Silabus merupakan sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, kaib rencana pembelajaran untuk satu Standar Kompetensi maupun satu Kompetensi Dasar. Silabus juga bermanfaat sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran, misalnya kegiatan belajar secara klasikal, kelompok kecil, atau pembelajaran secara individual. Demikian pula, silabus sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian.

Isi Silabus
  1. Identitas mata pelajaran
  2. Identitas sekolah meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;
  3. kompetensi inti,
  4. kompetensi dasar
  5. tema (khusus SD/MI/SDLB/Paket A/dll);
  6. materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi;
  7. pembelajaran,yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;
  8. penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar
  9. alokasi waktu
  10. sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.

Prinsip Pengembangan Silabus

  1. Ilmiah; Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
  2. Relevan; Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik.
  3. Sistematis; Komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi.
  4. Konsistensi; Adanya hubungan yang konsisten antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian.
  5. Kecukupan; Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.
  6. Aktual & Kontekstual; Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.
  7. Fleksibel; Keseluruhan komponen silabus dapat mengako-modasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.
  8. Menyeluruh; Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (Kognitif, afektif, Psikomotor) atu sesuai degan esensi mata pelajaran masing-masing.
 

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Suatu kegiatan pembelajaran, diperlukan sebuah rencana agar pembelajaran tersebut dapat berjalan dengan baik. Berikut dijelaskan beberapa hal mengenai RPP.

Pengertian RPP

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus (Kunandar, 2011: 263). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar ”.  Menurut Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007, komponen RPP adalah: Identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

Tujuan dan Fungsi RPP

Tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran adalah untuk: (1) mempermudah, memperlancar dan meningkatkan hasil proses belajar-mengajar; (2) dengan menyusun rencana pembelajaran secara profesional, sistematis dan berdaya guna, maka guru akan mampu melihat, mengamati, menganalisis, dan memprediksi program pembelajaran sebagai kerangka kerja yang logis dan terencana (Kunandar, 2011: 264). Fungsi rencana pembelajaran adalah sebagai acuan bagi guru untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar (kegiatan pembelajaran) agar lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien (Kunandar, 2011: 264).
  
Unsur-Unsur yang Perlu Diperhatikan dalam Penyusunan RPP
  1. mengacu pada kompetensi dan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa, serta materi dan submateri pembelajaran, pengalaman belajar yang telah dikembangkan di dalam silabus;
  2. menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan materi yang memberikan kecakapan hidup (life skills) sesuai dengan permasalahan dan lingkungan sehari-hari;
  3. menggunakan metode dan media yang sesuai, yang mendekatkan siswa dengan pengalaman langsung;
  4. penilaian dengan sistem pengujian menyeluruh dan berkelanjutan didasarkan pada sistem pengujian yang dikembangkan selaras dengan pengembangan silabus (Kunandar, 2011: 265).

Langkah-langkah menyusun RPP (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007)

  1. Menuliskan Identitas Mata Pelajaran, yang meliputi: sekolah; mata pelajaran; tema; kelas/semester; alokasi waktu.
  2. Menuliskan Standar Kompetensi. SK merupakan kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada suatu mata pelajaran.
  3. Menuliskan Kompetensi Dasar. KD adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi.
  4. Menuliskan Indikator Pencapaian Kompetensi. Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran.
  5. Merumuskan Tujuan Pembelajaran. Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar. Tujuan pembelajaran dibuat berdasarkan SK, KD, dan Indikator yang telah ditentukan.
  6. Materi Ajar. Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk peta konsep sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
  7. Alokasi Waktu. Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar.
  8. Menentukan metode pembelajaran. Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mencapai KD atau indikator yang telah ditetapkan.
  9. Penilaian Hasil Belajar. Prosedur dan instrumen penilaian hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada standar penilaian.
  10. Menentukan Media/Alat/Bahan/Sumber Belajar. Penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
  11. Merumuskan kegiatan pembelajaran seperti di bawah ini
Tiga Bagian dalam RPP

Pendahuluan. Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

Inti. Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Kegiatan inti ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Menurut Nursyam (2009: 1), eksplorasi adalah kegiatan pembelajaran yang didesain agar tercipta suasana kondusif yang memungkinkan siswa dapat melakukan aktivitas fisik yang memaksimalkan penggunaan panca indera dengan berbagai cara, media, dan pengalaman yang bermakna dalam menemukan ide, gagasan, konsep, dan/atau prinsip sesuai dengan kompetensi mata pelajaran. Elaborasi adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik mengembangkan ide, gagasan, dan kreasi dalam mengekspresikan konsepsi kognitif melalui berbagai cara baik lisan maupun tulisan sehingga timbul kepercayaan diri yang tinggi tentang kemampuan dan eksistensi dirinya. Konfirmasi adalah kegiatan pembelajaran yang diperlukan agar konsepsi kognitif yang dikonstruksi dalam kegiatan eksplorasi dan elaborasi dapat diyakinkan dan diperkuat sehingga timbul motivasi yang tinggi untuk mengembangkan kegiatan eksplorasi dan elaborasi lebih lanjut.

Penutup. Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman/kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.


(Sumber: https://www.silabus.web.id/teori-silabus-dan-rpp/)

KONSEP KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK (SD)

Anak memiliki kematangan untuk belajar, karena pada masa ini dia sudah siap untuk menerima percakapan-percakapan baru yang diberikan oleh sekolah.Pada masa pra-sekolah sampai dengan usia sekitar 8 tahun tekanan belajar lebih difokuskan pada ”bermain”, sedangkan pada masa Sekolah Dasar aspek intelektualitas sudah mulai ditekankan.

Pada masa usia sekolah Dasar ini sering pula sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada masa keserasian bersekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada masa sebelum dan sesudahnya. Menurut pendapat ini, masa keserasian bersekolah dibagi dalam dua fase yaitu ;
  1. Masa kelas-kelas rendah Sekolah Dasar (6 tahun sampai usia sekitar 8 tahun). Dalam tingkatan kelas di Sekolah Dasar pada usia tersebut termasuk dalam kelas 1 sampai dengan kelas 3. Jadi kelas 1 sampai dengan kelas 3 termasuk dalam kategori kelas rendah;
  2. Masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar (9 tahun sampai kira-kira umur 12). Dalam tingkatan kelas di Sekolah Dasar pada usia tersebut termasuk dalam kelas 4 sampai dengan kelas 6. Jadi kelas 4 sampai kelas 6 termasuk dalam kategori kelas tinggi;
Pada masing-masing fase tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Masa-masa kelas rendah siswa memiliki sifat-sifat khas sebagai berikut :
  1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah
  2. Adanya sikap yang cenderung untuk memenuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional
  3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri
  4. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain,kalau hal itu dirasanya menguntungkan untuk meremehkan anak lain
  5. Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting
  6. Pada masa ini (terutama pada umur 6,0-8,0) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak
  7. Hal-hal yang bersifat konkret lebih mudah dipahami ketimbang yang abstrak
  8. Kehidupan adalah bermain. Bermain bagi anak usia ini adalah sesuai yang dibutuhkan dan dianggap serius. Bahkan anak tidak dapat membedakan secara jelas perbedaan bermain dengan bekerja
  9. Kemampuan mengingat (memory) dan berbahasa berkembang sangat cepat dan mengagumkan.
 Sedangkan ciri-ciri sifat anak pada masa kelas tinggi di Sekolah Dasar yaitu :
  1. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret; hal ini menimbulkan adanya kecendrungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis;
  2. Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar;
  3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal atau mata pelajaran khusus, para ahli yang mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor;
  4. Sampai kira-kira umur 11,0 anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya; setelah kira-kira umur 11,0 pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri.
  5. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah;
  6. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Di dalam permainan ini biasanya anak tidak lagi terikat kepada aturan permainan yang tradisional; mereka membuat peraturan sendiri;
  7. Peran manusia idola yang sempurna. Karena itu guru acapkali dianggap sebagai manusia yang serba tahu.
Karakteristik perkembangan pada siswa Sekolah Dasar dapat juga dilihat tahap-tahap perkembangan kognitif menurut teori Peaget. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa usia anak yang sekolah di Sekolah Dasar berkisar 6,0 atau 7,0 sampai dengan 11,0 atau 12,0 tahun. Usia 6,0 atau 7,0 tahun dalam teori Piaget masuk dalam kategori praoperational periode dalam tahapan intuitive. Periode ini ditandai dengan dominasi pengamatan yang bersifat egosentrik (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Pada masa ini anak gemar meniru, telah mampu menerima khayalan, dapat bercerita tentang hal-hal yang fantastik, ia tidak terikat pada realitas, sehingga ia dapat berbicara dengan kursi, anjing, dan sebagainya.Anak berlatih sendiri menggunakan bahasanya, sering ia berbicara sendiri. Piaget menamakannya ”Collective monologue”.
Usia 7,0 sampai 11,0 atau 12,0 termasuk dalam tahapan periode operasional konkret. Fase ini menurut Piaget menunjukan suatu reorganisasi dalam struktur mental anak. Dalam fase yang lalu, fase praoperasional, anak seakan-akan hidupnya dalam mimpi dengan pikiran-pikiran magis, dengan fantasi yang leluasa. Aktivitas anak pada fase ini dapat dibentuk dengan peraturan-peraturan, (karena peraturan dasar mentaati peraturan), karena itu mempunyai nilai fungsional. Anak berfikir harfiah sesuai dengan tugas yang diberikan.
 
Perkembangan yang terjadi pada siswa di Sekolah Dasar dapat pula kita lihat dalam perkembangan penghayatan keagamaan. Perkembangan ini dapat dikatakorikan dalam perkembangan afektif. Usia siswa pada Sekolah Dasar dapat dimasukan ke dalam masa kanak-kanak yaitu usia 7 tahun dan masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun)

Ciri- ciri masa kanak-kanak adalah ;
  1. Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya
  2. Pandangan Ketuhanan yang anthropormorph (dipersonifikasikan)
  3. Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual
  4. Hal Ketuhanan dipahamkan secara ideosuncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egocentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
 Ciri-ciri masa anak sekolah ditandai oleh:
  1. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian.
  2. Pandangan dan faham ketuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dan keagungan-Nya.
  3. Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual yang diterima sebagai keharusan moral.
Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa anak pada masa Sekolah Dasar dikategorikan sebagai masa anak sekolah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pada usia masuk terutama pada masa kelas rendah, sifat masa kanak-kanak akan masih nampak. Sedangkan sikap-sikap masa anak sekolah akan sangat menonjol sekali pada usia masa kelas tinggi.

Berdasarkan ciri-ciri perkembangan baik kognitif, bahasa dan afektif, maka dapatlah dibedakan secara ringkas karaterisik antara siswa Sekolah Dasar pada kelas rendah dan kelas tinggi. Ciri pada siswa kelas rendah yaitu:
  1. belum mandiri;
  2. belum ada rasa tanggung jawab pribadi
  3. penilaian terhadap dunia luar masih egosentris;
  4. belum menunjukkan sikap kritis masih berfikir yang fiktif.
 Sedangkan ciri pada siswa kelas tinggi:
  1. sudah mulai mandiri;
  2. sudah ada rasa tanggung jawab pribadi;
  3. penilaian terhadap dunia luar tidak hanya dipandang dari dirinya sendiri tetapi juga dilihat dari diri orang lain;
  4. sudah menunjukkan sikap yang kritis dan rasional.

Sumber: https://jejecmsbhnajar.wordpress.com/2013/04/23/karakteristik-dan-perkembangan-belajar-siswa-di-sekolah-dasar/

KETERAMPILAN BERBAHASA

Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, pesan, dan informasi yang tertanam dalam pikiran, media penyampaiannya bisa melalui lisan atau tulisan.  Bahasa juga memiliki peran sentral demi terciptanya masyarakat yang santun dan beradab. Seseorang dikatakan santun atau tidak ditentukan oleh sikap berbahasanya meliputi nada dan makna yang disampaikan.

Berbagai kebudayaan bisa saling menyatu karena ada salah satu aspek yang mampu mengikatnya yaitu bahasa. Menurut Finocchiaro (1964:8) bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbitrer yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu, atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu, berkomunikasi atau berinteraksi.

Pembeda utama manusia dengan hewan terletak pada dua hal yaitu kemampuan berpikir dan kemampuan berbahasa. Manusia mampu berpikir karena memiliki bahasa, tanpa bahasa manusia tidak akan dapat memikirkan berbagai hal terutama berpikir secara abstrak. Tanpa bahasa juga manusia tidak akan dapat mengomunikasikan gagasan dan pikirannya kepada orang lain. Oleh sebab itu, jika ingin mengungkapkan berbagai pemikiran dengan baik, maka manusia harus menguasai bahasa dengan baik.

Keterampilan berbahasa memiliki dua unsur yaitu unsur logika dan linguistik, berbeda dengan keterampilan berpikir hanya memiliki satu unsur yaitu logika. Unsur logika terdiri atas isi, bahan, materi, dan organisasinya, sedangkan unsur linguistik terdiri atas diksi, pembentukan kata, pembentukan kalimat, fonologi (bunyi bahasa) untuk berbicara, serta ejaan untuk menulis.

Setiap orang memiliki kemampuan berpikir dengan baik, namun tidak semua orang memiliki kemampuan berbahasa dengan baik. Apa yang kita pikirkan belum tentu akan kita ucapkan dan lakukan, namun apa yang telah kita ucapkan itulah yang kita pikirkan dan lakukan. Bahasa dan berbahasa mampu mendefinisikan pola jati diri, pola karakter, dan pola berpikir seseorang.

Kemampuan seseorang dalam berpikir dan berbahasa sebenarnya bisa diberdayakan, yaitu dengan melakukan usaha/aktivitas atau keterampilan yaitu melatih diri kita untuk terampil. Kemampuan ialah kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktik (Robbins, 2000:46) sedangkan  keterampilan sama artinya dengan kecekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu dengan cepat dan benar. Seseorang yang dapat melakukan sesuatu dengan cepat tetapi tidak salah dapat dikatakan terampil. Demikian pula apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar tetapi lambat, juga dapat dikatakan terampil (Soemarjadi, 1991:2). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah hasil akhir setelah adanya aktivitas atau usaha (keterampilan), sedangkan keterampilan adalah sebuah proses aktivitas atau usaha untuk menentukn hasil yang akan diperoleh (kemampuan).

Seseorang dikatakan memiliki kemampuan apabila telah melalui dan menyelesaikan sebuah proses, proses yang harus dilalui dalam bahasa dan berbahasa ialah empat aspek keterampilan berbahasa. Keempat aspek ini bukan hanya mendukung dalam ruang lingkup berbahasa saja melainkan dalam ruang lingkup kehidupan pun saling berhubungan erat.

Menyimak

Keterampilan yang paling mendasar ialah menyimak. Setiap orang tentu melakukan kegiatan menyimak, mulai dari mendengarkan berita, cerita, dan berbagai informasi lainnya baik melalui TV, Radio, dll. Underwood (1990) mendefinisikan menyimak adalah kegiatan mendengarkan atau memperhatikan baik-baik apa yang ducapkan orang, menangkap dan memahami makna dari apa yang didengar. 

Menyimak berbeda dengan mendengar, mendengar hanya menerima informasi yang diperdengarkan saja tanpa melalui penyerapan dan pemilihan informasi dalam kinerja otak sehingga hanya tersimpan dalam short term memory(ingatan jangka pendek). Mendengar identik dengan masuk telinga kanan keluar telinga kiri,sedangkan menyimak adanya sebuah proses penyerapan dan pemilihan informasi dalam otak sehingga disimpan dalam long term memory(ingatan jangka panjang), di sinilah kinerja otak berkerja dan berkembang dengan baik.

Berbicara

Keterampilan berbicara pada umumnya dapat dilakukan oleh semua orang, tetapi berbicara yang terampil hanya sebagian orang mampu melakukan. Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (Depdikbud, 1984:3/1985:7).

Keterampilan berbicara merupakan salah satu komponen dalm pembelajaran bahasa Indonesia yang harus dimiliki oleh pendidik dan peserta didik di sekolah. Terampil berbicara menuntut siswa untuk dapat berkomunikasi dengan siswa lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Supriyadi (2005:179) bahwa sebagian besar siswa belum lancar berbicara dalam bahasa Indonesia. Siswa yang belum lancar berbicara tersebut dapat disertai dengan sikap siswa yang pasif, malas berbicara, sehingga merasa takut salah dan malu, atau bahkan kurang berminat untuk berlatih berbicara di depan kelas.

Guru harus mampu menumbuhkan minat berbicara para siswa ketika di dalam kelas. Ajaklah mereka untuk mempraktikkan teks pidato, puisi, berdrama, dsb. Sehingga mereka bisa mengalami.

Membaca

Pusat pemerolehan berbagai pengetahuan keterampilan dari menyimak, berbicara, dan menulis ialah membaca. Aktivitas membaca sama halnya dengan pemerolehan, apa yang kita ketahui adalah dari apa yang kita baca.  Stauffer (Petty & Jensen, 1980) menganggap bahwa membaca, merupakan transmisi pikiran dalam kaitannya untuk menyalurkan ide atau gagasan. Selain itu, membaca dapat digunakan untuk membangun konsep, mengembangkan perbendaharaan kata, memberi pengetahuan, menambahkan proses pengayaan pribadi, mengembangkan intelektualitas, membantu mengerti dan memahami problem orang lain, mengembangkan konsep diri dan sebagai suatu kesenangan. 

Membaca memiliki pengaruh terhadap perkembangan hidup kita, namun banyaknya koleksi buku bukan berarti ia gemar membaca. Kegemaran membaca akan tampak apabila seseorang mampu mengemukakan berbagai pengetahuan, gagasan, dan ide-ide kreatifnya.

Menulisa
 
Tahap keterampilan terakhir ialah menulis. Menulis sebagai pusat pengaplikasian berbagai pengetahuan yang telah didapat dari aktivitas menyimak, membaca, dan berbicara kemudian mengalihkannya ke dalam rangkaian kata dan bahasa yang memiliki makna dan tujuan. Pranoto (2004:9) berpendapat bahwa menulis berarti menuangkan buah pikiran ke dalam bentuk tulisan atau menceritakan sesuatu kepada orang lain melalui tulisan. Menulis juga dapat diartikan sebagai ungkapan atau ekspresi perasaan yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Orang yang gemar, pandai, dan telah menulis berarti ia telah mencoba mengaktifkan indera yang ada pada dirinya melalui apa yang ia lihat, dengar, rasakan, cium, dan raba kemudian teraplikasikan ke dalam rangkaian kata dan bahasa.

Keempat keterampilan tersebut saling berhubungan, namun menulislah hal yang paling utama. Perbedaan utama antara menulis dan berbicara, yaitu orang yang menulis lebih berani daripada orang yang banyak berbicara tanpa memiliki makna dan tujuan. Orang yang hanya pandai berbicara belum tentu pandai menulis, ia lebih mengandalkan daya orasi daripada literasi.

Pemberdayaan keterampilan berbahasa sebenarnya bersumber dari keterampilan membaca dan menulis, setelah itu menyimak dan berbicara akan berkembang. Sebab siapa pun yang mampu membudakan baca dan tulis, maka ia telah memiliki senjata dan sarana dalam membangun peradaban dan tradisi masyarakat yang berilmu.

(Sumber:https://www.kompasiana.com/ajiseptiaji/5a436e0f5e1373752f7a5f23/keterampilan-berbahasa-dalam-pembelajaran-bahasa-indonesia)

Saturday, May 11, 2019

Strukturalisme Semiotika dalam Pengkajian Puisi (Mantra)


Teori strukturalisme adalah suatu pendekatan yang mendeskripsikan semua fenomena yang nampak pada struktur intrinsik teks puisi secara objektif-empiris. Dimana di dalam sebuah karya sastra mempunyai sebuah stuktur yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya terjalin erat. Bahwa dalam sebuah analisis karya sastra harus mementingkan segi unsur intrinsik. Karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditemukan oleh hal di luar karya sastra itu (Wellek, 1958: 24; Culler, 1977: 127 dalam Djodjosuroto 2006: 33).
Strukturalisme secara etimologis berasal dari kata struktural,yakni bahasa Latin yang berarti bentuk atau bangunan. Pengertian stuktur dalam ilmu sastra sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Secara kata struktur berhubungan erat dengan bentuk (Ashriyatin, 2010: 14). Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis (Hill dalam Pradopo 1995:108). Teori struktural memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya saling berjalin erat, saling menentukan keseluruhan. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya dengan keseluruhannya (Hawkes dalam Pradopo 1995:108).
Analisis struktural menurut Pradopo (2003:120) menyatakan bahwa analisis struktural sajak adalah analisis sajak (dalam penelitian ini adalah mantra) ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983: 61), tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Maka unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Bagi setiap penelitian sastra, analisis struktural karya sastra yang akan diteliti merupakan suatu prioritas atau pekerjaan pendahuluan. Berarti analisis struktur adalah suatu tahap dalam penelitian sastra yang sukar dihindari, sebab setelah analisis semacam ini memungkinkan diungkap pengertian yang lebih mendalam. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilakn sebuah keseluruhan. Analisis struktur tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi saja, namun lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro 2003:37).
Teeuw (1988:135) bahwa pada prinsipnya analisis struktural adalah bertujuan untuk membongkar dan memaparkan apa yang dianalisis dengan cermat, teliti dan semendetail mungkin dan mendalam, mungkin keterkaitan dan keterjalinan dari semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama menghasilkan makna menyeluruh dia juga menambahkan bahwa tugas dan tujuan dari analisis struktur justru mengupas semendalam mungkin dari keseluruhan makna yang telah terpadu. Struktur karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan dan saling bergantung(Pradopo 2000:118).
Hartoko dalam (Taum 1995:38) menyatakan teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks ( (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi kontras dan parodi.
Puisi merupakan struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Jadi kesatuan unsur-unsur dalam karya sastra bukan hanya kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda yang berdiri sendiri melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkait, dan saling bergantung (Pradopo 1995: 118). Dengan demikian analisis struktural merupakan analisis struktur puisi terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur (Hawkes dalam Pradopo 1995: 119). Sementara itu Pradopo (1995: 119) menyatakan bahwa analisis struktural puisi adalah analisis puisi ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna dan hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Puisi (mantra) adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan unsur pembangun mantra yang meliputi: rima, irama, diksi, dan makna.
Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Dengan tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat sebagaimana cipta estetis. Strukturalis biasanya mengandalkan pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks sastra itu sendiri (Endraswara 2003: 51). Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan tanda, adalah pengertian tanda itu tersendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda dan penanda, ada tiga jenis tanda pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petanda bersifat alamiyah, misalnya potret orang yang menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang bersifat kausal, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiyah antara penanda dan petandanya.
Hubungan tersebut bersifat arbiter, berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat (Pradopo, 1995: 121). Sastra merupakan karya imajinatif yang bermedan bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya sastra itu adalah tanda kebahasaan meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan konvensi tambahan. Konvensi itu diantaranya: perulangan, persajakan, pralambang, makna kiasan, kata khusus. Dalam struktur mantra hubungan kalimat dengan kalimat yang lain akan menimbulkan struktur makna dalam karya sastra. Ulangan-ulangan kata atau kalimat dalam mantra akan menimbulkan efek intensitas atau efek yang lainnya yang akan mendukung pemahaman tentang makna mantra. Konsep dan gagasan strukturalisme, sebagaimana diterangkan diatas, dijadikan titik tolak dalam menyikapi objek kajian. Dengan pendekatan struktural maka operasional kajian diarahkan pada elemen-elemen mantra sebagai struktur verbal yang otonom, yang meliputi diksi, kalimat, dan komposisi seutuhnya. Dengan cara kerja ini dapat dideskripsikan ciri-ciri wujud komposisi mantra beserta seperangkat aturan estetikanya. Oleh karena itu, untuk menganalisis karya sastra selain berdasarkan teori strukturalisme diperlukan juga analisis berdasarkan semiotik.
Agar nilai-nilai yang hanya dapat digali melalui analisis struktural yang tidak terabaikan dan analisis puisi tidak terlepas dari dunia luar puisi, maka analisis struktural digabungkan dengan analisis semiotik. Lebih lanjut, konsepsi semiotik pada intinya adalah memahami sepenuhnya karya sastra sebagai struktur, keterkaitan struktur memperlihatkan ciri khas struktur sebagai sistem tanda yang bermakna.

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...