Sunday, November 12, 2017

RAGAM BAHASA INDONESIA

Kejujuran
Jujur merupakan perilaku mulia yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang atau pribadi yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Di era sekarang ini, kejujuran adalah sesuatu yang sangat mahal. Banyak orang yang menggadaikan sikap kejujurannya karena kedudukan atau jabatan, atau bahkan karena merasa terdesak. Bersikap jujur tidak akan mengurangi nilai dan harga diri seseorang, tetapi jujur akan mengangkat nilai, harkat, dan martabat seorang manusia baik bagi sesama manusia lainnya maupun kepada sang pencipta (Allah Swt.)

RAGAM BAHASA INDONESIA

A. Pembakuan Bahasa Indonesia
Ejaan atau tata cara menulis bahasa Indonesia dengan huruf lain untuk ketiga kali dibakukan secara resmi pada 1972, setelah berlakunya ejaan Van Ophuisen (1901) dan ejaan Soewandi (1947). Pada 1975 dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan yang menguraikan kaidah ejaan yang baik itu secara terperinci dan lengkap.
Ejaan yang perna belaku di Indonesia meliputi ejaan Van Ophuysen, ejaan Republik atau ejaan Suwandi, ejaan Malindo dan ejaan yang disempurnakan. Masing-masing ejaan tersebut akan diuraikan dalam paragraph-paragraf berikut ini.
Ejaan Van Ophuysen ialah ejaan bahasa Melayu yang diciptakan oleh Ch. A. Van Ophuysen bersama dengan Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim pada 1901. Ejaan tersebut termaktub dalam Kitab Logat Melayoe. Dalam buku EYD Plus  yang diterbitkan oleh Limas (2011), Jakarta, dipaparkan bahwa dalam sejarahnya ejaan itu mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan pada 1926 mendapat bentuk yang tetap. Pembukaan ejaan itu mempunyai implikasi positif, yaitu semakin kuatnya kedudukan bahasa Melayu. Oleh karena itu, pada 1928 bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa Nasional seperti tertuang dalam Sumpah Pemudah (28 Oktober 1928). Ejaan Ophuysen berlaku hingga tahun 1974.
Beberapa hal penting dari ejaan Van Ophuysen yang harus diperhatikan adalah:
1.  Huruf [u] ditulis [oe]
2.  Apostrof atau koma hamzah [’] menggantikan huruf [k] pada akhir kata. Contohnya kata Bapak ditulis bapa’
3.  Kata yang berahiran dengan huruf [a] mendapat akhiran [i] dan di atas akhiran itu diberi tanda trema [“]
4.  Huruf [e] lafal keras diberi tanda [‘]. Contoh pada kat emak ditulis dengan ema’
5.  Kata ulang seluruhnya boleh menggunakan angka [2]. Sebaliknya, untuk kata ulang bukan seluruhnya menggunakan tanda[-]
6.  Kata majemuk ditulis dengan tiga cara yaitu
a.  Dirangkai menjadi satu kata, misalnya: saputangan, hulubalang, matahari.
b.  Dengan tana hubung, misalnya : rumah-sakit, batoe-bara
c.   Dipisahkan, misalnya: rumah sakit, anak negeri.
Selain ejaan Van Ophuysen, bangsa Indonesia juga pernah menggunakan ejaan Republik atau ejaan Suwandi. Ejaan ini merupakan sistem latihan bahasa Indonesia setelah Indonesia merdek. Pembukaan ejaan tersebut dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mr. Soewandi. No 264/Bhg A tanggal 9 maret 1947. Berdasarkan hal tersebut, ejaan Republik kemudain disebut juga sebagai ejaan Soewandi.
Ejaan Van Ophuysen dan ejaan Soewandi pada hakikatnya sama. Namun demikian keduanya memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut adalah :
1.  Huruf [oe] diubah menjadi [u]
2.  Tanda trema pada huruf [a] dan [i] dihilangkan
3.  Koma hamzah [‘]diganti menjadi [k]. contohnya kata’ menjadi katak
4.  Huruf [e] keras dan huruf [e] lemah tidak sama
5.  Penulis kata ulang dengan dua cara yaitu dengan tanda hubung dan angka dua atau [2]
6.  Penulisan kata majemuk dengan tiga cara yaitu:
a.  Kedua kata ditulis terpisah, misalnya ; tata bahasa, tata tertib
b.  Kedua kata ditulis serangakai, misalnya: tatabahasa, tatatertib
c.   Kedua kata ditulis dengan tanda hubung, misalnya: tata-bahasa, tata-tertib.
7.  Kata yang berasal dari bahasa asing yang tanpa [e] pepet atau [e] lemah, ditulis tidak dengan [e]lemah. Comtoh : [Pratik] bukan [peraktik], [teraktor] bukan [teraktor] dan lain-lain.
Ejaan Malindo juga perna diterapkan di Indonesia. Malindo merupakan kependekan dari Melayu dan Indonesia. Ejaan Malindo ini dihasilkan dari perumusan ejaan Melayu dan Indonesia. Perumusan tersebut diawali dari kongres II Bahasa Indonesia tahun 1954 di Medan, Sumatera Utara, ejaan Malindo selesai dirumuskan pasa 1959. Ejaan malindo belum sempat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena pada masa itu terjadi permusuhan antara Indonesia dan Malaysia.
Ejaan yang Disempurnakan (EYD) merupakan ejaan yang dihasilkan dari penyumpurnaan ejaan-ejaan sebelumnya. Penggunaan EYD diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 16 angustus 1972 dan dihasilkan secara resmi dalam rangka penringatan HUT ke-27 Kemerdekaan Indonesia.
EYD  berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1972. EYD dihasilkan oleh Panitia ejaan Bahasa Indonesia yang dibentuk pada 1966. Tujuan dibelakukannya EYD ialah menyeramkan penulisan bahasa Indonesia kearah pembukaan ejaan. EYD mengatur tentang (1) pemakaian huruf (2) pemakaian huruf capital dan huruf miring (3) penulisan kata (4) penulisan unsur serapan (5) pemakaian tanda baca.
B.   Bahasa Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu juga mengandung kaidah-kaidah paling lengkap jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diucapkan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudain dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah hakim, pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, guru, generasi demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolak ukur bagi pemakaian bahasa yang benar.
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah atau aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang menerbitkan bentuk perajin dan bukan pengerusak dan masih banyak hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian.
C.   Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu bersifat objektif. Masing-masing diberi nama (1) fungsi pemersatu (2) fungsi pemberi kekhasan (3) fungsi pembawa kewibawaan dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai bahasa dialek itu. Dengan demikan, bahasa baku yang mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identitas penutur.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Fungsi tersebut, mampu memperkuat perasaan keperibadian nasiaonal masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Pemelihan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestasi. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang untuk mencapai kesedarajatan dengan peradaban yang lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahan baku sendiri.
D.   Ragam Bahasa Formal
Bahasa Indonesia, seperti halnya bahasa-bahasa lain di dunia, digunakan dalam situasi formal maupun informal. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal, misalnya situasi resmi, seperti dalam pidato kenegaraan, kegiatan belajar mengajar, surat-surat resmi, dan sebagainya.
Bahasa formal menurut Nasucha, dkk(2009:13) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.  Menggunakan huruf gramatikal secara eksplisit dan konsisten
2.  Menggunakan himbuan secara lengkap
3.  Menggunakan kata ganti resmi
4.  Menggunakan kata baku
5.  Menggunakan EYD
6.  Menghidari unsur kedarahan
Berdasarkan kriteria di atas jelas bahwa ragam bahasa formal mempunyai spesifikasi atau standardisasi dalam pemakaiannya. Ragam bahasa tersebut biasanya digunakan dalam ranah keilmuan (ranah pendidikan) yang juga wajib diajarkan di sekolah-sekolah.
Mengutip pendapat Nasucha, dkk. (2009:13) bahasa keilmuan memiliki sifat:
(1) Kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Pengertian baku dan standar tentu tidak dapat diubah setiap saat atau atas kemuan pemakainnya. Namun, kemantapan atau ketetapan tidak bersifat baku, tetapi bersifat cukup luwes sehingga kemungkinan perubahan yang tersistem dan teratur dibidang kosakata peristilahan, serta memungkinkan perkembangan beraneka ragam yang diperlukan dalam perkembangan modern; (2) bersifat kecendekiaan, yaitu berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam karangka ilmiah, berkaitan dengan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan diterma akal. Hal ini dimungkinkan karena dalam proses pengenalan ilmu dan teknologi modern tidak bisa lepas dari bahasa asing sehingga dalam penyajiannya memerlukan bahasa Indonesia ragam baku.
Harus Lapoliwa dikutip oleh Kridalaksana (2008) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam bahasa yaitu : (1) komunikasi resmi; (2) wacana teknis; (3) pembicaraan di depan umum; (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Merujuk pada pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa dalam situasi resmi dalam konteks komunikasipun ada bagian tertentu yang mengharuskan kita menggunakan bahasa resmi, misalnya ketika berdialok dengan atasan, guru/dosen kita, atau orang yang belum dikenal.
Moelino dikutip Lapoliwa (2008) memberikan catatan bahwa bahasa mempanyai fungsi yaitu (1) fungsi pemersatu; (2) fungsi pemberi kekhasan (3) fungsi pembawa kewibawaan; (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Uraian keempat hal tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
Kita telah membicarakan fungsi bahasa pada bab sebelumnya. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan hal yang paling terasa menjadi penghambat adalah faktor bahasa. Oleh karenanya, bahasa Indonesia diperlukan sebagai penyambungan komunikasi sehingga yang terjadi adalah rasa satu bangsa karena tidak ada prasangka yang tumbuh dengan saling memahami komunikasi melalui bahasa.
Sealing memahami antara rakyat Indonesia melalui bahasa Indonesia walaupun mereka mempunyai bahasa khas daerahnya tentu akan memberikan speseifikasi bagi jati diri mereka. Kekhasan penggunaan bahasa akan tampak, orang-orang dalam limgkungan baru akan memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa daerahnya agar apa yang dikatakannya dapat terkomunikasi dengan baik.
Selain memahami antara rakyat Indonesia melalui bahasa Indonesia walaupun mereka mempunyai bahasa khas daerhanya tentu akan memberikan spesifikasi bagi jait diri mereka kekhasan penggunaan bahasa akan tanpak, orang-orang dalam lingkungan baru akan melilih menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa daerhanya agar apa yang dikatakannya dapat terkomunikasi dengan baik.
Selain mempunyai fungsi pemersatu, bahasa juga mempunyai fungsi pembawa kewibawaan. Penggunaan bahasa secara tepat, sesuai situasi dan kondisi tentu akan memberikan kewibawaan (prestise) bagi pemakainya. Pembawa kewibawaan dalam konteks ini dapat pula diartikan untuk mencapai kesederajatan dengan peradaban orang lain. Bahas Indonesia saat ini telah terbukti memasuki tahap ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya Negara-negara di dunia ini yang mengajarkan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar mereka. Selain itu, adanya upaya pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang-orang asing tentu memberikan kontribusi positif terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai pembawa kewibawaan.
Fungsi kerangka acuan bahasa seperti disebutkan di atas mengandung pengertian bahwa bahasa Indonesia juga memulai tahapan penstandaran bahasa. Pembakuan atau pesntandaran bahasa Indonesia oleh badan pemerintah yang resmi disebut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Penstadaran atau pembukaan bahas diperlukan untuk memberikan acuan bagi para pengajar (guru, dosen), praktik, ataupun para pemerhati bahasa ada hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam olah kata (diksi),ejaan, tanda baca dan lain-lain, khususnya dalam bahasa Indonesia ragam formal.
E.   Ragam Bahasa Nonformal 
Ragan bahasa nonformal mempunyai pengertian sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi nonformal (tidak resmi). Ragam ini biasanya digunakan dalam situasi santai dan penuh keakraban. Oleh karenanya dapat diangkat sebuah prinsip bahwa penggunaan bahasa nonformal adalah “tahu sama tahu”. Artinya, hal yang mendasari terjadinya komunikasi dan penggunaan ragam ini adalah karena saling mengerti antara pembicara (komunikator) dan lawan bicara (komunikasi).
Bahasa nonformal mempunyai sifat yang khas yaitu:
1.  Kalimat yang digunakan adalah kalimat-kalimat sederhana (kalimat tak lengkap) yang tidak terkungkung oleh aturan harus berpola SP, SPO, SPOK dan seterusnya.misalnya,”sudah makan?.Kalimat hanya terdiri atas predikat. Namun, bentuk tersebut sangat lazim dipakai dalam interaksi sehari-hari dengan orang yang sudah akrab.
2.  Subjek jarang dimunculkan (diimpilisitkan). Misalnya.”mau kemana?
3.  Kalimat pertanyaan seperti tersebut di atas berdasarkan aturan ragam bahasa formal (baku) seharusnya diawali dengan subjek. Namun demikian, subjek pada konteks diatas dihilangkan karena orang yang diajak berbicara dianggap sudah mengetahui siapa yang dimaksudkan oleh pmbicara.
4.  Menggunakan kata-kata yang lazim dipakai dalam bahasa formal (resmi, baku), tetapisangat lazim dalam bahasa nonformal.
Penggunaan bahasa nonformal mau tidak mau memberikan akibat “ kurang baik” dalam perkembangan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa nonformal akhirnya menimbulakn variasi-variasi bahasa berdasarkan pemakainya.
Berdasarkan fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk slang, jargon dan prokem. Fungsi slang dan prokem digunakan untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain (Pateda, 1984: 70) jargon dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai kosakata kelompok khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan tertentu).
Bila kita cermati penggunaan bahasa kalangan remaja, ada hal yang menarik untuk diperhatikan. Anak-anak muda menciptakan kosakata snediri mereka sesuai dengan perkembangan zaman. Bahasa gaul yang dipergunakan oleh suatu kelompok remaja akan berbeda dengan kelompok remaja yang lain, bahakan akan berada dari zaman ke zaman. Bahasa yang mereka ciptakan hanya di pahami oleh anggota kelopmpoknya dan sulit (tidak dipahami) oleh anggota kelompok yang lain.
Bahasa gaul seperti tersebut di atas juga sebagai bahasa prokem. Hal ini dilihat dari segi fungsi, penuturnya, dan kaidah pembentukan bahasanya. Pernyataan tersebut sesuai dengan laman Wikimedia bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem adalah dialek bahasa Indonesia nonformal yang terutama digunakan di daerah perkotaan, umummya oleh kalangan remaja dan kalangan muda Indonesia, khususnya di daerah perkotaan.
F.  Pembedaan Pemakaian Bahasa Indonesia
Antara bahasa Indonesia ragam formal dan nonformal jelas perbedaan dari segi pemakaiannya. Bahasa Indonesia ragam formal digunakan pada situasi kebahasaan yang formal pula seperti lembaga resmi negara, perkantoran, lembaga pendidikan, seminar, konferensi, maupun pada situasi resmi lainnya. Untuk bahasa Indonesia ragam ini, sering kali dikaitkan dengan slogan yang berbunyi “Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Benar”.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia ragam nonformal. Bahasa Indonesia ragam ini dapat digunakan pada situasi-situasi keakraban, kekeluargaan, pergaulan, maupun situasi kebahasaan lainnya yang tidak terikat oleh aturan tertentu. Ragam bahasa Indonesia ini lebih identik dengan slogan yang berbunyi “Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik”.
Namun sayang, eksistensi bahasa Indonesia ragam nonformal sepertinya lebih mendominasi pemakaiannya dalam segala situasi baik situasi resmi/formal maupun situasi yang sepatutnya. Penutur bahasa Indonesia yang tidak menyadari pemakaian bahasa Indonesia sesuai konteksnya inilah yang sedikit demi sedikit memberikan sumbangsih terhadap degredasi perkembangan atau kemajuan bahasa Indonesia ragam formal itu sendiri.
Sudah berapa kali kamu melakukan hal yang demikian. Kejujuran untuk mengakui kesalahan terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan konteksnya akan berdampak positif untuk membangun kesadaran berbahasa yang lebih baik. Jujur dalam berbahasa sangat diperlukan untuk menciptakan para penutur bahasa yang produktif merubah kesalahan menjadi sebuah kebenaran dalam berbahasa. Sebagai contoh, saya mengakui bahwa selama ini masih banyak kesalahan yang saya lakukan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai konteks pemakaiannya.
Jujur dalam mengakui kesalahan bukanlah sebuah kesalahan fatal tetapi langkah awal untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Mengakui kesalahan tidak menjadikan seseorang berkurang harga dirinya atau berkurang kemampuan berbahasanya tetapi sebaliknya, harga diri dan kemampuan berbahasa tersebut akan terus berkembang dan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, melalui buku ini, mari kita upayakan memperbaiki kemampuan berhasa Indonesia kita dengan menghindari kesalahan yang pernah kita lakukan dalam berbahasa.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...