Kejujuran
Jujur merupakan perilaku mulia yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang atau pribadi yang dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Di era sekarang ini,
kejujuran adalah sesuatu yang sangat mahal. Banyak orang yang menggadaikan
sikap kejujurannya karena kedudukan atau jabatan, atau bahkan karena merasa
terdesak. Bersikap jujur tidak akan mengurangi nilai dan harga diri seseorang,
tetapi jujur akan mengangkat nilai, harkat, dan martabat seorang manusia baik
bagi sesama manusia lainnya maupun kepada sang pencipta (Allah Swt.)
RAGAM
BAHASA INDONESIA
A.
Pembakuan
Bahasa Indonesia
Ejaan atau tata cara
menulis bahasa Indonesia dengan huruf lain untuk ketiga kali dibakukan secara
resmi pada 1972, setelah berlakunya ejaan Van Ophuisen (1901) dan ejaan
Soewandi (1947). Pada 1975 dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan
yang menguraikan kaidah ejaan yang baik itu secara terperinci dan lengkap.
Ejaan yang perna belaku di
Indonesia meliputi ejaan Van Ophuysen, ejaan Republik atau ejaan Suwandi, ejaan
Malindo dan ejaan yang disempurnakan. Masing-masing ejaan tersebut akan
diuraikan dalam paragraph-paragraf berikut ini.
Ejaan Van Ophuysen ialah
ejaan bahasa Melayu yang diciptakan oleh Ch. A. Van Ophuysen bersama dengan
Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim pada 1901.
Ejaan tersebut termaktub dalam Kitab Logat Melayoe. Dalam buku EYD Plus yang diterbitkan oleh Limas (2011), Jakarta,
dipaparkan bahwa dalam sejarahnya ejaan itu mengalami perbaikan dari tahun ke
tahun dan pada 1926 mendapat bentuk yang tetap. Pembukaan ejaan itu mempunyai
implikasi positif, yaitu semakin kuatnya kedudukan bahasa Melayu. Oleh karena
itu, pada 1928 bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa Nasional seperti tertuang
dalam Sumpah Pemudah (28 Oktober 1928). Ejaan Ophuysen berlaku hingga tahun
1974.
1. Huruf
[u] ditulis [oe]
2. Apostrof
atau koma hamzah [’] menggantikan huruf [k] pada akhir kata. Contohnya kata Bapak ditulis bapa’
3. Kata
yang berahiran dengan huruf [a] mendapat akhiran [i] dan di atas akhiran itu
diberi tanda trema [“]
4. Huruf
[e] lafal keras diberi tanda [‘]. Contoh pada kat emak ditulis dengan ema’
5. Kata
ulang seluruhnya boleh menggunakan angka [2]. Sebaliknya, untuk kata ulang
bukan seluruhnya menggunakan tanda[-]
6. Kata
majemuk ditulis dengan tiga cara yaitu
a.
Dirangkai menjadi satu
kata, misalnya: saputangan, hulubalang, matahari.
b.
Dengan tana hubung,
misalnya : rumah-sakit, batoe-bara
c.
Dipisahkan, misalnya: rumah
sakit, anak negeri.
Selain ejaan Van Ophuysen,
bangsa Indonesia juga pernah menggunakan ejaan Republik atau ejaan Suwandi.
Ejaan ini merupakan sistem latihan bahasa Indonesia setelah Indonesia merdek.
Pembukaan ejaan tersebut dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Mr. Soewandi. No 264/Bhg A tanggal 9 maret 1947. Berdasarkan hal
tersebut, ejaan Republik kemudain disebut juga sebagai ejaan Soewandi.
Ejaan Van Ophuysen dan
ejaan Soewandi pada hakikatnya sama. Namun demikian keduanya memiliki beberapa
perbedaan. Perbedaan tersebut adalah :
1. Huruf
[oe] diubah menjadi [u]
2. Tanda
trema pada huruf [a] dan [i] dihilangkan
3. Koma
hamzah [‘]diganti menjadi [k]. contohnya kata’ menjadi katak
4. Huruf
[e] keras dan huruf [e] lemah tidak sama
5. Penulis
kata ulang dengan dua cara yaitu dengan tanda hubung dan angka dua atau [2]
6. Penulisan
kata majemuk dengan tiga cara yaitu:
a. Kedua
kata ditulis terpisah, misalnya ; tata bahasa, tata tertib
b. Kedua
kata ditulis serangakai, misalnya: tatabahasa, tatatertib
c. Kedua
kata ditulis dengan tanda hubung, misalnya: tata-bahasa, tata-tertib.
7. Kata
yang berasal dari bahasa asing yang tanpa [e] pepet atau [e] lemah, ditulis
tidak dengan [e]lemah. Comtoh : [Pratik] bukan [peraktik], [teraktor] bukan
[teraktor] dan lain-lain.
Ejaan Malindo juga perna
diterapkan di Indonesia. Malindo merupakan kependekan dari Melayu dan
Indonesia. Ejaan Malindo ini dihasilkan dari perumusan ejaan Melayu dan
Indonesia. Perumusan tersebut diawali dari kongres II Bahasa Indonesia tahun
1954 di Medan, Sumatera Utara, ejaan Malindo selesai dirumuskan pasa 1959.
Ejaan malindo belum sempat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena pada
masa itu terjadi permusuhan antara Indonesia dan Malaysia.
Ejaan yang Disempurnakan
(EYD) merupakan ejaan yang dihasilkan dari penyumpurnaan ejaan-ejaan
sebelumnya. Penggunaan EYD diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 16 angustus
1972 dan dihasilkan secara resmi dalam rangka penringatan HUT ke-27 Kemerdekaan
Indonesia.
EYD berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1972. EYD
dihasilkan oleh Panitia ejaan Bahasa Indonesia yang dibentuk pada 1966. Tujuan
dibelakukannya EYD ialah menyeramkan penulisan bahasa Indonesia kearah
pembukaan ejaan. EYD mengatur tentang (1) pemakaian huruf (2) pemakaian huruf
capital dan huruf miring (3) penulisan kata (4) penulisan unsur serapan (5)
pemakaian tanda baca.
B.
Bahasa
Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan,
yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah
orang. Ragam itu juga mengandung kaidah-kaidah paling lengkap jika dibandingkan
dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diucapkan,
tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi
dikenal sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan
bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga
yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudain dapat menjadi
pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah hakim,
pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, guru, generasi
demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan
tolak ukur bagi pemakaian bahasa yang benar.
Ragam bahasa standar
memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah atau aturan yang tetap.
Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang
menerbitkan bentuk perajin dan bukan pengerusak dan masih banyak hal-hal yang
perlu mendapatkan perhatian.
C.
Fungsi
Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat
fungsi. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu
bersifat objektif. Masing-masing diberi nama (1) fungsi pemersatu (2) fungsi
pemberi kekhasan (3) fungsi pembawa kewibawaan dan (4) fungsi sebagai kerangka
acuan.
Bahasa baku menghubungkan
semua penutur berbagai bahasa dialek itu. Dengan demikan, bahasa baku yang
mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses
identitas penutur.
Fungsi pemberi kekhasan
yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain.
Fungsi tersebut, mampu memperkuat perasaan keperibadian nasiaonal masyarakat
bahasa yang bersangkutan.
Pemelihan bahasa baku
membawa serta wibawa atau prestasi. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan
usaha orang untuk mencapai kesedarajatan dengan peradaban yang lain yang
dikagumi lewat pemerolehan bahan baku sendiri.
D.
Ragam
Bahasa Formal
Bahasa Indonesia, seperti
halnya bahasa-bahasa lain di dunia, digunakan dalam situasi formal maupun
informal. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal, misalnya
situasi resmi, seperti dalam pidato kenegaraan, kegiatan belajar mengajar,
surat-surat resmi, dan sebagainya.
Bahasa formal menurut
Nasucha, dkk(2009:13) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menggunakan
huruf gramatikal secara eksplisit dan konsisten
2. Menggunakan
himbuan secara lengkap
3. Menggunakan
kata ganti resmi
4. Menggunakan
kata baku
5. Menggunakan
EYD
6. Menghidari
unsur kedarahan
Berdasarkan kriteria di
atas jelas bahwa ragam bahasa formal mempunyai spesifikasi atau standardisasi
dalam pemakaiannya. Ragam bahasa tersebut biasanya digunakan dalam ranah
keilmuan (ranah pendidikan) yang juga wajib diajarkan di sekolah-sekolah.
Mengutip pendapat Nasucha,
dkk. (2009:13) bahasa keilmuan memiliki sifat:
(1) Kemantapan dinamis,
yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Pengertian baku dan standar tentu
tidak dapat diubah setiap saat atau atas kemuan pemakainnya. Namun, kemantapan
atau ketetapan tidak bersifat baku, tetapi bersifat cukup luwes sehingga
kemungkinan perubahan yang tersistem dan teratur dibidang kosakata
peristilahan, serta memungkinkan perkembangan beraneka ragam yang diperlukan
dalam perkembangan modern; (2) bersifat kecendekiaan, yaitu berkaitan dengan
penggunaan bahasa dalam karangka ilmiah, berkaitan dengan penalaran atau
pemikiran yang teratur, logis dan diterma akal. Hal ini dimungkinkan karena
dalam proses pengenalan ilmu dan teknologi modern tidak bisa lepas dari bahasa
asing sehingga dalam penyajiannya memerlukan bahasa Indonesia ragam baku.
Harus Lapoliwa dikutip oleh
Kridalaksana (2008) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam
bahasa yaitu : (1) komunikasi resmi; (2) wacana teknis; (3) pembicaraan di
depan umum; (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Merujuk pada pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa dalam situasi resmi dalam konteks komunikasipun
ada bagian tertentu yang mengharuskan kita menggunakan bahasa resmi, misalnya
ketika berdialok dengan atasan, guru/dosen kita, atau orang yang belum dikenal.
Moelino dikutip Lapoliwa
(2008) memberikan catatan bahwa bahasa mempanyai fungsi yaitu (1) fungsi
pemersatu; (2) fungsi pemberi kekhasan (3) fungsi pembawa kewibawaan; (4)
fungsi sebagai kerangka acuan. Uraian keempat hal tersebut dapat dilihat pada
uraian di bawah ini.
Kita telah membicarakan
fungsi bahasa pada bab sebelumnya. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam
suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan hal yang paling terasa menjadi
penghambat adalah faktor bahasa. Oleh karenanya, bahasa Indonesia diperlukan
sebagai penyambungan komunikasi sehingga yang terjadi adalah rasa satu bangsa
karena tidak ada prasangka yang tumbuh dengan saling memahami komunikasi
melalui bahasa.
Sealing memahami antara
rakyat Indonesia melalui bahasa Indonesia walaupun mereka mempunyai bahasa khas
daerahnya tentu akan memberikan speseifikasi bagi jati diri mereka. Kekhasan
penggunaan bahasa akan tampak, orang-orang dalam limgkungan baru akan memilih
menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa daerahnya agar apa
yang dikatakannya dapat terkomunikasi dengan baik.
Selain memahami antara
rakyat Indonesia melalui bahasa Indonesia walaupun mereka mempunyai bahasa khas
daerhanya tentu akan memberikan spesifikasi bagi jait diri mereka kekhasan
penggunaan bahasa akan tanpak, orang-orang dalam lingkungan baru akan melilih
menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa daerhanya agar apa
yang dikatakannya dapat terkomunikasi dengan baik.
Selain mempunyai fungsi
pemersatu, bahasa juga mempunyai fungsi pembawa kewibawaan. Penggunaan bahasa
secara tepat, sesuai situasi dan kondisi tentu akan memberikan kewibawaan
(prestise) bagi pemakainya. Pembawa kewibawaan dalam konteks ini dapat pula
diartikan untuk mencapai kesederajatan dengan peradaban orang lain. Bahas
Indonesia saat ini telah terbukti memasuki tahap ini. Hal ini dapat dibuktikan
dengan semakin banyaknya Negara-negara di dunia ini yang mengajarkan bahasa
Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar mereka. Selain itu, adanya upaya
pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang-orang asing tentu memberikan
kontribusi positif terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai pembawa
kewibawaan.
Fungsi kerangka acuan
bahasa seperti disebutkan di atas mengandung pengertian bahwa bahasa Indonesia
juga memulai tahapan penstandaran bahasa. Pembakuan atau pesntandaran bahasa
Indonesia oleh badan pemerintah yang resmi disebut Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Penstadaran atau pembukaan bahas diperlukan untuk
memberikan acuan bagi para pengajar (guru, dosen), praktik, ataupun para
pemerhati bahasa ada hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam olah kata
(diksi),ejaan, tanda baca dan lain-lain, khususnya dalam bahasa Indonesia ragam
formal.
E.
Ragam
Bahasa Nonformal
Ragan bahasa nonformal
mempunyai pengertian sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi
nonformal (tidak resmi). Ragam ini biasanya digunakan dalam situasi santai dan
penuh keakraban. Oleh karenanya dapat diangkat sebuah prinsip bahwa penggunaan
bahasa nonformal adalah “tahu sama tahu”. Artinya, hal yang mendasari
terjadinya komunikasi dan penggunaan ragam ini adalah karena saling mengerti
antara pembicara (komunikator) dan lawan bicara (komunikasi).
Bahasa nonformal mempunyai sifat yang khas
yaitu:
1. Kalimat
yang digunakan adalah kalimat-kalimat sederhana (kalimat tak lengkap) yang
tidak terkungkung oleh aturan harus berpola SP, SPO, SPOK dan
seterusnya.misalnya,”sudah makan?.Kalimat hanya terdiri atas predikat. Namun,
bentuk tersebut sangat lazim dipakai dalam interaksi sehari-hari dengan orang
yang sudah akrab.
2. Subjek
jarang dimunculkan (diimpilisitkan). Misalnya.”mau kemana?
3. Kalimat
pertanyaan seperti tersebut di atas berdasarkan aturan ragam bahasa formal
(baku) seharusnya diawali dengan subjek. Namun demikian, subjek pada konteks
diatas dihilangkan karena orang yang diajak berbicara dianggap sudah mengetahui
siapa yang dimaksudkan oleh pmbicara.
4. Menggunakan
kata-kata yang lazim dipakai dalam bahasa formal (resmi, baku), tetapisangat
lazim dalam bahasa nonformal.
Penggunaan bahasa nonformal
mau tidak mau memberikan akibat “ kurang baik” dalam perkembangan bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa nonformal akhirnya menimbulakn variasi-variasi
bahasa berdasarkan pemakainya.
Berdasarkan fungsinya,
bahasa gaul memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk slang, jargon dan prokem.
Fungsi slang dan prokem digunakan untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok
lain (Pateda, 1984: 70) jargon dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai
kosakata kelompok khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan
tertentu).
Bila kita cermati
penggunaan bahasa kalangan remaja, ada hal yang menarik untuk diperhatikan.
Anak-anak muda menciptakan kosakata snediri mereka sesuai dengan perkembangan
zaman. Bahasa gaul yang dipergunakan oleh suatu kelompok remaja akan berbeda
dengan kelompok remaja yang lain, bahakan akan berada dari zaman ke zaman.
Bahasa yang mereka ciptakan hanya di pahami oleh anggota kelopmpoknya dan sulit
(tidak dipahami) oleh anggota kelompok yang lain.
Bahasa gaul seperti
tersebut di atas juga sebagai bahasa prokem. Hal ini dilihat dari segi fungsi,
penuturnya, dan kaidah pembentukan bahasanya. Pernyataan tersebut sesuai dengan
laman Wikimedia bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem adalah dialek bahasa
Indonesia nonformal yang terutama digunakan di daerah perkotaan, umummya oleh
kalangan remaja dan kalangan muda Indonesia, khususnya di daerah perkotaan.
F. Pembedaan Pemakaian
Bahasa Indonesia
Antara bahasa Indonesia
ragam formal dan nonformal jelas perbedaan dari segi pemakaiannya. Bahasa
Indonesia ragam formal digunakan pada situasi kebahasaan yang formal pula
seperti lembaga resmi negara, perkantoran, lembaga pendidikan, seminar,
konferensi, maupun pada situasi resmi lainnya. Untuk bahasa Indonesia ragam
ini, sering kali dikaitkan dengan slogan yang berbunyi “Gunakanlah Bahasa
Indonesia yang Benar”.
Berbeda halnya dengan
bahasa Indonesia ragam nonformal. Bahasa Indonesia ragam ini dapat digunakan
pada situasi-situasi keakraban, kekeluargaan, pergaulan, maupun situasi
kebahasaan lainnya yang tidak terikat oleh aturan tertentu. Ragam bahasa
Indonesia ini lebih identik dengan slogan yang berbunyi “Gunakanlah Bahasa
Indonesia yang Baik”.
Namun sayang, eksistensi
bahasa Indonesia ragam nonformal sepertinya lebih mendominasi pemakaiannya
dalam segala situasi baik situasi resmi/formal maupun situasi yang sepatutnya.
Penutur bahasa Indonesia yang tidak menyadari pemakaian bahasa Indonesia sesuai
konteksnya inilah yang sedikit demi sedikit memberikan sumbangsih terhadap
degredasi perkembangan atau kemajuan bahasa Indonesia ragam formal itu sendiri.
Sudah berapa kali kamu
melakukan hal yang demikian. Kejujuran untuk mengakui kesalahan terhadap
pemakaian bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan konteksnya akan berdampak
positif untuk membangun kesadaran berbahasa yang lebih baik. Jujur dalam
berbahasa sangat diperlukan untuk menciptakan para penutur bahasa yang
produktif merubah kesalahan menjadi sebuah kebenaran dalam berbahasa. Sebagai
contoh, saya mengakui bahwa selama ini masih banyak kesalahan yang saya lakukan
dalam menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai konteks pemakaiannya.
Jujur dalam mengakui
kesalahan bukanlah sebuah kesalahan fatal tetapi langkah awal untuk memperbaiki
diri ke arah yang lebih baik. Mengakui kesalahan tidak menjadikan seseorang
berkurang harga dirinya atau berkurang kemampuan berbahasanya tetapi
sebaliknya, harga diri dan kemampuan berbahasa tersebut akan terus berkembang
dan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, melalui buku ini, mari kita upayakan
memperbaiki kemampuan berhasa Indonesia kita dengan menghindari kesalahan yang
pernah kita lakukan dalam berbahasa.
No comments:
Post a Comment