Sebuah penciptaan karya sastra memiliki
kaitan erat dengan bahasa. Al Ma’ruf (2009: 2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan
karya imajinatif yang bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan.
Bahasa merupakan sarana dalam mengungkapkan karya sastra. Bahasa sastra
dijadikan media ekspresi pengarang dalam menciptakan efek makna dari ‘gaya
bahasa’ sebagai sarana bahasa untuk memperoleh nilai estetis yang tinggi
sehingga bobot nilai seni sebuah karya sastra bisa tercapai.
Menurut Nurgiyantoro (2002: 273), bahasa
dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis yang dapat diolah
dan memiliki nilai lebih daripada bahan itu sendiri, dalam hal ini adalah bahasa.
Pengarang berperang penting dalam mengolah kata- kata dalam karya sastra yang
diciptakannya menjadi sebuah karya sastra yang indah. Kemampuan pengarang
memainkan kata-kata inilah yang bisa disebut dengan bahasa sastra. Pengarang
tidak hanya memberikan keindahan kata-kata, akan tetapi juga makna yang
filosofis terhadap fenomena kehidupan. Masda (2012: 8) juga mengungkapkan bahwa
bahasa sastra adalah bahasa khas, yakni, bahasa yang direkayasa dan dipoles sedemikan
rup. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Ma’ruf (2009: 2) mengungkapan
bahasa sastra sebagai berikut :
Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi
semiotik bahasa sastra.Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first
order semiotics), sedangkan sastra merupakam system semiotic tingkat kedua
(second order semiotics) ( Abrams, 1981 : 172). Bahasa memiliki arti
berdasrkan konvensi bahasa, yang oleh Riffaterre arti bahasa disebut meaning
(arti), sedangkan arti bahasa sastra disebut significance (makna).
Sebagai medium karya sastra, bahasa sastra berkedudukan sebagai semiotic tingkat
kedua dengan konvensi sastra. Menurut Riffaterre (1978: 1-2) karya sastra
merupakan ekspresi tidak langsung, yakni menyatakan sutu hal dengan arti lain”
Sebagai media
penciptaan karya sastra, bahasa satra memiliki ciri khas, beberapa ciri
tersebut seperti bahasa sebagai bahasa emotif dan bahasa bersifat konotatif.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren dalam Al Ma’ruf (2009: 2)
bahwa secara rinci bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional,
konotatif, bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi. Emosional,
berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim,
manasuka, atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa
sejarah, kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya
bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial.
No comments:
Post a Comment